|| Dua Puluh Tiga
_
_
Kudet ||
Kara sudah siap dengan jilbab, khimar, dan kaos kaki. Kostum lengkapnya saat akan ke tempat umum. Yup, malam ini Kara ingin turun ke restaurant Oceanost. Dia ingin melihat bagaimana ayahnya beraksi di dapur.
Sesiangan ini Kara sibuk mengerjakan tugas yang Rindu infokan via chat WhatsApp. Beruntung Rindu mau berbaik hati menginformasikan ada tugas apa saja selama Kara absen. Dan beruntung pula, tugas kali ini bisa Kara dapatkan bahan-bahannya hanya dengan seluncur di dunia maya.
Semua selesai hanya tinggal di-print. Saat sudah berjalan mendekati pintu, Kara berbalik menuju kamarnya. Ada yang tertinggal, Kara lupa membawa ponselnya. Saat ponsel sudah di tangan, dengan bersemangat Kara melangkah menuju pintu.
Tepat ketika pintu terbuka sedikit, Kara terkejut mendapati seseorang di tangga. Jarak pintu yang hanya beberapa meter saja dari tangga, memungkinkan Kara melihat dengan jelas siapa seseorang itu. Sekalipun sedang menunduk tapi Kara kenal betul siapa dia. Dosen yang juga pemilik restaurant tempat ayahnya bekerja itu terlihat serius menekuri ponselnya. Dengan segera Kara menutup pintu. Kara tak ingin terlihat.
Kemarin malam Kara segera mengkonfirmasi siapa pemilik Oceanost pada Hide. Benar saja, pemiliknya adalah dosen mata kuliah Oceanography di kampusnya. Bapak Anva Oceano Setha. Hufft.
Duh, kenapa jadi kucing-kucingan gini sih. Tapi kalau Kara bertemu pun pasti diusir. Dan Kara kenapa jadi merasa berdosa karena numpang hidup pada orang yang tidak menyukainya. Ah, pusing, Kara jadi tidak bernafsu untuk turun ke lantai satu Oceanost.
Kara yang sudah rapi memilih keluar menuju balkon. Pemandangan belakang Oceanost kini lebih menarik perhatiannya. Bagian belakang Oceanost hanya diterangi lampu taman. Pohon besar dengan bunga kecil-kecil pun hanya terlihat siluetnya saja. Ponselnya menyala, ada panggilan masuk. Kara tersenyum saat melihat nama yang tertera di layar.
"Halo, Assalamu'alaikum, Rind."
"Wa'alaikumussalam, Kanaa, kapan masuk kuliah?"
Kara tertawa kecil, apa waktu menenangkan dirinya selama seminggu terlalu lama?
"Kubilang kan minggu depan Rin."
"Kamu sih enak, nggak masuk tapi tugas tetep disetor."
"Iya, Rind. Kan aku punya sahabat baik hati yang tak absen ngasi info." Kara tersenyum lebar, kini sikunya bertopang pada pembatas balkon.
"Tapi aku kangen, Kana. Kamu ada di mana sih?"
Memang sudah hampir seminggu sejak Rey menculiknya, Kara tidak masuk kuliah. Tidak ada yang tahu keberadaannya di Oceanost. Kara ingin menghilang sementara dari Rey.
"Aku ... di tempat ayah kandungku, Rind."
"Beneran? Kok bisa?"
"Panjang ceritanya, nanti aku ceritain deh." Kara menghela napas. Selama ini dia memang cukup tertutup perihal kehidupan pribadinya.
"Nggak bisa ditunda, hari minggu aku ke tempatmu yaa."
"Iyaa."
"Iya, iya. Gimana aku bisa ke tempatmu kalau aku nggak tahu kamu dimana."
Lagi-lagi Kara tertawa kecil. "Aku di Oceanost, Rind."
"Oceanost, restaurant di Jalan Parikesit itu?"
"Iya."
"Ayah kandungmu pemiliknya? Kok kamu bisa tinggal di sana?"
"Duh, Rindu kepo deh. Nanti aku ceritain."
Terdengar derai tawa di seberang sana. "Ya, udah. Sampai ketemu hari minggu ya. Assalamu'alaikum."
"Hm, Wa'alaikumussalam."
