|| Tiga Puluh Satu
|| Tumbukan
Dulu saat SMA, Ano belum tahu hukum pacaran dalam Islam. Ya, Ano akui dia pernah punya pacar. Walaupun pacarannya nggak gimana-gimana, cuma antar jemput ke sekolah, tapi sumpah Ano nyesel. Saat kuliah dan mulai ikut kajian-kajian Islam akhirnya Ano paham. Jadi laki-laki gentle itu mendatangi wali untuk meminang bukan dengan memacari.
Maka selama kuliah, Ano tak pernah terpikirkan untuk berpacaran atau PDKT dengan lawan jenis. Lebih karena Ano belum berniat untuk menikah. Setiap ada perempuan yang memberi sinyal ingin dekat pun selalu dia abaikan.
Jadi terbayang, kan, ini pertama kalinya Ano ditolak. Jangan tanya bagaimana rasanya. Hatinya kini seperti kristal terlindas tronton. Baru kali ini Ano menyadari untuk jangan terlampau percaya diri. Karena ketika rasa percaya diri terlalu melambung, jatuhnya sakit ternyata. Ano kini bahkan mengurangi intensitas mengunjungi Oceanost. Hanya demi menjaga kelurusan hatinya. Semoga dengan begitu dia bisa melupakan gadis yang sempat membuatnya kesal di awal perjumpaan itu.
Ano yang sering berada di rumah orang tuanya tentunya membahagiakan bagi Ratu. Setelah Angkasa menikah dan tinggal terpisah darinya, rumah jadi lebih sepi. Tapi kini pagi dan malam, Ano selalu berada dalam radar jangkauan ibunya.
Dan Ano, di rumah masa kecilnya ini biasanya hanya akan mampir untuk makan malam. Tapi setelah penolakan itu, Ano punya beribu alasan untuk pulang dan menginap. Seperti sore ini, dia sudah bersantai di ruang keluarga. Suara gemericik air dari taman samping rumah menemani obrolannya bersama sang bunda.
"Bu, aku cakep nggak, sih?" Ano duduk di atas karpet, bersandar di dudukan sofa.
Ratu menoleh seketika, seperti memandang aneh pada Ano yang sedang menunduk.
"Alhamdulillah, kamu mewarisi hal baik dari ibu. Alis, mata, dan senyummu ibu banget."
Ano tersenyum kecil, sedikit sinis.
"Dengan karir Ano gini, ga malu-maluin, kan, Bu?"
"Ya, pastilah. Teman-teman arisan Ibu sampe antri minta putrinya ta'aruf sama kamu." Ratu tersenyum bangga. Namun setelahnya menipiskan bibir. "Kamu, sih, seringnya nolak."
"Kalau Ano sampai ditolak, aneh, kan, Bu?" tanya Ano mengabaikan perkataan sang bunda.
Senyum Ratu surut. Merasa ada yang aneh dengan tingkah anaknya beberapa minggu ini. "Kamu habis ditolak? Kamu sedang patah hati?"
Ano menggeleng.
Nggak sampai patah, Bu, hanya sedikit retak.
"Ano cuma nanya, Bu."
"Yah, siapa tahu. Ibu jadi keinget dulu. Zaman-zamannya kamu suka sama Nabila. Itu lho, temen SD-mu yang kerjaannya kamu omelin tiap deket-deket kamu. Ternyata kamu suka sama dia, sampe kamu sedih banget pas dia pindah rumah."
"Bu, itu cinta monyet. Nggak usah dibahas."
Ratu tertawa. "Bukan gitu, kemarin ibu ketemu sama Nabila di acara nikahan anaknya Bu Lidia. Nabila sekarang sudah punya anak dua, lho. Lah, kamu kapan, Mas?"
"Minta doanya aja, lah, Bu."
"Kamu sudah ada kandidatnya? Butuh bantuan ibu?"
Ano tercenung menatap ibundanya. Kenapa tidak terpikirkan dari kemarin?
<<>>
Pak Anva melamarnya? Bagi Kara itu bukan berita yang menggembirakan. Saat Kara masih terikat bersama Rey memang Kara sangat berharap ada laki-laki yang bersedia menikahinya dan membawanya keluar dari rumah bapak. Namun semenjak Kara bisa menemukan ayahnya, Kara tak terburu untuk menikah.
