UMBRELLA
Matahari sudah meninggi dan waktu mulai menyentuh pertengahan hari. Namun di awal tahun ini, kompleks perumahanku masih sepi. Ya, semuanya tengah berlibur ke luar kota. Bahkan orang tuaku pun ikut berlibur dan meninggalkanku bersama pria bermata empat ini.
"Tolong jangan sebut gue mata empat, Ja!"
Dia Fajar. Hanya seorang teman biasa yang sangat menyebalkan.
"Senja, gue nggak menyebalkan!"
Ya, Fajar selalu begitu. Bilang tidak menyebalkan, tidak baik, tidak pintar, tidak pandai bela diri, tidak suka berkelahi, tidak suka berbohong. Semua serba tidak. Padahal kenyataannya, apa yang dilakukan Fajar adalah kebalikan dari apa yang keluar dari mulutnya.
Seperti hari itu misalnya. Saat aku bertanya tentang logaritma yang membuatku sakit kepala. Fajar hanya menggeleng mengatakan bahwa dia tidak bisa dan tidak sehebat itu hingga bisa menyelesaikan soal yang membuatku menyerah itu. Tapi, akhirnya ia berhasil mengerjakan soal itu meskipun keringat bercucuran di dahinya.
Kurasa sudah cukup membicarakan pria bermata empat itu. Sekarang saatnya aku membicarakan tentang diriku dan Fajar. Senja dan Fajar yang terpisah karena hujan.
☔☔☔
"Dari Senja untuk Fajar. Aku Senja, datang membuat seolah nyaman. Aku Senja, menipu dengan keindahan, kehangatan, dan warna yang memanjakan mata. Namun pergi. Membuat sekitaran gelap, membuat diriku gelap. Seketika lengang. Gelap. Terlalu berbahaya, tak jarang terkesan mengenaskan." Kujeda sejenak menatap sekitar kelas.
"Dari Senja untuk Fajar. Fajar datang membawa keindahan yang tak kalah dariku, Senja. Dingin. Menyejukkan. Hadir saat ku gelap, saat ku kehilangan cahaya, namun tak membawa pergi cahaya itu." Lagi, kulihat sekitarku, itu yang diajarkan Fajar padaku.
"Dari Senja untuk Fajar. Kau tahu, Fajar? Aku sangat iri padamu. Semua setia menungguku, itu sudah tak diragukan lagi. Namun, apa yang kuberikan pada mereka tak pernah mampu bertahan lama. Kau tahu kenapa? Itu karena aku tak sebaik dirimu, Fajar. Mampu memberikan sejuta cahaya setelah kau pergi." Aku tak berbohong, itulah puisi terbaikku yang berhasil mendapatkan tepukan riuh satu kelas.
"Dari Fajar untuk Senja. Senja, gue mohon berhentilah drama dan bacalah puisinya dengan benar!" kesal Fajar padaku setelah mendengar puisiku yang begitu puitis.
Aku melotot melihat pria bermata empat itu. "Dari Senja untuk Fajar. Fajar, Senja udah baca puisinya dengan benar, kok," balasku ikut kesal pada Fajar.
Semua orang memperhatikan aku dan Fajar, tak terkecuali. Bahkan si tukang tidur di kelas pun ikut memperhatikan kami di depan.
"Dari Fajar untuk Senja. Du-"
"Dari Ibu untuk Senja dan Fajar. Berhentilah terbawa suasana dengan gaya bicara Senja. Ibu pusing mendengarnya." Kesal Ibu Dewi memotong perkataan Fajar yang tak kunjung selesai.
"Maaf, Bu. Tapi, barusan Ibu Dewi juga terbawa suasana sama gaya bicara Senja, Bu," lontar Fajar.
Ucapan Fajar barusan berhasil membuat aku dan dirinya diusir dari kelas, hanya aku dan Fajar. Ini bukan kejadian langka. Aku dan Fajar memang selalu diusir ketika jam pelajaran Ibu Dewi berlangsung. Ya, hanya jam pelajarannya. Tak apa, bukan masalah besar. Semua ini sudah direncanakan. Pria bermata empat itulah yang merancang semuanya.
Pertama, dialah yang akan maju menyelesaikan tugas yang diberikan Ibu Dewi. Setelah itu, ia mulai membantuku menyelesaikan tugas Ibu Dewi dan membuatku maju ke depan---menunjukkan tugas itu. Ketika tugas kami sudah mendapatkan nilai dari Ibu Dewi, Fajar akan membuat ulah dan membuat kami diusir dari kelas.
