Bab 5-1
Nah... pic di samping kira-kira siapa yaaa?? ayo tebaaaak ;]
***
Bab 5-1
“Aku tidak mengerti dan pembunuhan itu sungguh miste—aw!” Thalia menjerit karena, lagi, ia harus memakai korset terkutuk yang kali ini dibelikan oleh ayahnya. Korset model terbaru yang membentuk tubuhnya begitu proposional, menyiksa setiap tulang dan—mungkin—ususnya. Semua wanita, kecuali Thalia, menyukai korset ini, membelinya berpuluh lusin sampai-sampai mencapai rekor penjualan korset dunia. Ya ampun, apa bagusnya korset ini kalau dirinya tidak bisa bernapas dalamnya? “Longgarkan sedikit ikatan tengahnya, astaga, longgarkan sedikit.”
Tristan, bersender pada dinding samping pintu, menjentikkan jari pada tangkai gelas yang ia pegang dengan mempesona seakan-akan menebarkan pesona pada Thalia lebih penting daripada pelantikannya pada pukul dua siang. “Kau hanya perlu bertenang diri di sini selama proses penyelidikan di-ja-lan-kan, Cinta.”
“Kamarku disegel Tristan dalam waktu yang tidak kuketahui atau mungkin selamanya karena mereka tidak tahu apa yang menyebabkannya mati abnormal,” jelas Thalia. “Aku tidak sempat memeriksa kamar kemarin, orang-orang Kastil sudah terperanjat, berlari ke lantai tiga karena diriku berteriak histeris.”
Tristan menatap cairan di dalam gelas, memikirkan sedalam palung apapun yang Thalia katakan. Butuh beberapa menit bagi Tristan untuk termenung, sampai akhirnya ia menjawab dengan nada yang dilambatkan, “Aku tahu.”
Thalia merentangkan kedua tangan ketika lengan gaun dipakaikan oleh para pelayan. Ia tahu Tristan akan mengerti apa yang dirasakan benaknya. Ia tahu jawaban pendeknya berarti lebih dari sekedar apa yang ia ucapkan. Ia tahu ia menyukai bagaimana Tristan membuat senyuman malas-malasannya yang pertama pada hari ini. Thalia menarik salah satu sudut bibirnya ke atas dan Tristan balik tersenyum dan Thalia tahu bahwa sebuah cermin diletakkan di kamar sementaranya ini bukan hanya untuk berkaca, tapi juga untuk memberikan pemandangan yang bernama ‘Tristan’. Thalia pura-pura mendengus. “Ku akui, jadwalmu bermabuk-mabukkan cukup unik.”
Tawa kecil keluar dari tenggorokan Tristan setelah pria itu memamerkan lesung pipi terbaiknya. Tristan meraih gelasnya ke udara sembari memutar pelan gelas itu. “Aku tidak pernah mabuk dan tidak ada kata jadwal untuk minum, Thalia.”
"Bagus. Apakah itu sebabnya kau hanya meminum satu gelas? Karena kau tahu batasmu?”
Kepalanya menggeleng pelan. “Tidak, untuk hari ini karena aku tidak tahu batasku.” Tristan menarik lengan seragamnya dan mempelajari jam tangan baru di pergelangannya. “Pukul dua belas empat puluh lima. Sejak kapan kau bangun se-siang itu?” Tristan berbalik, memunggungi sang putri mahkota yang sedang berpakaian begitu indah hanya untuk hari ini, hanya untuknya. “Kurasa aku akan pergi sekarang. Sampai jumpa dan pastikan rambutmu tersanggul rapi hari ini.”
Mulut Thalia membuka, mencegah Tristan melangkah lebih jauh. “Tunggu. Ada sesuatu yang menggantung di benakku.”
“Apa itu dan sebutkan,” kata Tristan lebih seperti perintah.
