|| Tiga Puluh Dua
|| Rasa Bersalah
"perpustakaan aja, yuk, Kana."
"Yakin nggak mau sarapan?" Mengabaikan ajakan Rindu, Kara bertanya.
Rindu menggeleng. Wajahnya belakangan terlihat lebih tirus. Hamil muda benar-benar memengaruhi nafsu makan Rindu. Jadilah Kara cerewet mengingatkan jam makan pada Rindu. Kalau tidak diingatkan dan dipaksa makan, dia akan kebablasan malas makan. Kara ngeri saja membayangkan janin yang ada di perut Rindu ikut kelaparan.
"Ya, udah beli roti aja. Minimal kamu harus ngemil, Rind."
"Iya, Kana. Tar pulang dari perpustakaan aja."
"Ya, udah, deh. Kita ke perpustakaan ." Kara menghela napas putus asa. Ya sudahlah Rindu memang tidak bisa dipaksa.
Masih pagi semoga perpustakaan tak begitu ramai. Setibanya di perpustakaan keduanya mencari literatur yang dibutuhkan, kali ini buku ensiklopedi. Kebetulan, judul skripsi yang hendak Kara garap masih dalam tahap pengumpulan teori-teori penunjang. Keduanya lalu mengambil tempat duduk di pojok.
Usai duduk nyaman Kara melirik sekilas pada Rindu. Memastikan sahabatnya ini baik-baik saja. Rindu terlihat sedikit kuyu, tapi senyum selalu terbit di wajahnya. Kara bisa sedikit lega untuk itu.
Agak ragu Kara kembali melirik pada Rindu. Ada rasa penasaran, apakah sahabatnya ini tahu tentang informasi Pak Anva yang melamarnya dan juga tahu tentang Kara yang menolak lamaran tersebut. Kara ingin sedikit memperoleh jawaban tentang apakah Pak Anva marah setelah ditolak. Karena beberapa waktu ini dia jarang berada di Oceanost dan jarang sekali menginap. Sekalinya menginap, Pak Anva terlihat cuek dan sedikit semena-mena. Contohnya tadi saat akan berangkat, dengan tiba-tiba dia meminta tukar mobil. Ehm ... Iya sih mobil Pak Anva lebih bagus dan nyaman, tapi tetap saja itu namanya semena-mena. Sebagai bawahan tentu saja Hide setuju.
"Kana ...." Rindu menggoyang-goyangkan tangannya di depan wajah Kara. "Kok, pagi-pagi bengong."
"Eh, barusan kamu ngomong apa?"
"Yah, bengong. Aku nggak ngomong apa-apa. Tuh HP-mu bergetar." Rindu tersenyum geli.
Kara meringis. Pagi-pagi pikirannya sudah melantur. Saat mengambil telepon genggamnya, layar menunjukkan nama Ayah, ada panggilan masuk dari Hide.
"Ya, Ayah ...." Kara menjawab dengan berbisik, sudut bibirnya sedikit terangkat. Ekspresi serupa tiap kali ayahnya menelepon. Namun senyum di bibirnya perlahan lenyap, kabar dari ayahnya sangat mengejutkan.
"Innalillahi. Iya, Yah. Ayah juga hati-hati yaa." Kara menurunkan gawai dari telinganya. Tangannya sedikit gemetar dan raut wajahnya terlihat cemas.
"Kenapa? Kok jadi lemes gitu."
"Pak Anva kecelakaan."
"Innalillahi wa Inna ilaihi Raji'un. Kapan kejadiannya?"
"Tadi kita keluar bareng dari Oceanost. Berarti belum lama, Rind." Kara bersandar di kursi masih dengan lemas. "Aku mau ke rumah sakit, Rind, Ayah minta aku nemenin Tante Ratu. Dia shock banget."
"Kamu ke sana naik apa?"
"Taxi mungkin." Kara bergegas merapikan buku catatan dan pulpennya. Dengan berlari kecil kara meninggalkan perpustakaan. Di jalan besar Kara segera menghentikan taxi yang melintas.
Pagi menjelang siang jalanan tak begitu padat, mungkin karena jam berangkat kantor sudah terlewat sedari tadi. Tangan Kara sedikit gemetar, remasan tangan yang saling bertaut tak mengurangi gemetarnya.
Sepanjang Taxi melaju menuju rumah sakit Kara hanya bisa istighfar. Kecelakaan ini terlalu mengejutkan. Baru beberapa saat yang lalu Pak Anva meminta bertukar mobil.
