DÉJÀ VU

Ding! Dong! Pukul 09.30. Beberapa saat sebelum pengulangan terjadi.

Pemuda dengan kacamata yang duduk berbuncahkan cemas di pojokan itu bernama Aru. Usianya kini 21 tahun –bukan sekedar remaja tanggung lagi memang, tetapi lebih dari cukup dewasa untuk menebak muasal gelagat kegelisahan ini.

Sebagian besar dari kita pasti pernah mengalaminya, Aru berani jamin. Tentang sebuah sensasi kuat yang sedang ia hadapi sekarang. Semua seolah terasa sama. Terlalu sama untuk sebuah kebetulan. Bahkan tiap hela nafas hingga detak jarum jam besar yang berdetak di pojok ruangan seirama dengan apa yang telah bercokol di kepalanya.

"Kumohon, jadilah berbeda untuk sekali saja" Aru meringis, melonggarkan kerah kemeja biru yang ia kenakan. Ujung bibirnya tergigit, sementara kedua netranya berkeliaran menghitung situasi yang ada.

Untuk kesekian kalinya, pemuda jangkung itu berharap semuanya akan berbeda. Berulang kali ia berusaha untuk rileks dengan bersiul, menjetikkan jari, mengusap layar smartphone yang tak ada notifikasi apapun, hingga iseng menghentakan sol sepatu ke lantai mengikuti irama musik jazz.

Sayang sekali, apapun yang ia lakukan sekarang, peluh dingin tetap mengucur deras dari balik tengkuk. Membasahi punggung kemeja yang terbungkus jaket hijau tua. Seisi kafe ini terasa menyesakkan walau tiada banyak pengunjung pagi ini. Apalagi ditambah dengan semua bayang-bayang yang telah Aru lihat. Segalanya terlihat sama.

Anak kecil yang menangis dipangkuan ibunya itu contohnya. Dia memiliki rambut pendek tidak rata dengan poni miring ke kanan. Ketika si ibu memberikan sendok yang ia inginkan, anak itu berhenti menangis. Aru menatap pipi yang basah dan ingus yang menggenang di atas bibir mungilnya. Posisinya masih sama persis seperti yang ia ingat.

Lin –terhitung sahabat dekat, mengutarakan asumsinya sebelum mereka memutuskan bertemu, "Fenomena itu sangat natural. Ia hanya berkaitan dengan sesuatu yang familiar dengan kita. Terkadang ia akan memicu ingatan palsu yang membuat diri kita berpikir bahwa pengalaman yang dilakoni pernah dialami sebelumnya, padahal tidak. Ayolah, berhentilah bersikap paranoid."

Paranoid ya? Jemari Aru menyugar rambutnya dengan cemas, tentu saja akan natural ketika hanya terjadi satu hingga dua kali saja dalam hidupnya. Yang membuat ini rumit adalah jika semuanya terjadi berulang kali selama hampir 16 hari semenjak Aru tidak lagi salah dalam menghitungnya. Semua kejadian itu persis selayaknya menonton siaran kejadian di masa depan beberapa jam sebelum benar-benar mengalaminya.

Baiklah, terdengar keren sekali bukan jika bisa melihat sedikit masa depan? Setidaknya Aru juga pernah berpikir demikian saat hari-hari awal, sebelum akhirnya semuanya menjadi semakin tidak terkendali.

Pukul 09.36.

"Nah, sudah menyala." Gadis itu menyeringai sembari mendorong ponselnya ke tengah meja, memecah lamunan lawan bicaranya, "Kita sampai mana tadi?"

Aru tertegun sejenak, "Eh, Lintang? kau sudah disini?"

"Kau bicara apa, Aru?" Lin atau Lintang –gadis berambut panjang itu tertawa canggung, "kita 'kan sudah berbincang selama lima menit yang lalu."

"Ah, maaf. Aku kehilangan fokus" Aru menggeser posisi duduk dan mencoba kembali fokus. Gadis itu kembali mengulang pertanyaan yang sama. Sampai mana tadi?