"Ja, makan batagor, ya!" pinta Fajar padaku.
"Fajar tuh, ya! Sekali-kali kek Senja yang ditraktir. Senja mulu yang traktir Fajar. Fajar kira Senja ini ATM berjalan apa?!" baru kali itu aku celoteh panjang lebar padanya.
"Elo itu jauh lebih baik di atas ATM berjalan, Ja. Elo itu mesin ATM-nya, jadi kemana-mana bawa duit," cekikik Fajar melingkarkan lengannya di leherku, menarikku menuju kantin sekolah.
Herannya, meskipun kesal, aku tetap saja mau membayar makanan Fajar. Kasarnya, hitung-hitung membayar tugas yang dibantunya tadi.
"Fajar!" kepalaku dan Fajar berbalik serentak mencari sumber suara.
"Gue panggil Fajar, kok elo yang liat, Ja?" protes Deno kepadaku.
"Jangan gitu, No. Bagi Senja, gue lebih penting dari apapun. Ada apa, btw?"
Deno tak menjawab pertanyaan yang terlontar oleh Fajar. Pria berambut gondrong itu terus saja menatap ke arahku, sesekali menatap Fajar, begitu seterusnya.
Aku yang mengerti apa maksudnya pun langsung berbalik menuju gerobak batagor di pojok kantin, membiarkan kedua pria itu berbicara. Aku tahu, itu pasti masalah antar pria. Mungkin Deno tak ingin aku mendengarnya. Meskipun ingin tahu, aku harus bersabar sejenak. Nanti akan kutanyakan pada Fajar, sedetailnya.
Usai memesan batagor, aku berjalan menuju bangku Fajar dan Deno. Ketika aku baru sampai, Deno langsung pergi meninggalkan Fajar dengan tergesa-gesa.
"Kenapa si Deno?" tanyaku terus memperhatikan Deno hingga punggungnya menghilang ditelan tembok hijau itu.
Fajar menggeleng, menandakan bahwa tidak ada hal penting yang mereka bicarakan, "Kebelet pipis," balasnya.
"Fajar nggak bohong, kan?" tanyaku memastikan.
Lagi-lagi Fajar menggeleng, "Buat apa sih gue bohong, nambah dosa juga," balasnya lagi.
Bibirku tertarik, tersenyum mendengar balasan Fajar di telinga mungilku.
Tak lama kemudian, dua mangkuk batagor berjalan menghampiri aku dan Fajar.
"Ja, boleh gue langsung pulang?" tanya Fajar menghentikan makannya sejenak.
Aku terdiam. Pulang? Jam berapa sekarang? Masih jam sepuluh pagi. Jangankan pulang, jam istirahat pun belum tiba untuk saat ini.
"Mau ngapain?" balasku bertanya, ikut menghentikan makanku.
Pria bermata empat itu melepaskan kacamatanya, mencoba menatap ke dalam mataku. Sudah biasa, pikirku. Pasti ada sesuatu yang darurat saat ini. Tapi apa? Diare-nya kambuh? Atau.....
"Iya, Ja. Elo bener. Gue harus pergi sekarang. Deno butuh bantuan gue. Sekarang, Ja." Jelas Fajar menatap lekat pupil mataku.
Aku bingung. Aneh, biasanya tak pernah seperti ini. Firasatku buruk. Begitu berat untuk mengizinkannya. Batinku mengatakan bahwa aku harus melarang Fajar pergi sekarang.
"Ini darurat, Ja," timpal Fajar lagi.
Mulutku tak bisa berbicara walaupun sekadar mengatakan iya atau tidak. Tak bisa.
"Ja," panggil Fajar. "Percaya deh, gue bakal balik lagi, kok. Beneran." Tegas Fajar meyakinkanku.
Belum lama aku berpikir, alam sudah membantuku melarang Fajar. Entah kenapa, cuaca yang tadinya cerah berubah menjadi gelap dan juga mendung. Lalu, hujan turun. Lebat. Deras. Bersama gemuruh, semua orang berlarian kesana kemari, mencari tempat berteduh, seperti para siswa yang tengah berolahraga di sana. Ya, aku bisa melihatnya dari jendela kantin ini. Hujan turun menyerang jalanan di luar sana.
"Gue nggak peduli sama alam, Ja. Kalo batin gue bilang gue pengen pergi, gue bakal pergi. Cukup kasih gue izin, gue bisa buktiin itu, Ja," lontar Fajar lagi.
