Bab 4-3

BAB 4-3

“Apakah kau sudah pernah dicium?”

Dan kata-kata yang terlintas di benak Thalia hanyalah: Gila. Alec. Sudah. Gila. Gila, tentu saja. Baru kali ini Thalia mendapatkan pertanyaan tak tahu malu seperti itu dengan posisi tidak menjaminkan dirinya untuk tak terlibat skandal. Cium. Cium. Benar, cium. Thalia tidak jarang mendapatkannya dari ayahnya, di pipi. Thalia juga tidak jarang mendapatkannya dari Tristan, di punggung tangan. Tapi, apa kata Alec tadi? Di bibir. Thalia bertanya-tanya pada diri sendiri, mengukur-ukur jawaban yang pantas kepada pria di depannya.

Ia mengerutkan dahinya, membawa kembali ingatan-ingatan masa lalunya. Ia yakin, sangat yakin, bibirnya tidak pernah dikecup ataupun dicium kecuali jika Alec akan menciumnya sekarang. Kepalanya mendongak dan betapa terkejutnya ia, betapa membekukan dirinya melihat wajah Alec tanpa sehelai ataupun sejuntai rambut menutup-nutupinya. Matanya memperoleh pemandangan indah wajah keras milik pria yang menarik erat rambutnya ke belakang. Sedangkan nadinya… entah kenapa nadinya berdenyut kencang, berdenyut cepat.

Thalia mengira Alec berbohong, mencoba memanipulasi dirinya dengan topeng sialannya. Namun, setelah diteliti dengan seksama, tidak ada sedikitpun kebohongan terpancar dari mata kelabu berkabutkan hasrat akan—akan dirinya. Astaga, apa yang dirinya lakukan sehingga pria ini bisa menginginkan dirinya? Ia membenci pria ini, dan seharusnya pria ini tidak membalasnya dengan mata berkabutkan hasrat. Ia membenci perlakuan kasar pria ini setelah apa yang ia alami dengan si Lord Gendut atau mungkin namanya Greyster?

Pertahanan Thalia tetap tidak luntur walaupun dari mata biru kelabu Alec persis menggambarkan suasana hati dan keinginan memperoleh sesuatu, dirinya. Walaupun tubuhnya sudah melemas di bawah tatapan Alec, jauh di dalam dirinya, di hatinya, ada sedikit keraguan tertuju hanya pada Alec. Setelah mengetahui bahwa Alec adalah pribadi yang membencinya, rela melakukan apapun agar dirinya mati, dan tak segan mencekiknya sampai mati, Thalia tidak bisa percaya begitu saja padanya. Apalagi, Thalia pernah menyelam ke dalam lautan momen terburuk dalam hidupnya karena mempercayai orang bermuka dua yang menggoda, persis Alec.

Apakah Alec mau bermain dengan Thalia dengan kebohongan di setiap kata yang dilontarkan? Baiklah, Thalia akan menuruti kemauan Alec, asal dirinya mampu menghindar dari segala hal yang salah. “Sudah, setidaknya sekali.” Bibirnya berdusta.

Ibu jari Alec bergerak naik dari dagu ke mulutnya, membuat garis kasat mata di bibirnya. Alec membungkuk sedikit, membayangi tubuh Thalia dengan tubuh gagahnya. “Kurasa itu tidak masalah.” Alec mengusapkan kepala ke pipi pucat Thalia.

Thalia mengepalkan tangan seerat mungkin, satu-satunya cara agar tangannya tak terdorong oleh sensasi aneh yang menjalar di punggungnya untuk merangkul leher indah Alec ataupun membelai rambut cokelatnya. Thalia berdeham seakan menahan erangan akibat sapuan rambut cokelat Alec pada bibirnya. “Aku hampir diperkosa oleh Greyster. Aku berharap kau bisa memperlakukanku dengan baik, dengan lembut. Bukan mencekikku seperti tadi atau—“ atau menyiksaku dengan tindakanmu ini, pikir Thalia.

