Lima Belas

Tak egois ||

_
_

Matahari Labuan Bajo membias jingga, bulatan besarnya terefleksi sempurna di batas hamparan lautnya. Mata coklat gelap Ano tak lepas memandangnya. Mengagumi pendarnya yang nyaris menyentuh cakrawala.

Maha suci Allah, Allah memang Maha pencipta yang indah-indah. Senja Labuan Bajo sangat cantik. Di momen seperti ini Ano selalu merasa disadarkan akan hakikat dirinya yang bukan siapa-siapa. Lahir tanpa sehelai benang dan berpulangpun tak akan mengantongi harta. Ano mengais-ngais amal dengan menjadi pribadi taat syari'at, beramar ma'ruf nahi munkar, sahabat yang saling mengingatkan pada ketakwaan, dan jadi anak sholih bagi kedua orang tuanya.

Ano menghela napas dalam-dalam, menghidu aroma senja yang Ano bisa rasakan di Pulau Komodo ini. Resto Hotel Luwansa--tempat Ano menginap--ini memang menghadap persis ke lautan. Ano menikmati makan berat sembari menatap senja.

Perut Ano yang kosong sejak siang tadi, sudah terisi makanan. Proporsional jumlahnya dengan air yang masuk. Ano sengaja menuntaskan hajatnya sejak petang agar malam nanti dirinya bisa fokus mempersiapkan bahan-bahan penelitiannya. Tak membuang waktu, sejak hari pertama Ano tiba di Labuan Bajo, Dia segera survei lokasi untuk penelitiannya. Waktu tujuh hari yang dijadwalkan harus berjalan efektif dan efisien.

Ano perkirakan 15 menit lagi adzan maghrib akan berkumandang. Setelah membayar makanannya Ano beranjak dari resto menyusuri tepian pantai menuju Masjid terdekat. Jangan mengaku laki-laki sejati kalau sholatnya tak di masjid. Maka Ano memilih mencari masjid untuk sholat berjamaah.

Langkah panjang Ano menyisakan jejak di sepanjang hamparan pasir yang Ano lewati. Bukan peak season sepertinya, sehingga pantai ini lengang. Di sisi kirinya senja seakan mengiringi. Menoleh sesaat pada senja Ano bisa melihat ternyata senja tak didominasi jingga. Ada beberapa lapisan warna yang terindra oleh mata telanjang Ano. Ada sedikit lapisan warna biru bersemu pink, kuning berdekatan dengan putih lalu melebur bersama jingga yang menyilaukan. Dan tak luput juga lapisan hitam yang berpadu dengan abu-abu. Abu-abu?

Ck... abu-abu, Ano jadi teringat gadis itu. Bahkan saat Ano berada jauh di seberang pulau gadis itu selalu mengganggu. Yah tak sepenuhnya mengganggu sih, Ano yang salah, lupa memasukkan dia dalam pembagian kelompok. Karena saat dihubungi Hamid, Ano masih di jalan. Dia tak terpikirkan menggabungkan Ukara dengan kelompok manapun. Semoga Ukara tak marah tak diberi kelompok.

Ano jadi berpikir ulang, tak yakin akan menjadikan Ukara Kakak iparnya. Kedua alis tebal Ano saling bertaut, mengernyit bingung dengan pemikirannya. Tak yakin menjadikan Tari istri atau tak yakin menjadikan Ukara kakak ipar? Eh?

Kemudian Ano menggeleng samar, fakta bahwa Ukara adalah kakak dari Tari cukup mengejutkan. Om Sanjaya adalah orang berada, tapi mengapa Tari dan Ukara bagaikan bumi dan langit gayanya. Uhh mengapa pula Ano harus repot-repot memikirkan gadis itu, apa kepentingannya?

Masjid yang dituju sudah di depan mata. Ano tahu masjid ini dari informasi yang diberikan oleh pegawai hotel. Adzan maghrib belum berkumandang, sepertinya cukup waktu Ano untuk sholat tahiyatul masjid terlebih dulu.

>>

"Dit, Kita jadi pakai sample yang plan A atau plan B?"

"Plan B sepertinya No, kalau diliat dari sebaran terumbu karangnya akan lebih memudahkan." Adit, rekan dosen Ano menjawab dari hotel yang berbeda.

