|| Dua Puluh Delapan
_
_
Antagonis||
"Kamu yakin acara akadnya jam 11 siang, No?" Usai mengenakan sabuk pengaman Hide bertanya pada Ano.
"Begitu kata Zafran. Penghulunya mesti menikahkan beberapa pasangan hari ini. Zafran dan Rindu kebagian jam 11."
Hide mengangguk-angguk, jam di tangannya menunjukkan pukul 10. Mobil milik Ano meluncur semakin menjauhi Oceanost. Perjalanan ke Masjid dan gedung tempat dilangsungkannya akad dan walimah Zafran-Rindu terletak tak begitu jauh dari Oceanost. Di hari minggu jalanan lumayan lengang, maka menurut perhitungan sekitar 20 menit lagi mereka akan sampai.
"Setelah Zafran menikah nanti, kamu tidak ada niatan untuk minta dicarikan seseorang untuk bisa berta'aruf, No."
Ano tersenyum malas. "Cukup di rumah saja yang selalu ngangkat topik jodoh, ya, Hide."
"Aku cuma bantu mengingatkan, No."
Ano hanya mengangkat bahunya.
"Dosen sok seperti Pak Anva gini, nggak perlu diingatkan, Yah." Yang ini suara batin Kara. Hanya membatin. tidak berani dia ungkapkan. Kara memandang datar ke sisi kirinya. Memandang jalanan dengan tidak bersemangat. Harusnya Kara menginap di rumah Rindu semalam tapi karena ulah Rey beberapa hari lalu, Hide tidak mengijinkan. Dia bersikap over protektif. Dan yang membuat Kara lebih tidak bersemangat lagi adalah karena ayahnya lebih memilih menumpang di mobil Pak Anva menuju gedung tempat acara akad dan resepsi pernikahan Rindu. Kenapa tidak pakai mobil Hide saja. Sedikit kesal Kara tak banyak bicara sejak tadi.
Tak mendapat respon dari Ano, Hide mengalihkan perhatiannya pada Kara dia menengok ke belakang. "Nanti kalau Ayah sudah mau pulang Ayah telepon, ya."
"Iya, Yah," jawab Kara singkat. Hide hanya menatap muram melihat Kara yang diam sejak tadi.
Selanjutnya mobil melaju dalam senyap. Masing-masing sibuk dengan pikirannya. Bahkan sampai mereka berpisah di parkiran Kara tak banyak bicara. Raut wajah Kara berubah ceria saat dia sudah memasuki gedung tempat resepsi. Gedung yang cukup luas ini disekat dengan tirai sejak dari lobby. Sebagian digunakan untuk tamu laki-laki dan sebagian lagi digunakan untuk tamu perempuan. Dekorasi bunga-bungaan segar dipasang sepanjang jalan menuju pelaminan.
Begitu melihat sosok Rindu dalam balutan jilbab pengantin, Kara mengembangkan senyum. Rindu cantik dengan make-up tak berlebihan. Dan saat Rindu menyadari kehadiran Kara dia pun tersenyum.
"Kara, kok, baru datang?"
Kara hanya merespon dengan meringis.
"Aku berharap kamu nginep malah sekarang datang telat."
"Iya, Rind, Ayah nggak ngijinin." Kara melewatkan cerita tentang perbuatan Rey sehingga membuat Hide lebih protektif dan Kara telat tentu saja karena harus menunggu Bos besar. Heran, siap-siap berangkat bisa lama gitu. Apa Pak Anva berenang dulu tadi?
"Tuh, akadnya sudah mau dimulai." Kara menyudahi lamunan sesaatnya dan menunjuk pada layar besar yang dipasang tak jauh dari pelaminan. Layar menunjukkan aktivitas di ruang ikhwan. Tiap orang telah bersiap pada posisinya. Yang bertindak sebagai wali adalah ayahnya Rindu, dia duduk bersebelahan dengan petugas dari KUA. Di hadapannya duduk dengan tegap Kak Zafran dengan saksi di sisi kanan dan kirinya. Kara melihat Hide duduk tak jauh dari meja akad. Sekilas terlihat tersenyum penuh haru.