Suara Thalia tercekat sebelum akhirnya ia berhasil menuangkan pelumas pada tenggorokannya. “Kenapa pembunuhan itu dilakukan di kamarku? Bukankah itu menjadikan aku sebagai sasaran mereka?” Thalia menghela napasnya dengan berat, agak sulit mengutarakannya, apalagi, mungkin, orang itu akan masuk ke dalamnya. “Para Reyes maksudku. Para Reyes.”
***
Lembah Seymour adalah tempat pelantikan calon pengawal pribadi Thalia. Pada hari biasa lembah ini begitu tenang dan damai mengikuti irama air sungai yang mengalir deras. Kecuali pada hari raya. Ya, kecuali pada hari raya, lembah ini, kurang lebih, seramai sekarang. Biasanya para penduduk pinggiran datang ke lembah in, menggelar sebuah perayaan khas mereka, bersenang-senang dengan trompet, bernari dengan gaun sederhana, menggemparkan Seymour dengan nyanyian murahan yang spektakuler, melelehkan hati kaku para elite di Seymour.
Salah satu perayaan terbesarnya adalah perayaan datangnya musim panas. Tidak jarang Thalia memandangi perayaan ramai itu dari jendela besar kamarnya, mengamati setiap gerakan lincah kaki para penduduk pinggiran, dan mungkin mereka tak menyadarinya, tapi bulan selalu berada di pihaknya, menyinari seakan-akan bernari di belakang punggung mereka. Thalia sesekali—dulu—ingin melepaskan sepatu hak tinggi yang ia pakai secara paksa, menggantinya dengan sepatu usang kesayangan dan bernyanyi di sana, bergabung pada sebuah lingkaran, tanpa ada satu pun orang yang menghindari dirinya hanya karena ia adalah seorang putri mahkota. Tapi, itu tidak akan terjadi.
Itu tidak akan terjadi karena setelah bertahun-tahun terus berdoa agar dirinya mampu disukai dan didekati orang hanya berujung pada sebuah lukisan malaikat. Dan dua buah lamaran. Dan seorang tunangan yang gendut. Dan seorang pria yang luar biasa tampan. Dan kembalinya teman lama yang tumbuh begitu menawan. Dan, setidaknya, pada akhirnya, seorang calon pengawal pribadi. Dan kata ‘calon’ yang mengawalinya akan terbuang tanpa sisa setelah pelantikan ini selesai. Tristan akan menjadi pengawal pribadinya. Sempurna.
“Bersumpahlah pada Putri Thalia Ersa of Seymour bahwa kau akan melindunginya segenap jiwa dan ragamu dalam waktu yang diawali pelantikan megah ini, diakhiri oleh keputusan putri,” Bartholomeu IV mengucapkan kalimat formal begitu lancar seakan-akan lidahnya terbentuk akan kalimat itu.
Thalia menjulurkan tangannya ke tepat depan wajah Tristan yang sekarang sedang merendah, berlutut di hadapannya. Posisi seperti ini pastinya akan lebih romantis jika dilakukan saat ia melamarku, bukan menjagaku, pikir Thalia. Dari sudut mata, Thalia mendapati ayahnya yang secara isyarat menyuruhnya untuk mengangkat dagu ke atas sedikit, dan ia melakukannya kalap. Walaupun agak tidak jelas, tapi dari atas ia bisa melihat wajah indah Tristan beserta bola hijau matanya yang lama kelamaan tertutup oleh kelopak mata emasnya. Tangan Tristan meraih tangannya, dan tanpa menariknya, Tristan maju mendekati punggung tangan dan menempelkan bibir di atasnya dengan khidmat, hormat.
Thalia bisa merasakannya. Ia bisa merasakannya. Ia bisa merasakannya napas Tristan berembus di atas punggung tangannya dan perasaan itu kembali menjalar. Perasaan yang kurang lebih nyaris mirip dengan perasaan yang ditimbulkan oleh Alec, namun kali ini lebih hangat, lebih bisa diterima, nyaman, dan semacamnya. Mungkin perbedaan itu disebabkan oleh hubungan yang mereka jalani. Ia dan Tristan adalah teman baik sejak kecil, saling mengerti dan saling mendukung. Sedangkan ia dan Alec adalah—secara umum—merupakan musuh, saling menipu dan saling membenci.
