|| Tiga Puluh Lima
Kebetulan yang indah ||
Ano sedang berada di Masjid kampus saat senja lewat tadi. Jabatan barunya membutuhkan adaptasi dalam ritma kerjanya. Alhamdulillah kini Ano sudah sedikit terbiasa. Orang tuanya pun mendukung sepenuhnya. Mereka maklum jika saat makan malam Ano tak pulang. Lelah di kampus akan Ano bayar dengan istirahat di Oceanost.
Usai salat Isya berjamaah di Masjid kampus, Ano bergegas menuju parkiran. Sisa kerjanya akan dikerjakan lagi di Oceanost. Saat ini dirinya butuh kopi spesial buatan Hide. Sudah terbayang nikmatnya kopi di lidah Ano, sampai keberadaan sekelompok orang di sekitar mobilnya membuyarkan bayangan Ano.
Rey. Di antara sekelompok orang itu terdapat si pecundang itu. Ano lebih memilih mengabaikannya. Dia bergegas membuka pintu mobilnya. Namun ditahan oleh salah seorang anak buah Rey.
"Mau kemana, jangan buru-buru," ucap salah seorang bertubuh tambun dengan brewok lebat.
Ano malas melayani mereka. Bukan Ano tak tahu siapa dalang dibalik kecelakaan yang dia alami. Selama beberapa bulan ini, pasca keluarnya Ano dari rumah sakit dia tekun mencari bukti keterlibatan Rey. Hanya tinggal menanti satu bukti lagi, Ano akan percaya diri melaporkan perbuatan Rey ke polisi. Sayang bukti yang terakhir ini butuh waktu yang tak sebentar.
"Sudah malam, Bang. Anak istri Abang menunggu di rumah." Ano berucap santai.
Lelaki bertubuh tambun yang menghalangi Ano tertawa lebar.
"Bos, sikat aja ni orang!" sergah yang lain kesal.
"Jangan, Bapak Dosen ini besok harus mengajar. Wajahnya tidak boleh babak belur." Rey menatap Ano dengan sinis.
"Nah, kalian dengar, kan. Jadi boleh saya lewat."
Kali ini Rey yang maju, menahan dada Ano. Mendesaknya bersandar di mobil.
Ano berdecak, lama-lama kesal juga. Apa maunya orang ini.
"Berlutut dulu dan minta maaf karena selalu berada di antara aku dan Kara." Rey berdesis.
Ano kembali berdecak. Dia menyapu pandangannya pada sekelompok preman di depannya. Jumlah mereka ada 12 orang. Ano mengukur kemampuannya, bisakah dia mengalahkan mereka sendirian. Tapi Rey memang licik, dia bawa preman-preman berbadan besar. Ilmu bela diri yang dia miliki jadi tak berarti kalau main keroyokan begini.
"Bukannya kamu yang hutang maaf padaku dan Kara?" Ano mencoba mengulur waktu, "ahh aku lupa pecundang tak pernah kenal kata maaf, bukan?"
Rey tertawa, Ano memandang sekeliling berharap ada security lewat namun nihil. Usai tawa Rey mereda dia memberi kode anak buahnya untuk memulai serangan.
Ano siaga, tas kerjanya dipakai untuk menangkis serangan. Sekali dua kali pukulan Ano bisa menghindar namun terakhir betisnya dihantam sebuah pemukul kayu. Ano berlutut seketika. Berikutnya bogem dan tendangan bersusulan menghantam dirinya. Ano merebah, tak melawan lagi dia berharap serangannya berhenti namun perkiraannya salah. Sebuah tendangan menghantam kepalanya, kegelapan menyambutnya seketika. Ano pingsan.
<<>>
Lantai dua di sisi kanan, hampir setahun ini menjadi area terlarang untuk Ano. Bahkan kalau tak penting-penting sekali, Ano juga menghindari kantor Oceanost di sisi kiri. Karena di kediaman Hide ini ada Kara, seseorang yang bukan mahram bagi Ano. Namun berbeda dengan hari ini, setelah semalam dipukuli oleh Rey dan anak buahnya Hide membawanya ke kediamannya
Sudah lama tak masuk, Ano sedikit pangling. Ruangan seluas separuh dari retoran di lantai satu ini jadi lebih hidup. Tentunya karena ada sentuhan seorang wanita. Selain lebih rapi, juga tercium aroma bunga segar di tiap sudut ruangan. Ah, Kara sungguh sosok yang berbeda dari saat pertama bertemu di awal tahun ajaran. Dia sekarang lebih terlihat memesona bagi Ano.
Apa karena Hide pandai mengurusnya? Eit, tunggu dulu justru Hide yang kini terlihat lebih cerah. Siapa pandai mengurus siapa kalau begitu?
