Bab 7-3

Bab 7-3

“Apakah kau juga akan melarangku ketika aku mulai belajar mencintai dan dicintai Alec saat ini juga?!”

Menakjubkan. Entah bagaimana menakjubkan. Thalia menghela napasnya dengan getir. Ia tahu dirinya sudah terlalu keras kepala, terlalu membantah—terlalu menyakitkan hati pria itu, Tristan. Dan menakjubkan, itu adalah pertengkaran pertama mereka selama menjalin hubungan sebagai teman.. teman baik. Dan menakjubkan, pertengkaran tersebut disebabkan oleh satu hal spele, Alec.

Thalia tahu, Alec tidak sebaik yang dipandang oleh orang-orang sekitar dan dirinya sudah pernah dilukai beberapa kali oleh pria itu. Seharusnya Thalia tidak membantah, dan bertindak menurut kemauan Tristan yang, katanya, demi kebaikannya. Blah. Kebaikan. Tristan memang memberikan yang terbaik kepada Thalia, pria itu agak menyadarkan Thalia dari angan-angan di udaranya mengenai Alec. Tapi, entah kenapa—entah kenapa. Entah kenapa saja, rasanya pria itu menyampaikannya dengan sungguh salah.

Tristan bisa dengan baik-baik membujuk Thalia seperti dulu, Tristan bisa. Atau mungkin Tristan bisa merundingkan masalah ini secara profesional dengan Thalia layaknya seorang majikan dan pengawal, Tristan bisa, pria itu beberapa kali melakukannya dua minggu lalu. Thalia bisa menerima sarannya, mencernanya sebaik mungkin, melakukan tindakan terbaik yang menerangi jalan menuju masa depan seorang Thalia Ersa of Seymour. Tapi, adalah sebuah pengecualian jika Tristan mengatakannya begitu ketus dengan banyak siratan menyudutkan Alec yang keluar dari mulutnya.

Setidaknya, Tristan perlu tahu bahwa Alec adalah tunangannya, walaupun dipertunangkan dalam acara paling tak berdasarkan cinta. Itu, status pria itu, menandakan bahwa Alec lebih berkuasa daripada Tristan, dan begitulah apa yang terjadi pada Thalia. Thalia lebih berkuasa daripada Tristan, dan seharusnya Thalia yang memberikan perintah, bukan dia. Seharusnya seperti itu, namun entah kenapa—dan Thalia baru menyadarinya sekarang—bahwa selama ini kepribadian Thalia yang rapuh diperalat oleh Tristan.

Itu merupakan sebuah asumsi awal dan Thalia tahu seharusnya seorang putri mahkota, seperti dirinya, tidak berasumsi berdasarkan fakta yang ada. Seorang putri mahkota dituntut untuk berpikir sepintar—secerdas—mungkin. Dan asumsi tak berdasar adalah sebuah bentuk keegoisan paling tolol. Tapi, selama ini Thalia tidak pernah berpikir sepintar ataupun secerdas putri mahkota lainnya ataupun layaknya Athena Waisenburg, si putri dingin dari kerajaan adidaya. Selama ini Thalia mempelajari dirinya sampai sebuah pengenalan akan siapa dirinya, dan ia tahu, dirinya selalu melihat di luar kotak pandangan orang-orang sekitar. Bertindak seakan itu apa yang benar bagi dirinya—bukan bagi orang lain. Ia begitu yakin akan dirinya sendiri sampai-sampai ia—

Melupakan hal terbaik seorang teman hendak sampaikan.

Benar. Tolol. Selama ini Tristan tidak pernah menyalahkannya, ia selalu menyarankan dalam suaranya paling mengerikan sekalipun. Tapi, kali ini Thalia membantah dan itu dikarenakan oleh Alec. Tapi, kali ini Tristan mengatakannya begitu ketus nan sinis, dan itu dikarenakan oleh Alec. Entah kenapa Alec menjadi sebab penyebab dari pertengkaran kekanak-kanakkan ini. Alec bagaikan iblis di antara mereka yang hendak memisahkan kedua belah pihak, itu aneh, bukan? Mungkin saja Tristan benar dan sarannya memanglah saran yang terbaik. Oh, Thalia merasa seakan-akan dirinyalah yang patut disalahkan dan bersedih saat ini.