Kenyataan bahwa Pak Anva melamarnya justru aneh bagi Kara. Mengapa Pak Anva berniat menikahinya. Apa tidak terlalu tiba-tiba? Seperti baru kemarin Pak Anva memarahinya di perkuliahan bahkan mengusirnya dari Oceanost, lalu wuuzzhh tiba-tiba saja sekarang ingin menikahinya.
Hide berulang kali mempertanyakan keputusan Kara. Apa Kara yakin? Apa Kara sudah berpikir jernih? Apa jawaban istikharahnya bukan Pak Anva? Dan jawaban Kara tetap TIDAK. Masak iya, Kara harus menerima hanya karena merasa tidak enak. Baginya sekarang, cukup Pak Anva berstatus sebagai dosennya dan bos dari ayahnya.
Kara masih terpekur menatap gelas teh yang isinya tinggal setengah. Termenung meneguhkan keputusannya. Sudah berminggu-minggu semenjak khitbahan itu dan Pak Anva sekarang jarang berada di Oceanost.
Lalu kenapa juga Kara mesti bingung, bukan karena dirinya pak Anva jarang ke Oceanost. Nggak mungkin Pak Anva baperan, kan?
Kara mengerjapkan mata, mengusir segala pemikiran tidak jelasnya. Skripsi sudah di depan mata ada yang lebih penting untuk jadi perhatiannya kini. Usai menandaskan es tehnya Kara mendapatkan pesan teks dari ayahnya. Memintanya untuk segera pulang.
Baiklah, semua pikirannya tentang Pak Anva memang harus disudahi. Kara membereskan barang-barangnya di atas meja. Tapi aktivitasnya membereskan meja terhenti. Kara melirik. Tidak salah lagi, ada yang sedang mengawasinya di arah pukul tiga.
Dua orang pria yang terlihat mencurigakan karena tak terlihat seperti mahasiswa. Mereka lebih terlihat seperti debt collector. Terkonfirmasilah perasaannya, sudah dua minggu ini Kara seperti ada yang menguntit dan mengawasi. Apa mereka orang suruhan Rey? Kalau benar, hufftt Rey ini benar-benar seperti parasit. Di mana pun selalu merugikan.
Tak ingin kejadian dulu terulang, Kara bergegas pulang. Jantungnya sedikit terpacu. Dia mencari jalanan yang ramai. Saat berada di angkutan umum dua orang yang mengikutinya pun turut terlihat dari kejauhan. Dia boleh bernapas lega sudah berada di angkutan. Semoga dua orang itu tidak mengikuti.
Setibanya di Oceanost Kara langsung menuju dapur. Hide yang sedang melakukan platting segera tersenyum menyambut Kara.
"Kamu langsung saja ke lantai tiga ya, ada Bu Ratu menunggu."
Kara yang langsung mencium tangan Hide terbeliak setelahnya.
Di lantai tiga?
"Tenang nggak ada Ano. Cuma ada Bu Ratu, dia nunggu kamu dekat kolam renang."
Kara meringis menampilkan mimik wajah enggan tapi tak memiliki pilihan lain.
"Ayo, temui dulu aja."
"Tapi, Yah ...."
"Nggak sopan menolak tamu, Kara." Hide memberi isyarat gerakan tangan, meminta Kara segera menemui Ratu.
Kara menarik napas berat. Hal apa yang membuat Tante Ratu ingin menemuinya, Kara enggan menduga. Dia berjalan ke arah luar, menggunakan tangga halaman belakang untuk menuju kolam renang di rooftop. Mencapai tangga teratas kara mengembuskan napas. Tante Ratu terlihat berbinar saat melihat Kara yang berjalan menghampiri.
"Assalamu'alaikum, Tante. Sudah lama?"
"Wa'alaikumussalam. Baru, kok."
Ratu berdiri tersenyum, memeluk Kara erat. Wangi mawar yang lembut sesaat terhidu oleh Kara. Dengan gamis putih dan khimar tosca, Ratu memang memesona. Keanggunannya tak termakan usia. Keduanya lalu duduk di kursi berkanopi.