Ano merasa nyaman di dalam sini. Lebam-lebam di tubuhnya kini sedang dikompres dengan es. Luka robek di sudut bibir sudah dioles obat, begitu pula dengan luka gores di pipi kirinya.
Semalam Ano sudah tak sadarkan diri, saat sadar dirinya terbaring lemas di parkiran. Di parkiran memang sepi, menjelang tengah malam dia baru ditemukan oleh security dan diantar ke Oceanost. Ano menolak diantar ke rumah sakit atau ke rumah orang tuanya. Dia tak ingin membuat orang tuanya khawatir.
"Memangnya semalam kamu nggak melawan, No?" Hide bertanya sambil dengan telaten menempelkan es batu ke rahang Ano. Ano berbaring di sofa panjang.
"Melawan sekuat tenaga, lah, Hide. Tapi mereka curang, main keroyokan dan pakai senjata."
Sekantung es batu kini ditempelkan oleh Hide di pelipis. Ano memejamkan mata. Luar biasa nyaman.
"Terus rencanamu berikutnya apa?"
"Tinggal menunggu pemilik mobil yang terparkir di lokasi kecelakaanku dulu. Setelah ada konfirmasi dari dia dan confirmed. Aku akan laporkan Rey ditambah kasus pemukulanku ini."
"Baguslah," Hide menghela napas, "aku tak terbayang dulu Kara menghadapi penjahat itu sendirian."
Tak berdaya pastinya. Ano jadi ingat saat dirinya memukuli Rey di parkiran. Saat itu Rey hampir saja menghajar Kara. Alhamdulillah dirinya hadir tepat waktu. Alhamdulillah juga kini ada Hide yang menjaganya.
"Kara, gimana kabarnya Hide?"
"Tadi pagi kamu melihat dia di Oceanost pas mau berangkat kuliah, kan?"
"Iya, sih ...."
"Nah, buat apa nanya. Dia masih ke kampus, berarti dia sehat."
"Maksudku, hatinya padaku apa kabar?" Ano tersenyum kikuk.
Hide melirik intens pada Ano. "Entahlah, masih beku mungkin. Dia kayak yang alergi deket-deket kamu," kata Hide jujur tanpa basa-basi.
"Yah, Hide, kamu bantulah meyakinkan."
"Perasaan ga bisa dipaksa, No."
"Tapi bisa dipupuk, Hide."
Mendengarnya Hide memandang malas pada Ano.
"Ouch, perih Hide." Hide yang sejak tadi mengompres Ano dengan kantung es sengaja menekan lebam di wajah Ano. Diserahkannya kantung es pada Ano.
"Aku sudah menunaikan janjiku, No. Beberapa kali kucoba yakinkan Kara untuk menilaimu secara positif, tapi yang keluar hanya kekesalannya sama kamu." Hide bangkit mengambil berkas. Dia baru teringat ada berkas yang harus dia serahkan pada Ano.
"Okay, setidaknya kamu dukung skripsinya dibimbing sama aku. Saya jamin bagus hasilnya." Ano masih keukeuh.
"Bimbing skripsi atau modus, No?" Hide menatap curiga pada Ano.
"Yah, modus sih. Tapi itu untuk merubah imejku di hadapan dia, ga lebih," jelas Ano membela diri.
"Ya, aku percaya. Tapi mau sampai kapan Ano? Hide kembali duduk dan menyimpan berkas di meja.
"Namanya juga ikhtiar, Hide. Sekarang tolong chat Kara dan ingatkan tentang bimbingan skripsinya sore ini."
"Lagi babak belur begini kamu tetap mau ke kampus?"
"Bimbingannya, kan, bisa di Oceanost."
Hide speechless. "Terserah, lah."
Ano tersenyum puas melihat Hide yang meskipun misah-misuh tapi tetap mengambil smartphone-nya dan men-chat Kara.
<<>>
Kara sedang di perpustakaan kampus. Dia masih butuh teori penunjang untuk skripsinya. Ada beberapa teman seangkatannya yang juga mencari bahan untuk skripsinya. Masing-masing sibuk membaca dan tenggelam dalam literatur yang dibacanya. Kalau sudah begini Kara jadi merindukan sahabatnya Rindu. Biasanya Kara akan banyak berdiskusi terkait literatur yang sedang dibacanya.
Kara menghela napas. Tak lama smartphone-nya bergetar, ada pesan dari ayahnya.
Kara jangan lupa bimbingan skripsi dengan Ano sore ini di Oceanost.
Kara menarik napas, menahan kesal. Bukannya tadi pagi ayahnya sudah sepakat untuk membujuk Pak Anva agar mengijinkan Kara ganti dosen pembimbing.
Kara sudah tak konsen. Ditutupnya buku tebal di hadapannya. Dia ingin segera pulang dan mengkonfirmasi perihal ini pada ayahnya. Usai merapikan buku-buku di mejanya, Kara bergegas pulang.