Thalia terkesiap. Ia sadar bahwa dirinya mulai melemas dan runtuh disentuh—bahkan belum disentuh—oleh pria ini. Memikirkan tatapan pria ini saja sudah membuat benaknya teralih dari rencana berdusta kepada Alec. Alec akan menguasainya jika ia membiarkan seluruh tubuhnya melemas dan memberikan akses lebih pada pria ini. Ia harus berdusta atau menyakiti perasaan pria ini. Ia harus berdusta atau membuat  marah pria ini. Ia membenci pria ini, tapi ia menyukai sebagaimana tatapan pria ini melembut beberapa menit yang lalu. Apa yang pria ini inginkan? Sial, jangan tatap aku, mohon Thalia

                Alec mendongak, memberikan Thalia tatapan berkabut, mengabaikan tungkai Thalia yang mulai melemas. “Atau apa? Atau, apa, Thalia?” tanya Alec, lalu ia mengucapkan namanya berulang-ulang, “Thalia. Thalia. Thalia.”

                Mata Thalia terpejam, berusaha mencegah tatapan Alec merusaki retinanya, mengguncang hatinya. “Ya. Ya. Ya.”

                Terasa jelas kepala berambut halus itu menggeleng pelan di atas pipinya. “Aku suka namamu. Thalia Ersa of Seymour. Entah kenapa aku tidak puas menyebutnya sekali atau dua kali—“

                “Namaku akan berubah jika kau menikahiku,” tegas Thalia. Nama Thalia indah. Tapi, Thalia tidak menyukai sebagaimana orang-orang bereaksi melihat dirinya yang urakan. Orang-orang akan mengira seseorang bernama Thalia adalah seorang wanita berambut pirang, bermata biru, dengan rok rumbai-rumbai yang melayang setiap kali berjalan. Namun ekspetasi mereka hancur menjadi beberapa bagian poligon kecil ketika melihat Thalia Ersa of Seymour yang berambut hitam kusut, mata yang tak jelas warnanya, dengan ekor rok yang menyapu bersih lantai Kastil Seymour. Thalia telah terbiasa mendapati setiap orang datang dengan ekspresi mengecewakan melihat dirinya menyapu bersih lantai kastil.

                Alec tetap tidak mengangkat kepalanya dari pipi Thalia. Pria itu malah membawa turun kepalanya ke dagu lancip Thalia. Setidaknya ‘lancip’ adalah kata yang mampu mendeskripsikan dagu aneh miliknya ini. Tapi sepertinya pria itu sama sekali tidak keberatan dengan dagu lancip karena semudah memakai baju, pria itu menyundul dagunya dan mengecup berkali-kali kulit di bawah dagunya. Lagi, perasaan panas itu menjalar ke sekujur tulang punggungnya dan sekarang tangannya tak tertolong untuk tidak merangkul leher pria itu.

                Bibir pria itu menjawab setelah merasakan lehernya berada di bawah sentuhan telapak tangan Thalia, “Thalia Ersa of Reyes. Tidak buruk juga, mungkin kita harus mencoba melafalkannya beberapa kali sebelum terbiasa dengan nama itu. Well, tentunya kau bisa mengganti namamu, tapi kebanyakan Seymour terlalu egois dan tidak mau mengganti nama belakang mereka.”

                Salah satu tangan Thalia mulai bermain dengan kerah kemeja Alec, menyusurinya hingga ke banyak kancing berjejeran di dada Alec. Thalia mengharapkan Alec mendapatkan panas yang sama sebagai balas dendam, tapi ia benar-benar amatiran dalam hal ini. Dan, tunggu, kenapa ia mencoba memuaskan Alec? Itu tidak masuk akal. Thalia menarik tangannya dari leher serta kemeja Alec dan meletakkannya di depan dada. Thalia berdeham dan sial, lehernya mengenai bibir terkutuk Alec. Seharusnya ia tidak berdeham. Seharusnya. Seharusnya dan banyak sekali perbaikan yang harus dilakukan. “Ya. Kami para Seymour memang egois dan blah-blah-blah, apapun yang kau nilai dari kami, Alec. Kau mulai menunjukkan kebencianmu pada kami dan mengungkapkan kebenaran dari pernyataan tolol cintamu itu.”