Kara menutup telpon dengan tersenyum. Ngobrol sama rindu selalu semenyenangkan ini.
<>
Usai membalas chat dari Angkasa, Ano menaiki tangga menuju lantai tiga. Tiba di kamarnya Ano meraih remote pendingin ruangan dan menyalakannya. Butuh beberapa waktu untuk udara sejuk dari alat pendingin itu memenuhi ruangan. Setelah membuka kaus kaki, Ano memilih keluar menuju kolam renang. Ano tak hendak berenang, dia hanya ingin melihat pemandangan halaman Oceanost dari rooftop.
Dengan lengan kemeja digulung sampai siku, Ano terlihat kusut. Luar boleh kusut tapi di dalamnya Ano lega luar biasa. Besok malam acara lamaran, akhirnya keluarga Setha bisa berbesan dengan keluarga Sanjaya. Ano mensyukuri Pak Sanjaya yang mau berbesar hati memaafkannya.
Ano tersenyum, benang kusut yang seakan tersimpul mati di hadapannya perlahan Allah urai. Ayah dan ibunya pun akhirnya mulai cair padanya. Ano mengembuskan napas lega dan menatap lurus pemandangan di depannya.
Sekalipun menatap ke depan, ekor matanya tak melewatkan pergerakan di sisi kanannya. Tepatnya di balkon ruangan Hide. Ada seseorang di sana. Seorang gadis berjilbab? Ah, ya, pasti dia putrinya Hide. Ano penasaran, bukankah putrinya Hide bule? Bule berjilbab bakal seperti apa rupanya?
Gadis itu terlihat tertawa anggun dengan ponsel di telinga. Ano memandang lebih seksama karena ingin memastikan parasnya, tapi gagal. Gadis itu menoleh ke arah lain. Ano cukup penasaran dengan putri Hide yang hilang. Pegawai Oceanost lumayan heboh saat tahu kalau Hide kedatangan putrinya. Maka Ano pun ingin tahu. Tak berlama-lama di rooftop, setelah puas menghirup udara malam Ano kembali ke dalam. Lagipula tujuan utamanya pulang lebih awal ke Oceanost adalah untuk menyelesaikan pekerjaannya.
<<>>
Semenjak ada Kara, Hide selalu kembali ke ruangannya segera setelah jam kerjanya habis. Keberadaan Kara benar-benar mengubah segalanya. Kini Hide jadi memiliki semangat untuk pulang, karena ada Kara menanti.
Malam ini Hide pulang dan mendapati Kara belum tidur. Jadilah mereka mengobrol lalu terangkailah kisah hidup Kara bersama ayah tirinya. Mendengar cerita Kara, Hide berkali-kali mengerutkan dahi dan mengeraskan rahang. Terlebih lagi saat mendengar cerita tentang Rey, laki-laki yang jadi calon suami Kara.
Usai bercerita Kara menghela napas. Antara lega dan sesak. Lega karena akhirnya dia bisa bercerita dan ayahnya memercayai ceritanya. Tapi Kara sesak saat teringat ibunya.
"Kamu kenapa tidak coba lapor polisi?" Hide memandang resah pada Kara.
"Bapak seringkali tidak percaya tentang perangai Rey. Tidak ada yang mendukungku. Kara takut, Yah. Takut Rey bertindak lebih nekat lagi kalau melaporkan Rey ke polisi."
"Kita berdua akan laporkan Rey, kalau dia berbuat macam-macam lagi sama kamu." Hide mengusap kepala putrinya. Sejak bertemu Kara, Hide bertekad dalam hati untuk menjaga dan melindungi Kara. Memenuhi apapun kebutuhannya. Dengan begini semoga bisa mengganti tahun-tahun Kara tanpa keberadaan Hide.
Kara baru tahu punya seseorang yang percaya dan mendukungnya ternyata semenenangkan ini. Semua angan-angannya dulu untuk memiliki seseorang yang bisa dijadikan sandaran, Alhamdulillah terwujud saat ini. Tapi, masih ada yang mengganjal bagi Kara.
"Yah," ucap Kara ragu-ragu. "Ayah, selalu tinggal di Oceanost? Maksud Kara, apa Ayah tidak punya rumah sendiri?"