Selagi melajukan langkah dengan anggun-tak-anggun, menelusuri lorong demi lorong yang membawa Thalia semakin masuk ke dalam labirin rumit Kastil Reyes, Thalia memiringkan sedikit kepalanya, memberikan sedikit pandangannya pada wajah Tristan di belakang. Dan pandangan mereka berjerempak.

Ada perasaan pahit pada hatinya yang menciut selayaknya hati seorang pecundang. Tatapan itu tertuju padanya tak lebih dari tiga detik, dan pada detik keempat pria itu tidak mengacuhkan tatapan getirnya, memandang jauh ke depan sampai-sampai Thalia tidak dapat menemukan titik pandangannya. Ini menyesakkan, sungguh. Dari pandangannya saja, Thalia sudah tahu bahwa Tristan benar-benar pengawalnya yang akan melakukan apapun demi mengemban perintah dari sang majikan. Dan apa yang Thalia perintahkan tadi? Oh, tentu saja Thalia mengingatnya: Jangan dekati dirinya lagi.

Tentu saja—dan pria itu melaksanakan tugasnya tanpa cacat.

Bungkukkan puluhan pelayan dengan segera membuka jalan menuju ruang makan Reyes di ujung sana yang terlihat memukau dan berkilau. Mereka semua—puluhan pelayan—tersenyum hangat kepada Thalia, memekarkan sebuah perasaan kekeluargaan yang menyesakkan di hatinya. Menyesakkan, tentu saja, karena mau bagaimanapun juga sudah berabad-abad Keluarga Seymour dan Reyes berseteru, berperang, menumpahkan darah satu sama lainnya, dan sampai sekarang, mereka masih berdebat mengenai hal-hal kecil sekalipun.

Tapi, kehadiran Thalia dan Tristan di kastil antik ini disambut meriah serta hangat seakan-akan selama berabad-abad tidak ada setitikpun keraguan ataupun perselisihan di antara dua keluarga. Itu setidaknya meringankan kepahitan yang dikirimkan Tristan seberat-beratnya pada hati rapuhnya. Entahlah apakah hatinya rapuh karena untuk sebagian waktu dalam hidupnya, yang ia yakini begitu panjang dan banyak, ia selalu mengabaikan pendapat terjelek orang terhadap dirinya. Jadi, yah, Thalia agak kebal dengan itu semua, dan mungkin pendapat Tristan akan keputusannya.

Tapi, tunggu, bukankah apa yang mereka debatkan adalah mengenai Alec? Benar, Alec, dan itu masih terekam jelas, melekat pada memorinya. Alec, tentu saja, ya ampun. Pria itu bagaikan iblis yang mampu membuat masalah di manapun dengan sedikit godaan dan dorongan jahat pada orang-orang tak bersalah. Bermuka dua dan pembuat masalah, iblis sejati. Setidaknya, iblis yang menawan, pikir Thalia saat mendapati Alec duduk di kursi meja makan, tersenyum simpul padanya yang baru saja memasuki ruang makan mewah.

Pria berkarisma itu seperti biasa mengeluarkan aura menegangkan yang menguar ke seluruh pelosok ruang makan. Namun, ada beberapa perubahan yang—mungkin—terjadi pada dirinya. Cara pria itu berbicara, entah kenapa terasa lebih lembut dan menenangkan, padahal ia hanya menyapanya. Sekedar sapaan seperti ‘selamat malam’, tapi itu cukup mengkandaskan seluruh gemetar di tubuh Thalia. Tentu saja Thalia, ini adalah rumahnya dan ia adalah tuan rumahnya, semua orang akan merasa lebih tenang dan berkuasa dalam daerah teroterialnya.

Alec terduduk di sana, selayaknya pemimpin acara makan malam yang duduk sendiri di sana, mengangkat salah satu kakinya ke atas paha dengan seksi, di antara kemewahan interior ruang makan. Mewah adalah satu kata yang mampu mendeskripsikan seisi ruang makan. Lampu gantung paling besar yang berhiaskan kristal dan beberapa permata lainnya terletak di tengah-tengah begitu sempurna, seakan-akan tempat itu memanglah miliknya bahkan sebelum diri si lampu terbentuk. Lampu lain yang berada di sekitarnya dengan ikhlas turut menerangkan seisi ruangan, memperjelas siluet-siluet wajah para Reyes dan warna dinding ruang makan yang membuat Thalia terpukau.

