|| Dua Puluh Tujuh
_
_
Abu-abu ||
"Hai Sweety, baru mau pulang? Hebat ya belakangan ini kamu punya Bodyguard." Rey tersenyum miring.
Kara mencengkram tali tas selempangnya. Mimpi apa dia semalam. Rey masih berani bikin ulah ternyata. "Bukan urusan kamu, Rey, sekarang minggir!"
"Hampir sebulan nggak ketemu, galaknya nggak ilang-ilang, ya." Rey lagi-lagi tersenyum miring.
Bagi Kara itu adalah seperti senyum buaya culas. Kara memutar bola matanya, jengah dengan basa-basi Rey. Tak memedulikan celotehan Rey, Kara melangkah maju. Dengan sigap dua orang Bodyguard berkepala botak menahan langkah Kara.
Kara sedikit gemetar tapi dia tidak menampakkan rasa takutnya. Kara menatap tajam pada Rey.
"Tenang, Kara, Aku cuma mau ngajak kamu jalan jalan."
Kara menelan bulat-bulat kalimat yang sudah akan meluncur dari mulutnya. Percuma bicara panjang lebar juga. Mau dengan cara apa lagi agar Rey mengerti, bahwa Kara sudah tidak ingin berhubungan lagi dengannya. Menghadapi Rey, memang membutuhkan kesabaran ekstra.
"Kata Pak Sanjaya kamu sudah tidak pulang selama beberapa minggu." Ucapan Rey bernada prihatin. "Pulang jalan-jalan, saya antar kamu pulang ke rumah, yaa."
Rey mengulurkan tangannya, memberi kode untuk Kara ikut dengannya. "Mari Kara ...."
Kara bergeming tetap menatap tajam pada Rey.
"Ayolah, Kara, jangan sampai dua anak buahku berlaku kasar hanya untuk mengajakmu jalan-jalan."
"Sudahlah, Rey, kita hentikan sampai di sini. Kapan kamu akan mengerti bahwa kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi, " tegas Kara. Dia sadar kalimatnya tidak akan pernah berpengaruh apa-apa pada Rey. Tapi lama-lama gregetan juga.
"Percaya diri sekali Kara. Kamu merasa punya backing sekarang?"
Kara mengeraskan rahang. Mengembuskan napas mencoba sabar.
"Sekalipun backing-mu datang, bapak tua itu tidak akan sanggup melawan dua anak buahku. Jadi menyerah saja. Kita jalan-jalan yuk."
Kara sedikit terkesiap saat menyadari bahwa Rey telah menyadari keberadaan Hide. Ya, ampun, ni orang bener-bener harus mandi pasir kayaknya, ya. Nggak usah jauh-jauh ke gurun sahara. Ke gumuk pasir Parang Kusumo juga udah kebagusan. Kara mendengkus geram.
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan, Rey?!"
Rey tersenyum lembut. "Menikah. Aku ingin kita menikah."
"Carilah perempuan yang mau menerimamu. Bukan aku yang jelas-jelas tidak bisa menerima kamu."
"Sudah cukup omong kosongmu. Sekarang aku cuma mau kamu. Ayo, ikut aku!" Rey meraih paksa tangan Kara.
Kara menghindar, tapi desakan anak buah Rey membuat Kara terdorong ke pelukan Rey. Kara otomatis terkungkung tubuh jangkung Rey. Semakin Kara memberontak, semakin kencang pelukan Rey.
Astagfirullah jangan kejadian penculikan lagi. Yaa Robb kemana orang-orang, Mengapa lorong ini sepi.
"Rey, lepas nggak!" hardik Kara setengah berteriak. Dia berontak sekuat tenaga. Mengerahkan segala daya upaya yang mampu dia kerahkan. Namun semua sia-sia. Tenaga Kara tak seujung kuku dibandingkan tenaga Rey.
"Aku lepas kalau kamu mau ikut aku dengan suka rela," desis Rey tepat di telinga Kara.
Ikut dengan sukarela? Mimpi aja Rey. Kara terus berontak dan berteriak minta tolong. Sampai akhirnya tenaganya habis. Rey dengan mudah menyeret Kara menuju tangga turun di koridor barat.
Jangan tangga turun di sebelah barat, please. Siapa yang akan menolongnya. Tangga di koridor ini sepi. Tidak ada yang bisa melihat perbuatan Rey kalau begini caranya.
Rey dan anak buahnya sudah berhasil menyeret Kara sampai parkir belakang kampus. Karena hanya parkir ini yang terhubung ke tangga koridor barat. Tidak beruntungnya Kara, di parkir yang biasanya sepi ini, hari ini benar-benar tidak ada orang.
Kara sudah sangat lemas, saat Rey hampir berhasil memasukkan Kara ke dalam mobilnya
"Kara!"