Alec. Thalia dan Alec adalah musuh, setidaknya saling tidak suka. Itu memang benar dan Thalia tidak tertolong untuk tidak ikut membenci Reyes mengingat pengaruh buruk keluarganya. Tapi, kemarin Alec melembut di hadapannya, sama seperti ayahnya melembut di hadapan almarhum ibunya. Alec melembut di hadapannya, merampas ciuman pertamanya, menghias tubuh dengan ciuman yang kedua, dan di atas segalanya yang tak dapat Thalia percayai, Alec berjanji padanya. Tentu saja, Thalia tidak akan menanggapi janji itu dengan serius, mengingat sikap penuh tipu dan pembawaan muslihat milik Alec.
Tapi, bagaimana jika Alec menepati janjinya?
“Kalau pengkhianatan sampai terjadi, kerajaan akan menggantungku ataupun menghilangkan salah satu bagian tubuh yang kusetujui dengan sepenuh hati.” Sosok Tristan yang berdiri membuyarkan segala lamunan yang membuat Thalia melewatkan sebagian sumpah. Itu adalah bagian akhir dari sumpah dan setelahnya Tristan adalah pelindungnya, selamanya, kalau itulah kehendaknya.
Thalia menoleh ke samping kiri dan kanan, bergabung dalam doa, turun dari panggung pelantikan dan menunggu Tristan yang sedang menyematkan sebuah lencana ke seragamnya, di ujung anak tangga. Tristan mulai berjalan ke arah tangga setelah melewati waktu sulit dengan lencana mengkilapnya yang sekarang bertengger di dekat kerah seragam. Lencana berlapis emas itu—tentu saja—berlambang Seymour, dengan elegan tersemat di seragam hitam pekat dengan embrodir emas pada ujung lengan, ujung kemeja, dan menggarisi kerah. Tak lupa satu pedang untuk keperluan formal di sisi kiri tubuhnya. Selama bertugas, pengawal pribadi di Reibeart diperbolehkan menggunakan senjata apapun, mengingat impor senjata dari Waisenburg menumpuk.
Mata cokelat Thalia berkilat riang ketika Tristan tersenyum ke arahnya. Tanpa menunggu Tristan berdiri tepat di depannya, Thalia berlari mendekat dengan kedua tangan dibuka lebar, seakan-akan Tristan akan menerima pelukan layaknya dulu. “Hai, pengawal pribadi pertamaku.” Tunggu, seakan-akan Tristan akan menerima pelukan layaknya dulu?
Tristan mengambil selangkah mundur dan memejamkan matanya, putus asa. Hati Thalia menciut memandanginya, mengingat bahwa pengawal pribadi sama sekali tidak diperbolehkan menyentuhnya dalam keadaan tidak genting, dan Tristan tidak mau melanggarnya di hari pertama, lima belas menit setelah ia menjadi pengawal Thalia secara resmi. “Kau tahu, tidak boleh.”
Thalia dengan ragu dan mata yang tak fokus ke manakah titik pandangnya berkata, “Kalau aku tahu, aku tidak akan memperbolehkanmu menjadi pengawal sialanku.”
Kepala Tristan menggeleng dan pria itu ber-shuuush. Mengalihkan pembicaraan agar tidak berujung sebuah skandal mengenai kata kasar yang dilontarkan gadis kesayangannya, Tristan menyinggung penampilan Thalia hari ini. “Rambutmu disanggul rapi sesuai dugaanku. Kau cantik,” ujarnya sembari berjalan menuntun Thalia ke lahan di mana kuda-kuda istal kastil menunggu ditunggangi secara gratis oleh para bangsawan yang menghadiri acara pelantikan Sir Tristan Schiffer, anak sulung dari Lord Schiffer, salah satu keluarga besar pro-Seymour. Dan, ya, pelantikan ini dihadiri oleh banyak pro-Seymour.