"Hmm...sampai aku mengatakan bahwa ini semua mirip mimpi yang kulihat tadi pagi dan..." Aru menggantung kalimat itu, bukan karena merasa tak nyaman, melainkan karena orang-orang pasti ingin dirinya terlihat tidak nyaman tentang fenomena aneh itu bukan?

Lin merekahkan senyum, "Tidak apa-apa, kita mulai perlahan saja, Aru."

"Perlahan." Aru mengangguk, menghembuskan napas. Pemuda itu mengangkat cangkir dan menyesap teh hangatnya juga dengan perlahan. Tidak ada lagi langkah mundur, Aru ingat bahwa dirinya sudah memantapkan hati untuk menceritakan segalanya pada gadis ini.

"Jadi, setelah semua itu terjadi, apa hidupmu berubah?"

Mendengar kata berubah membuat Aru kembali teringat kejadian pagi tadi. Tentang omelan panjang kedua orang tuanya tentang masa depannya, juga kegagalan nya dalam ujian. Terdengar berlebihan jika disebut omelan memang, tapi dengan segala tekanan yang terjadi sekarang, otak Aru menafsirkannya dengan berbeda. Pagi itu juga Aru memutuskan untuk menangis dikamarnya, sendirian.

"Ya, sedikit berubah."

"Perubahan seperti apa?"

Tanpa sengaja, Aru kembali menatap anak kecil yang duduk di pangkuan ibunya tadi. Sekarang ia benar-benar tertawa dengan gigi ompong pada detik yang diingat Aru. Pukul 09.38.

"Kehidupanku hanya semakin berantakan."

Lin terdiam sejenak, menatap pemuda itu lekat-lekat, "Sejauh mana maksud kata berantakan itu?"

Aru mengangkat bahu, "Tidak banyak, seperti gagal dalam sidang ujian magang, kemudian harus mengulang lagi tahun depan, bimbingan skripsi tertunda, gadis yang kusukai menamparku, menghabiskan waktu dengan mendengar keluh kecewa banyak orang, kemudian merasa semua orang menjadi musuhku, termasuk kedua orang tuaku."

Suasana lengang untuk sejenak. Itu lebih terdengar banyak ketimbang sedikit.

"Kau sering bertengkar dengan orang tuamu?" Jemari Lin mengisi catatannya dengan berbagai gurat tulisan meskipun sudah merekam.

"Tak terlalu sering, kecuali ketika mereka mulai terlalu menekanku dan tak pernah merasa bersalah soal itu. Berbual seolah mereka paling benar. Tak pernah berusaha memahami apa yang kurasakan. Mereka hanya menceramahi yang lebih muda dengan pemikiran yang selalu dianggap benar hanya karena sudah hidup sedikit lebih lama. Kemudian aku kadang berusaha mendebat mereka, tapi selalu berujung pada kesia-siaan. frustasi. "Aru mangalihkan pandangan ke arah jendela, menatap sejenak keramaian di luar sana.

"Mengapa?"

"Karena aku tak bisa membuktikan bahwa pendapatku benar." Aru mengigit bibir, "Terkadang aku mungkin terlalu keras pada diri sendiri, membenci betapa tak berdayanya aku –yang selalu terkekang namun takut untuk memulai langkah sendiri. Aku memang seorang pecundang yang payah dan naif."

"Maaf harus mengatakan ini, tapi kau terkesan memiliki obsesi berlebihan untuk membuat mereka merasa bersalah, Aru" Lin menyesap jus jeruk yang dipesannya, "Itu bukanlah hal yang baik."

Pemuda itu hanya mengangkat bahu, malas membalas kecuali hanya dengusan pelan. Dirinya enggan bercerita lebih jauh.

"Baiklah, mari lupakan perkara tadi" Lin menghela napas, paham akan situasinya, "Jadi kau merasa semua fenomena itu memperburuk situasinya?"

"Seburuk yang kau lihat saat ini."

