UMBRA
Asing.
Aku terbangun, mendapati dunia asing yang terasa akrab namun tak pernah benar-benar kujalani. Kamar ini—bukan milikku. Lebih luas, lebih teratur, dan lebih...berwarna. Namun entah bagaimana, suasana itu justru menekan dadaku. Sepi yang tak kutemukan di rumahku yang biasa tampaknya bersarang di sini.
Di sudut kamar, sebuah meja kerja tersusun rapi. Ada sketsa-sketsa yang kuingat pernah kubuat di masa remaja. Tokoh-tokoh yang pernah hanya hidup di kepalaku kini tersusun dengan tinta tegas di atas kertas. Ada komputer canggih, layar terangnya menampilkan sederet proyek yang kuimpikan dulu: sampul komik, draf cerita pendek, bahkan kontrak dengan penerbit asing. Aku terpaku. Dunia ini... adalah dunia di mana aku tak menyerah.
Aku berdiri, menatap diriku di cermin besar yang tergantung di dinding. Sosokku di sana, masih aku—tapi bukan aku yang sekarang. Kulit lebih cerah, tubuh lebih tegap. Di balik mata itu, ada sinar yang tak pernah kulihat saat menatap diriku di kehidupan yang lain. Aku tersenyum kecil, hampir lupa bagaimana rasanya puas pada diri sendiri.
Apa ini nyata? Sela suara kecil dalam benak.
Aku keluar dari kamar, dan dunia ini menampakkan dirinya. Dinding rumah modern dihiasi foto-foto diriku—berdiri di panggung konferensi, memegang trofi, bahkan berjabat tangan dengan sosok-sosok yang wajahnya familiar dari layar TV. Aku melihat meja makan. Ada catatan di sana, bertuliskan: "Jangan lupa rapat pukul 10 pagi. Dunia menunggu ceritamu."
Ada sesuatu yang janggal.
Aku berjalan keluar, menemukan jalanan yang berbeda dari kota tempatku tinggal. Tidak ada kebisingan, hanya langit biru tanpa cela dan pohon-pohon yang melambai seolah memberi selamat. Orang-orang tersenyum padaku, seperti mereka mengenalku. Tapi siapa mereka?
Aku? Aku tak mengenali siapa pun.
Ketika aku kembali ke kamar, ada rasa hampa yang mengganjal. Ini... terlalu sempurna. Aku duduk di kursi kerja, menatap kertas kosong. Tanganku mengambil pena, dan aku mulai menggambar. Goresan yang kukenal dengan baik, kembali mengalir. Aku menggambar diriku—bukan diriku yang di sini, tapi diriku yang di sana. Diriku yang dulu.
Diriku yang kelelahan setelah mengajar. Aku yang termenung di sudut ruangan sambil mendengar kritik orang tua. Aku yang kelelahan menghadapi dunia. Aku yang pernah menyerah. Aku yang ingin berhenti untuk ada.
Mengapa aku menggambar itu? Aku tak tahu.
Jam berdentang, pukul 10 pagi. Aku bergegas ke ruang rapat virtual di komputer. Orang-orang menyapaku, membicarakan proyek baru, kesuksesan yang akan datang. Namun, di tengah suara mereka, aku merasa seperti terasing. Hidup ini, yang semula tampak seperti impian, terasa seperti sandiwara. Aku tak mengenal siapa pun di sini. Bahkan aku tak mengenal diriku sendiri.
Siapa aku?
Apa benar hidup ini adalah hidupku?
Bukankah barusan adalah kehidupan yang selama ini kudambakan?
Ketika malam datang, aku berbaring di tempat tidur. Kehidupan ini tampak lebih baik, lebih indah, lebih ideal. Namun, aku merasa kosong. Aku menatap langit-langit, bertanya pada diri sendiri: Mengapa aku tetap tak bahagia?
Perlahan, lelah mengatupkan mata ini.
Aku kembali tertidur.
***
Asing.
Aku terbangun, kini dengan dada terasa berat, seperti sesuatu telah menindihku sepanjang malam. Kamar di sekitarku sunyi, tetapi berbeda dari yang kuingat. Dindingnya putih seperti tak bernyawa, jendela tanpa cahaya, dan ada cermin besar yang berdiri sendirian di sudut ruangan.
Di dalam cermin, aku melihat diriku sendiri. Tidak, kini lebih buruk dari kemarin. kini 'sesuatu' ini berusaha nampak yang mirip denganku. Wajahku tampak lebih tirus, tubuhku lebih tegak, seolah-olah diriku ini telah melalui sesuatu yang membuatnya lebih tajam, tetapi juga lebih kaku. Aku menyentuh wajahku sendiri, kulitku terasa dingin.
Aku melangkah keluar dari kamar. Sebuah lorong panjang menyambutku, dinding-dindingnya menyempit setiap kali aku berjalan. Rasanya seperti terjebak di dalam kotak yang tak pernah selesai dibangun. Langkahku berhenti ketika mendapati sebuah pintu di ujung lorong.