Kastil Reyes memang dibangun berabad-abad yang lalu dan semua orang memanggilnya dengan sebutan ‘Kastil Antik’ yang pada awalnya Thalia sama sekali tidak mengerti apa daya tarik dari kastil ini, mengingat sejak kecil ia tidak dipebrolehkan menginjak wilayah Reyes.Tapi, ia sekarang mengetahuinya, malah secara keseluruhan, mulai dari struktur bangunan, ruang-ruang yang mengisi kastil, dan banyaknya lukisan mengaggumkan di kastil ini. Dan yang mampu membuat seluruh bulu di tubuhnya berdiri ngeri adalah lukisan wajah karismatik Adolphus Reyes.

Alec pasti mewarisi karisma, mata kelabu, dan bentuk wajah dari Adolphus, tentu saja, karena Thalia hampir salah mengira bahwa yang dilukis di sana adalah Alec, bukan Adolphus. Namun, setelah melihat keterangan nama di bawah lukisan, Thalia terperanjat, membuka matanya lebar-lebar. Kakek moyang dan keturunan sama saja, selalu membuat orang terkejut dengan hal-hal yang tak akan pernah diduga. Yah, lagipula apa yang bisa membuat orang terkejut dari hal yang telah disangka-sangka sejak lama?

Ketika sebuah kursi ditarik hanya untuknya, dengan sopan Thalia menerima, segera duduk di sana seanggun mungkin demi memperbaiki citranya di depan para Reyes. Dan betapa mengerikan posisi duduknya ini karena.. karena astaga dari sini ia bisa melihat profil Alec begitu jelas hingga dadanya yang mengembang dan mengempis dapat ditangkap oleh mata cokelat Thalia. Thalia mencoba menolak segala dorongan dan tekanan untuk menatap ataupun—sedikitpun—melirik wajah menawannya karena siapa yang menyangka bahwa di meja ini terduduk banyak Reyes?

Thalia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari-cari Tristan. Hatinya akan selalu tenang jika melihat wajah pria itu, berkebalikan ketika menatap wajah Alec, sungguh berkebalikan. Ketika menatap wajah Alec, ada suatu perasaan tak terjelaskan yang mendamba, tak beres, linglung, canggung, apapun itu, hati Thalia sama sekali tidak bisa secara terus terang mengatakannya. Tapi, satu hal yang pasti, Alec bagaikan obat-obatan terlarang yang nyaris setiap detik Thalia inginkan, kecanduan.

Sesuatu mencegah tatapan Thalia untuk terus menyapu ruangan. Perintahnya. Astaga, ia melupakan perintahnya sendiri kepada Tristan. Benar. Kalau Tristan mau bersikap profesional, kenapa ia tidak berusaha pula? Lagipula, acara makan malam hampir dimulai.

“Yang Mulia,” sapa seorang wanita awal lima puluhan berwajah segar dan cerah. Mata abu-abunya berkilat misterius.

“Aku lupa mengenalkanmu pada ibuku,” sela Alec cepat. “Wanita ini ibuku, Lady Marilyn of Reyes. Dan ibu, ini adalah tunanganku, Putri Thalia of Seymour.”

Anggukan tunggal tertuju hanya kepada Lady Marilyn yang duduk di sebelahnya dengan keanggunan melebihi batas. Layaknya ratu-ratu, Lady Marilyn memakai baju paling berkelas, paling ramai bukan karena rendanya, melainkan permata-permata yang, ya ampun, bertaburan di sana dalam baris paling rapi yang pernah Thalia lihat. Kebeningan warna hijau pada matanya benar-benar membingkai rongga mata bagaikan tirai transparan antik yang Thalia lihat sekilas di lorong tadi. Rambut keemasannya mulai memutih, tapi itu tidak mengubah kecantikan licik alaminya, sedikitpun tidak. Entah kenapa, melihat wajahnya seakan melihat ular.

Lady Marilyn segera mengibaskan tangan kepada anaknya dengan semburan tawa keluar dari mulutnya. “Aku tahu, ya ampun, pertunanganmu dan pelamaranmu, aku tahu semua. Banyak orang yang memberitakannya, lagipula siapa yang tidak mengenal Putri Thalia yang—“ Lady Marilyn duduk di sebelahnya, menarik sejumput rambut hitamnya dan melingkarkannya dengan elegan pada jari telunjuknya yang kurus dan keriput, lalu melanjutkan, “Putri Thalia yang cantik, menawan hati ribuan bujangan di Reibeart setidaknya sejak semalam.” Lady Marilyn tersenyum.