Lin tidak membantahnya. Fakta bahwa penampilan Aru kini sangat berbanding terbalik dengan saat mereka pertama kali bertemu. Tidak ada lagi gurat ramah yang selalu terhias dengan bingkai kacamata hitam yang nampak elegan. Rambut pendek rapinya kini berganti panjang acak-acakan. Juga jangan lupakan kemeja kusut yang sengaja ia tutupi dengan jaket hijau tua. Mata beriris cokelatnya nampak lelah dengan hiasan kantung mata.

Dia bukan lagi Aru yang Lin kenal.

"Lantas darimana kau mulai menyadari jika apa yang terlihat adalah sama seperti yang sudah terjadi?"

"Entahlah, semua terjadi begitu cepat..."

Kalimat pemuda itu kembali menggantung demi pemandangan yang menyita perhatiannya. Anak kecil perempuan disudut kafe kini turun dari pangkuan ibunya dan berlari mengelilingi meja, rahang Aru mengeras demi melihatnya –mengabaikan kalimatnya tadi. Lin sepertinya menyadari ekspresi itu karena ia juga ikut menoleh ke belakang.

Saat mata keduanya kembali bertemu, Lin menyadari suatu getaran aneh di mata Aru yang membuatnya cemas.

"Kau tidak suka anak kecil?"

Aru terdiam, salah tingkah.

"Kenapa kau melihatnya seperti itu sedari tadi?"

"Memastikan saja." Aru menyeringai gentar, menata napasnya yang tak beraturan, "Memastikan kalau gelayar aneh di kepalaku tidaklah salah."

Lin menelan ludah, menyesal sudah bertanya.

"Jangan bilang, sekarang kau..."

Ding! Dong! Suara detak jam besar dipojok Kafe kembali berdentang nyaring.

Pukul 09.45.

***

"Kita sampai mana tadi?"

Aru tertegun sejenak, "Eh, Lintang? kau sudah disini?"

"Kau bicara apa, Aru?" Lin atau Lintang –gadis berambut panjang itu tertawa canggung, "kita kan sudah berbincang selama lima menit yang lalu. Cobalah untuk fokus dan minum sejenak."

"Ah...ma-af?" Aru buru-buru menoleh ke arah jam besar dipojok ruangan. Pukul 09.36. Pemuda itu menelan ludah, sebuah kesadaran menyergap isi kepalanya dengan cepat. Bukankah dua kali dia sudah melewati dialog ini sebelumnya?

Gadis itu lagi-lagi mengulang pertanyaan yang sama.

"Hmm...sampai aku mengatakan bahwa ini semua mirip mimpi yang kulihat tadi pagi dan..." Aru menggantung kalimat itu, melirik reaksi lawan bicaranya. kali ini sungguh mengulang kalimat itu benar-benar membuatnya tidak nyaman.

Lin masih tetap merekahkan senyum, "Tidak apa-apa, kita mulai perlahan saja, Aru."

"Perlahan." Aru mengangguk, menghembuskan napas. Pemuda itu mengangkat cangkir dan menyesap cangkir tehnya juga dengan perlahan.

"Baiklah, sekarang coba ceritakan semirip apa yang kau maksudkan."

Mendengar kalimat barusan, gerakan Aru menyesap cangkir teh seketika terhenti. Wajahnya sontak pias. Tunggu sebentar, kenapa kini pertanyaan Lin menjadi berbeda? bukankah dia seharusnya melemparkan pertanyaan apa hidupmu berubah seperti dalam ingatan yang bercokol dalam kepalanya?

Apakah hukum pengulangan telah berganti?

Aru ingat bahwa setiap kali pengulangan terjadi dan sejauh apapun masa depan yang ia lihat, seluruh penglihatan itu adalah mutlak. Semua yang ia lihat tak bisa diubah sedikitpun, baik nasib buruk ataupun baik. Terakhir kali ia mencoba mengubah pengulangan ialah saat ujian magang minggu lalu –dengan nekat tiba-tiba harus ke toilet karena mulas. Walau demikian pun berujung percuma, dia tetap gagal dalam ujian magangnya. Pupus sudah semua lelahnya untuk magang di kantor ibukota, menjadi sukarelawan program terbaru yang dikeluarkan gubernur.