"Kamu, sehat? Tante baru tahu kamu tinggal di Oceanost karena Tari yang ngasi tahu. Kalau tahu dari awal, Tante sudah sering main ke sini."
"Alhamdulillah, Tante. Ayah tinggal di sini. Nggak nyangka juga kalau Oceanost punya Pak Anva." Kara bingung juga mesti merespon apa. Keberadaan Kara di Oceanost sejak awal bahkan tidak disetujui Pak Anva.
"Tante juga baru tahu kisahmu dari Tari. Dunia sempit, ya. Siapa sangka, Pak Hide ternyata ayah kandungmu."
"Iya, Tante. Alhamdulillah, Allah masih memberi kesempatan untuk kami bertemu."
"Terus, terus, kamu betah, kan, tinggal di sini?" tanya Ratu antusias.
Kara mengangguk dan tersenyum tak enak. Kenapa Tante Ratu selalu seramah ini.
"Hide orang baik. Sudah sejak lama dia bantuin Ano mengembangkan restonya," ungkap Ratu. Tangannya kini menggenggam tangan Kara dan menatap lurus pada Kara. "Semakin dilihat kamu memang semakin mirip Hide."
Lagi-lagi Kara hanya bisa tersenyum.
"Sebenarnya Tante setuju sekali kalau kamu jadi menantu Tante."
Mata Kara sedikit membola. "Tante sudah tahu ... kalau ...."
Ratu menggangguk. "Ano, sudah cerita. Tante ikut sedih waktu tahu kamu menolak. Sebagai seorang ibu, tentu Tante berharap yang terbaik bagi anaknya."
"Maaf Tante, belum bisa memenuhi harapan Tante."
"Ano benar-benar tidak ada peluang ya, Kara?"
Kara menggeleng lalu terdiam. Karena selama ini dia hanya menganggap Pak Anva sebatas dosennya. Dia benar-benar tak bisa menerima pinangan Pak Anva. Sekalipun terselip rasa bersalah melihat kebaikan Tante Ratu seperti ini.
"Ya sudah, Allah yang maha tahu apa yang terbaik bagi hambanya. Termasuk bagi Ano." Ratu tersenyum lembut. "Tapi Kara, walau nggak jadi menantu tapi kamu mau jadi anaknya Tante, kan." Ratu menghela napas.
Kara tertawa kecil. "Saya jadi tersanjung, Tante."
"Nggak usah begitu. Biasa saja. Dari dulu Tante pengin banget punya anak perempuan. Kamu mau, kan?"
Kara mengangguk perlahan. Meringis. Dia benar-benar merasa tak enak menerima kebaikan Tante Ratu.
<<>>
Ano menekuri laporan keuangan di hadapannya. Laporan triwulan yang mesti Ano tanda tangani tinggal dicek sedikit lagi. Ano duduk di kursi dekat kitchen island Oceanost. Dalam hitungan beberapa menit lagi dia akan berangkat ke kampus.
"Tapi, Yah, udah dua mingguan Kara merasa diikutin."
Kara berjalan bersama Hide dari tangga dapur menuju jajaran kursi di belakang Ano. Ano hanya menoleh sekilas.
Ah, suara dia lagi. Risiko karena berada di Oceanost, No. Laporan yang tinggal ditandatangani kembali Ano bolak-balik lembarannya. Dia harus terlihat sibuk. Ano benar-benar tak boleh terlihat belum move on. Walaupun aslinya, masih sulit untuknya bersikap biasa saja. Kecewa masih saja bergayut di hatinya. Bahkan usaha pendekatan oleh ibunya tak membuahkan hasil.
"Setidaknya, dia bersedia ibu anggap anak, No. It's one step closer," kilah ibunya saat kemarin menceritakan pertemuannya dengan Kara.
Ano kembali harus menelan pil kekecewaan. Bukannya mendesak Kara, sang ibu malah menyuruhnya melupakan Kara. Ano tipe setia, andai melupakan semudah membalikkan telapak tangan. Berikutnya Ano kehabisan gaya. Laporan di hadapannya terpaksa ditandatangani.
"Ya, sudah kamu jangan lupa hubungi Ayah sepulang kuliah nanti," jawab Hide pada Kara.
"Iya, Yah. Tapi Ayah pagi ini bisa antar Kara, kan?"