Sebuah suara menginterupsi upaya Rey. Dalam rasa melayangnya, Kara mengenalinya sebagai suara ayahnya.
"Laki-laki pecundang. Masih aja kasar sama cewek!"
BUGH
Suara yang ini, kara hapal sekali. Ini adalah suara dengan nada yang sama dengan seseorang yang mengusirnya waktu itu. Dalam batas sadarnya, Kara masih bisa merasakan ada baku hantam. Sampai kesadaran benar-benar menelannya. Kara pingsan di pelukan Hide.
<<>>
Ano mencuri lirikkan ke arah samping kanannya. Ada ukara yang baru bangun dari pingsannya. Kara berada di pelukan Hide, tangan Hide mengelus-elus Puncak kepalanya. Setelah bangun dari pingsan, Kara belum sepenuhnya sadar. Dia masih shock dan pandangannya masih kosong.
Setelah baku hantam dengan Rey, tangan Ano masih sakit. Semua jurus karate yang dipelajarinya sejak SMP dan SMA, Ano kerahkan. Ini kali kedua laki-laki itu, ehm ... siapa namanya? Rey, ya, Rey berlaku kasar pada Kara. Dan sebagai laki-laki Ano Geram.
Ketiganya kini berada di kantor Oceanost. Menunggu Kara agar sedikit lebih tenang.
"Kara, kamu dengar Ayah, kan?"
"Ayah?" Kara perlahan menoleh pada Hide.
"Iya, ini Ayah."
"Rey, Yah. Dia ... dia," cicit Kara kembali panik.
"Ssstt ... kamu aman Kara. Rey sudah kabur tadi."
"Tapi, Rey ... dia."
"Udah Kara, kamu aman. Kamu di Oceanost sekarang."
"Oceanost?" Kara menegakkan tubuh, memegangi kepalanya.
"Maafkan Ayah karena terlambat jemput tadi."
Ano berdehem sedikit merasa bersalah. Karena tadi Ano yang memaksa Hide untuk bertemu klien di kampus terlebih dulu dan menunda menjemput kara. Tadi memang ada rekan dosennya yang ingin memakai jasa Hide.
Alhamdulillah, tadi Ano sempat melihat selewat sosok yang pernah memukul Kara di parkir Oceanost. Ano memberitahu Hide sebelum sempat bertemu client. Alhasil, Hide panik menyusuri keberadaan Kara. Di parkir belakang kampus, akhirnya mereka menemukan Kara yang lemas dalam pelukan Rey.
Ano memandang prihatin pada Kara. Wajahnya terlihat lelah. Pasti menakutkan berada di posisi Kara. Tiap saat ancaman bernama Rey bisa sewaktu-waktu muncul. Dan sebagai ayah, Hide pasti lebih geram dan khawatir.
Begitukah rasanya jika terjadi sesuatu pada orang yang kita cinta. Ano kembali teringat percakapannya dengan Ratu, ibunya. Sore itu Ano sedang menemani Ratu di dapur. Setelah percakapan beberapa saat sebelumnya dengan Ukara, Ano lumayan tersentil. Sejak itu dia banyak berpikir, kenapa dirinya kurang berempati.
"Bu, aku atau angkasa waktu kecil pernah sakit nggak, sih?" Begitu tanya Ano sambil duduk di meja makan yang tidak jauh dari kitchen island.
"Ya, pernah lah, No."
Ratu dengan telaten memotong wortel. Sore ini rencananya dia akan memasak sup ayam. Seharusnya Mbak Kasih membantu Ratu di dapur. Tapi tadi Ratu menyuruhnya untuk ke minimarket, ada bumbu yang tidak lengkap.
"Oh, ya, sakit apa?" lanjut Ano bertanya.
"Ya, macam-macam. Paling sering sakit demam."
"Terus, ibu gimana?"
"Ya Ibu kalut lah. Apalagi adikmu angkasa pernah step. Kalau nggak sembuh-sembuh kadang jadi tambah panik."
"Kalau lagi sakit gitu, Ibu izin kerja nggak?"
"Ya, ampun Ano kayaknya ini pertanyaan retoris deh. Nggak perlu dijawab." Ratu mendengkus tak percaya.
"Ibu ijin kerja, apa selalu izin setiap aku atau angkasa sakit?"
"Ya, tergantung. Tapi keseringan izin karena kalau sudah di tempat kerja nggak akan konsen. Pikirannya itu di rumah terus."
Ratu memang seorang pensiunan dosen. Saat Ano dan angkasa masih kecil dia masih aktif mengajar.
"Kan, ada Mbok Ayu yang ngurusin, Bu. Kenapa nggak ibu di kantor aja?"