Thalia tertawa masam. “Cantik!” ulangnya sedikit bersemangat atas pujian Tristan. “Bahkan rambut poni-ku tidak terjepit rapi, Tristan.”
“Aku tidak keberatan. Sudah kubilang, jangan perbolehkan satu priapun mengetahui kecantikanmu kecuali aku dan ayahmu. Well, dan Greyster.”
“Astaga, sungguh posesif, dan aku tidak cantik, Tristan.”
Tristan berhenti sejenak di depan sebuah kuda hitam, menikmati angin musim panas yang mengalir tiba-tiba, sebelum akhirnya berkata, mengalahkan segala sangkalan Thalia. “Kau cantik hanya saja kau terlalu merendahkan dirimu dan menganggumi orang lain sehingga kau tak menyadari kecantikan yang dimiliki oleh wajah keturunan Seymour.”
Thalia mengerutkan dahinya dan menyipitkan matanya, mengacungkan jari telunjuk ke arah matanya. “Mataku cokelat,” katanya, sekarang ia menunjuk rambutnya, “dan rambutku hitam. Apakah itu cantik? Karena aku pernah melihat seorang wanita cantik, berambut pirang padi, bermata biru jernih, dan tinggi yang mempesona.”
Jeda, Tristan mengambil pelana dari salah satu penjaga dan memasangkannya pada tubuh kuda. “Baiklah, kujelaskan satu persatu, tapi aku yakin kau akan merasa lebih jelek dari sebelumnya. Pertama, matamu itu bukan cokelat, astaga. Warna matamu itu amber, hampir keemasan dan warna itu lebih indah dari warna biru jernih. Kedua, rambutmu memang hitam dan kusut, itu karena kau tak pernah merawatnya. Jika saja kau mau merawat tubuh seperti halnya wanita lain seumuranmu, tak ada pria yang tidak akan jatuh cinta padamu. Dan warna hitam itu sungguh kontras dengan kulit pucat indahmu. Mengenai soal tinggi tubuh, kurasa itu tidak masalah, asalkan wajah seseorang itu cantik. Memangnya, berapa tinggimu, Putri? Dan tambah berat tubuhmu.”
Mata Thalia naik ke atas, kemudian ke bawah tubuhnya seakan dirinya adalah sesosok makhluk lain yang tak pernah ia lihat di cermin. “Kurasa tinggiku antara seratus lima puluh delapan sampai seratus enam puluh lima sentimeter.”
“Aku yakin itu seratus enam puluh dua sentimeter. Tidak terlalu pendek.”
“Memang tidak, tapi pria-pria zaman sekarang lah yang betubuh, nyaris semuanya, di atas seratus tujuh puluh sentimeter. Oh, dan beratku lima puluh kilogram, itulah apa yang timbangan keluaran terbaru katakan padaku.”
Tristan tertawa bangga pada teman baiknya yang mendapat bagian dalam setiap uji coba teknologi baru. “Menakjubkan, sekarang, timbangan pun berbicara,” ujar Tristan di sela tawa seraya menepuk-nepuk pela yang telah ia siapkan begitu cepat. “Naiklah, Thalia.” Tristan menjulurkan tangannya pada Thalia dan dirinya menerima tanpa ragu.
Ada sedikit perasaan lega ketika, akhirnya, ia dapat merasakan kembali hangatnya telapak tangan Tristan. Selain itu ada perasaan ini yang dinamakan ‘bersyukur’ atas diperbolehkannya pengawal dan majikan bersentuhan ketika saat wajar layaknya sekarang. Tapi, Thalia adalah manusia dan manusia tidak pernah puas. Penyebaran sensasi ini terhalang oleh sapu tangan yang mereka kenakan. Padahal hanya sapu tangan, Thalia atau Tristan bisa merobeknya dengan mudah, menyusup ke dalam dan membelai telapak masing-masing, tapi formalitas dan larangan memperketat serta menyempitkan segala kemungkinan.