                “Mulutmu, menurutku, perlu dirobek habis-habisan karena di luar dugaan kau bisa berkata selancar ini, Thalia. Aku tidak akan keberatan merobeknya kalau kau berkata seperti itu lagi. Aku tahu kau tahu aku tidak akan keberatan melakukannya, mengingat cekikan tadi,” kata Alec, tangannya menyapu bersih setiap bagian leher jenjang Thalia. “Tapi, tidak. Jangan tegang seperti itu, Sayang. Aku tidak akan merobeknya sebelum mendapatkan ciuman dari bibir manismu.”

                “Manis!” ulang Thalia hampir terdengar seperti jeritan. “Bahkan semua orang tahu bahwa aku ini buruk rupa dan aku tidak tahu apa pendapatmu mengenai fisikku, tapi aku yakin kau pernah menghinaku di balik punggung kurusku. Robek mulutku, aku tidak keberatan.”

                Alec memutar bola matanya sepertinya tepat sasaran atau mungkin apa yang Thalia katakan dianggap omong kosong. Alec menjepit dagunya dengan ibu jari dan telunjuk, membuat panas yang Thalia rasakan menghilang sekejap digantikan perasaan ‘sial-pria-ini-harus-dihabisi’. Alec merunduk, hidung mencung pria itu mengecup tulang hidungnya dan, astaga, napas panas Alec berembus di atas bibirnya. Sekarang pikiran Thalia seakan ditarik oleh dua pihak berlawanan: untuk membenci pria ini atau untuk merangkul pria ini.

                “Kita harus menyelesaikan ini dengan cepat.” Kata-kata itu menari di telinga Thalia, bernyanyi di bibirnya. Tidak ada lima detik, bibir pria itu telah menyelimuti bibir lemahnya dengan keras dan memaksa. Thalia mengerjap beberapa kali, merasakan betapa sakitnya desakan dari bibir pria ini, mengilu kesakitan ketika gigi mereka berseteru, tercekat ketika mulut pria itu menelan semua hembusan napasnya.

Ini, demi Tuhan, adalah ciuman pertamanya. Seharusnya Alec menciumnya lebih pelan atau mungkin memulainya dengan kecupan seringan bulu burung. Seharusnya Alec membaca perasaannya layaknya Thalia mencoba menebak teka-teki pada mata kelabu Alec. Seharusnya… Thalia memberitahu Alec bahwa ini adalah ciuman pertamanya. Air mata serasa meruak keluar andaikan saja Thalia tidak membayangkan yang menciumnya adalah Tristan. Ia menginginkan, setidaknya, berciuman dengan orang yang berarti, selembut mungkin, senikmat mungkin. Tapi, apa yang Alec lakukan pada bibirnya terasa salah dari segi apapun.

Thalia sama sekali tidak menikmati ciuman ini. Dan seakan dapat membaca pikiran Thalia, Alec menarik diri dan—akhirnya—memberikan Thalia tempat untuk bernapas. Mata Alec menyipit dan terdengar suara geraman rendah ketika Thalia hendak mencoba menghilangkan rasa ciuman pria ini. “Kau. Apa yang kau mau?” tanyanya angkuh sambil menunjuk Thalia.

Thalia mengerutkan dahinya, mencoba untuk menyipitkan mata sesinis Alec. “Apa yang kau mau? Dan jangan menunjukku seperti aku adalah barang terkutuk dengan jari menyebalkanmu itu!”

“Sial. Ciumanmu. Tapi kau sama sekali menikmatinya ataupun membalasku. Aku merasa seperti idiot karena menciummu tanpa ada perlawanan ataupun balasan darimu. Kau membuatku terlihat seperti idiot, Seymour. Aku menjamin jemariku ini akan menari di atas kulitmu sehingga tidak ada alasan bagimu untuk mengatainya ‘menyebalkan, Seymour.” Suara Alec kencang mengisi seluruh pelosok kamar dengan keheningan dan sesuatu yang ganjil. Alec kembali meraih suaranya. “Astaga, apa yang kau mau?”

Thalia tidak akan mengakui kebohongan yang telah ia lakukan, tapi Alec kembali bersuara. “Tunggu, apa jangan-jangan ini ciuman pertamamu?” Mata pria itu membelalak.