Hide tersenyum mendengar pertanyaan Kara. Dari dulu memang tempat tinggalnya tidak tetap. Sampai Hide kerja di Oceanost, Hide selalu tinggal di Oceanost. "Dari dulu Oceanost adalah rumah Ayah. Dari semenjak Oceanost masih menyewa di tempat yang kecil sampai punya tempat sendiri sebesar ini."
"Oohh ...." Duh, alamat Kara harus kembali ke rumah Bapak kalau begini ceritanya.
"Kamu tinggal saja sama Ayah. Setidaknya sebelum kamu menikah dan diboyong suamimu. Nanti, Ayah antar untuk minta ijin ke ibumu."
Iya, kalau belum ketahuan pemilik Oceanost, Yah. Kalau ketahuan juga nanti diusir.
Haihh Kara merana, dia harus bagaimana? Kembali ke rumah Bapak tidak ada dalam agendanya dalam waktu dekat. Kara hanya bisa meringis mendengar permintaan Hide.
<>
Perlahan Kara turun ke lantai satu Oceanost melalui akses tangga di dapur. Kara mengendap-endap sebelum benar-benar sampai di tangga terbawah. Dan sudah terlihat hiruk pikuk dapur lengkap dengan asap dan aromanya. Kara bisa lihat ayahnya terlihat gagah dengan apron dan seragam biru dongkernya. Hide terlihat fokus dengan sajian di atas kitchen island, dia sedang melakukan plating. Dia terlihat mengobrol dengan seseorang yang duduk di hadapannya. Seseorang itu terlihat familiar. Saat seseorang itu tertawa dan memperlihatkan wajahnya dari samping, barulah Kara benar-benar yakin kalau dia adalah Kak Zafran.
Duh, di Oceanost banyak kejutan ternyata. Setelah Pak Anva, sekarang Kak Zafran. Eh, tentu saja, mereka kan bersahabat. Kara menahan langkahnya, dia terlalu malu bertemu Kak Zafran. Tak menunggu lama, Kak Zafran sudah terlihat akan pamit. Saat Kak Zafran sudah benar-benar menghilang di balik pintu, Kara baru berani menghampiri ayahnya.
Hide menyambut putrinya dengan senyum lebar. "Nona Ukara mau pesan apa?" ucap Hide saat Kara sudah duduk di hadapannya. Sajian yang sudah di-plating telah disimpan di kitchen island dekat pintu keluar. Nantinya sajian itu akan diambil oleh pegawai yang bertugas sebagai waitress, ada note kecil yang menyertai sajian itu sebagai penanda pesanan meja ke berapa.
Senyum Kara merekah. Belum genap seminggu Kara berada di Oceanost dia sudah dimanjakan dengan berbagai kuliner buatan ayahnya. "Kara pesan makanan terenak di sini dan makannya ditemani chef terhebat di sini." Kara menahan senyum, melipat tangan di kitchen island.
Hide gemas lalu memencet hidung Kara. "Siap, Nona Ukara. Tunggu sebentar yaa." Hide masuk ke dalam, tak lama kembali dengan sajian di pinggan kecil yang masih mengepulkan asap. "Agedashi Tofu halal ala chef Hide sebagai appetizer, sambil nunggu main course. Silakan pilih meja paling nyaman. Saya antar." Hide tersenyum dan sedikit membungkuk. Mengulurkan tangannya untuk digandeng.
Kara tertawa kecil dan menyambut uluran tangan kiri Hide yang bebas. Keduanya keluar menuju ruang utama restoran. Rona ceria tak bisa disembunyikan oleh Hide dan Kara. Momen seperti ini tak pernah ada dalam angan-angan mereka dulu. Skenario Allah sangat indah, akhirnya mereka dipertemukan.
Mendekati meja-meja Oceanost, Kara sedikit menahan tangan Hide. Dia melihat sebuah meja di ujung yang ditempati oleh tujuh orang. Dua keluarga yang Kara bisa langsung mengenalinya. Pak Raja, Bu Ratu, Angkasa dan Pak Anva terlihat duduk dan di seberangnya ada Bapak, Ibu, dan Tari. Mereka terlihat bahagia. Perlahan Kara melepas kaitan tangannya dari Hide, menyembunyikan diri di balik tembok.