Thalia memegang tali kekang dengan kuda. Ketika ditawari untuk memakai perlengkapan pelindung tubuh, Thalia menolak dengan tegas, mengingat ia cukup mahir menunggangi kuda tanpa harus terjatuh ketika hewan ini menambah kecepatannya secara spontan. Bola mata Thalia melirik ke arah Tristan yang sedang memasangkan pelana pada kuda pilihan pria itu. Gerakan profesional dan ahlinya seakan menghipnotis Thalia untuk tak mengalihkan pandangan dari otot-ototnya yang bergerak di bawah seragam setiap kali pria itu mengencangkan tali. Indah, dan Thalia terpaksa untuk tak melewatkannya. Seharusnya—
“Schiffer, biarkan aku yang menjaga putrimu ke bukit.” Sebuah suara tiba-tiba mengalihkan pandangannya dan Tristan. Suara itu tidak asing di telinga Thalia karena, seperti yang Thalia duga, suara bernada menyesakkan pendengaran adalah milik Lord Greyster. Seketika, punggung Thalia membatu dan benaknya kembali menyiar ulang momen mengerikan kemarin.
Lord Greyster menepuk perutnya yang maju, menyela mulut Tristan yang membuka dan hendak berkata-kata. “Tidak apa-apa. Putrimu aman di tanganku. Kenapa memberikanku wajah seperti itu, Schiffer? Perlu kau ketahui, aku adalah tunangannya. Jadi, pergi jauh-jauh dari sini, pengawal.”
Tepat setelah Greyster menyelesaikan perkataannya, napas Thalia seakan tersumbat, tak bisa melepaskan satu embusan pun dari hidung atau mungkin mulutnya. Jangan pergi, Tristan. Jangan pergi. Kau tidak akan tahu apa yang akan dilakukan oleh bangsawan gendut bermuka mesum ini padaku. Bahkan kemarin ia hampir memperkosaku, ya ampun. Jangan pergi, temani aku, lindungi aku, mohon Thalia dalam hati, hampir menangis ketika Tristan, ternyata, tak mendengar permohonannya, membungkuk, dan pergi dari hadapannya dan Greyster.
Setelah Greyster menolak tawaran untuk menunggangi kuda lain, air mata yang hampir keluar langsung mengering ketika Greyster menepuk bokongnya, meminta Thalia untuk berjalan. Thalia menggeram, mengepal tangannya sebagai pencegahan dari sebuah tamparan yang akan melayang. Thalia menyentakkan kaki perlahan ke tubuh kuda dan mulai menjauh dari keramaian, berjalan santai, walaupun sepertinya Greyster sama sekali tidak mampu mengimbangi langkah kuda.
Greyster benar kelelahan, bahkan Thalia dapat mendengar setiap napas terngah-engah yang ia keluarkan dari mulut besarnya. Thalia kembali mengingat mulut Greyster yang bagaikan mulut ikan, hampir mencium bibirnya. Pipi menyeramkan tak menggemaskannya seakan menghimpit mulut itu, dan membuatnya susah membuka mulut ketika hendak berkata-kata sehingga apa yang Greyster lakukan terlebih dahulu adalah: berdeham seakan-akan katak bertengger di tenggorokannya.
Thalia mulai merasakannya lagi, kesunyian dan keheningan yang sama dengan gambaran suasana semalam. Entah kenapa Thalia mendapati kesunyian di tempat terbuka seperti ini sebuah keanehan yang menimbulkan berbagai dugaan paranoid. Thalia mencoba menelengkan kepala ke kanan dan ke kiri, mencari-cari sumber suara yang dapat menenangkan suasana buruk di hatinya. Tapi, sia-sia tindakannya, semakin jauh kuda mengetukkan sepatu pada tanah, semakin sunyi pula suasana sekitar.