Berarti yang kecelakaan, mobil ayahnya, bukan? Seharusnya dia dan ayahnya yang berada di mobil itu. Beragam spekulasi menggantung di benaknya. Kalau terjadi pada mobil ayahnya, berarti ini murni kecelakaan atau ada unsur kesengajaan? Mengingat beberapa hari terakhir Kara diikuti orang-orang suruhan Rey. Astaghfirullah.
<<>>
Langkah Kara gamang menuju koridor rumah sakit. Hiruk-pikuk rumah sakit yang tak begitu Kara sukai, karena rerata orang menunggu antrean dengan ekspresi muram. Entah si pasien atau keluarga pasien, keduanya berada dalam posisi tak menyenangkan. Maka betapa mahalnya kesehatan, kenikmatan yang jangan sampai luput kita syukuri.
Tadi di taxi ayahnya sempat menelpon lagi, memberi kabar lebih lengkap mengenai kondisi Pak Anva. Dia dibawa ke rumah sakit dalam kondisi tak sadarkan diri. Sampai kini dia masih berada di ruang ICU. Kara hanya perlu menuju ke ruang ICU di lantai 2. Saat lift telah mengantarkannya ke lantai 2 terlihat ayahnya sudah menunggu.
"Kamu baik-baik saja selama menuju ke rumah sakit? Maksud ayah apa ada yang membuntuti seperti waktu itu?" Ayahnya memberondong dengan pertanyaan setelah Kara mengucap salam. Cenderung panik.
"Tidak ada ayah. Kara baik-baik saja."
Ayahnya yang terlihat kalut mengembuskan napas lega. "Yuk, ke sebelah sini."
Masih dalam kondisi tangan yang gemetaran Kara mengikuti langkah ayahnya. Kara dibawa ke sebuah ruangan yang lebih mirip lorong. Di sebelah kanannya terdapat dinding yang setengahnya berbahan kaca tembus pandang tertutupi tirai berwarna kuning soft.
Tirai tersebut sedikit tersingkap memperlihatkan ruangan dengan sesosok laki-laki yang selama ini Kara kenal sedikit angkuh. Pak Anva terbaring tak berdaya dengan berbagai peralatan menempel di tubuhnya. Monitor yang kara tahu menunjukkan aktivitas denyut jantung pasien berada di sebelah kanan Pak Anva. Ditambah ventilator dan selang masuk lewat mulut dan hidung. Duh, adegan yang selama ini hanya Kara lihat di drama televisi terjadi nyata di hadapannya. Kara lebih gemetaran lagi sekarang.
"Kata dokter Pak Anva kenapa, Yah?"
"Dia masih koma. Berdoa saja yang terbaik."
"Seharusnya kita yang berada di mobil itu, kan, Yah?"
Ayahnya mengembuskan napas berat.
"Seharusnya kita yang kecelakaan, kan, Yah?"
"Semua sudah Qadha Allah, Kara. Tak tukar mobil pun Ano sudah pasti celaka karena Allah yang menghendaki. Hanya saja ...," potong ayahnya seraya meneguk saliva. "Bisa jadi Rey ada di balik ini semua. Saat pertama tiba di rumah sakit tadi, Ayah sempat melihat preman di loby. Salah satunya anak buah Rey . Kamu harus berhati-hati."
"Jadi Pak Anva tadi pagi sengaja bertukar mobil sama kita?"
"Ayah sudah menolak tapi Ano sedikit memaksa. Memang segala kemungkinan selalu ada untuk orang senekat Rey."
Berada di dekat ayahnya gemetar Kara sudah sedikit berkurang. Ayahnya kini merangkul pundaknya.
Agak lama keduanya terdiam di depan ruang ICU. Kara memandangi ayahnya, raut kecemasan tercetak jelas di wajahnya. Bagi ayahnya Ano sudah seperti anak sendiri. Tentu saja dia terpukul atas kejadian ini. Kara lalu menatap iba pada Pak Anva ada sedikit rasa bersalah di hatinya. Orang setulus Pak Anva telah dia abaikan. Kini Kara sedikit merasa jahat karena menolak pinangan Pak Anva.
"Pak Anva akan berapa lama dalam kondisi begitu, Yah?"
Ayahnya menggeleng. "Tidak ada yang tahu. Semoga Ano bisa melewati masa kritisnya dan sadar. Yang bisa kita lakukan hanya berdo'a pada Allah Sang Pemilik jiwa manusia."
Kara kembali menatap Pak Anva, kini ada tanya lain yang menggantung di benaknya. Sepertinya perasaan Pak Anva tulus padanya. Setelah ditolak pun Pak Anva masih peduli padanya. Apa keputusannya menolak Pak Anva adalah salah? Kara mengembuskan napas perlahan. Dia gamang kini.
"Yuk kita ke ruang tunggu, sudah ada Bu Ratu menunggu di sana," ajak Hide dengan merangkul Kara.