Setelahnya Kara menatap lamat-lamat pada Hide. Suasana akad yang khidmat dan sakral membawa Kara pada rasa haru penuh syukur. Dipertemukan dengan Hide adalah takdir manis yang disyukurinya. Sempat berharap dengan pernikahan agar menjadi jalan keluar, tapi Allah masih membimbingnya agar berpikir jernih. Tidak menjadikan pernikahan hanya untuk pelarian dari masalah dengan Rey.
Lalu Kara menoleh pada Rindu yang tersenyum tersipu. Tangannya saling meremas bikin Kara gemas. Kenapa sih reaksi orang menikah bisa segugup itu. Tapi Kara bahagia menyaksikan kebahagiaan Rindu. Semua mata memandang pada layar besar di ruang itu, kompak semua bernapas lega usai kalimah ijab dan kabul terucap. Ruangan tak begitu padat karena baru keluarga dari mempelai wanita dan mempelai pria saja yang baru tiba. Tamu undangan sebenarnya baru akan tiba nanti siang.
"Selamat, ya, Rind. Barakallah." Kara memeluk Rindu dengan erat.
"Makasih Kara." Rindu melepas pelukan namun masih mengaitkan lengannya pada Kara. "Setelah ini aku akan jadi comblangmu. Kamu nggak boleh kelamaan menjomblo, biar aku ada temennya. Ray Ray yang kamu ceritain udah sejarah, kan?"
"Alhamdulillah, dia sudah ke laut." Kara tertawa kecil diikuti oleh Rindu. Dia tak menanggapi pernyataan Rindu untuk jadi comblang. Biarlah begitu, sudah ada Hide maka rencana Kara ke depan adalah menyelesaikan kuliah dan bekerja. Menikah belum ada dalam rencananya.
Setelah prosesi akad usai, Rindu dibawa masuk kembali untuk sholat dan kembali dirias. Sedangkan Kara, bergegas mencari musala untuk menunaikan salat Dzuhur. Alhamdulilkah ada musala kecil di hall ini. Usai Kara menunaikan sholat dzuhur dan menikmati santap siang dari prasmanan, Hide sudah memanggilnya untuk pulang. Hemmh, Hide yang over protektif menghangatkan hati Kara.
<<>>
"Makan Kara, Ayah tahu kamu pasti lapar lagi. Perempuan kalau makan di acara pesta biasanya nggak lahap. Apa namanya, jaim?" ucap Hide sambil duduk di samping Kara. Semangkuk mi soba diletakkan di atas meja. Keduanya kini ada di balkon.
"Ayah tahu aja." Kara nyengir mengambil semangkuk mi soba yang Hide buat. "Kara memang lapar, tapi Ayah salah. Kara sama sekali nggak jaim tadi, kok, Yah." Kara mulai menyuapkan mi yang masih panas dengan perlahan. "Hampir semua meja makanan Kara sambangi. Porsinya, sih, sedikit-sedikit. Tapi kara kenyang banget. Trus nggak tahu kenapa sekarang lapar lagi."
Hide menanggapi dengan tersenyum, bahagia melihat putrinya kini lebih berisi. Wajahnya tak kuyu seperti pertama tiba. Memandang Kara lekat lalu Hide mengalihkan tatapannya pada pohon tebebuia di hadapannya. Sore ini pohon itu sedang tidak berbunga. Tapi pemandangan di balkon sama indahnya dengan saat pohon itu berbunga. Karena ada Ukara di hadapannya kini.
"Ayah, nggak kerja?"
Hide menggeleng.
"Tar diomelin Bos, lho. Pak Anva di kampus, kan, galak, Yah. Di sini juga pasti nggak beda jauh."
Hide tertawa kecil mendengar omongan Kara. "Ada banyak yang menggantikan, tenang saja."
Ano tak segalak itu jika di Oceanost. Justru Hide yang kerap bertindak tegas pada bawahan, karena hampir sebagian operasional Hide yang menangani. Ano hanya berurusan dengan pembukuan saat tiba jadwalnya untuk pemeriksaan bulanan. Saat ini Hide memutuskan untuk menemani Kara karena sejak semalam Hide resah untuk alasan yang tak dimengerti olehnya.
