Bab 5-2

Bab 5-2

     Pemakaman ini, secara keseluruhan, begitu mewah walaupun tubuh di bawah tanah tak terbungkus oleh apapun kecuali kain kafan. Batu nisan yang diletakkan setelah mayat dikubur, terbuat dari marmer, hampir menyerupai sebuah rumah dengan lambang Reyes di atapnya. Nama mayat di batu nisan ditulis dengan cairan emas yang diimpor langsung dari Cania, kerajaan pertambangan, dilelehkan di sini, di Reibeart. Mawar-mawar putih indah masih membawa bau embun bersamanya, terangkai menjadi satu dan diletakkan di atas batu nisan. Bau melati menyebar ke seluruh pelosok taman pemakaman, memberitakan bahwa seseorang yang penting telah meninggalkan dunia.

     Alec tidak berduka atas kematiannya dan ia lega tidak harus berkabung selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan, mengingat dirinya bukanlah seseorang yang akrab ataupun keluarganya. Dan Alec hanya menatap kosong ke arah makam, sementara Anastasia mengucapkan salam kepada keluarga yang berduka. Tidak lama kemudian, setelah Alec menyadari bahwa matahari mulai menggantung di atas kepala, Anastasia kembali padanya dan tersenyum. “Sudah. Sudah semua. Keluarga Caver bilang bahwa mereka akan merasa lebih terhormat jika kau yang mengucapkannya langsung.”

      Alec melemparkan tatapannya pada kerumunan Keluarga Caver, berdiri agak jauh dari makam. Beberapa wanita muda menatapnya penuh damba dan menggoda sementara yang pria terlalu hormat padanya sampai-sampai mengalihkan pandangan mereka. Ini sudah menjadi kebiasaan para pro-Reyes, menghormati Alec bahkan ketika dirinya melakukan tindakan tidak sopan. Gila, memang. Setidaknya mereka bisa bersikap sedikit seperti Thalia. “Jadwal, Tasia.”

     Anastasia dengan segera menjawab, seakan-akan otaknya adalah gudang jadwal Alec selama masa hidupnya. “Opera. Ada beberapa persiapan mengenai balkon karena keluarga Waisenburg, tahun ini, untuk yang pertama kalinya, turut menonton pertunjukan.”

     Anggukan Alec membuat Anastasia berkata lebih banyak. “My Lord, mengenai Tyler yang salah—“

    Namun Alec memotongnya setajam pedang, “Aku tahu. Beritanya sudah ada di koran dan televisi sesaat setelah aku bangun. Aku menunggu laporan dari Tyler, tapi sepertinya dia kabur dari Reibeart setelah tahu bahwa ia melepaskan ular itu di saat yang tidak tepat. Dan yang meninggal adalah salah satu mata-mata kita yang menyamar menjadi pelayan kastil, Helena.”

     “Ya. Tyler memang berusaha kabur dari Reyes, mengingat kita akan memberi hukuman berat jika ia melakukan kesalahan dan ia melakukan kesalahan. Ia terlalu takut menanggung risiko dari tindakan yang ia perbuat dan kabur ke perbatasan, menuju Biel, kerajaan pesisir, tetangga Reibeart, kampung halamannya.”

   Alec menghembuskan napas bangga akan teman lamanya sembari berjalan menuju transportasi udara. “Belum ada yang melaporkan detailnya padaku, dan kau adalah orang pertama. Sempurna, seperti biasa yang bisa diharapkan dari seorang Anastasia, Sayangku.” Dan Alec melemparkan tatapannya pada Anastasia sepenuhnya, yang pertama kalinya untuk hari ini, melihatnya dari atas ke bawah.

      Anastasia, seperti biasa, memang cantik, namun ada yang berbeda hari ini. Rambut pirang indahnya disanggul berantakan dan meninggalkan beberapa helai lambut menuruni leher kurus menggodanya. Tubuh montoknya terbalut dalam seragam sekretarisnya, blus putih dan rok sependek pahanya. Kaki jenjangnya diperindah dengan sepatu hak berharga lebih dari sejuta Kon. Oh, dan selain itu pundaknya membawa-bawa tas tangan hitam yang terbuka, akibat tindakannya mengambil sebuah layar portable. Alec berhenti berpikir sejenak dan banyak pertanyaan segera menyusup ke benaknya. Entah kenapa ia tidak merasakan hasrat membutuhkan kepada Anastasia, seperti beberapa hari yang lalu.

