[UN] BROKEN #10
Kalau biasanya Alea bangun pagi langsung ke dapur, pagi ini ia memeriksa ke depan, bagian teras dan pintu gerbang. Dugaannya tak pernah salah. Di depan gerbang, ia mendapati kotak berwarna hitam. Ia mengedarkan pandangannya. Tidak ada seorangpun yang berhasil ia lihat. Hanya beberapa orang tua sedang berjalan-jalan santai di sekitaran depan rumahnya.
Apa lagi yang ia kirimkan? Tangannya mengambil kotak itu dan membukanya di tempat. Hanya sebuah kotak nasi dengan secarik kertas di atasnya.
Kamu ingat tidak? Dulu setiap pagi kita selalu membeli ini untuk sarapan kita. Satu kotak berdua. Katamu, biar lebih terasa romantis. Aku merindukan saat-saat itu.
Selalu dan selamanya.
'R'
Nasi uduk. Alea memejamkan matanya sesaat. Jelas wanita ini menginginkan hal yang lebih.
Terus ini aku apakan? Buang? Tapi sayang, ini makanan. Di makan? Rasanya sama seperti memakan bungkusan jarum. Alea mendesah, sibuk memikirkan nasib sebungkus nasi uduk itu. Sampai kemudian seorang satpam kompleks lewat di hadapannya, menyapanya dengan ramah Tanpa pikir panjang Alea memberikan isi kotak itu. Sementara kotaknya ia ambil bersama secarik kertas itu. Ia melangkah cepat menuju ke dapur melintasi pintu samping kemudian ke halaman belakang. Setelahnya ia masuk ke dapur yang berhadapan dengan halaman belakang.
Ia langsung menuju ke sebuah pintu almari, membuka kuncinya dan meletakkan kotak itu bersama kotak-kotak yang lain. Ia bernapas lega saat seorangpun tak melihatnya.
"Pagi, Alea," sapa Mbak Tanti dari ambang pintu, meletakkan sapu pada gantungan tempat biasa ia meletakkan.
"Pagi, Mbak," jawab Alea dengan senyuman ramahnya. Ia beranjak meninggalkan deretan lemari yang tergantung menuju ke lemari pendingin.
"Al, kemarin Bapak itu..,"
"Kenapa?"
"Bertanya soal kiriman, Al."
Alea terdiam. Kiriman. Tidak. Kafka tidak boleh tau tentang hal ini. Aku akan mencari tau sendiri.
"Terus mbak bilang apa?"
"Mbak bilang tidak tau. Memang tidak tau kan?"
"Oh, um. Baguslah. Nanti kalau bertanya lagi bilang saja tidak tau."
"Memangnya kenapa, Al?"
"Memang tidak ada," jawab Alea singkat. Tangannya membuka pintu lemari pendingin, mengambil isian sandwich kemudian memanaskannya sebentar.
"Kamu darimana?" Sebuah tangan menarik mundur pinggangnya hingga menabrak punggungnya.
"Mencariku?"
"Hm. Aku tak pernah nyaman saat kau meninggalkanku sendirian di tempat tidur," bisik Kafka dengan suara khas bangun tidur.
"Tidak biasanya," sahut Alea tanpa menghentikan kegiatannya. Ia membiarkan pria-nya merangsek tubuhnya seperti kucing pada majikannya.
"Entah. Tapi akhir-akhir ini aku semakin menginginkanmu berada di dekatku."
Itu terjadi karena kau menyembunyikan sesuatu dariku, Kafka.
Alea tertawa samar. Tangannya sibuk menata lembaran-lembaran roti sandwich. Gerakannya ikit tidak leluasa karena tubuh Kafka yang mengurungnya. Ia merasakan wajah Kafka kini terbenam di ceruk lehernya.
"Kaf, lepas. Kau mengganggu kegiatanku. Kusarankan kau untuk mandi sekarang. Jangan sampai kau telat ke kantor," ucap Alea bernada tegas.
Tapi Kafka hanya tertawa tanpa melepas pelukannya. Malah seakan bertambah erat saja.