"Ngomong-ngomong kamu nggak apa-apa?" tanya Hide di sela Kara menikmati minya.
"Nggak apa-apa kenapa, Yah?"
"Kata Ano, Zafran pernah ...." Ragu-ragu Hide ingin melanjutkan.
"Ohh." Kara tampak memahami arah pembicaraan Hide. Kara sesaat menunduk menatap mangkuk mi di tangannya. "Kenapa harus kenapa-napa, Yah." Kara menggeleng mantap setelahnya. "Kara sudah yakin saat memutuskan untuk menolak lamaran Kak Zafran dulu."
"Kata Ano, Zafran itu idolanya para akhwat seperti kamu ini, Kara. Lamaran darinya adalah dambaan hampir semua perempuan. Ayah khawatir kamu sedih."
"Kara nggak sedih, Yah, Kara malah bersyukur. Dulu Kara pendek akal, berpikir kalau pernikahan bisa jadi jalan keluar dari permasalahan Rey. Tujuan pernikahan lebih sakral dari itu. Untuk menggenapkan separuh Din, bukan untuk pelarian dari masalah."
Hide tersenyum menelan kekhawatirannya.
"Emang Bos Ayah itu cerita apa aja? Sok tahu." Kara menyimpan mangkuk yang isinya tinggal sedikit di atas meja.
"Ano cerita banyak hal yang dia tahu tentang kamu. Termasuk cerita waktu kamu menangis di jurusan saat bercerita tentang calon suami kamu. Dan Ano menyaksikan langsung kurang ajarnya Rey sama kamu di parkiran Oceanost."
Kara mencebik terlihat tak suka.
"Tapi kamu nggak gelisah karena sahabatmu sudah menikah?"
"Ya ampuun, Ayah. Ya enggak, lah. Sudah ada Ayah, Kara merasa terlindungi sekarang. Tapi ...."
Hide menatap serius. "Tapi?"
"Kara kangen Ibu. Kara pengin ketemu."
"Nanti Ayah antar. Memang ada banyak hal yang harus diluruskan dengan ibumu."
"Beneran, Yah? Kara kangen dan pengin minta maaf sama Ibu."
"Iya. Kamu tidak selamanya tinggal sama Ayah tanpa restu ibu, bukan?"
"Makasih, yaa, Yah." Kara menangkup telapak kanan Hide dengan telapak kirinya lalu Hide menyambut dengan menenggelamkan telapak Kara yang lebih kecil ke dalam genggamannya.
"Kamu beneran nggak apa-apa? Kalau dipikir-pikir Ano itu anaknya baik. Dia juga tidak kalah tampan dari Zafran." Hide masih dalam topik serupa.
"Maksud Ayah." Kara memicing lalu menautkan alis.
"Bukan, kalau kamu mau ... Ayah berencana menjodohkan kamu ...."
"No no no, enggak Yah. Jangan Pak Anva. Bisa makan ati Kara tiap hari dimarahin. Cukup di kampus Kara dijutekkin sama dia. Jangan nambah di rumah juga."
Hide tertawa lebar mendengarnya. "Kalau sudah jadi suami ya tidak akan, lah, Kara."
"Siapa yang jamin, Yah? Lagi pula Pak Anva bukan tipe Kara. Wajah gantengnya di mata Kara cocoknya jadi pemeran antagonis."
Hide tetiba muram, sisa tawanya surut seketika. "Jadi tidak ada harapan?"
Kara menggeleng mantap.
Baiklah, Hide, jalan terjal dan berliku mempersatukan Ano dan Kara sudah tertutup sebelum sempat dibuka. Kara yang tidak menyukai Ano dan Ano pun belum tergerak menikah. Hide sepertinya harus mengubur mimpinya saat ini juga. Haihh.
Bersambung
<<<>>>
Dear readers, Hide patah hati, silakan hibur dia. 🤗🤗
Ada yang kangeenn??? Maaf yaa lama tak update. 😂😂
<<<>>>
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top