"Aru? Kau baik-baik saja?" Suara Lin kembali memecah lamunan.

"Ah, maaf. Aku kehilangan fokus" Aru menggeser posisi duduk dan mencoba kembali fokus pada pertanyaan milik Lin. Gadis di hadapannya kembali mengeluarkan buku catatan, bersiap dengan penanya.

Tanpa sengaja, Aru kembali menatap anak kecil yang duduk di pangkuan ibunya tadi. Sekarang ia masih tertawa dengan gigi ompong pada detik yang diingat Aru.

Pukul 09.38.

"Tadi pagi aku seperti bermimpi, sedikit panjang sepertinya." Netra milik pemuda itu menatap jauh melewati Lin, menerawang, "Aku berangkat menuju kafe berlantai dua di perempatan tengah kota –seusai perjanjian kita semalam dengan menumpang bus transkota. Waktu menunjukkan Pukul 09.30 pada jam besar. Kemudian aku duduk di salah satu sudut, menanti kau datang dengan memesan secangkir teh matcha hangat sembari bersiul santai. Asyik menatap anak kecil yang menagis di pojokan. Kemudian sejenak melamunkan beberapa lintas imajinasi kosong, dan tiba-tiba kau muncul sambil menyorongkan alat perekam dan berkata, 'Kita sampai mana tadi?', Sebagai balasan aku bertanya bodoh, 'Eh, Lintang? kau sudah disini?'. kemudian kau tertawa canggung dan balas berkata..."

"Kau bicara apa, Aru? kita kan sudah berbincang selama lima menit yang lalu." Lin menjawab dengan polos.

Aru menjentikkan jari, "Persis sekali, lantas setelah ini kau pasti akan bertanya..."

"...Ini berarti mimpimu kebetulan jadi kenyataan?" Aru dan Lin menjawab berbarengan. Aru menyeringai, tahu betul apa yang akan dikatakan Lin selanjutnya. sebagai balasan gadis itu menatap tidak mengerti.

"Lihat, benar bukan?" Keduanya kembali menjawab bersamaan. Canggung seketika.

"Kau diam dulu!" dan terjadi lagi. Mereka kini saling tunjuk. Wajah Lin memerah.

"Tidak, kau yang duluan!" Mereka melakukannya untuk yang keempat kalinya, membuat pengunjung kafe lain melirik mereka. Batuk satu dua, meminta untuk tidak berisik.

Aru menunduk, merasa bersalah, "Maaf, kau lanjutkan saja."

Suasana kembali lengang. Tingkah anak kecil di pojok itu juga terkendali, hanya duduk di pangkuan ibunya.

"Baik, anggap saja mimpimu benar menjadi kenyataan, berarti kau tahu bahwa setelah ini aku akan..."

"Ponselmu akan berdering. Sebuah telepon masuk" Aru menunjuk peranti model terbaru yang tergeletak di atas meja kayu.

Benar saja, benda berlayar tipis itu berdering nyaring.

Lin menelan ludah, menatap penasaran, "Apakah aku akan mengangkatnya?"

"Kau tidak akan mengangkatnya." balas Aru.

"Kenapa?" Jemari Lin sudah menggengam Smartphonenya, siap menjawab panggilan.

"Entahlah, aku hanya pernah melihat bahwa kau takkan menjawab panggilan itu."

Gadis itu terdiam sejenak, urung melakukan hal yang sebaliknya. Aru mengigit bibir, cemas. Tanpa sadar, ia telah menciptakan paradoks.

Lin menghela napas panjang, memijit keningnya, "Sulit dipercaya urusan ini benar-benar rumit, Aru. Maksudku, jika benar ini hanya deja vu, akan lebih mudah menjelaskan bahwa kau mengidap gangguan lobus temporal, gejala epilepsi, atau ternyata kau pengguna obat terlarang dan sebagainya. ini seperti prekognisi dalam level yang sedikit esktrem."