Rahang Thalia mengeras dan matanya membesar dua kali lebih lebar. Hatinya serasa akan copot kalau saja tidak ada yang menyangganya. Alec menebaknya dengan benar sedangkan Thalia masih berusaha memecahkan teka-teki Alec. Apa yang sebenarnya pria ini rasakan sama sekali tidak terprediksi walaupun Thalia mahir mengobservasi kebiasaan orang. Thalia meneliti warna biru kabut iris Alec dan sama sekali tidak ada kebohongan di sana. Kedua matanya mengobarkan sepercik kecil amarah dan penantian akan jawaban. Jadi, tidak ada yang perlu berbohong sampai-sampai lidahnya terpelintir, apakah itu yang diperlukan dalam situasi seperti ini?

Tanpa kesadaran penuh, Thalia mengangguk pelan, tidak mengira apakah Alec akan merobek mulutnya atau tidak..

Tapi Alec hanya tersenyum. Ini adalah senyuman indah ikhlas pertama Alec padanya. Dan Alec mengelus kepalanya berkali-kali, mengirimkan sinyal aman ke seluruh indera Thalia. Entah kenapa, tubuh Thalia mendekat pada dada Alec ketika pria itu merunduk, memeluk kepalanya dengan sebelah tangan, merapikan rambut kusutnya dengan tangan satunya, dan mencium daun telinga Thalia. Kalau saja Thalia tahu bahwa kejujuranlah yang akan membawakannya ke sebuah kenyamanan seperti ini, Thalia tidak akan merencanakan dialog panjang berisikan dusta.

“Kau hanya perlu mengatakannya, Thalia. Hanya perlu mengatakannya,” bisik pria itu. Suara itu seakan mengalir ke setiap nadi di tubuh bagian atas Thalia dan melemaskan tubuh bagian bawahnya. Seluruh tubuhnya melemas nyaman berada di bawah tubuh besar pria ini. Ia membencinya karena bermuka dua, tapi seandainya saja pria ini terus melepas topengnya, maka mungkin lambat laun tapi pasti, Thalia akan—

                Alec menarik sudut bibir Thalia dan memaksanya membentuk seulas senyuman. Kedua alis Thalia berkedut, heran dengan tindakan Alec yang tiba-tiba. Apa maksud dari tindakannya itu, Thalia sama sekali tidak mengerti atau mungkin otaknya sajalah yang melambat.

                Lalu, sepersekian detik kemudian Alec mendekatkan wajah ke wajah Thalia sampai dirinya dapat merasakan naik turunnya bulu mata indah yang membingkai mata kelabu pria itu. Salah satu tangannya mengelus lembut lehernya, bermain dengan rambut hitamnya, tapi Thalia seakan telah terbiasa dengan tindakan sensual pria itu, meraih kembali leher Alec untuknya rangkul. Thalia ikut memainkan rambut. Dengan canggung Thalia membelai rambut cokelat pria itu walaupun dirinya tahu kecanggungan ini tak akan berujung sebuah kepuasan.

                Entah kenapa Thalia jadi terpikir untuk memuaskan pria ini, bukan dirinya. Dan dari segala gerakannya, Thalia tahu bahwa pria ini juga melakukan hal yang sama. Apakah ini yang dinamakan merayu atau mungkin ini lebih dari sekedar ‘merayu’? Sama-sama mementingkan kebutuhan lawan daripada diri sendiri, rasanya melegakan sungguh melegakan mempelajari bahwa Alec juga melakukan hal yang sama.

                Bibir Alec menyapu bibir basah Thalia perlahan, menggeseknya beberapa kali dengan ringan. Thalia menarik tubuh pria itu mendekat, menuntut lebih dari sekedar gesekan seperti ini. Dan Alec melakukannya, mengecupnya seakan bibirnya adalah permen termanis yang pernah pria itu rasakan. Mata Thalia terpejam, semakin erat ketika lidah Alec mulai ikut membasahi bibir bawah Thalia. Bergeser dari sudut bibir ke sudut yang lain, meninggalkan jejak panas di sana yang membuat Thalia tak tertolong untuk tidak membuka mulutnya, mengeluarkan suara erangan pelan.