"Aku tidak ke kantor hari ini. Aku ingin di rumah bersamamu seharian."
"No! Kamu harus ke kantor. Jangan mentang-mentang kamu yang punya, kamu boss-nya terus kamu seenaknya saja. Tidak, Kafka," omel Alea.
"Memangnya kenapa? Apa yang salah? C'mon, Babe. Ini hari Jum'at. Dan aku hanya bekerja setengah hari. Untuk kali ini aku benar-benar ingin bersamamu. Lagipula Adam kan sudah kembali bekerja. Beny hanya fokus meng-handle pekerjaanku. Jadi.., apa yang kau masalahkan, hm?"
"Kafka,"
Alea merasakan Kafka menggelengkan kepalanya di antara ceruk lehernya. Sesaat kemudian Kafka melonggarkan pelukannya.
"Apa kabar pagi ini?" tanyanya sambil mengedarkan matanya ke setiap sudut dapur.
Alea mengeryit, "baik. Kenapa?"
"Bukan itu maksudku. Ada teror kiriman lagi?"
Alea melirik sekilas. Ia terdiam beberapa saat. Tangannya meraih spatula, mengoleskan isian sandwich ke atas roti.
"Tidak ada. Kenapa?"
"Baguslah."
"Memangnya kenapa? Masa lalumu tidak berniat untuk..,"
"Jangan dibahas lagi. Aku tidak mau bertengkar denganmu gara-gara dia."
Alea mengangkat bahu. Sementara tangannya sibuk memotong tumpukan sandwich dan membaginya dalam beberapa piring.
"Al,"
"Apa?" gumam Alea sambil melangkah menuju ke meja makan dengan piring di masing-masing tangannya. Sementara Kafka masih saja menempel erat padanya, membuatnya sedikit kesulitan untuk melangkah.
"Kamu mau berjanji padaku?"
"Untuk?"
Kafka menahan langkahnya. Satu tangannya menyentuh wajah Alea hingga Alea menatapnya. Mata coklat itu kini menghunjam mata Alea. Jauh ke dalam sana. Dan Alea tak mampu meraba apa arti tatapan matanya. Terlalu sulit untuk ditebak.
"Berjanjilah untuk tidak mempercayai siapapun di luar sana jika nanti ada sesuatu. Berjanjilah hanya mendengarku, Alea."
"Maksudmu?"
"Berjanjilah, please, Al."
"Jelaskan dulu maksudmu, Kafka."
Kafka menggelengkan kepalanya. Sorot matanya kini redup. Ia melepaskan dirinya dari Alea.
"Ya. atau. tidak." Rahangnya nampak mengeras.
Alea terperangah mendapati sikap aneh Kafka. Pria itu dengan cepat meninggalkannya. Tidak mungkin Kafka PMS. Alea menarik napasnya, membiarkan Kafka-nya marah padanya untuk hal yang tak beralasan. Ia melanjutkan kegiatannya, menyajikan sarapan pagi berupa sandwich dan beberapa gelas susu hangat bersisian di setiap piring-piring itu.
Setelahnya, Alea berniat kembali ke kamarnya, menghampiri dan meluluhkan kemarahan Kafka. Ia sedikit berlari menaiki anak tangga. Ketika sampai di hadapan pintu yang sedikit terbuka, Alea menghentikan langkahnya. Ia mengurungkan niatnya untuk menghampiri pria itu begitu mendengar suara Kafka tengah berbicara dengan seseorang. Mungkin ia sedang telepon.
"Tidak. Jangan memaksaku untuk bertindak diluar kendaliku, Renata. Kamu tau, aku sudah memiliki kehidupan sendiri dan itu jauh lebih baik, lebih membuatku bahagia. Lupakan, Rena. Aku di sini sudah melupakan semuanya. Termasuk tentang janji dan perasaan itu," ucapnya terdengar tegas.
Alea menjauh sedikit, menyandarkan tubuhnya di dinding. Entah alasan apa yang membuat sesak itu dengan semangat tinggi menghimpit dadanya pagi ini.
Jadi R itu Renata? Nama yang cantik. Dan Kafka enggan menceritakannya padaku. Ini.., cukup menyakitkan.