Penelitian kali ini Ano menggandeng Adit. Keilmuan Adit sebagai ahli Ekologi akan melengkapi analisa dari hasil penelitiannya kali ini. Penelitian yang nanti akan disetorkan sebagai jurnal penelitian di kampusnya. Penelitian ini mengambil sampel dari dua lokasi yang berbeda. Ano di pulau Komodo, sedang Adit di pulau Rinca. Maka untuk memudahkan Adit memilih hotel yang lebih dekat dengan lokasi penelitiannya begitu pula dengan Ano.

"Okay, fast respond for every possibilities yap."

"Baik No. Sampai besok."

Ano mengakhiri telpon dengan salam dan segera dijawab oleh Adit. Setelahnya Ano berjalan mendekati sofa kamar hotelnya. Sofa menghadap tepat ke jendela kaca besar. Tirainya terbuka menyajikan pemandangan pantai yang temaram oleh lampu-lampu outdor. Puas menikmati pemandangan di luar, Ano mengembalikan fokus pada laptop yang menyala semenjak tadi.

Ano menatap jengah pada barisan kalimat di layar laptopnya. Bukan karena enggan, sungguh dia amat menyenangi profesinya yang tak jauh-jauh dari mengajar dan melakukan penelitian. Pilihan ayahnya yang lambat laun menjadi passionnya. Penelitian inipun adalah bentuk dedikasi dan sumbangsihnya bagi bangsa. Hanya saja saat menyadari kemana jurnal-jurnal penelitian nanti akan diserahkan, Ano jengah.

Lembaga pendidikan tinggi pada era ini tak lagi disubsidi pemerintah. Sehingga untuk pendanaan penyelenggaraan pendidikan, universitasnya mengandalkan bantuan dari lembaga asing. Konsekuensinya lembaga pendidikan tinggi tak lagi independen, secara berkala universitas harus menyerahkan jurnal penelitian yang dilakukan para dosennya pada lembaga pemberi bantuan.

Jangan ditanya bagaimana nasib penelitian-penelitian yang bisa jadi berisikan data-data penduduk atau eksplorasi kekayaan alam itu. Mau tidak mau harus dipahami, ini adalah bentuk alat penjajahan baru bagi dunia ketiga yang notabene kaya akan sumber daya alam.

Penjajahan berwujud kontrak-kontrak baru perusahaan asing pada eksploitasi kekayaan alam di Indonesia. Ano hanya bisa mengelus dada, tak habis pikir mau dibawa kemana integritas negeri ini.

<>

Suasana Mall tempat Tari dan Kara menghabiskan waktu senggang memang tak ramai. Hari ini bukan week end, mereka hanya kebetulan memiliki waktu kosong di jam makan siang ini sehingga mereka memutuskan untuk makan di restauran cepat saji favorit Tari.

Dua kakak beradik ini memang jarang memiliki waktu bersama, masing-masing memiliki waktu kosong yang tak sama. Window shoping tidak ada salahnya. Menghabiskan we time untuk melebur rasa rindu dengan ngobrol dari hati ke hati. Bukan hanya obrolan malam hari menjelang tidur. Tidak sepenuhnya window shoping sebenarnya karena tadi Tari tergoda untuk membeli sebuah pashmina dan hand bag berwarna senada.

"Kak kira-kira cowok ill feel ga ya kalau liat barang cewek yang kebanyakan warnanya pink?"

"Hmm," gumam Kara cuek, makanan yang sudah tersaji di hadapannya ini lebih menarik perhatiannya.

"Kalau ill feel Aku mau ganti barang-barangku deh. Kira-kira Kak Ano suka warna apa ya?"

"Hmmh...." Lagi-lagi Kara mendehem cuek. Spageti dengan toping daging cincang terlumat tragis di dalam mulut Kara.

"Kak, jawab dong. Kakak sih enak Kak Rey sudah lama kenal Kakak. Sudah mau menerima Kakak apa adanya. Tiap minggu rajin dateng. Lah Aku, Kak Ano hanya datang pas Om Raja dan Tante Ratu ke rumah aja."

Kara menelan makanannya, menatap sendu pada Tari. Kalau saja kamu tahu gimana kurang ajarnya Rey, Tari.

Kara menghela napas, mengembuskannya perlahan. "Itu bagus lah Ri, berarti Kak Ano-mu itu paham batasannya."