"Aku lebih suka menyebutnya pengulangan," Aru menelan ludah, gugup menatap jam. Pukul 09.41. "Semua terlihat terlalu nyata dan jelas untuk diingat. Aku sudah mengatakannya padamu beberapa hari yang lalu, tapi kau selalu menganggapnya enteng."

Dia menaikkan alis, "Mungkin lebih terdengar seperti time loop?"

Aru mengangkat bahu, "Bayangkan saja begini, alur waktu kehidupanku terbagi menjadi 2 anomali, garis lingkaran dan garis lurus. Terkadang, aku terjebak dalam garis lingkaran dengan sendirinya untuk beberapa waktu. Namun dalam satu waktu yang lain, lingkaran itu berhenti dengan sendirinya. Kemudian garis waktuku kembali lurus untuk kemudian balik mengulang lagi. Aku bahkan tidak tahu sekarang ini adalah bagian dari garis melingkar atau garis lurus."

"Penjelasan yang bagus, lantas darimana kau mulai menyadari jika apa yang terlihat adalah sama seperti yang sudah terjadi?"

"Entahlah, semua terjadi begitu cepat..."

Kalimat pemuda itu kembali menggantung demi pemandangan yang menyita perhatiannya. Anak kecil perempuan disudut restoran kini turun dari pangkuan ibunya dan berlari mengelilingi meja, rahang Aru mengeras demi melihatnya –lagi. Lin sepertinya menyadari ekspresi itu karena ia juga ikut menoleh ke belakang.

Saat mata keduanya kembali bertemu, Lin menyadari suatu getaran aneh di mata Aru yang membuatnya cemas.

"Kau tidak suka anak kecil?"

"Tidak, maksudku..."

Ding! Dong! Suara detak jam besar dipojok Kafe kembali berdentang nyaring.

Pukul 09.45.

***

"Kita sampai mana tadi?"

Aru tertegun sejenak, "Eh, Lintang? kau sudah disini?"

"Kau bicara apa, Aru?" Lin atau Lintang –gadis berambut panjang itu tertawa canggung, "kita kan sudah berbincang selama lima menit yang lalu. Cobalah untuk fokus dan minum sejenak."

"Ah, maaf. Aku kehilangan fokus" Aru menggeser posisi duduk dan mencoba kembali fokus pada pertanyaan milik Lin. Gadis itu kembali mengulang pertanyaan yang sama. Sampai mana tadi?

"Hmm...sampai aku mengatakan bahwa ini semua mirip mimpi..." Aru menggantung kalimat itu, menyadari sebuah keganjilan.

"Mimpi?" gumamnya, "Tunggu apa yang...?"

Suasana menjadi lengang sekali sekali. Kesunyian tiba-tiba menyergap Aru. Lebih menyeramkan dari biasanya. Keramaian seolah lenyap. Kafe itu mendadak terasa lebih sepi. Mata pemuda itu segera berkejaran menatap jam besar yang berada pojok kafe.

Pukul 09.24.

Seorang ibu dan anak kecil yang asyik berceloteh baru saja melangkah masuk dari arah pintu, menuju meja yang berada di pojok lain dekat kaca. Segalanya terlihat berbeda.

"Silahkan," Seorang pelayan kafe datang menyuguhkan secangkir minuman berwarna cokelat pekat dengan santai tanpa peduli wajah bingung si pemesan.

"Apa yang telah terjadi?" Aru meringis, melonggarkan kerah kemeja biru yang ia kenakan. Bingung dengan situasi. Wajahnya pias dengan keringat dingin. Apakah sekarang ia dalam pengulangan lagi? tidak, kali ini suasananya berbeda.

"Aruna, maaf terlambat." suara itu lembut menyapa dari arah balik punggungnya, "Aku tadi harus mampir sebentar ke fakultas mengambil hasil laporan penelitian psikologiku kemarin."