Mbok Ayu adalah pengasuh di rumah Raja sejak Ano dan angkasa kecil. Saat Ratu mengajar, Angkasa kecil dan Ano kecil dititipkan pada Mbok Ayu. Namun sejak lima tahun lalu Mbok Ayu sudah tidak bekerja di rumah ini.
"No, kayaknya kamu harus jadi bapak dulu, baru ngerasain gimana kepikirannya kalau punya anak sakit."
O ow sepertinya Ano salah topik ini terlalu menjurus. Tapi pernyataan Ukara benar-benar mengganggunya dia benar-benar ingin mengkonfirmasi pada ibunya. Maka mengabaikan kemungkinan untuk Ratu mengungkit kembali tentang calon istri, Ano bertanya pada Bu Ratu tentang pengalamannya ketika dia dan adiknya sakit.
"Nah, biar cepetan jadi bapak kapan kamu mau bawa calonmu ke sini?" lanjut Ratu menuntut.
Tuh kan Ano mati kutu.
"No, jawab! Jangan coba kabur, ya!" Ratu meletakkan pisaunya sepenuhnya menghadap ke Ano.
"Bu, kita, kan, sudah sering bahas ini," jawab Ano berusaha bijak.
"Iya, dibahas-dibahas terus kapan calonmu ke sini."
"Iya, Kanjeng Ratu mau yang kayak gimana, nanti hamba persembahkan untuk Kanjeng Ratu." Ano membesarkan hati sang Bunda agar tidak terlalu resah dengan jodoh anaknya.
Ratu menipiskan bibir menautkan alis. "Syaratnya nggak banyak. Yang penting Sholihah. Anggun nggak pecicilan. Sayang sama orang tua dan tahu tata krama. Bagus kalau dapat yang cantik."
"Katanya nggak banyak, Bu. Kriteria udah kayak gerbong kereta. Panjang."
Ratu tersenyum memijit gemas hidung Ano. "Ya, pokoknya segera bawa ke sini."
Ano nyengir tidak berani menjanjikan. Mbak kasih yang baru pulang dari minimarket, menyelamatkan Ano dari perbincangan sore itu. Alhamdulillah Ano masih bisa berkelit.
Ternyata butuh empati untuk kita bisa berpikir lebih humanis. Marah-marah karena Aini ijin untuk menunggui anak sakit, adalah sangat egois, Ano. Ano jadi memikirkan keresahan ibunya.
Iya kapan No, kamu bawa calon. Biar kamu cepet punya anak dan kamu bisa membuktikan ucapan Kara.
Ugh, Kara lagi.
Orang yang sedang berusaha ditenangkan oleh Hide sekarang mengapa belakangan selalu mengusik ketenangannya. Menafikkan fakta ternyata Kara punya perasaan lembut dan mau berkorban untuk yang lain, Ano masih tak habis pikir tentang penilaiannya pada gadis ini yang sedikit bergeser. Apa karena jilbabnya yang dominan berwarna abu-abu?
"Kara, nggak tahu, Yah, kenapa Rey masih gangguin. Padahal Kara sudah berulang kali nolak."
Ucapan lirih Kara mengembalikan fokus Ano pada obrolan Hide dan Kara.
Mungkin karena kamu selalu mengganggu pikirannya. "Barangkali karena jilbab abu-abu kamu yang sedikit mengganggu, Ukara."
"Apa?!" Kara menegakkan tubuhnya yang masih lemas, membeliak pada Ano.
"Ya, maksud saya ... ehm ... penampilanmu yang membuat Rey selalu membayangkan kamu ... mungkin." Ano kikuk, tersenyum kaku. Ugh, Ano, kamu ngomong apa sih!
Kara segera berdiri. Mendekat pada Ano yang sejak tadi duduk di single sofa dekat jendela kantor.
"Dengar, ya, Pak Anva." Kara hendak menuding pada Ano, tapi tidak jadi. Selanjutnya tangannya dia kepalkan. "Saya tidak mengerti ada masalah apa Bapak sama saya. Dari dulu Bapak selalu mempermasalahkan penampilan saya. Maaf kalau penampilan saya selalu mengganggu pemandangan Bapak. Permisi."
Amarah mungkin membuat Kara yang masih lemas berjalan keluar dengan kaki menghentak.
Ano membeku. Rem di mulutnya blong. Selanjutnya dia melirik pada Hide yang mengangkat bahu dan tersenyum geli.
Ugh, haruskah Ano men-service mulutnya agar remnya tidak blong lagi?
Bersambung
<<>>
Duhh, Ano nggak bisa jaga omongan yaa.
Dan Kara ngambek. Lupa kalau barusan habis ditolongin. Ck ck ck..
Reader semua, follow fb dan ig saya sj, yaa
Ashaima Va 😉😉
<<>>
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top