2

Seorang dokter yang mengenal keluarga pak Yusuf menghampiri pak Yusuf di depan UGD.

"Dokter Yusuf? Ada apa dengan keluarga kesini?" Tanya dokter Fian ramah.

"Anak saya Juni dan Mei sedang ada di dalam dokter Fian, tolong"

"Baik dokter, akan saya usahakan" dokter Fian masuk ke UGD.

40 menit berlalu, tetapi dokter belum Keluar dari ruangan. Keluarga Septian menghampiri keluarga Yusuf. Ibu Mariam nampak bingung.

"Bu Dena, ada apa?" Tanya bu Mariam lembut.

"Septian masuk rumah sakit bu, katanya bersama dengan anak-anak ibu" suara bu Dena sudah parau, seperti orang menangis.

50 menit berlalu, dokter muda dan dua orang suster membawa Mei keluar dari UGD. Pak Yusuf mengenal mereka.

"Anak saya mau di bawa kemana?" Tanya pak Yusuf dengan sopan.

"Maaf dokter, pasien ini tidak terluka parah, jadi kami akan memindahkannya ke ruang inap. Pasien perempuan dan laki-laki masih ada didalam dengan dokter Fian" jelas dokter muda itu.

"Bunda dan Febrian urus Mei, biar ayah tungguin Juni disini" pak Yusuf mengintrupsi. Bu Mariam dan Febrian mengurus ruangan inap Mei.

☘☘☘☘

Ruangan ICU terasa sangat menyesakkan hari ini bagi pak Yusuf. Biasanya pak Yusuf hanya melewatinya saja dan tanpa ada perasaan apa-apa. Berbeda untuk hari ini dan kedepannya.

Juni terbaring koma di ruang ICU. Sedari tadi pak Yusuf dan bu Mariam menunggu Juni sadar dari komanya. Sedangkan Mei sudah di tunggu oleh Febrian dan keluarga kecilnya.

Bu Mariam sedari tadi tak henti-hentinya berdoa untuk kesembuhan anak-anaknya.

****

Dokter Fian keluar dari ruangan UGD dan menemui pak Yusuf di ruang tunggu sendirian.

"Dokter, saya sudah berusaha sebaik mungkin untuk anak dokter, tinggal anak dokter yang berjuan sendiri, kita cuma bisa berdoa kepada Allah"

"Terimakasih dokter"

"Bagaimana dengan Septian anak kami dok?"

"Maaf pak, bu, luka tusuk Septian lebih parah dari anak dokter Yusuf, Septian juga kehilangan banyak darah saat di bawa kesini. Maaf pak, bu, kamu tidak bisa menyelamatkan Septian. Septian meninggal"

****

Febrian memegang bahu Pak Yusuf. "Mei sudah sadar yah, tapi seketika pingsan lagi saat bertanya Juni, sepertinya dia mengalami syok berat"

"Astaghfirullah.." jawab mereka serempak.

"Bun, dokter yang menangani Mei mau ketemu bunda atau ayah"

"Biar Bunda aja yang kesana, ayah sini saja jaga Juni" Bu Mariam keluar ruang ICU bersama Febrian untuk menemui dokter Yang menangani Mei.

☘☘☘☘

B

u Mariam menangis dan memegang tangan anak bungsunya itu. Kenyataan yang tak pernah dia bayangkan sama sekali selama dia menjadi dokter puluhan tahun. Sangat menyesakkan dada. Hari libur yang sangat melelahkan hati dan pikiran mereka.

"Eyang" Junior memegang pundak bu Mariam yang sedang duduk.di samping ranjang Mei.

"Kamu pulang saja sama Mama dan Papa kamu. Eyang jagain tante disini"

"Jun ikut jagain tante disini ya bareng Eyang. Jun mohon eyang" bu Mariam hanya bisa mengangguk menyetujui permintaan Junior, karena saat ini bu Mariam juga butuh seseorang disampingnya saat ini.

Tak henti-hentinya bu Mariam memanjatkan doa kepada Allah untuk kesembuhan putri-putrinya.

Sebuah gerakan tangan membuat bu Mariam menegakkan badannya dan duduk di samping Mei. Mei beberapa kali memerjapkan matanya untuk menyesuaikan cahaya yang masuk.

"Adek" panggil bu Mariam lembut. Membuat Mei tersenyum kearah bu Mariam. Ada kecemasan di wajah Mei saat ini.

"Kenapa dek? Mau minum? Apa kepalanya sakit?" Tanya Bu Mariam lembut.

"Bunda...mbak Juni?" Mei meneteskan air matanya saat menyebut nama Juni.

"Ada lagi di jaga sama Ayah di sana" Mei langsung terduduk di ranjangnya.