"Gimana kalo Senja nggak mau kasih izin?"
Bodoh! Pertanyaan apa yang barusan kulontarkan padanya. Fajar pasti akan mengabaikan pertanyaanku itu dan pergi meninggalkanku di kantin ini sendirian, kan?
Berbeda dari dugaanku, Fajar tersenyum ketika aku menunduk setelah memberikannya pertanyaan. Tangannya memasangkan kembali kacamata yang ia lepas tadi.
"Oke, nggak masalah, kok. Kita bakal habisin batagornya dulu. Setelah itu, tungguin hujan reda. Baru gue pergi. Ya?" bujuk Fajar mengelus pelan kepalaku.
"Dari Senja untuk Fajar. Fajar, Senja bukannya mau ngelarang Fajar pergi bantuin Deno. Tapi, tapi firasat Senja beda, Jar. Nggak kaya biasanya yang langsung bilang iya kalo Fajar pengen pergi. Tapi, beneran. Kali ini tuh beda, Jar. Senja nggak bohong,"
"Gue juga nggak bohong, Senja. Gue bilang apa tadi? Gue bakal balik lagi. Gue bilang itu kan ke elo?" Fajar mengacak-acak rambutnya. "Gini aja deh. Sekarang, elo percaya nggak sama gue? Senja percaya nggak sama Fajar?"
Aku mengangguk ragu menjawab pertanyaan Fajar yang sama sekali tak kuketahui jawabannya.
"Yaudah, kalo gitu kita habisin dulu batagornya. Setelah itu, gue pergi bantuin Deno. Ya?" bujuk Fajar lagi.
Dengan terpaksa aku menyunggingkan senyumku pada Fajar, tak ingin membuat pria di depanku itu kesusahan karena tak bisa mendapatkan izin dengan mudah dariku.
Fajar melahap cepat batagor di depannya. Tak sampai satu menit batagor itu sudah habis ditelannya. Namun tidak denganku. Untuk melahap sepotong batagor pun mulutku masih enggan menerimanya.
"Fajar," panggilku pelan menghentikan tegukan air di tenggorokan Fajar. "Senja bawa payung. Fajar pakai, ya," tawarku menatap sendu pada pria bermata empat itu.
Lagi-lagi Fajar tersenyum, "Senja, gue nggak perlu itu. Gimana gue mau pakai payungnya kalo gue bawa motor, Ja?"
Ya, aku memang bodoh. Tidak mungkin juga dia bisa memakai payung itu.
"But, gue bakal bawa payung itu. Ya, anggaplah jimat dari lo, ya, kan?" kekeh Fajar pelan.
Begitu lebih baik dari pada mendengarnya menolak tawaranku. Tanpa mempedulikan batagorku yang masih tak tersentuh sedikitpun, aku berlari secepat kilat menuju kelas. Beruntungnya Ibu Dewi sudah keluar dari kelasku.
Untung saja payung itu kutinggalkan kemarin. Jika tidak, aku pasti tak akan bisa meminjamkannya pada Fajar.
"Ini Senja yang pinjamin ke Fajar. Jadi, Fajar harus balikin sendiri ke Senja, ya. Nggak boleh Deno atau yang lainnya. Cuma Fajar yang boleh balikin ke Senja." Jelasku ketika memberikan payung itu pada Fajar.
Meskipun berat, aku percaya Fajar akan menepati janjinya dan mengembalikan payung itu padaku.
☔☔☔
Rasanya cuaca tak sepanas dua hari yang lalu. Hari dimana para siswi sekolahku berlarian mencari udara segar di sekitar sekolah pada sore hari. Bahkan hujan pun masih menyerang sekolahku. Tapi, kenapa para siswi ini tetap saja membuat kerusuhan? Terutama ketika mereka memanggil-manggil namaku tak karuan kesana-kemari. Jujur, itu sangat mengangguku.
"Senja! Senja! Senja!" teriak mereka menggebu hampir memecahkan gendang telingaku.
Kepalaku berbalik, tapi tak melotot pada mereka, tak ingin membuat masalah pada segerombolan gadis itu.
"Mana Fajar?"
Heran. Jika mereka mencari Fajar, kenapa memanggil namaku?
"Fajar pulang," jawabku datar.
"Beneran pulang, ya?" kata mereka memberikan nada bicara yang aneh di telingaku. Seakan mengatakan bahwa Fajar tidak benar-benar pulang.
"Gue denger, dia pergi sama Deno," sambung yang lainnya.