Melihat gelimangan cahaya pada mata hijaunya membuat Thalia menarik pandangannya dari warna indah itu. Tentu saja, selain mengingatkannya akan Tristan, gunungan harapan yang mungkin tak akan bisa Thalia penuhi tertera jelas pada mata hijau bening tersebut. Dan lagi, selama ini yang menjadi poros perhatian penduduk Reibeart adalah anaknya sendiri, Alec of Reyes, bukan calon menantunya yang baru saja menarik perhatian dengan kecantikan yang bahkan—mungkin—tak pernah ia miliki sejak semalam.

Sekarang, orang paling tampan di Reibeart, setidaknya menurut kebanyakan orang, duduk menyilang di depannya, dan dirinya tidak punya kekuatan sekalipun untuk menolak auranya menarik kembali kedua mata Thalia kepada Alec. Dengan kemeja putihnya dengan kerah terbuka, menampilkan kulit keemasannya, entah kenapa membangunkan sensasi aneh pada perut Thalia. Dan selain sensasi aneh, Thalia bertanya-tanya, apakah para Reyes jarang memakai pakaian formal pada acara makan malam seperti ini?

Tubuh Thalia terlonjak kaget ketika telapak halus tangan Lady Marilyn membelai punggung tangannya dalam kepelanan yang mengerikan. Jujur saja, Thalia merasa agak tidak nyaman duduk di sini, di antara para Reyes, ditatap oleh mereka seakan-akan dirinya ini adalah anjing yang membantah perintah majikannya. Entah kenapa. Entah kenapa. Mungkin para Reyes masih belum bisa menerima Thalia sebagai bagian dari keluarga, mungkin belum.

“Kau sangat cantik. Mengingatkanku kepada Kania.” Lady Marilyn tersenyum padanya. “Kuharap demi memperbaiki hubungan di antara keluarga, Yang Mulia bersedia menikah dengan anak saya.” Lalu wanita itu menggenggam Thalia selembut mengangkat bulu burung.

Thalia tercekat. Pernikahan. Ia tidak pernah mengungkit-ungkit permasalahan sakral itu siang malam, tapi, tentu saja, itu akan terjadi, astaga, kalau saja sebelum hari pernikahan tidak ada kecelakaan yang menimpa kedua belah pihak. Tapi, pernikahan dengan Alec. Melahirkan anaknya. Membesarkan anaknya. Thalia akan mengemban tugas seorang ibu dan ratu, secara bersamaan—jika saja pernikahan ini tidak berfungsi sebagai batu loncatan Alec.

Thalia meronta-ronta, hendak lepas dari genggaman Lady Marilyn. “Tidak—maksudku, belum tentu Alec akan menjadi suamiku, La-la—“

“Kau akan menjadi istrinya dan Alec akan menjadi suamimu, titik.” Lady Marilyn membesarkan matanya, mempererat genggaman pada tangannya yang berubah menjadi sebuah cengkeraman paling menyakitkan, paling memberatkan. Memberatkan karena, tentu saja, ada maksud tersembunyi di baliknya. Aura misterius yang menguar dari setiap tubuh para Reyes di sini juga menyiratkannya, sesuatu yang tersembunyi itu.

Thalia meringis kesakitan. Sebuah erangan terselip keluar dari antara mulutnya. Oh, sial, seharusnya ia bisa lebih menjaga mulutnya karena, astaga, semua tatapan dingin Reyes tertuju padanya.

Tiba-tiba suara ketukan mengisi dan memecahkan keheningan yang ada. Kepala pelayan yang menuntunnya tadi, masuk dan mendekati Lady Marilyn dengan langkah panjang nan tegas. Ia membungkuk sebelum akhirnya berbisik kepada Marilyn begitu pelan dan nyaris sunyi. Cengkeraman pada tangan Thalia melonggar dan betapa terkejutnya Thalia, mendapati punggung telapak tangannya berkeringat hebat. Keterkejutan Thalia semakin menjadi ketika tanpa salam sampai jumpa dari Lady Marilyn, wanita itu dengan kasar mendorong kursinya ke belakang dan pergi dari hadapan dua puluhan orang ini.