Euwhh, apa Kara barusan baru memuji dosen raja tega itu yaa. Kara mengernyit dan menggeleng. Kara masih kesal pada dosen itu. Seminggu waktu yang Kara habiskan untuk mencari data dan menyelesaikan tugas kelompok yang kara kerjakan sen.di.ri.an. Mengingatnya membuat Kara dongkol. Kara menggeleng dan kembali menatap Tari.

"Iya sih, pacarannya setelah ijab qobul aja ya Kak." Tari nyengir merona. Kara selalu menangkap excitement tiap Tari membicarakan Ano. Kara hanya merespon dengan mengangguk-angguk.

"Tar kalau ternyata Kak Ano nggak suka warna pink, Kakak temenin Aku belanja yaa, Aku mau make over kamarku. Dari tirai, sprai, cat dinding, baju, tas, aksesoris... ehm apa lagi yaa."

Kara menelan dengan seret. Semudah itu Tari berpikir mengganti semuanya hanya karena warna. Yahh, Tari memang selalu mendapatkan apa saja yang diinginkan. Make over barang-barang bukan sesuatu yang sulit.

"Apa kamar Kakak mau di-make over juga."

"Apa semudah itu Bapak mau ngeluarin uang, Ri." Kara tertawa sumbang.

"Harus mau lah Kak. Bapak kan sayang Kita." Tari tersenyum meyakinkan.

Kara terdiam. Riuh foodcourt mendadak terganti dengan suara Bapak yang selalu Kara ingat.

"Bapak sayang Kamu, sebagai balasannya juga kamu harus tahu di mana posisimu. Bapak akan membiayai pendidikanmu sampai perguruan tinggi. Posisimu adalah untuk balas budi."

Balas budi?

Balas budi?

Kara tersenyum segaris, hampa mendera tiap ingatan itu datang. Ingatan saat SD Kara meminta hadiahnya karena memperoleh rangking satu seperti halnya Tari.

"Kak... denger ga sih?" Tari berdecak. "Kak!"

Kara tersentak dari lamunannya. "Eh, kamu ngomong apa tadi?"

"Tuh kan Bengong. Tadi Aku nanya apa Kak Ano suka warna biru ya?"

Kara mendengkus. "Kalau laki-laki mencintai perempuan, Dia akan menerima perempuan itu apa adanya. Ga perlu lah pusing-pusing sama warna barang-barang yang kita punya."

"Begitu ya Kak. Kak Rey juga nerima Kakak apa adanya kan?"

Kara tak menjawab, Dia lebih memilih menunduk menekuri spagetinya yang tinggal separuh. Topik tentang Rey sukses merusak mood makannya. Begitu sulitnya memahamkan Rey terhadap aturan Islam bagi dirinya sendiri apa lagi membuat Rey bisa menerima Kara apa adanya.

Barangkali akan berbeda dengan Kak Zafran. Ahh Kara baru ingat Dia belum memberi jawaban pinangan Kak Zafran. Sungguh pinangan Rey bagi Kara hanya sepihak, awalnya Kara menerima namun pasca apa yang terjadi di parkiran Oceanost Kara sudah bertekad akan membatalkannya. Bahkan Kara sudah menyampaikannya pada Rey. Jadi tidak masalah kan jika Kara menerima Kak Zafran. Uhm... apa Kara boleh egois?

Tari mencebik saat Kara tak menanggapi pertanyaannya. Akhirnya Ice lemon tea pesanannya disesap perlahan. "Kakak kok ga pernah cerita-cerita tentang Kak Rey sih?"

Kara mengangkat wajah dan tersenyum. "Malu." Hanya jawaban itu yang terlontar darinya.

Tari tersenyum geli dan geleng-geleng.

<>

Smartphone Kara bergetar. Layar menunjukkan pop up chat dari Mbak Sinta.

Kara maaf Mbak Sinta ngaret selama sepuluh menit, ini masih tertahan di dekanat.

Gpp Mbak, Sy nunggu di Kantin gedung fak. Bahasa. Balas Kara kemudian.

Kara mengedarkan pandangannya. Menghirup napas dalam, membuang grogi. Saat ini Kara akan memberikan jawaban pada Mbak Sinta. Sengaja Kara memilih kantin Fakultas Bahasa. Menjelang siang begini kantin ini sepi.