"Nggak tau," balasku tak ingin memperpanjang obrolan.
Ya, mereka benar. Fajar tidak pulang. Dia pergi bersama Deno. Pergi membantu Deno yang selalu kesusahan kapanpun itu.
Hening di sana, mereka terdiam sejenak mendengar balasanku tak tahu tentang Fajar yang pergi bersama Deno.
"Gue denger, kali ini lawannya susah, Ja. Nggak apa-apa nih kalo nanti Fajar lebam-lebam, Ja?"
"Gue percaya kok Fajar bakal balik. Mending sekarang kalian semua pergi. Gue mohon. Pergi tinggalin gue sendiri." Tegasku berusaha mengusir mereka.
"Senja!" teriak seseorang mendorong pintu kelas begitu keras.
Deno rupanya.
"Fajar mana, No?" tanyaku menghampiri Deno di pintu.
Aneh, Deno bahkan tak berani mengangkat kepalanya dan menatapku. Ada apa sebenarnya? Apa ini ada hubungannya dengan Fajar? Atau....Firasat burukku benar-benar terjadi?
"Deno, Fajar mana?" tanyaku, jauh lebih tenang dari sebelumnya.
Masih sama, Deno tak berani menatapku.
Tubuhku membara, terbakar api yang entah dari mana datangnya. Kutarik pergelangan tangan Deno meninggalkan kelas. Menyusuri koridor sekolah. Menuju parkiran motor di luar sana. Rintik hujan membasahi seragam sekolahku, tak kupedulikan. Kuperintahkan Deno untuk membawaku pada Fajar, namun tak diindahkan oleh pria gondrong itu.
"Anter gue ke Fajar sekarang, No!" bentakku pada pria di depanku itu.
Masih sama, Deno tak berkutik sedikitpun. Aku menyerah. Butiran air kecil jatuh menyusuri pipiku. Tidak, kuyakin itu bukan air hujan yang tengah turun membasahiku. Aku menangis di bawah hujan. Pasrah di bawahnya. Kutarik paksa kunci roda dua di tangan Deno, perlahan aku berjalan bersama motornya.
"Dari Senja untuk Fajar. Senja bakal tolongin Fajar. Fajar tungguin Senja, ya!" tekadku berjalan tanpa arah.
Lama aku berjalan mencari keberadaan Fajar. Lelah kurasakan ketika mengendarai roda dua itu. Hujan pun bertambah deras. Namun, semua itu tak membuatku menyerah untuk terus mencari Fajar, dimanapun itu.
"Fajar, Fajar dimana?" tatihku melihat sekeliling ketika aku berhenti sejenak di pinggir jalan.
Tanpa kusadari, air mataku masih terus mengalir di pipiku. Aku menyerah. Kuteriakkan nama Fajar berulangkali. Tak putus hingga tenggorokanku sakit. Tak ada jawaban, tentu saja. Otak dangkalku sungguh tak bisa diandalkan. Entah sejauh apa diriku dengan Fajar? Hubungan kami dekat, tapi hanya sekadar menemukannya saja aku tidak bisa.
Inilah yang kubenci dari diriku. Tak mampu untuk meyakinkan orang lain bahwa firasat burukku memang harus dipercayai.
☔☔☔
Dari Fajar untuk Senja,
Senja....
Jika waktu kembali akankah kenangan terhapus?
Kata-kata yang nggak bisa gue ucapkan, apa elo tahu itu?
Senja....
Lama kita bersama, tanpa status apapun
Bahkan, gue rasa, elo nggak pernah mau ngakuin gue walaupun hanya sekadar seorang teman
Senja....
Meskipun tak pernah terucapkan,
Elo sahabat terbaik gue
Elo sahabat terbodoh gue
Elo sahabat tercantik gue
Elo sahabat sejati gue
Semua waktu gue nggak pernah terasa kalo gue sama elo
Senja....
Percayalah, Fajar tak pernah meninggalkan kesedihan pada siapapun
Percayalah, Fajar tak sedingin puisi yang bakal elo baca di kelas Ibu Dewi suatu saat nanti
Percayalah, Fajar selalu menyejukkan siapapun dan kapanpun itu
Senja....
Percayalah, Fajar akan selalu menerangi kegelapan dunia tanpa menuntut kembali cahaya yang diberikannya
Bahkan ketika Fajar pergi, cahaya itu masih tetap ada, bukan?
Senja....
Di sana, Fajar masih hidup, kan?
--- TAMAT ---
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top