Tanpa ia sadari, Thalia memiringkan kepalanya, bertanya-tanya dan agak sedikit bingung dengan situasi mengherankan ini. Situasi ini seakan meninggalkan bau yang tak diketahui Thalia, mendorongnya agar mencari tahu ada apa.

Tapi, Alec memamerkan senyum palsunya pada Thalia dan membuka acara makan malam ini, tanpa ibunya. Kemudian, Alec bertanya lirih kepadanya, “Ada apa Thalia? Silahkan dimakan.”

Thalia hanya bisa mengangguk. Benar-benar ada kemisteriusan di sini.

***

Thalia dengan lega menyelesaikan makan dan segera mengucap syukur kepada Tuhan, ternyata ia masih diberikan kesempatan untuk hidup karena hanya Tuhan yang tahu jika para pelayan Reyes memasukkan cairan racun ke dalam makanannya. Setelah tersenyum kepada beberapa Reyes dan meminta izin untuk memakai kamar kecil, Thalia segera menelusuri lorong yang sebelum acara makan dimulai, dilewati oleh Lady Marilyn.

Ya, ampun, Thalia semakin pintar berbohong dan mungkin setelah ini berdusta akan mendaging bersamanya. Tapi, maafkan dirinya Tuhan karena ia begitu penasaran dan rasa penasarannya tak akan pernah bisa dibendung kecuali ia mendengar sendiri apa jawabannya. Selalu begitu dan selamanya akan. Dan sayangnya, tindakan mencari jawabannya terkadang dan seringkali berujung sebuah tanggapan ‘eksentrik’ akan dirinya.

Tidak lama berjalan, Thalia menemukan sebuah tangga besar yang akan membawanya ke lantai atas, tentu saja. Thalia yakin, seyakin-yakinnya, bahwa lady itu menaiki tangga ini, menuju kamarnya. Dan, tanpa ragu ia menginjakkan kaki pada anak tangga pertama, kedua, ketiga, begitu seterusnya sampai akhirnya ia mendengar suara gumaman orang di atas sana. Keyakinan Thalia bulat sudah, ia mengambil langkah secepat mungkin, sampai akhirnya sebuah cahaya menerobos salah satu kaca pada pintu di lorong tersebut.

Refleks, Thalia berjalan mendekati cahaya tersebut dan ketika menyadari betapa nyaring suara hak sepatunya, ia melepas keduanya, menaruhnya di dekat sudut pintu pertama yang ia temui, dan berjalan ke sana selembut kucing berjalan. Tatapannya berkonsentrasi hanya pada satu titik, dan titik itu adalah pintu dengan cahaya kuning pudar itu. Konsentrasinya tak dipecahkan oleh sedikitpun suara angin di luar kastil, ia terus berjalan hati-hati, selembut mungkin semampunya—

Sampai akhirnya sesosok pria berkulit gelap keluar dari ruangan itu dan menutup pintu rapat-rapat.

Ya ampun, Thalia sama sekali tidak menyangka bahwa ia akan mengalami fenomena kehabisan napas seperti di novel-novel. Ia selalu menduga bahwa ini hanya kiasan semata, tapi kali ini memang benar-benar terjadi padanya. Ia ketahuan mengendap-endap dan sekarang pria besar mengerikan itu mendekatinya dengan kepelanan yang mengintimidasi. Thalia hendak kabur, tentu saja, itu naluri alaminya. Ia berbalik secepat mungkin, memunggungi pria bertubuh besar itu yang, untung saja, berada beberapa meter jauhnya dari tempatnya berdiri sekarang.

Ia pasti bisa pergi dari sini dan melihat matahari keesokan harinya, atau dalam kasus lebih menyenangkan, ia dapat mencelupkan tubuh pada bak penuh aroma terapi yang menenangkan. Ia pasti bisa pergi karena pria itu sama sekali tidak melangkah, hanya terdiam di sana, bergeming, tanpa menindaklanjutkan apa yang seharusnya pria mencurigakan seperti dirinya lakukan.