Ini sungguh aneh. Perjalanan ke pondok perburuan di atas bukit seharusnya ramai dengan banyak penduduk berjalan sambil tersenyum pada kita, namun ini tak sesuai dengan sangkaannya. Seakan-akan daerah menuju bukit secara sengaja disunyikan agar dirinya dan Greyster merasa tertekan dan terhantui dengan sepinya jalan menuju pondok, trauma dengan kejadian buruk yang mungkin menimpa. Tapi, Thalia berdoa, semoga saja itu tidak terjadi karena Thalia ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan Tristan sebelum sesuatu yang merenggut nyawanya terjadi.
Bahkan di keadaan ganjil seperti ini, nama Tristan masih sempat melintas di benaknya. Apakah mungkin ia terlalu bergantung pada Tristan? Terlalu berharap banyak pada Tristan? Terlalu mementingkan Tristan? Benar, sepertinya benar. Kebaikan dan kehangatan pria itu membuai hatinya, mengisi seluruh pikiran dengan foto dirinya, sehingga tidak ada alasan bagi Thalia untuk tak menyangkutpautkan Tristan pada setiap masalah yang ia jalani atau yang akan ia hadapi.
Helaan napas panas yang berat milik Greyster, keluar, memecahkan kesunyian yang ada. “Tunggu sebentar! Melelahkan sekali, bagaimana kau bisa tahan berjalan dari lembah ke sini?” Kedua tangan Greyster betumpu pada paha gendutnya.
Thalia memutar bola matanya, malas menjawab, tapi ia ingin menjadikan saat ini sebagai saat di mana ia bisa merendahkan Greyster. “Perlu diingat, aku tidak berjalan, tapi aku menunggangi kuda, Lord Greyster. Lagipula kita baru saja berjalan, tidak lebih dari lima belas menit yang lalu. Seharusnya kau menerima tawaran untuk menunggangi kuda putih gagah itu. Oh, tunggu, berat tubuh menjadikanmu tak bisa menunggangi kuda manapun, ya?”
“Diam. Aku bisa menunggangi kuda kalau aku mau,” ujar Greyster, mata besarnya seakan menyeruak keluar, melototi Thalia ganas serta.. panas. Thalia bergidik ngeri ketika Greyster menjilati bibirnya dan tergopoh-gopoh menelusuri kantung celana, mencari sapu tangan untuk menyeka keringat. Thalia memperat genggaman pada tali kekang, siap berlari dari lokasi jika Greyster mencabulinya ketika—
Ketika kedua mata Thalia membelalak, mendapatkan sebuah pisau terselip di sapu tangan Greyster.
Thalia terkesiap, jantungnya mengeras, susah memompa darah ketika pisau itu terangkat ke udara tinggi-tinggi. Kuda yang Thalia tunggangi mundur beberapa langkah seakan tahu bahwa sang penunggang sedang ketakutan begitu hebat sampai-sampai tali kekang yang tergenggam erat, mengendur tanpa sengaja. Kalau saja ada Tristan di sini, pria itu pasti akan berkataL “Pucat sekali mukamu, bagai baru bertemu makhluk astral.”
Namun, bukan makhluk astral yang baru ia temui, melainkan sebuah ingatan mayat yang terkapar tak berdaya di kamarnya. Tidak ada seorang pun yang mengetahui apa penyebab kematiannya atau siapa yang membunuhnya, tapi mereka semua—bahkan penduduk Reibeart—tahu bahwa si pembunuh salah membunuh target yang seharusnya adalah dirinya, Thalia Ersa of Seymour. Banyak motif mampu mendasari pembunuh itu, mengingat dirinya adalah putri mahkota. Perebutan kekuasaan. Kebencian. Balas dendam. Dan lain-lain. Dan, Thalia yakin si pembunuh tidak akan melepaskan target begitu saja.