      Apakah mungkin ini semua disebabkan oleh mata kucing penghipnotis milik Thalia? Bibir merahnya yang merekah dan membengkak seksi seusai diterkam badai? Pipi pucatnya yang menimbulkans samar-samar rona merah setiap kali Alec membelai kulitnya? Tubuh—di luar dugaan—nyaris proposionalnya yang berdansa mengikuti irama jemarinya? Ataukah mungkin—mungkinkah Alec mulai menginginkannnya, menyampingkan Anastasia?

        Gila. Seharusnya kesalahan semalam tidak terjadi, sehingga pembunuhan itu akan berakhir sebuah tragedi bernama: “Putri Mahkota Meninggal Di Kamar”. Ya, seharusnya Thalia meninggal sekarang, tapi wanita itu terlalu beruntung, masih diberikan kesempatan untuk menghirup udara secara cuma-cuma dengan Alec yang mulai gila memikirkan wajah cantiknya. Tapi, wajahnya memang cantik, sayang sekali jika wanita itu mati tanpa Reibeart mengetahui kecantikannya. Dan di lain sisi, entah kenapa, ada perasaan rendah ini,

           Ia tidak mau satu matapun melahap rakus kecantikan rahasia Thalia.

        “Ah, Alec,” panggil Anastasia dengan kedua matanya masih berkonsentrasi pada benda di tangannya.

            Alec mengangkat sebelah alisnya. Ia berharap semoga saja bukanlah pekerjaan tambahan. Kemudian, Anastasia kembali melanjutkan, “Kita diundang ke Lembah Seymour, tempat pelantikan pengawal pribadi si Seymour Junior, yang pertama. Bukit yang tidak berjarak lebih dari satu kilometer di utara adalah area di mana Reyes terbuang sedang berburu beruang secara ilegal dan Seymour—“

                “Namanya Thalia, Tasia. Thalia,” tegas Alec. “Sebut namanya, Thalia, sekarang.”

                Kedua alis Anastasia merenggut bingung, tapi akhirnya ia mengucapkan, “Thalia.” Anastasia membungkam mulutnya sejenak, melihat-lihat apakah Alec masih akan berbicara setelah ini.

 Dan Alec berkata sembari mengetuk dagu, bertanya-tanya apakah ini keputusan paling benar, “Geser jadwal menuju opera, Tasia. Kita akan menghadiri acaranya, menghentikan tindakan para terbuang sebelum seseorang memfitnah kita, dan—“ dan untuk bertemu Thalia.

Alec memejamkan matanya sejenak, tak kuasa merasakan senyuman licik yang tersungging di wajahnya, embusan napasnya yang tiba-tiba memanas, bersemangat. “Sekaligus mengambing hitamkan Greyster.”

***

Selamat tinggal, Alec..

Tarik kembali ucapannya. Apakah salam itu sesuai dengan situasi sekarang? Karena, karena, karena, untuk yang kedua kalinya, Setan Bermata Biru itu menolong hidupnya dari palung kematian. Ia berdiri di sana, di belakang seekor beruang yang telah hancur terobek-robek, mencecerkan darah ke sekitarnya dan Thalia. Entah kenapa Thalia merasa wajahna menggelap di belakang sana, ditutupi oleh rimbunan pohon. Ia berjalan mendekatinya dan Greyster yang terduduk di tanah tak berdaya dengan langkah penuh amarah. Apakah wajahnya menggelap karena alasan lain?

Ia, Alec of Reyes, berdiri di hadapannya, menatap Thalia di bawah hidung dengan mata biru kelabunya. Thalia mendongakkan kepala perlahan, pandangannya tersilaukan oleh matahari, dan Thalia benar-benar melihat wajah Alec yang menggelap sempurna. Thalia tak mengalihkan pandangannya dari Alec, terlalu takut untuk melakukannya, bahkan ketika pria itu berjongkok di depannya, memberikan kepada Thalia pemandangan wajah membekukan hati, mengiris air matanya.

Thalia berpikir akan lari. Thalia berpikir akan lari. Thalia berpikir akan lari ketika—tanpa diduga—Alec menamparnya kencang dengan tangan bersematkan cincin Kepala Keluarga Reyes-nya. Desahan keluar dari mulut Thalia, dan ia tak percaya ini, tapi ia mengumpat pelan di hadapan Alec, hampir seperti ringisan. Alec marah dan pria ini menamparnya. Marah dan menamparnya tanpa sebab yang harus dijabarkan. Sialan.

Mulutnya membuka saat Lord Greyster menunjuk Alec dengan telunjuk gemetarnya. “Kau-kau-kau-u-u-u-u, Reyes! Kau yang meletakkan pisau itu di sapu tanganku, bukan! Jawab, bajingan tengik!”