"Ok. Ayah manasin mobil dulu." Hide bangkit mengambil kunci mobil dalam kantong lalu mendekati Ano. " No, aku antar Kara dulu."
"Okay. Hati-hati," jawab Ano se-cool mungkin. Dilihatnya Kara sudah lebih dulu berjalan meninggalkan dapur.
Ehm, tadi Kara bilang ada yang mengikutinya.
"Hide." Ano melambai pada Hide, tapi terlambat Hide sudah melewati pintu penghubung resto dan dapur. "Gondho, simpan berkas ini di kantor." Ano memberi tahu Gondho yang sedang mengelap kaca. Berikutnya Ano berlari mengejar Hide langsung ke parkiran.
"Hide." Ano kembali memanggil Hide saat sudah di parkiran.
Hide yang sudah berada di dalam mobil akhirnya keluar.
"Hide, kita tukar mobil."
Hide mengangkat alisnya. "Serius?"
"Yap, beberapa minggu ke depan kita tukar mobil."
"Tapi ...." Hide menengok ke belakang. Ke arah Kara. Dia terlihat ragu.
"Biar aman sepertinya kita harus tukar mobil." Ano menepuk pundak Hide.
Hide mengerti, akhirnya dia mengiyakan permintaan Ano. Ada perdebatan kecil di dalam mobil. Ano paham pasti Kara keberatan. Namun tak lama perdebatan berakhir, Kara keluar mobil dengan senyum terlihat terpaksa.
Kunci mobil dan surat-surat mobil Hide sudah ada di tangan Ano. Ano masih menunggu di balik kemudi saat fortunernya merandai jalanan keluar Oceanost. Membawa Hide dan Kara menuju kampus.
Ano menghirup napas dalam. Saat menyalakan mobil milik Hide dia sedikit menggerutu. Begitu malasnya Hide melakukan perawatan rutin ke bengkel. Jadi sehari-hari mobil yang suara mesinnya kasar begini yang dipakai Hide!
Saat mobil sudah mulai memasuki jalanan, tiba-tiba saja sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas. Ah, jika saja masih ada harapan. Kara menerimanya, maka Ano akan jadi laki-laki yang berbahagia. Mungkin ini hanya soal waktu. Tak sekarang tapi masih ada tahun-tahun depan, kan?
Uh, kenapa pula hatinya terpaut pada gadis penuh drama seperti Kara. Penuh drama tapi sulit ditaklukkan, No.
Pikiran Ano yang mengembara segera terhenti saat di front rear Ano melihat dua motor berada persis di belakang mobilnya. Sekadar mengetes, Ano sengaja berpindah lajur ke jalur lambat. Tak diragukan lagi dua motor tadi tetap menempel di belakang mobilnya. Berikutnya ada dua motor lain yang berada di tepat depannya. Ano memutar bola matanya kesal. Dia mencoba bermanuver dengan berpindah ke jalur cepat sayangnya mobil berkaca gelap di sebelah kanannya tak memberi tempat dan semakin lama semakin memepet mobilnya.
Tak hanya itu mobil di sebelah kirinya pun kini menempel, berjarak beberapa cm saja. bahkan dua motor di depannya kini sudah berganti dengan mobil, lagi lagi berkaca gelap.
Ano berdecak, dia tak punya pilihan lain selain mengikuti arahan kendaraan di depan, belakang dan sampingnya. Pandangan yang terhalang oleh kendaraan di kanan dan kirinya membuat Ano sudah tak tahu berada di jalan apa. Ano melihat jam tangannya, sekitar 10 menit kemudian kendaraan di depannya membuka jalan.
Tak mau kehilangan kesempatan Ano segera saja memacu mobilnya dengan kecepatan penuh. Dia hanya ingin terbebas dari kungkungan mobil yang mengikutinya. Tak sulit, mobil Hide akhirnya bisa melampaui mobil yang tadi mengikutinya. Namun sayangnya, Ano tak menduga, tepat di depannya sebuah truk peti kemas di parkir melintang. Tumbukan kencang pun tak terelakkan. Terakhir yang Ano dengar hanya suara dentuman keras dan teriakannya sendiri.
<<<>>>
Bersambung
Doakan Pak Anva, yaa
😢😢
<<<>>>
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top