Sesampainya di Oceanost Kara langsung naik ke lantai dua. Sudah ada ayahnya di sofa tengah terlihat meja di depannya berantakan dengan mangkuk basah dan obat-obatan.
Nanti setelah urusan dengan ayahnya selesai Kara akan membereskannya.
"Assalamu'alaikum, Yah." Kara terburu masuk dan menyimpan tas di atas meja. Segera mencium tangan ayahnya lalu duduk di single sofa tanpa senyuman seperti biasanya.
Ayahnya menatap heran.
"Yah, tadi pagi kita sudah sepakat, kan?" Kara sudah tak sabar ingin segera menyampaikan uneg-unegnya.
Hide menaikkan sebelah alisnya.
"Masalah membujuk Pak Anva agar membolehkan Kara ganti dosen pembimbing."
"Ohh, masalah itu." Hide melipat tangan di dada.
"Iya, kita sudah sepakat, kan, Yah."
"Sepakat, Ayah setuju kamu ganti dosen pembimbing."
"Terus, tadi ngapain ngingetin Kara untuk bimbingan?" sergah Kara. Sekarang dia jadi bingung. Ayahnya ini sebenarnya mendukung atau tidak, sih.
"Iya, Ayah ingetin biar nggak lupa."
Kara menghela napas. "Terus kesepakatan kita?"
Hide tersenyum. "Ayah sepakat, tapi semua tergantung Sekjurnya. Bos Ayah."
Kara menipiskan bibirnya. Hide kini memajukan tubuh bertopang pada meja.
"Kara, kamu ini kenapa ngotot sekali ingin ganti dosen pembimbing?" tanya Hide lembut.
"Kara, kan, sudah bilang. Ada dosen yang lebih sesuai untuk judul skripsi Kara, Yah."
"Hanya, itu?"
"Iyaa."
"Kalau masalah sesuai atau tidak sesuai, Ayah rasa Ano juga sesuai."
"Pokoknya Kara nggak mau dosen pembimbingnya Pak Anva." Kara kehabisan kata-kata. Harus bagaimana lagi membujuk ayahnya. Kalimat pamungkasnya akhirnya keluar.
"Alasannya?"
"Percuma Kara jelaskan juga, Ayah ga akan pernah ngerti."
"Ya, sudah Ayah nggak ngerti, kan, kalau begitu Ayah nggak mau bantu Kara membujuk Pak Anvamu itu."
Kara mengembuskan napas, sedikit terpaku melihat ayahnya. Bimbang, mau menceritakan yang sebenarnya atau tidak.
"Kara ... Kara ... Ehm, Kara menyimpan perasaan untuk Pak Anva, Yah," ucap Kara pada akhirnya.
Hide membulatkan mata.
Melihat respon ayahnya, kara buru-buru meralat, "Tapi Kara janji akan segera move on, Yah. Kara tahu perasaan Kara itu terlarang karena Pak Anva akan menikahi Suster Amara, tapi ...."
Hide menggeleng dan tertawa kecil.
"Tapi mungkin Kara butuh waktu, Yah." Kara mencicit dan menelan saliva. Sangat berat menceritakan hal ini pada ayahnya.
"Ya ... ya begitulah." Hide seperti kehilangan kata-kata.
"Maksud Ayah? Ayah mau, kan, bantu Kara?"
"Kalian ini ... Pantas saja tidak pernah ketemu. Satu ke laut satu ke hutan." Hide menatap ke arah belakang Kara.
"Maksud Ayah?" Kara tambah bingung. Dia mengikuti arah pandang Ayahnya dan menengok ke belakang.
Pak Anva??
Mati kamu Kara. Sejak kapan dia ada di belakangmu.
"Pak Anva!" Kara segera berdiri, "sejak kapan Bapak duduk di kitchen bar?"
Kara luar biasa kikuk. Jantungnya tetiba berdegup kencang. Pak Anva yang duduk tegak di bangku kitchen bar menatap Kara dengan ... Ah Kara tak mampu mengartikannya. Wajahnya juga, sejak kapan wajahnya seperti itu.
"Sejak kapan wajah Bapak babak belur? Eh ... Ehm ... Ya sudah saya masuk kamar dulu."
Kara mengambil tasnya dan segera berjalan cepat ke arah kamarnya dan sedikit tersandung. Dia benar-benar salah tingkah.
Siapa saja tolong terbangkan Kara dari Oceanost.
<<<>>>
Ukara update. Hadiah buat yang lagi shaum 🤗
Promo dikit yaa ☺️
Buat yang mau pesan FMS dan Clover, ready yaa
Clover Rp75.000
FMS Rp85.000
Beli Clover dan FMS diskon jadi Rp150.000
Pemesanan WA 087873872963
Via shopee juga bisa.
<<<>>>
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top