Ketika kubuka, aku bertemu dengan ruangan besar penuh bingkai foto. Foto-foto itu menggantung di dinding, memamerkan wajahku dalam berbagai skenario hidup. Aku melihat diriku berdiri di panggung besar dengan trofi emas, lalu foto lain menunjukkan aku bercengkerama hangat dengan sekelompok teman yang terlihat akrab. Semua itu tampak seperti hidup yang sempurna, tetapi ada sesuatu yang salah.
"Foto-foto itu terlalu berlebihan, bukan?"
Sebuah suara perempuan membuatku tersentak. Aku berbalik dan mendapati seorang gadis berdiri di tengah ruangan. Ia berpakaian formal dengan blazer hitam, kemeja putih yang rapi, dan rok panjang yang nyaris menyapu lantai. Rambutnya diikat ketat ke belakang, menyisakan ekspresi wajah yang dingin dan tak terganggu. Ia menatapku dengan mata tajam yang membuat dadaku semakin sesak.
"Dan kau?" tanyaku.
"Umbra," jawabnya, senyumnya tipis tetapi menusuk. "Aku ada di mana saja cahayamu pernah padam."
Aku menelengkan kepala, tidak mengerti.
Ia berjalan mendekat, langkahnya nyaris tanpa suara. "Kau mengira ini dunia lain? Bukan. Ini cerminan, versi-versi dirimu yang kau impikan tetapi tidak pernah kau jalani. Pilihan-pilihan yang tak pernah kamu ambil dalam 24 tahun hidupmu."
Aku memandang lagi foto-foto di dinding. Sosok-sosokku di dalamnya, dengan senyuman yang terlihat aneh, seperti topeng. "Jadi... semua ini adalah kebohongan?"
"Tidak sepenuhnya," jawabnya, melangkah mendekat hingga kami hampir berhadapan. "Ini adalah kenyataan yang kau tinggalkan. Semua yang kau inginkan, tetapi tak pernah kau kejar. Dan, kini berakhir sebagai kepingan-kepingan memori alternatif di semesta."
"Aku tidak punya pilihan," kataku pelan, getir. "Aku harus hidup seperti ini. Aku hanya harus bertahan."
"Tentu, bertahan," ulangnya dengan nada mengejek. "Tapi kau lupa bagaimana rasanya hidup. Kau telah melarikan diri dari cahayamu sendiri, dan sekarang hanya bayangan yang tersisa."
Aku ingin membalas, tetapi kata-kata itu menghantam terlalu dalam. Gadis itu mengangkat satu tangan, menunjuk foto yang menampilkan diriku menulis di sebuah meja besar.
"Kau mengenal ini, bukan? Saat kau masih menulis dan menggambar, saat kau punya mimpi. Apa yang terjadi pada anak itu?" tanyanya.
"Tumbuh dewasa," jawabku.
"Tumbuh dewasa? Atau menyerah?" Ia memiringkan kepala, matanya tetap menusuk. "Dewasa tidak berarti harus menjadi abu-abu. Kau membuatnya berarti begitu. Kau memilih jalan ini."
Kata-katanya menekan dadaku lebih berat daripada sebelumnya. Aku memalingkan wajah dari fotonya, tetapi ke mana pun aku melihat, pantulan kehidupanku yang lain terus mengikutiku.
"Jadi... apa yang kau inginkan dariku?" tanyaku akhirnya.
"Aku tidak ingin apa-apa," katanya, menyentuh daguku dengan lembut tetapi dingin. "Hanya kau yang ingin sesuatu dari dirimu sendiri. Tapi... jawab aku ini: ketika kau akhirnya kembali ke duniamu, apa kau akan terus menyalahkan dunia, atau mulai menyalahkan bayangan yang kau pelihara sendiri?"
Sebelum aku sempat menjawab, gadis itu memutar tubuhnya dan berjalan menjauh. Ruangan mulai berubah, dinding-dindingnya runtuh menjadi gelap total. Aku mencoba mengejarnya, tetapi langkahku menjadi berat, seolah aku berjalan di dalam air.
***
Akrab.
Ketika aku membuka mata lagi, aku terbangun di kamarku sendiri – semuanya terasa akrab di mataku. Langit-langit yang retak, dinding bercat biru yang usang, dan cermin kecil di meja yang kusam. Aku melirik wajahku sendiri di sana, yang tampak begitu... biasa. Namun, di dalam mataku, aku melihat sedikit bayangan, seakan-akan umbra masih mengintai dari baliknya.
Aku menghela napas panjang, mencoba bangkit dari tempat tidur. Akan tetapi kata-katanya kembali terngiang: "Apa kau akan terus menyalahkan dunia, atau mulai menyalahkan bayangan yang kau pelihara sendiri?"
Aku tidak tahu.
Yang kutahu, cahayaku mungkin telah redup.
Namun, bayanganku tetap di sini, bersamaku.
***
TAMAT
Prompt November 2024 :
Kamu terbangun dengan realita berbeda (dirimu yang lain di dunia paralel) min. 500 kata
Didedikasikan kepada @Blackpandora_Club
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top