Ruang tunggu VVIP ruang ICU rumah sakit ini terletak tak terlalu jauh dengan ruang ICU-nya. Begitu pintu ruang tunggu terbuka udara sejuk langsung terasa. Dari sofa dan furniture yang ada di dalam Kara malah merasa seperti berada di hotel. Di dalam ruang tunggu Bu Ratu tak sendiri, ada seorang perawat cantik berhijab yang menemani. Dengan seragam kuning soft, dia terlihat cantik.
Wajah sembab Bu Ratu segera tersenyum menyambut Kara dan ayahnya. Setelah saling berucap salam, Bu Ratu segera memeluk Kara
"Kara, sini, Nak."
"Iya, Tante. Tante yang sabar yaa," Kara mengurai pelukan Bu Ratu, "Pak Anva semoga kuat dan bisa melewati semua ini." Keduanya kini duduk di Sofa dekat jendela.
"Kamu benar, Kara. Ini kali kedua dia berurusan dengan ruang ICU. Dulu dia pernah kecelakaan saat rafting," tutur Bu Ratu, dia tersenyum dengan wajah sembabnya.
"Tapi dulu dia tidak sampai koma." Mata Bu Ratu kembali basah.
Kara bingung harus menjawab apa lagi. Terlebih bagaimana kalau Bu Ratu tahu, jika Kara secara tidak langsung turut berperan dalam kecelakaan Pak Anva. Kara hanya mengelus bahu Bu Ratu. Sedang Hide memilih duduk di sofa ujung, agak jauh dari tempat mereka duduk.
"Oya, perkenalkan ini Suster Amara." Bu Ratu agak mundur, berbalik merangkul bahu suster tersebut. Terlihat akrab.
Suster tersebut tersenyum ramah pada Kara.
"Amara ini anaknya temen tante, kebetulan kerja di sini," jelas Bu Ratu.
"Amara," tangan putihnya terulur.
"Kara." Dengan tersenyum Kara menyambut uluran tangannya, warna kulitnya kontras dengan Kara.
Amara balas tersenyum. Terlihat manis. "Oya, Tante, Amara pamit dulu yaa. Sebentar lagi ada pergantian sift. Nanti Amara ke sini lagi saat jam istirahat."
Bu Ratu mengangguk. "Makasih, ya, Amara. Doakan yang terbaik untuk Ano."
"Insyaa Allah, Tant. Tante yang sabar, ya
Amara tersenyum pada Kara saat melangkah pergi.
"Pak Anva akan sadar, kan, Tante?"
"Kata dokter otaknya cedera karena benturan yang cukup keras. Beruntung organ dalamnya baik-baik saja. Dokter tidak bisa menjanjikan apa pun. Untuk pasien trauma segala kemungkinan bisa terjadi. Semoga Ano bisa melalui masa kritisnya."
Kara merangkul bahu Bu Ratu. Untuk seorang ibu, Bu Ratu cukup tegar. Wajahnya memang sembab, tapi tangisnya tak sampai meraung-raung.
"Keajaiban itu ada, Tante, karena yang memberi kesembuhan adalah Allah."
"Dulu waktu kecelakaan rafting, Ano juga kritis. Tante sedikit lebih tenang karena Ano tak sampai koma." Bu Ratu menggenggam tangan kara yang bebas. Meremasnya sesaat. "Tapi Ano anak yang baik, penurut, dan perhatian. Semoga Allah memberikan pertolongan buat Ano."
"Iya, Tante."
Kara menelan saliva. Pak Anva memang baik. Tak pernah sekalipun dia memperlakukan orang lain dengan tidak sopan. Yah, walaupun hanya saat menghadapi Kara Pak Anva bisa berbeda 180 derajat, tapi Kara tak bisa memungkiri kepedulian Pak Anva padanya. Terlebih niat baiknya saat meminangnya beberapa waktu lalu.
Bu Ratu menghirup napas, mengerjap-ngerjapkan matanya. Terlihat berusaha melepas sesak. "Kara nggak ada kuliah?"
"Ada, Tante, siang ini ada kuliah. Pagi ini Kara ke kampus cuma mau baca-baca literatur."
"Sebentar lagi Angkasa ke sini nemenin Tante. Kamu ke kampus saja, yaa."
"Iya, Tante."
Tak lama pintu ruang tunggu diketuk, seorang perawat dengan seragam seperti Amara masuk. "Keluarga pasien Anva Oceano?"
"Benar, Sus." Hide menjawab dengan segera.
"Ada data-data yang harus dilengkapi. Silakan ikut saya."