                Terdengar suara tawa tertahan Alec sebelum pria itu menangkup bibir Thalia dan melumatnya dengan rakus. Lidah pria itu terjulur ke rongga mulut Thalia, meneliti seluruh bagian mulutnya, beradu dengan lidah Thalia tanpa tangannya berhenti sedikitpun membelai leher Thalia, turun ke lengan gaunnya yang robek, menariknya dan memutar-mutar telunjuk di bahu Thalia. Thalia memang membenci Alec atas kelicikannya dalam mengelabui ayahnya. Tapi, Thalia menyukai cara Alec membuat tubunya lemas hanya dengan sebuah ciuman dan goresan lembut pada kulit terbukanya. Thalia tidak ingin pria ini berhenti.

                Thalia memiringkan dan mencodongkan kepalanya, memberikan Alec akses lebih. Benar apa yang dikatakan Alec, Thalia menyukai jemarinya. Alec tidak membuang kesempatan itu, ia mencium ganas Thalia, sama mendesaknya dengan yang pertama, tapi kali ini berbaur dengan panas yang Thalia rasakan. Tubuh Thalia semakin tenggelam ke dalam sofa ketika Alec mulai menggelitik perut datarnya, dan mulai naik ke atas—Thalia mengerjap beberapa kali, mengira bahwa Alec akan meremas kedua payudaranya seperti apa yang Greyster lakukan. Alec melewati bagian itu dan malah menyusuri tulang selangkanya yang terlihat jelas di bawah gaun birunya.

                Kedua kaki Thalia menekuk saat tubuh Alec menekan tubuhnya. Thalia bisa merasakan gelora di payudaranya ketika dada bidang Alec menekannya lembut. Perutnya tidaklah lagi mencerna makan, tapi seakan-akan membakar batu bara yang membuat Thalia mengeluarkan uap panas dari mulutnya, bernapas terengah-engah. Matanya kabur dan dirinya tahu bahwa sekarang matanya penuh dengan hasrat, layaknya mata pria itu tadi. Di atas itu semua, Thalia sama sekali tidak memprotes.

                Tapi Thalia menyipitkan matanya ketika mendapati Alec menarik diri dari rangkulannya. Api panasnya padam sudah, tapi hasratnya masih membakar setiap ujung tubuh Thalia. Rasanya tiba-tiba kosong ketika kita mulai membiasakan seseorang menekan tubuh kita dengan tubuhnya, lalu membiarkan orang itu menarik diri tanpa berkata apapun dan memandang lurus ke jendela di belakang punggung kita—

                Jendela.

                Thalia beranjak dari sofa setelah Alec mundur selangkah, tahu bahwa Thalia perlu memastikan sesuatu. Dengan langkah lemah yang tergopoh-gopoh, seperti biasanya walaupun kali ini diakibatkan oleh sebab yang lain, Thalia berjalan menuju jendela bulat di belakangnya. Thalia menempelkan dahinya ke kaca, membiarkan kesepuluh jarinya melekat seakan takkan pernah lepas dari kaca itu. Tiba-tiba saja hasratnya hilang bersama api panas itu secara total, melihat menara yang menjulang tinggi di depan.

                “Memasuki wilayah Kastil Seymour.” Suara rendah dari radio mengingatkan Thalia.

                Apakah dengan ini artinya Thalia tidak akan merasakan pengalaman menyenangkan seperti tadi bersama Alec? Alis Thalia melengkung sedangkan tubuhnya menegang mengetahui bahwa momen tadi berakhir begitu cepat. Dan ketika momen itu berakhir, sebagian dari dirinya merasa kosong, tak merasakan berat tubuh pria itu di atasnya, aroma pria itu mencemari penciumannya, rambut pria itu menggelitik wajahnya, napas pria itu membelai kepalanya, otot pria itu menegang di bawah ujung jarinya. Ia tidak akan merasakannya lagi. Ia tidak akan merasakannya lagi.