“Aku tidak melakukan pembunuhan itu, maksudku, sungguh,” ujar Greyster kalap, pisau yang di genggamannya bergetar mengikuti irama ketakutan dan ketegangan yang dirasakan pria gendut itu.
Thalia membentaknya, cukup muak dengan pembelaan diri yang selama ini Greyster lakukan dengan menjijikan. “Hentikan! Kalau begitu apa maksud dari pisau di sapu tanganmu itu?”
“Ini bukan sapu tanganku, ini bukan sapu tanganku!” Greyster berteriak, mencoba melepaskan diri dari dugaan terburuk Thalia yang—mungkin—akan berakhir tak menyenangkan: penjara. Greyster melangkah maju dengan kaki pendek gemuknya, pisau masih terjulur lurus ke arah Thalia. Tiba-tiba sebuah senyuman licik terbentuk di pipi penuh lemaknya. “Baiklah kalau kau tak percaya,” ucapnya bernada sedikit sinting.
Thalia mengangkat sebelah alisnya. “Apa?” Apa yang akan Greyster lakukan dengan senyuman se-sinting itu? Tanya Thalia dalam hati.
Di luar dugaan Thalia, Greyster bergerak lincah ke arahnya dan hendak menusuk tubuhnya, namun Greyster tetaplah Greyster, seorang pria gendut tak berpengalaman dalam kejahatan, tusukannya berhasil Thalia hindari yang membuat tubuh kudalah gantinya. Thalia melompat dari kuda dan sialnya, lututnya tergores batu, membuat nyeri syaraf di sekitar lutut.
Thalia menyipitkan matanya berusaha menahan sakit sambil berusaha berdiri. Tapi, ia tidak bisa berdiri, karena Greyster berada di depannya, mendekatinya dengan langkah ugal-ugalan. Kali ini, Greyster akan mendapatkannya. Mungkin memperkosanya dulu sebelum membunuhnya, memutilasinya. Ada banyak daftar yang harus dilakukan Thalia sebelum meninggal dan salah satunya adalah mengucapkan selamat tinggal pada Tristan, pada ayahnya, dan ke orang lain yang mengasihi dirinya apa adanya, tanpa mengharapkan yang muluk-muluk. Juga, kepada Alec, ia ingin mengucapkan:
Tepati janjimu sebelum akhir hayatku.
Tiba-tiba Greyster melangkah mundur tak berdaya, wajahnya dihiasi oleh ketakutan mendalam, pucat, dan bibirnya mengering dengan segera ketika menganga tak percaya. Thalia mengambil kesempatan itu untuk mengambil sebuah batu dan dengan cekatan melemparnya ke kepala Greyster. Untunglah, batu itu benar-benar mengenai kepala Greyster. Hatinya melonggar secepat itu, se-menakjubkan itu, sampai-sampai Thalia harus mengedipkan mata beberapa kali sebelum dapat percaya. Batu itu benar-benar mengenai kepala Greyster dan sekarang dirinya bisa pulang dengan bahagia karena tak perlu berurusan dengan Greyster si mesum. Dan dirinya bisa memberikan ratusan alasan kenapa kedua lamaran yang ditujukan begitu buruk. Satu—
Thalia membalikkan tubuhnya, merasakan raungan seekor beruang. Sial. Beruang, dan ia tidak sempat melarikan diri, tidak bisa melarikan diri. Apakah ini akhir hayatnya? Membiarkan raganya menemui akhir tanpa menerima getaran yang dijanjikan Alec? Mungkin benar ini adalah akhir ceritanya. Ini memang akhir ceritanya. Akhir cerita hidupnya yang menyesakkan tanpa menjalani janji yang dibuat oleh
Alec of Reyes.
Betapa bodoh dirinya tak menyadari berapa banyak Alec yang ia sebutkan hari ini. Tapi, selamat tinggal, Alec.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top