"Biar saya saja, Bu Ratu," pinta Hide "Kalau butuh tanda-tangan atau data-data pribadi saya akan menghubungi Angkasa. Dia sedang dalam perjalanan kemari."
"Makasih, yaa, Pak Hide."
Hide keluar mengikuti perawat, sedang Kara masih menemani Bu Ratu sampai Angkasa tiba.
<<>>
Sudah lima hari Pak Anva di ruang ICU dalam kondisi koma. Semuanya bergantian menemani Pak Anva di ruangannya. Pagi ini giliran Hide dan Kara yang menemani.
Lantunan ayat suci Al-Qur'an terdengar lamat-lamat di ruangan hening ini. Hanya suara monitor yang terdengar.
Keluarga diperbolehkan berada di ruangan ini dalam jam-jam tertentu dan hanya diperbolehkan maksimal dua orang. Adanya keluarga yang mendampingi diharapkan bisa membantu pemulihan.
Kara terduduk agak jauh dari tempat tidur Pak Anva. Hanya ayahnya yang duduk dekat dengan Pak Anva yang sedang terbaring. Sambil menggenggam tangan Pak Anva, ayahnya membaca ayat-ayat Al-Qur'an. Berharap dengan begitu Pak Anva bisa segera sadar.
Kara menatap pada tubuh Pak Anva yang terbujur lemas. Manusia memang lemah, saat ada satu saja fungsi yang dicabut kita akan berakhir tak berdaya.
Sesuai dengan penuturan Bu Ratu, tak ada organ dalam yang rusak sehingga Pak Anva tak memerlukan operasi. Namun, tubuh luarnya penuh luka. Ada serpihan kaca di pelipis dekat alis sebelah kanan, sehingga harus dijahit. Kepalanya diperban sampai bagian belakang. Juga sepanjang lengan kanannya terdapat beberapa jahitan. Menurut ayahnya saat dibawa ke rumah sakit tubuh Pak Anva bersimbah darah.
Kara jadi tak tega, lagi-lagi dia menyesali keputusannya menolak pinangan Pak Anva. Niat baiknya harusnya tidak serta-merta Kara tolak. Hati kecilnya berharap Pak Anva bisa sadar dan akan Kara perbaiki keputusannya.
Tapi, semoga bukan karena kasihan, Kara.
Kara menggigit bibir.
Karena kasihan?
Kara perlu memastikan perasaannya.
Bacaan Hide terhenti saat terlihat gerakan kecil dari tangan Pak Anva. Segera Hide merampungkan bacaannya. Memanggil perawat dan dokter yang bertugas. Seketika ruangan ramai dengan masuknya Bu Ratu dan Pak Raja juga Angkasa.
Saat dokter hendak melakukan pemeriksaan semuanya diminta keluar ruangan dan diperbolehkan masuk beberapa saat kemudian. Yaitu saat Pak Anva benar-benar menunjukkan tanda-tanda siuman.
Sekalipun Pak Anva sudah siuman tapi wajahnya kuyu dan pucat. Berbicaranya pun masih lemah. Satu per satu hal ditanyakan oleh dokter pada Pak Anva. Apakah Pak Anva mengenali namanya, mengenali keluarganya, termasuk mengenali waktu saat ini. Alhamdulillah Pak Anva bisa menjawab. Kara menebak hal tersebut ditanyakan untuk mengetahui apakah Pak Anva terkena amnesia atau tidak.
Usai melakukan pemeriksaan, dokter memberi kesempatan keluarga untuk berbicara dengan Pak Anva. Tak lama, tapi cukup untuk keluarga bercengkrama menyampaikan rasa syukurnya. Semua yang di ruangan bersuka cita.
Hide terlihat lega saat melihat Pak Anva, senyum tak lepas dari wajahnya. Kara memegang lengan Hide. Perasaannya kini campur aduk. Rasanya lega dan bahagia sayangnya terselip juga rasa bersalah.
Hanya saja Kara merasa sedikit heran. Semenjak tadi Pak Anva tersenyum ramah saat bersitatap dengannya.
Uhm, bukannya saat-saat terakhir sebelum kecelakaan Pak Anva tidak seramah ini.
Usai menjawab tiap pertanyaan lagi-lagi Pak Anva tersenyum melihat ke arah Kara dan Hide.
Dengan lemah Pak Anva menunjuk pada Kara dan Hide dan bertanya pada bu Ratu, "Bapak dan Mbak di sana siapa, ya, Bu?"
<<<>>>
Duh, sinetron banget ga sih kalau sampe Amnesia.
Eittt ... masak harus Amnesia, sih?
Penasaran?
Tunggu lanjutannya, yaa 🤗
Wassalam
<<<>>>
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top