|| Sepuluh
_
_
Dilema ||
Kara Masih di Kampus, sejam yang lalu Mbak Padmi menelpon kalau ada Rey menunggu di rumah. Selama di Kampus Kara mengabaikan semua pesan dan panggilan dari Rey. Pikiran Kara terlalu penuh, tak ingin menambahnya dengan keberadaan Rey. Maka Kara memilih berdiam di Kampus.
Kara menyendiri, duduk menerawang di gazebo parkir timur. Sesekali dia meringis karena lututnya berdarah. Hari ini Kara tak mengenakan pantalon sehingga saat jatuh tadi lecetnya lumayan banyak.
Ah, kalau sudah begini satu-satunya hal yang Kara bisa lakukan adalah Dia akan lebih giat mencari uang. Semester kemarin Kara masih mengajar les. Karena ingin fokus mencari judul skripsi di semester ini maka Kara berhenti mengajar les. Sepertinya Dia akan menghubungi Bu Fatma lagi, semoga Salsa siswa bimbingannya dulu belum menemukan guru pengganti.
Lalu hal berikutnya yang akan Kara lakukan adalah membatalkan perjodohannya dengan Rey. Cepat atau lambat perjodohan ini memang harus batal, Kara tak bisa membayangkan Rey yang tak mempan didakwahi akan jadi calon ayah anak-anak Kara kelak.
Kara harus optimis, tabungannya memang belum mencukupi tapi setelah Dia lulus, Dia akan bekerja hingga tabungannya semakin banyak dan dia akan mulai mewujudkan mimpinya.
Laa yukaLlifullahu nafsan illa wush'aha.
Hamasah, Kara pasti bisa.
Kara masih menerawang, bahunya dicolek seseorang. Butuh beberapa kali untuk orang itu mencolek Kara dan menyadarkannya.
"Mbak... mbak."
Kara menoleh agak terlonjak. "Ya Mbak." Yang mencolek Kara adalah seorang Mahasiswi.
"Ini ada titipan."
Kara tak mengenali Mahasiswi yang mencoleknya. Sepertinya adik angkatan beda fakultas. Kara menerima selembar kertas terlipat yang diangsurkan Mahasiswi itu. Sesaat setelah Dia pergi perlahan Kara membukanya.
Minggu depan hadirlah di kelas saya. Ganti kerudung dan pakaianmu dengan yang lebih bersih warnanya! Ganti juga alas kakimu!
-A-
Kara mengerjap tak percaya. Orang ini... Kara tau persis siapa pengirim pesan ini. Jadi selain keterlambatannya, Dia juga mempermasalahkan penampilannya. Kara perlahan mengalihkan pandangannya pada kerudung dan pakaiannya. Hufft, kenapa memang dengan pakaiannya. Yang penting kan menutup aurat.
Kara punya empat stel pakaian, cukup untuk pakaian ganti selama seminggu. Yahh, memang empat stel pakaian ini yang tiga tahun lebih menemani hari-harinya. Hari-hari dalam artian sesungguhnya, tiap hari dipakai.
Kara mendesah, alamat tabungannya jebol nih.
»»
"Kara, Aku kangen kamu."
Kara terlonjak, belanjaan di tangannya hampir terlepas. Kara menoleh ke luar, tak ada BMW hitam terparkir. Tapi kenapa laki-laki ini bisa ada di sini.
Rey tersenyum, seakan mengerti kebingungan Kara. "Aku langsung dari bandara tadi. Minggu kemarin Kamu sama sekali nggak mau nemuin Aku. Padahal Aku mau pamit."
Kenapa ga pamit selamanya aja Rey.
"Eh Kamu habis belanja. Kenapa ga minta Aku temenin sih."
Kara tak menjawab, Dia jengah. Rey lama-lama makin ngelunjak saja. Kara menuju dapur, menyimpan belanjaannya di kitchen island. Lalu segera menarik tangan Mbak Padmi yang baru saja mematikan wastafel.
Mbak Padmi kebingungan namun pada akhirnya dia mengerti. Dia menurut saja ketika diarahkan duduk di sebelah Kara.
"Rey, Aku mau membatalkan perjodohan kita. Sudah dua tahun dan aku sudah cukup bersabar untuk menanti kamu bertaubat. Bukannya makin bertakwa kamu malah makin menjadi-jadi." Kara to the point, Dia benar-benar harus menyudahi semuanya.
Rey memejamkan mata dan rahangnya mengeras. "Aku nggak ngerti taubat apa yang kamu maksud. Aku hanya menjalankan peran selayaknya kekasih yang seharusnya. Aku juga sudah cukup sabar ngadepin kamu yang munafik, sok alim!" Rey mendengus keras dan bangkit menuju pintu. Di pintu, Pak Sanjaya yang baru datang menyapa ramah.
"Rey, sudah lama? Lho ada apa?"
Rey yang sudah memasang tampang garang menghentikan langkahnya. "Bapak tanya saja anak Bapak yang sok suci itu," bentak Rey.
Mbak Padmi terkejut. Kara apa lagi, tak menyangka jika Bapaknya pulang cepat.