Greyster terus mencaci maki Alec dengan kata-kata khasnya yang tak bermoral. Semua kata-kata itu telah terlalu sering menembus gendang telinga Thalia, membuatnya bosan dan berpikir: apakah tak ada kata lain selain kata itu? Tapi sakit pada pipinya masih berdenyut, mengalirkan guncangan mengerikan pada wajah sebelah kanannya, dan mata Thalia tidak tertolong untuk tak melototi Alec, meneliti setiap gerakan Alec, bahkan ketika pria itu merundukkan sedikit tubuh, lalu mengambil batu berukuran sebesar kepalan tangannya. “Dan mengapa kau mencoba membunuhnya?”

Batu itu Alec lemparkan dengan segenap zahlnya ke arah Greyster, namun sepertinya tidak mengenai dengan tepat karena Thalia sendiri tak mendengarkan apapun tapi keriangan Greyster. “Tidak tepat sasaran, idio—“

Syukurlah, kata itu tak sempat Greyster selesaikan karena Alec telah terlanjur mencekik Greyster dengan zahlnya, tidak sampai mati, hanya pingsan. Thalia yang sedari tadi memejamkan matanya, tidak mau membukanya bahkan ketika ia bertanya, “Sudah?”

“Buka matamu. Aku ingin berbicara,” ujar Alec masih dalam nada angkuhnya.

Thalia, seakan mengikuti perintah Alec, membuka matanya perlahan dan yang ia dapatkan adalah sebuah jambakan serta umpatan. “Bodoh. Kau dengan sialan, lahir di mana?”

Thalia menyipitkan matanya, hendak menyamarkan segala air mata yang hampir menyeruak keluar. Tapi, Alec bahkan tak sekalipun berkutik menatapi ekspresi sedih di wajah Thalia. Ia malah kembali berkata, “Bodoh, bodoh, bodoh. Apakah kau tahu kau dalam bahaya? Kau bisa saja mati jika saja aku tidak berada di dekat sini, sedang mengamankan para terbuang! Apakah kau gila? Setidaknya kau bisa menggunakan zahlmu atau lari dengannnya! Atau mungkin mengambil pisau dari Greyster dan melemparkannya pada mata si beruang! Dan kau bisa menolak dengan tegas segala sikap cabul Greyster, menginjak tubuh sialannya dengan kuda dan berlari ke pondok di atas bukit, atau kembali ke lembah, bukan berdiam diri di sana, menghindari serangan Greyster!”

Hati seakan tertusuk-tusuk mendengar komentar tajam Alec, tapi itu semua—apapun—yang dikatakannya benar. Dirinya salah. Thalia mengalihkan pandangannya pada dagu Alec, terlalu takut serta gugup menatap langsung bola mata berkilau marah milik Alec. Namun Alec mengangkat dagu miliknya tinggi-tinggi, sampai mata cokelat Thalia kembali berjumpa dengan mata kelabunya. Alec benar-benar marah dan mungkin akan menamparnya sekali lagi. Mungkin saja. Mungkin..

“Aku memperhatikanmu,” mulai Alec lembut, lalu membentangkan kedua tangannya ke belakang kepala Thalia dan memeluknya penuh sayang. Pada awalnya, Thalia memang terkejut dan tak bisa menikmatinya, tapi, mendengarkan jantung Alec berdetak di bawah telapak tangannya, merasakan desiran hembusan napas Alec pada punggungnya, merasakan pipi kanannya diusap pelan oleh rambut halus menyerupai bulu anjing milik Alec, membuatnya berada pada ujung kenyamanan dan keamanan.

“Setidaknya sejak kau berdiri di panggung itu, mendengarkan sumpah-sumpah tak berguna, dicium oleh pengawal pribadimu, menunggangi kuda, dan menjauh dari keramaian. Setidaknya,” lanjut Alec. Thalia menunggu penuh penantian, tapi kelihatannya Alec tak ingin berkata lebih, takut mencuatkan segala pikirannya.

Thalia mengangguk, dan balas memeluk Alec. “Kukira kau marah.” Tapi—

Sesaat setelah pelukannya Thalia balas, pria itu kembali memberikan jarak di antara mereka. Tatapannya terpaku hanya pada mata Thalia dan suaranya mengeras. “Aku memang marah. Melihatmu begitu lemah, tak bisa melindungi diri sendiri dengan tubuh kurusmu itu, tak pernah mengangkat suara ataupun memproteskan kelakuan mesum Greyster pada ayahmu. Aku muak melihatmu, dan itulah yang kurasakan padamu.”