Tak lama sosok Mbak Sinta memasuki area kantin. Kara segera melambai memanggil Mbak Sinta.

"Maaf ya telat, udah lama?". Mbak Sinta duduk berhadapan dengan Kara.

"Baru kok Mbak, Mbak mau pesan minum apa?"

"Ga usah. Mbak kenyang habis ada makan-makan di dekanat tadi."

Kara merespon dengan mengangguk-angguk. Kembali Dia menghirup napas dalam. Uh, kenapa jadi grogi begini.

"So gimana Kara?"

Mbak Sinta to the point. Semalam Mbak Sinta memang mengatakan tak bisa ketemu lama-lama. Sedang ada acara di dekanat.

"Saya...."

Mba Sinta mengangkat kedua alisnya. Menanti jawaban Kara yang kini terdiam.

"Maaf Mbak saya ga bisa. Saya ga bisa menyeret Kak Zafran pada keruwetan hidup saya."

Mbak Sinta menautkan ujung alisnya, prihatin. Lalu mengulurkan tangannya dan menggenggam telapak tangan Kara.

"Dalam kehidupan pernikahan simpul setiap masalah akan Allah permudah Ra, jadi ga ada yang namanya menyeret-nyeret pada keruwetan hidup. Kamu yakin dengan keputusan ini?"

Kara mengangguk perlahan tapi dengan keyakinan penuh. Mbak Sinta mengembuskan napas dengan wajah penuh sesal.

Apa Kara boleh egois?

Hampir dua minggu Kara menjeda keputusannya terhadap pinangan Kak Zafran. Selama itu pula Kara banyak berpikir lalu akhirnya Kara baru menyadari jika sahabatnya Rindu memendam rasa pada Kak Zafran. Maka jika Kara boleh egois, Dia akan mengabaikan perasaan Rindu dan menerima Kak Zafran. Tapi bukan itu yang Kara pilih.

Kara memilih menolak Kak Zafram. Memang jodoh di tangan Allah, jika tidak bersama Kara, Kak Zafran bisa berjodoh dengan siapapun. Tapi setidaknya bukan Kara yang menjadi penyebab Rindu patah hati, biarkan akhwat lain saja.

Hidup Kara terlalu rumit dan berantakan. Maka jika Kara boleh egois lagi, Kara akan menyeret Kak Zafran pada keruwetan hidupnya. Membuat Kak Zafran berhadap-hadapan dengan Rey yang pemaksa dan menjadikan Zafran sebagai bemper jika Pak Sanjaya memintanya balas budi. Namun Kara tak mau begitu. Dia sudah yakin dengan jawaban yang akan diberikan pada Mbak Sinta.

"Setelah ini hubungan kita akan baik-baik saja kan Mbak? Mbak ga marah kan?"

Mbak Sinta tersenyum. "Tentu saja ga ada yang berubah Ra. Tapi jujur Mbak patah hati dengan penolakanmu ini."

"Eh?"

"Mbak patah hati karena Mbak udah girang banget pas tahu Adik Mbak yang kaku itu ada hati sama kamu."

Kara tersenyum kikuk. Tentu saja Mbak Sinta, Kara juga patah hati dengan jalan yang harus Kara pilih. Keruwetan hidupnya akan Kara selesaikan sendiri.

Mbak Sinta tersenyum dengan mata berkaca-kaca, begitu juga dengan Kara. Tapi Kara tidak boleh menangis. Kara sudah ikhlas.

<<>>
Bersambung aja yaa 😉
<<>>

Taqoballahu minna wa minkum, shiyamanaa wa shiyamakum. Waja'alana minal aa'idin wal faidzin.

Semoga Allah mempertemukan kita pada Ramadhan dan 'idul fitri tahun depan.

Oya sy ada works baru, rencananya akan sy post kalau followernya sudah 100K eh, ralat, kalau follower sy sdh 100 hehehe.. itung-itung celebrating 100 follower.

Terima kasih lho sama yang sudah tersesat dan meninggalkan jejak di lapak ini dan yang sudah hilap follow saya.

Tapi mohon maaf untuk yg minta follow, untuk saat ini sy belum bisa.

-Pena Laut-

<<>>

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top