Pak Sanjaya melebarkan mata, mendekati Kara dengan intimidatif. "Ke ruang kerja Bapak, sekarang!"
Kara melemas, menatap nanar punggung Pak Sanjaya yang menghilang di balik pintu ruang kerja. Dari dulu hal yang paling ditakutinya adalah kemarahan Bapaknya.
"Ibu dan Tari ada Mbak?" tanya Kara lemah.
"Ibu dan Non Tari lagi ke rumah Bu Rina. Katanya mumpung Bu Rina lagi di Indonesia."
Perfect tidak ada Tari dan ibunya. Kara menatap ngeri ke arah pintu.
"Non, buruan ditungguin Bapak."
"Eh, iya Mbak."
Kara masuk ke ruang kerja Pak Sanjaya. Berjalan ragu mendekati meja kerja. Pak Sanjaya duduk di kursinya, duduk menegakkan tubuh bertumpu pada sikunya. Kara duduk dengan tak nyaman.
"Kuliah Kamu gimana?"
Pak Sanjaya bertanya dengan lembut, namun bagi Kara terdengar intimidatif.
"Baik Pak."
Tentu saja baik, semoga. Pak Anva sudah membolehkan Kara mengikuti kelasnya. Yahh walaupun dengan embel-embel 'perbaiki penampilan kamu'. Kara akan mulai mencari judul skripsinya di semester ini dan menyelesaikannya di semester depan.
"Kuliah jaman sekarang mahal ya Ra."
Kara menebalkan telinganya. Dia mengangguk kaku.
"Jadi Kamu tahu harus ngapain kan Ra."
"Tapi Rey bukan orang yang baik Pak. Dia...."
"Tari sudah bahagia Bapak jodohkan dengan Ano. Kamu ga pengin dia menggantikan posisi kamu kan?" Pak Sanjaya memotong argumentasi Kara.
Kara menunduk dan menggeleng.
"Kamu baik-baik sama Rey. Ambil hatinya dan jangan bikin dia kesal." Pak Sanjaya menepuk bahu Kara dan berjalan ke pintu.
"Semua Bapak lakukan demi kebaikan kita semua. Bapak harap kamu paham," ucap Pak Sanjaya sekali lagi sebelum keluar.
Kara keluar dengan lemas dan berjalan ke dapur mengambil belanjaannya. Mbak Padmi menatap iba.
"Mbak, Mbak tahu sampai kapan Tante Rina ada di Indonesia?"
"Mbak ga tahu Non. Maaf."
Kara mengangguk paham dan berjalan ke kamar, saat sampai di kamar Kara merebahkan tubuhnya. Saat ini otaknya masih buntu untuk menemukan cara membatalkan perjodohannya dengan Rey. Hanya tinggal menghitung waktu sampai Rey membuatnya mendekati kemaksiatan. Dan Kara tak mau itu sampai terjadi.
Merogoh tasnya, Kara mengambil buku tabungannya. Ahh, Kara dan Rindu belanja seperti orang kalap tadi. Rindu tepatnya yang antusias memilih kerudung warna-warna pastel. Pakaian-pakaian dengan bahan kekinian. Beruntung tadi Kara dengan tegas menolak ketika Rindu mengajak ke butik. Bisa habis terkuras tabungannya. Tadi mereka hanya pergi ke toko busana muslim. Tapi ternyata harganya juga tak bisa dibilang murah. Iya, Kara lupa kapan terakhir kali dia membeli baju baru. Tahu-tahu harganya kini sudah berlipat-lipat.
"Akhirnya ada yang bisa menyadarkanmu Kana." Begitu komentar Rindu saat Kara menceritakan permintaan Pak Anva.
Sepuluh potong kerudung baru dan tujuh buah pakaian terusan. Tak ketinggalan dua buah flat shoes. Kara menghitung digit angka yang tercetak di buku tabungannya. Tinggal enam digit, musnah semua uang yang dia kumpulkan selama bertahun-tahun.
Aarggh Pak Anva, mengikuti kuliahmu bisa semahal ini ternyata.
Kara mendesah, some how, some way Dia pasti menemukan cara untuk mengumpulkan uang lagi. Atau mimpinya bisa tercapai tanpa uang seperserpun. Who knows, Ar-rizqu min haitsu laa yahtasib.
Kara bangun dari posisi berbaringnya lalu melepas kerudungnya. Menghadap cermin dengan rambut sudah tergerai, Kara memperhatikan penampakkannya di balik cermin.
Rambutnya lebat dan hitam legam. Hidungnya tak setinggi Adiknya, cenderung meruncing di ujungnya. Sisi jari telunjuknya menyusuri wajah lusuhnya, dari pelipis, pipi, hingga ke rahang. Kulitnya yang putih di sisi yang tertutup kerudung dan lebih gelap di sisi luar kerudung. Kara mengerjap dan bertanya dalam hati, siapa Aku?
Bersambung
««»»
Dalil di atas tertulis pada Q.S. ath-Thalaaq 65: 3 sebagai berikut:
وَ يَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
Artinya:
“Dan (Allah) memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.”
««»»
Maacih udah mampir
-Pena Laut-
««»»
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top