Thalia mendengus. Muak. Ia memang sudah terbiasa melihat orang-orang melemparkan tatapan muak padanya, melancarkan segala rencana demi membunuhnya, melontarkan caci maki di belakang punggungnya, tapi ia tidak pernah menghadapi orang seaneh dan se-sangat-cepat-berubah-perasaan-dan-tingkahnya, seperti Alec. Baginya Alec adalah teka-teki yang tak terpecahkan dan Alec tahu isi hatinya, dapat marah kapan saja tanpa alasan yang spesifik, tanpa Thalia bisa melawannya. Tapi, kali ini Thalia akan melawannya.

 “Aku tidak setegas dirimu, aku tidak seberani dirimu, aku tidak sekuat dirimu, aku tidak se-konsisten dirimu, dan aku demam panggung. Aku tidak bisa berbicara selancar dirimu saat berpidato, mendapatkan nilai nol pada pelajaran olahraga, paling mahir dalam bersembunyi di kegelapan, paling mahir membuat jijik semua orang. Dan kira-kira seperti itulah diriku, kalau kau tidak bisa menerimanya, jangan lamar aku. Jangan tolong aku. Jangan berjanji padaku, Pria Jalang!”

                Alec mengeraskan pegangan pada kedua bahu Thalia, sebelum mendeklarasikan, “Aku memang tidak menerimamu apa adanya karena apa yang kuidamkan adalah wanita sempurna dan kau jauh dari kata sempurna, kau bagaikan sampah yang merenggut apapun dariku, berpikir membakar semuanya dalam api adalah jalan terbaik!” Rahangnya mengeras, dan selama melototi Thalia, rahangnya mengatup, menggeram rendah hingga mengeluarkan raungan singa saat berkata. Ini mengerikan. Thalia tak pernah membakar apapun. Ia takut api. Siapakah yang Alec singgung atau hubungkan dengannya?

                Thalia menatap dalam mata kelabu Alec dan yang ia dapatkan adalah samudera tak bernama. Samudera di hatinya yang berisikan kenangan terburuk dalam hidupnya. Thalia tak berani menyelam lebih jauh, atau meneliti lebih jauh, karena dengan satu sentakan keras pada pundaknya, dirinya sudah tahu bahwa pria ini akan membunuhnya cepat jika ia mengungkit sesuatu tentang kedalaman matanya. Kemudian, Alec bekata lirih, berbisik pada telinga sensitif Thalia dengan kelambatan mengesankan. Pria ini memang penyiksa dan pintar mencaci maki, bahkan Thalia meleleh dalam bisikan jahatnya.

                “Lain kali, aku tidak akan menolongmu. Tidak—akan.”

***

Setelahnya, Thalia dan Alec kembali ke lembah, disambut dengan kekhawatiran Bartholomeu akan anaknya dan keterkejutan para tamu melihat seorang Reyes berkeliaran di acara para pro-Seymour. Dengan cepat Alec menjelaskan segala sesuatu yang terjadi selama Thalia berkuda bersama Greyster dan tepat saat itulah Greyster datang dengan tangisan sialannya. Tapi, tangisan itu berubah besar ketika amarah Bartholomeu meluap, menjatuhkan hukuman pada Greyster, menyita sebagian tanah miliknya, dan memutuskan untuk mengakhiri pertunangannya dengan anak semata wayangnya. Dan Thalia sedikit lega.

Tapi, badai memang datang seusai kelegaan.

Alec dijunjung tinggi oleh Bartholomeu, dibangga-banggakan, dan dipuji. Para pro-Seymour agak terkejut mendengarkannya, tapi memang seperti itulah Bartholomeu. Siapapun yang menolong anaknya akan dibangga-banggakan dan diberi jabatan lebih karena, tentu saja, Bartholomeu begitu menyayangi Thalia sampai-sampai membiarkan tahta selanjutnya jatuh ke tangan anak semata wayangnya.

Alec tidak diberikan jabatan tinggi, mengingat jabatannya yang memang sudah terlalu tinggi di usianya yang terlalu muda untuk menyandangnya. Duapuluh tiga tahun dan Alec sudah menjadi representatif Reyes, memajukan beberapa perusaahaan dan politik Reibeart dalam hitungan tahun sebanyak jari pada satu tangan. Alec diberikan dari sekedar kehormatan untuk duduk makan malam bersama keluarga kerajaan, tapi juga sebuah keputusan yang Thalia pikir tidak menguntungkan, mengingat Alec adalah sebuah pribadi yang kau-tahu-sendiri-bagaimana.

Telah diperlakukan dengan buruk olehnya dan Thalia of Seymour menginginkan sebuah pengasingan di pulau timur, tapi yang ia dapatkan adalah sebuah restu dari Bartholomeu IV—

                Dan sejak detik itu, tanpa mengetahui apa arti di balik senyuman sinisnya, ia bertunangan dengan Alec of Reyes.

                Satu kata yang terlintas di benaknya: Bahaya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top