Aru sontak berdiri sembari menoleh ke arah sumber suara.

Lihatlah, Lintang –si gadis berambut panjang telah berdiri anggun di belakangnya dengan setelan sweater kuning berlengan hitam, memakai celana panjang berwarna biru gelap. Di lehernya tergantung syal berwarna hijau tua. Gadis itu merekahkan senyum tipis, tergurat lesung pada pipi, menyapa Aru hangat. Sehagat sinar matahari pagi.

"Lin!?" Aru menatap tidak mengerti, separuh terkejut, "Bukankah kau barusan duduk di sini?"

Astaga, jemari pemuda itu gemetaran menunjuk bangku yang kini kosong pada detik berikutnya. Sosok Lin yang seharusnya sudah duduk di sana tadi telah lenyap. Berganti tempat di belakang dirinya. Aru bolak-balik mengusap matanya tidak percaya.

"Kau bicara apa?" Lin tertawa canggung, "Aku baru saja turun dari bus transkota beberapa menit yang lalu, kemudian berlarian kemari karena khawatir kau terlalu lama menunggu. Cobalah untuk fokus dan minum sejenak."

Tidak, tidak. Ini semua pasti salah. Tubuh Aru limbung hingga terduduk. Ujung-ujung jarinya gemetaran. Napasnya terdengar menderu. Sebutir keringat sebesar jagung merekah di dahi, menetes jatuh. Kepala miliknya serasa berputar. Berdentum seolah ingin meledak. Jemarinya perlahan menggurat meja dengan lemah. Menekur. Berusaha menghubungkan semua penjelasan yang ada.

"Kau baik-baik saja, Aru?" Lin berseru cemas.

Pemuda itu menggeleng lemah. Ini benar-benar realita atau masih dalam pengulangan berikutnya?

"Semuanya akan baik-baik saja, Aru."

Pada detik berikutnya, Aru merasakan sentuhan lembut jemari lentik yang menyusuri pelipis kanan kepalanya. Kepala Aru mendongak, menatap Lin yang tengah berbisik padanya. Dari dekat, mata beriris biru milik gadis itu menatapnya dengan ganjil.

"Aku akan memperbaiki segalanya. Sekarang tidurlah!"

Ding! Dong! Suara detak jam besar dipojok Kafe kembali berdentang nyaring, bersamaan dengan gelayar aneh yang menyengat isi kepala Aru. Pandangan pemuda itu mendadak semakin menggelap, sebelum akhirnya terseret dalam mimpi yang panjang.

Saat ini, jam menunjuk pukul 09.30.

***

"Saya telah melakukan perbaikan operasional pada subyek FS-014. Sesuai dengan spekulasi, Elektroda yang harusnya bertugas untuk menulis sinyal kembali ke otak untuk memberi umpan balik dalam bentuk sentuhan atau visual retina mengalami kesalahan teknis. Hal tersebut kemudian menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah otaknya saat bergerak. Terutama dekat dengan lobus temporal. Dari sanalah memicu kesalahan pada jalur saraf sehingga dapat memunculkan glitch dalam penciptaan persepsi pada otak subyek. Untunglah bahwa subyek hanya sebatas mengalami semacam delusi jangka pendek berupa kejadian deja vu dalam pikirannya."

Lintang terdiam, membiarkan sambungan aman telepon lengang untuk sejenak. Pikirannya menggelana jauh, memikirkan banyak kemungkinan berikutnya.

"Kalau boleh menyarankan, sebaiknya anda dan Profesor Esau harus mulai mempertimbangkan pengembangan bahan polimer fleksibel untuk elektroda, juga peningkatan miniaturasi elektronik dengan teknologi sirkuit terpadu dan interkasi nirkabel sepenuhnya dalam waktu dekat. Penanaman perangkat chip di otak manusia memang masih dalam tahap percobaan kluster ketiga, tapi kita tak bisa menunggu waktu lebih lama lagi atau para subyek kali ini akan menanggung dampak permanen! Anda seharusnya tahu betapa mengerikannya dampak lonjakan neuron pada teknologi yang belum tersinkronasi sepenuhnya pada otak mereka!?"