Alea menggelengkan kepalanya ketika bayangan buruk mumcul di pikirannya.
Kelak Kafka akan meninggalkanku dan anak-anakku. Ia akan kembali pada Renata. Aku tak tau sebesar apa cintanya dulu. Tapi yang kulihat, mereka dulu pernah saling cinta. Benar demikian?
Ia menarik napasnya dalam-dalam. Matanya mengerjab, mencegah cairan bening yang sudah menggenang di pelupuk matanya.
"Mungkin aku harus mengganti -apapun yang terjadi, kita akan selalu bersama,- dengan -apapun yang terjadi, aku tidak boleh menangis.- Ya, kedengarannya itu jauh lebih baik," gumam Alea.
Ia kembali menghampiri pintu itu ketika ia tak mendengar Kafka berbicara lagi. Mungkin Kafka sudah selesai. Ia membuka pintu itu dan mendapati Kafka tengah berbaring di ranjang dengan kedua kaki menjuntai ke lantai.
"Kaf," panggil Alea, berusaha agar suaranya tetap terdengar lembut, tidak seperti orang yang ingin menangis.
Kafka bergerak, memunggungi Alea. Sepertinya ia benar-benar marah pada Alea. Alea tersenyum getir. Ia mendekat dan duduk di tepian ranjang. Tangannya terulur menyentuh lengan Kafka, mengusapnya dengan sangat pelan.
"Marah padaku? Baiklah, aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya menanyakan apa alasannya. Jika sebuah alasan membuatmu marah padaku, okay, lupakan. Anggap aku tak pernah menanyakan itu, sekalipun -aku sangat menginginkannya," bisik Alea. Dalam diam ia memejamkan matanya, menata hatinya yang kembali sesak.
Kafka masih pada sikapnya. Alea paham. Karena Renata. Ia bergerak pelan, menjauh dari Kafka. Langkahnya terhenti di ambang pintu. Ia menoleh sebentar. Kafka-nya masih pada posisinya, bergeming.
"Sarapan sudah siap. Kau bisa makan lebih dulu. Aku akan menemani anak-anak. Aku tidak akan mengganggumu hari ini. Dan akan kuusahakan agar anak-anak juga tidak mengganggumu hari ini."
Seketika Kafka bangun, terduduk, menatap nyalang pada Alea begitu mendengar kalimat Alea. Rahangnya semakin mengeras.
"Kenapa kamu berkata demikian? Kenapa kamu tidak memelukku? Padahal aku menunggu hal itu sejak tadi aku meninggalkanmu?"
Alea terdiam. Ia menahan bibirnya yang berkedut ingin tertawa sekaligus menahan kakinya yang ingin segera menghambur pada Kafka.
"Peluk aku," pinta Kafka.
Kakinya sudah tak bisa ia tahan lagi. Dalam hitungan detik ia sudah berdiri di hadapan Kafka, menatap manic mata yang selalu mengunci matanya. Ia merasakan tangan Kafka meraih pinggangnya hingga ia terduduk mengangkangi paha Kafka. Pria itu memeluknya erat. Lebih erat dari biasanya.
"Aku hanya ingin selalu seperti ini. Ini.., membuatku sangat nyaman, Babe," bisik Kafka.
Apakah ini ada kaitannya dengan Renata? Seketika Alea merasakan nelangsa melingkupi hatinya.
"Untuk sebuah alasan?" gumam Alea lirih bernada tanya.
"Tidak ada alasan, Alea. Karena satu-satunya alasan kebahagiaanku adalah kamu. Terlebih karena kamu sudah memberiku anak-anak yang luar biasa."
Alea kembali berdiam. Ia tak tau mesti berbuat apa. Sampai kemudian ia tau apa yang harus ia lakukan. Membalas semua sentuhan lembut Kafka. Terlebih lumatan-lumatan di bibirnya. Sepertinya ia memang harus melupakan Renata. Karena Kafka hanya miliknya. Selamanya.
***
bingung harus gimana. ya udah gini aja.. maaf, mengecewakan..
Regards
27 August 2015
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top