Pria itu membuka mulutnya. Pria itu membuka mulutnya. Pria itu bisa saja membunuh Thalia, mengeluarkan senjata tajam dari balik jas misteriusnya, melemparkannya tepat ke kepala Thalia, atau mengejarnya, membekapnya, menyuliknya, melecehkannya—pria itu bisa melakukan apapun yang ia mau. Tapi, pria itu hanya menawarkan sesuatu yang bahkan tak disangka-sangka oleh Thalia. Dan hal yang tak disangka selalu mengejutkan.

“Jawab aku atau kepalamu akan terlepas dari tempat seharusnya. Apakah kau mau tahu letak keberadaan Pangeran Caesar?”  tanyanya kasar, menawarkan sesuatu yang, astaga, selama ini Thalia sama sekali tidak menganggap masalah ini sebagai bagian dari masalahnya, betapa egois dirinya!

Thalia nyaris menggeleng, mengatakan tidak, ketika tiba-tiba reaksi yang ditunjukkan oleh Adeline kepadanya membekukan setiap syaraf dan otot di tubuh Thalia. Ia begitu egois dan Adeline sekarang, mungkin, sedang meringkuk di atas kasurnya, menangis sepanjang hari, begitu putus asa akan keberadaan anaknya, darah dagingnya, yang ia lahirkan atas kehendak Tuhan dan cintanya kepada William Waisenburg.

Ini menjijikan, ternyata selama ini Thalia egois. Bukan masyarakat yang mengubahnya menjadi sesosok manusia yang egois, tapi kebiasaannya untuk menyendiri lah sebabnya. Sebabnya begitu sederhana dan kenapa Thalia tidak pernah menyadarinya?

Thalia mengangguk. Baiklah, setidaknya kali ini ia tidak boleh egois. Setidaknya ini untuk seorang ibu yang putus asa dan pasrah akan kasus penculikan anaknya. Sekali lagi, dengan lebih mantap, Thalia mengangguk, meyakinkan pria bertubuh besar itu dari kejauhan bahwa keputusannya ini bulat sudah bentuknya. “Ya. Berikan aku informasi tentangnya.”

Pria itu mendengus, tertawa sinis seakan menertawakan jawaban Thalia. Akhirnya pria ini berujar, “Mudah sekali dirimu meminta, Tuan Putri. Tapi, baiklah, karena aku adalah pria yang baik hati, aku akan mengatakannya dengan cuma-cuma.”

Sebelah alis Thalia terangkat. Pria ini akan memberitahukan setidaknya segelintir informasi tentang keberadaan Caesar, bukankah begitu?

Tangan besarnya terjulur ke depan, membuka secara misterius dalam kesinisan paling mencengangkan. Tangan itu terulur hanya untuk Thalia, tapi Thalia tidak akan menerimanya. Tidak akan—

“Kemari. Kau menginginkan informasinya. Kemari,” pinta pria itu.

Dengan ragu Thalia melangkahkan kakinya maju, mendekati pria itu. Oh, ya ampun, mungkin akalnya sudah tak waras lagi karena, astaga, pria itu mungkin saja seorang buronan penjaga keamanan Reibeart yang juga mungkin saja akan membunuh Thalia kapan saja yang ia mau. Tapi, Thalia melangkah, terus melangkah, sampai akhirnya pria itu berkata seakan memotong seluruh tindakan dan kedip matanya.

“Sendirian,” tegas pria itu.

Sampai detik itu, Thalia sama sekali tidak menyadari bahwa Tristan berdiri di belakangnya. 

.

.

.

IYaaa selamat malam semua, maaf ya totor upload malem-malem huhu. Kenapa saya engga upload kemarin? soalnya modem saya habis lagi pulsanya huhuhu. ini modem minta dihajar pake bogeman spesial sepertinya huhu. Tapi ini salah saya juga sih kenapa donlot film yang panjangnya 2 jam huhu. Oh iyaaa, buat kaka kaka smp, jia you ya buat hari kedua UN, yakni UN inggris hehehee. Bagi yang merasa dirinya kelas sembilan dan siap pasti bisa melancarkan UN dengan doa dan upaya yang udah kalian lakukan demi waktu ini. Ehehee. #sokbijak. sementara saya 4 hari berturut turut libur huhuu, surgawi sekali #plak. oh iya part ini saya dedikasikan pada seseorang eng ing eng~~~akhir kata, selamat malam dan selamat menjalankan aktifitas masing-masing atau mungkin tidur :) Tuhan memberkatimu :---]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top