Linang air mata membasahi pipi gadis itu, membuat parit anak sungai kecil, mengalir menuju ujung dagunya. Suara dari ujung telepon kembali terdengar, membuat emosi Lin terpicu kesekian kali.

"Nona Rahara, berhentilah berceramah kosong tentang profesionalitas hanya karena anda satu tingkat jabatannya di atas saya. Aru...maksudnya subyek FS-014 sudah cukup menderita lebih karena chip itu. Hanya karena kesalahan jalur saraf itu, dia harus kehilangan sebagian dirinya. Dia mengalami ketakutan paling mendasar yang ada pada manusia. Takut akan ketidaktahuan terhadap realitas. Terus menjadi obyek pengulangan pikirannya sendiri. Sekarang kita harus mulai mengembalikan lagi kondisi mentalnya itu."

"Terserah anda mengatakan bahwa saya menaruh hati pada subyek sepertinya atau apapun itu. Tapi ingatlah ini, Jika anda ingin program bifucrating ini berhasil, lakukan saja apa yang saya minta atau anda akan kehilangan salah satu donatur utama dalam proyek konsorsium!"

Lintang menutup paksa sambungan panggilan. Lantas melangkah dengan hati buncah tak karuan menyusuri trotoar, menuju kafe yang sama seperti beberapa hari sebelumnya. Ada janji yang harus ia tepati.

Kondisi Aru sudah membaik beberapa hari yang lalu. Lin berhasil membuat sang pemuda pingsan di kafe pagi itu. Lantas membawanya menuju laboraturium penelitian untuk memperbaiki chip di otaknya.

Pemuda itu kini tidak mengingat banyak apa yang telah terjadi –tentu saja berkat pemberian benzodiazepine atau jenis obat untuk perawatan stres pascatrauma oleh tim medis. Ketika seseorang mengalami kejadian mengerikan, seperti kecelakaan yang berujung trauma maka memori jangka panjang mereka bisa melemah secara permanen. Para ahli saraf bisa merawat stres pascatrauma, mengatur ulang memori jangka pendek, seolah-olah trauma itu tak pernah menjadi bagian psikisnya alias amnesia secara teknis.

Lintang sudah meminta ayahnya –yang juga seorang gubernur untuk lebih menjaga jarak pada para ilmuwan transhumanis pemegang proyek gila itu, tentang membentuk komunitas manusia melalui proses sinkretisasi manusia dengan teknologi. Pemerintah ibukota memang sebagian besar mendanai proyek kerjasama dengan konsorsium regional itu, menjaring ratusan sukarelawan untuk uji coba, sekaligus menyiapkan 'panggung' bagi para manusia yang tengah berevolusi itu dalam lingkup area tertentu. Namun jika korban atas kerusakan teknis terus meningkat seiring waktu, maka tak ada jalan lain selain menghentikan proyek tersebut.

Apalagi jika harus menyakiti orang yang Lintang cintai. Ia akan melakukan segalanya.

Pukul 09.24 pagi ini.

Sang gadis sudah memasuki kafe itu. Pandangannya menyapu sekitar, mendapati pemuda yang dicarinya tengah duduk takzim di salah satu sudut ruangan dekat jendela. Ialah Aru tengah asyik membuka lembar halaman buku novel yang tengah ditamatkan, lengkap dengan secangkir teh mengepul hangat pada meja.

Sebuah senyum lebar terkembang dari wajah Lintang.

***

TAMAT


Catatan :

Secara teknis, cerita pendek ini merupakan spin-off tidak langsung dari karya saya yang lain dengan judul Gehenna. Dimana terdapat kesamaan konsep, latar dunia dan hadirnya sekilas beberapa karakter kunci sebagai antagonis. Kedepannya, mungkin ada lebih banyak lagi cerita sampingan dari universe tersebut yang akan saya tulis. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top