|| Empat
_
_
Media Academia ||
Kara mendesah beberapa kali selama kajian hari ini. Mbak Shinta yang mengisi kajian dengan enerjikpun tak mampu menghilangkan kelesah di hatinya.
"Jadi yakinlah bahwa hamba-Nya yang beriman selalu diuji. Apapun ujiannya, baik ujian kesenangan atau kesusahan semuanya terjadi untuk menyadarkan manusia agar selalu berada di jalan-Nya. Sebagai orang beriman selayaknya kita tenang karena Allah tak membebani hamba-Nya melebihi kemampuannya."
Laa yukalifuLlohu nafsan illa wus'aha.
Itu dia, penjabaran dari Mbak Shinta barusan segera menghangatkan batin Kara. Perlahan melumerkan kebekuan di hatinya. Tentu saja, pembatalan mata kuliah itu bukan akhir dari segalanya. Dia masih bisa berusaha. Dia pasti bisa melewati ini.
"... Subhanaka Allahuma wabihamdika asyhadu alla ilaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaik," tutup mbak Shinta mengakhiri kajian.
Kajian Islam rutin mingguan yang dimentori Mbak Shinta akhirnya selesai. Dari hampir dua jam, Kara hanya fokus di bagian akhirnya saja. Bahkan saat kajian ditutup pun Kara kembali tak fokus. Peserta kajian yang pesertanya tak lebih dari lima orang akhirnya bubar.
"Kok bengong Kana?" Rindu menyikut Kara. Karena saat ini Kara tak menyambut uluran tangan Mbak Shinta untuk berjabat tangan.
Tersadar dari lamunan, Kara salah tingkah. Segera menyambut tangan Mbak Shinta. Dan ternyata peserta kajian lain juga sudah mengantre di belakang Mbak Shinta untuk menjabat tangannya. Ngelamun aja terus Ra.
"Biasanya kalau ngelamun begini pasti lagi galau nih. Antara milih kaos kaki jempol atau kaos kaki lima jari," seloroh Ratna teman sepengajiannya usai menjabat tangan Kara.
Sontak peserta kajian yang sedang bersiap pulangpun tertawa, Kara hanya bisa nyengir cantik.
"Yuk Kara, Rindu, duluan," pamit Mbak Shinta diikuti oleh tiga teman pengajian yang lain.
Rindu dan Kara tersenyum dan mengangguk. Mereka berdua masih bertahan di Mushola fakultas, karena setelah ini masih ada kegiatan dari ormawa yang mereka ikuti. Media Academia adalah media jurnalistik kampus. Salah satu ormawa resmi universitas. Rindu dan Kara aktif di dalamnya, melatih kemampuan jurnalistik mereka dan menambah pengalaman dalam hal jurnalisme lingkup universitas.
Menghalau bosan, Kara mengeluarkan Cilor dari tas punggungnya. Membuka ikatan plastiknya dan menuangkannya ke dalam lunch box miliknya. Tadi sesudah makan siang Kara tak sempat memakannya.
"Belum taubat dari Cilor Kana?"
Kara melengos, sahabatnya ini memang tidak suka pada kebiasaannya makan cilor.
"Ya ini sih kalau aku... kalau aku yaa. Aku sih akan menjauhi cilor. Pertama dia ga sehat, penyedap dan cabe bubuknya itu zat aditif sintetis. Terus yang kedua dia ga higienis, ini Abang-abang pinggir jalan lho Na. Ketiga, karena ngantre cilor ini kamu batal ikut mata kuliah oseanografi, ya kan."
"Kok diingetin lagi sih Rind."
Rindu hanya merepon dengan menipiskan bibirnya.
"Untuk masalahku yang ini, Kamu ada saran ga?"
"Datangi Pak Anva, minta maaf dan mintalah untuk diterima di kelasnya."
"Emang bisa? Kemarin aja tampangnya sangar banget."
"Kamu harusnya jangan samakan dia dengan Prof. Mirza. Nggak kemakan dia sama alasan jam tangan kamu."
Nasi sudah menjadi bubur, besok-besok Kara akan menyesuaikan jarum di jam tangannya deh. Biar nggak jadi modus operandi lagi. Kara sudah taubat
"Emang kamu ga bisa ambil matkul lain?" tanya Rindu setelah berpikir kembali.
"Mata kuliah yang belum kuambil dan dibuka semester ini hanya ini."
"Ya udah ambil matkul lain di semester depan saja, ga usah dibawa pusing."
Andai Kara bisa Rind. Kalau semester ini SKS yang Kara ambil tak sesuai target maka dia harus menambah satu semester lagi. Sedangkan Pak Sanjaya hanya bersedia membiayai untuk delapan semester. Jika Kara tak segera lulus, maka Kara akan semakin pesimis bisa mewujudkan mimpinya. Mimpinya sejak dulu, sejak Kara menyadari eksistensi dirinya. Kara hanya mendesah, tak berani membayangkan masa depan.
"Ayolah Kara, optimis. Jangan ditekuk terus mukanya."
Kara akhirnya tersenyum dan mengangguk. Itulah asyiknya bersahabat dengan Rindu, dia tak kan membiarkan Kara berlama-lama muram. Karena Rindu gadis yang baik hati, terlalu baik bagi Kara. Rindu yang selalu menasehati Kara, Rindulah yang pelan-pelan mengenalkan Kara pada Islam. Sampai akhirnya Kara membulatkan tekad untuk berhijrah.
Rindu yang cantik dan berhati malaikat. Entah sudah berapa kali Rindu membayari pembelian diktat dan buku-buku kuliah Kara. Pokoknya bagi Kara, dari atas sampai ke bawah Rindu itu almost perfect.
"Eh, udah yuk. Kita ke MA, distasnya udah mau mulai. Sekarang Kak Zafran kan yang bakalan jadi nara sumber."
"Kak Zafran?" tanya Rindu setengah terkejut.
"Iya, kenapa?"
"Nggak apa-apa." Rindu menggeleng.
Keduanya meninggalkan mushola dengan berjalan bersisian. Menoleh pada Rindu, Kara bisa menangkap semburat merah di pipi putih Rindu. Ahh sahabatnya ini ternyata ada hati juga sama Kak Zafran.
Cinta dalam diam memang selalu menjangkiti akhwat-akhwat seperti Rindu ini. Ya, akan tersimpan dalam diamnya jika belum terpenuhi melalui pernikahan.
Yang jadi masalah adalah cinta dalam diamnya itu membuat waktunya sia-sia dengan selalu membayangkan si dia atau produktif dengan tak pernah memikirkannya.
Kalau Rindu? Kara yakin Rindu termasuk yang bisa menahan diri. Kalau Kara? Hemmh, Kak Zafran memang mempesona dengan ketaatannya. Tapi saat ini fokus Kara adalah bersegera mewujudkan impiannya. Yang Kara tak tahu harus memulai dari mana dan bagaimana.
Bersambung
««»»
Makasih tetap mengikuti cerita ini
-Pena Laut-
««»»
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top