Hide menyadari perubahan wajah Kara. Lalu mengikuti arah pandang Kara. Sedikit terperanjat menyaksikan ada Mira di meja pojok. Meja yang memang sudah dipersiapkan untuk acara lamaran malam ini. Jadi, Pak Sanjaya, calon besan yang Ano ceritakan adalah suaminya Mira. Ayah tiri yang memperlakukan Kara dengan kurang adil.
"Kamu mau makan di dapur saja?" Kara mengangguk. Hide memahami kesedihan Kara dan keengganan Kara bertemu muka dengan keluarganya.
Tiba di kitchen island Hide meminta Kara menunggu sementara Hide menyiapkan sajian. Hide juga meminta Kara menyantap appetizer yang tadi sudah dibuatnya.
Kara menyuapkan Tofu dengan perlahan. Luaran tofu yang crispy, bersambung dengan empuknya tofu tak bisa membenahi perasaannya. Kara shock dan sedih.
Kedua keluarga itu terlihat akrab. Tak ada amarah Bapak seperti saat Pak Anva memutuskan perjodohannya dengan Tari. Pastinya, Pak Anva melanjutkan niatannya untuk menikahi Tari.
Maka tadi Kara cukup shock, karena perjodohan Pak Anva dengan Tari berlanjut. Kara turut bahagia untuk Tari, tapi lagi-lagi dia menyayangkan, kenapa harus Pak Anva. Astaghfirullah, Kara, sudah jodoh dari Allah. Kara tidak boleh protes. Namun Kara juga sedih saat melihat Ibu dan Tari tadi. Kara merindukan mereka.
Setelah menunggu tak begitu lama, Hide datang dengan sebuah nampan berisi dua sajian. Sebuah mie kuah yang Kara tidak tahu apa namanya, masih mengepulkan asap panas. Sajian satu lagi adalah daging panggang yang di atasnya disiram dengan saus berwarna coklat. Kara benar-benar buta dengan menu-menu ini.
"Dimakan, Kara," pinta Hide.
"Ayah, nggak makan malam?"
Hide menggeleng. "Ayah masih kenyang. Nanti saja."
Kara mengangguk, lalu mulai menyuapkan makanan yang dari baunya sudah memancing liur. Tapi, ahh, pemandangan dua keluarga tadi benar-benar merusak nafsu makannya. Kara makan dalam diam.
"Kamu kenal dengan keluarga Pak Raja tadi."
Kara mengangguk.
"Dia Pak Sanjaya yang kamu ceritakan?"
Lagi-lagi Kara menjawab dengan anggukan.
"Kapan-kapan, Ayah antar kamu menemui dia dan ibumu. Kita minta ijin, untuk kamu tinggal bersama Ayah. Dan Ayah ingin menyampaikan pesan untuk dia jangan sembarangan menjodohkan kamu."
Kara tersenyum. Kini ada ayahnya sebagai sandaran dan pembela. Dia juga bahagia, Hide tetap mempertahankannya untuk tinggal di sini. Tapi, uh, semoga kalau Pak Anva sudah menikahi Tari, Kara diperbolehkan tinggal di Oceanost. Kara mengunyah dengan senyuman yang terbit di wajah orientalnya. Akhirnya, Kara tak harus terusir dari Oceanost.
"Kamu kenal juga dengan Ano?" tanya Hide kemudian.
"Pak Anva dosenku, Yah. Juga calonnya Tari."
"Calonnya Tari?"
Kara mengangguk. "Iya, Bapak dan Pak Raja yang menjodohkan mereka."
Hide menarik dua sudut bibirnya. "Kudet kamu, Kara."
Kara menaikkan kedua alisnya. Kudet? Dari segi bahasa ayahnya benar-benar sudah membaur dengan negeri ini.
"Memang pernah dibatalkan, sih, tapi tadi Pak Anva melamar Tari lagi."
"Jangan berasumsi. Kesimpulanmu bisa salah."
"Terus, tadi mereka ngapain, Yah? Bukan lagi arisan, kan?"
Hide tertawa, ada-ada saja Kara ini. "Tadi acara lamarannya Angkasa untuk Tari."
Manik mata Kara membola. "Angkasa?"
Bersambung.
<<>>
Strawberry, Apel, Mangga ....
Jangan kudet seperti Kara yaa 😁
<<>>
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top