"Mbak Juni? Hidup?" Bu Mariam hanya mengangguk. Bagaimana bisa bu Mariam mengatakan yang sebenarnya pada Mei. "Adek mau ketemu sama mbak Juni bun"

"Jangan sekarang dek, mbak Juni lagi dalam perawatan dokter, katanya masoh harus banyak istirahat. Kamu juga harus banyak istirahat dulu"

Mei mengangguk. Hati Mei tenang karena kakaknya masih hidup dan bersama dengan ayahnya. Mei tiba-tiba teringat akan kejadian kemari yang membuatnya harus masuk rumah sakit juga.

"Ada apa dek?" Mei hanya diam dan pandangannya kosong. Bu Mariam sangat khawatir. Berkali-kali bu Mariam memanggil anak bungsunya itu, tetapi tidak ada jawaban. Mei melamun dan pandangannya kosong.

"Tante cerewet" panggil Junior tepat di telinga Mei. Mei kaget dan refleks memukul bahu Junior. "Auh sakit Tan"

"Astaghfirullah baby, kamu ngagetin tante aja. Kapan kamu datang?"

"Kemarin. Tante dari tadi di panggil juga malah melamun. Ngelamunin apa sih?"

"Bun, by, adek mau cerita sesuatu, mau dengar?" Bu Mariam merasa lega, seseorang yang mengalami syok berat seperti Mei, ingin bercerita secepat ini.

"Iya, bunda dan Jun mau dengerin"

"Mbak Juni kemarin di tarik sama Septian, mbak Juni melawan tapi tetap di tarik juga sama Septian. Adek dorong Septian sampai jatuh, tapi Septian malah balas dorong adek juga sampai adek terbentur trotoar" bu Mariam beristigfar, dalam hati bu Mariam selalu berdoa untuk kesembuhan Juni.

"Mbak Juni marah ke Septian. Septian bilang kalau cinta sama mbak Juni, karena mbak Juni nolak, jadinya Septian ngeluarin pisau ke mbak Juni dan nusuk mbak Juni" Mei menangis dan bu Mariam memeluknya erat.

"Istighfar sayang. Istighfar terus kepada Allah"

"Astaghfirullah.. septian bilang kalau nggak boleh ada laki-laki lain yang memiliki mbak Juni, dan dia juga menusuk perutnya sendiri dengan pisau yang dia bawa"

"Astaghfirullah haladzim" bu Mariam menangis mendengar cerita Mei. Mei sendiri semakin terisak-isak melihat sendiri bagaimana Juni di tusuk oleh Septian.

"Septian gimana bun? Dia harus di hukum ke kantor polisi"

"Ikhlaskan nak. Septian sudah meninggal"

"Dia pantas mendapatkannya. Septian brengsek"

"Istighfar dek, nggak baik ngomong gitu sama orang yang sudah meninggal dek. Istighfar nak"

"Astagfirullah haladzim bun, boleh adek ketemu mbak Juni?" Mei sudah menghapus air matanya. "Mei sudah baikan bun"

Bu Mariam mengangguk, dan menyuruh Junior mengambil kursi roda untuk Mei, karena kondisi tubuh Mei masih lemah. Bisa saja sewaktu-waktu syok yang dia alami akan kembali lagi dan membuat Mei pingsan.

Bu Mariam mendorong kursi roda Mei menuju ruang ICU tempat Juni di rawat. Pak Yusuf melihat Mei sudah sadar, bergegas keluar dan memeluk anak bungsunya itu.

"Adek mau lihat mbak Juni yah" pak Yusuf menunduk dan memandang Mei dengan tatapan sendu.

"Mbak Juni masih koma sayang. Kamu berdoa untuk mbak Juni ya" hati Mei terasa hancur, kenyataan yang sangat pahit dia alami disaat dia sudah menguatkan dirinya.

Mei masuk ke ruangan ICU. Dia memegang tangan Juni. Selalu berdoa untuk kesembuhan Juni. Kakak perempuan yang dia sayangi, walaupun mereka sering terlihat bertengkar, tapi mereka saling menyayangi satu sama lain.

Pergerakan tangan Juni membuat Mei merasa senang. Doanya dan seluruh keluarganya dikabulkan. Juni sadar dari komanya. Pak Yusuf segera menekan tombol putih untuk memanggil dokter menuju ruangan ICU.

"Maafin Juni" kata-kata itu terucap begitu saja dari mulut Juni. Nafas Juni semakin tersengal-sengal. Pak Yusuf mendekati Juni dan berbisik di telinga anaknya.

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ

Saya bersaksi bahwa Tuhan yang berhak disembah selain Allah, 
dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.

Juni mengucapkan kalimat syahadat yang dituntun oleh pak Yusuf sendiri berkali-kali. Juni mengucapkannya dengan lancar meskipun nafasnya tersengal-sengal. Dokter datang saat Juni mengucapkan kalimat syahadat. Setelah itu Juni meninggal dunia. Pak Yusuf menutup mata Juni. "Innalilahi waina ilaihi Raji'un"

☘☘☘☘

*Maaf masih banyak typo


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top