                Tiba-tiba Alec sudah berada di belakangnya, kedua tangannya dengan mudah terlepas dari kaca jendela akibat genggaman Alec yang sepelan otaknya berpikir. Alec mencium salah satu bagian belakang pergelangan tangan Thalia sebelum meletakkannya secara silang di atas pahanya. Merasakan tangan pria itu nyaris menyentuh pahanya, sebuah pertanyaan skeptis keluar dari bibir bengkak Thalia. “Apakah kita akan…maksudku, apakah kita akan melakukannya lagi?” tanyanya penuh penantian tersebar di mata ambernya, membara.

                Hening. Thalia merunduk menatap menara yang dilewatinya. Ia merasa malu melontarkan pertanyaan gila itu dengan tanpa jawaban terlemparkan dari mulut pria yang dipertanyakan. Seharusnya ia tidak bertanya. Kenapa hari ini muncul begitu banyak ‘seharusnya’? Sesaat, ketika Thalia hendak berlari keluar dari ruangan, membiarkan pertanyaannya tergantung di antaranya dengan Alec, pria itu berbisik parau. Suaranya parau. Parau dan yang menyebabkannya adalah Thalia. Setidaknya itulah yang Thalia rasakan.

                “Kita akan melakukannya, lagi, Thalia,” Alec mengumumkan. “Aku janji.”

***

                Malam itu bulan begitu tinggi menggantung di gelapnya langit malam, menyinari setiap senti tubuh pucat Thalia yang berjalan mondar-mandir dari studionya ke halaman tengah. Jarak studio dan halaman tengah bisa dibilang jauh, studio berada di halaman belakang yang jaraknya dua kali jarak dari aula raja ke kamar Thalia. Tapi apa yang bisa Thalia lakukan sekarang jika pikirannya kacau, tidak bisa menggoreskan satu granit pun ke buku gambarnya, selain berjalan mondar-mandir dengan tangan terkepal penuh penantian akan hari esok.

                Dirinya tidak pernah menanti kelanjutan hari dari hidupnya, terlalu takut menghadapi masa depan. Tapi, kali ini beda. Hanya itu, beda. Ia tahu ia menantikan pelantikan Tristan dengan antusias. Ia tahu ia menantikan hari di mana Tristan akan selalu berada di sampingnya, melindunginya, bahkan ketika Tristan harus menikah. Dan ia tahu bahwa ia menunggu janji yang dibuat oleh Alec of Reyes, walaupun, ia juga tahu, dirinya tidak diperbolehkan berharap sebanyak-banyaknya kepada pria bermuka dua yang bahkan baru ia kenal. Tapi, ia menanti harinya.

                Hari di mana momen itu akan terulang kembali dan—oh, dirinya sudah gila, mengharapkan hal muluk seperti itu terjadi kembali. Lagipula, apa alasannya pria itu melembut di hadapannya dan apa alasan di balik kekacauan di hatinya ini? Thalia meneguhkan kembali tekadnya, tekad untuk membenci pria itu karena pria itu bermuka dua, manipulatif, dan hanya mencari keuntungan dari dirinya. Semudah itu. Tapi, apakah benar semudah itu? Thalia kembali bertanya-tanya.

                Mudah, mungkin itu merencanakannya, tapi belum saja Thalia melakukannya, kepercayaan dirinya sudah goyah terlebih dahulu. Thalia tahu ini tidak akan mudah, mengingat sekujur tubuhnya seakan membawa jejak tari jemari Alec ke mana-mana, pikirannya masih kacau dan, astaga, ini sudah kali keduanya Alec meredupkan bakat menggambarnya. Kata ayahnya, talenta menggambarnya sudah ada sejak dulu bahkan sejak Thalia belum mengenal apa itu kertas. Seharusnya, kalau ini adalah sebuah bakat, ia akan terus tahu cara memulai sebuah pola dasar.

                Mungkin, benar ia membenci Alec, diri pria itu, sikapnya, dan tatapannya, dan apa yang terlihat, dan.. semuanya. Tapi putaran roda apa yang membuat pikirannya terus mengingat momen bersama pria itu, membuat jarinya gemetar tidak tertahankan jika saja ia tidak menerkam pinggiran kursi halaman sampai buku jarinya memutih? Sudah, Thalia. Sudah. Lebih baik kau tidur dan besok kau akan melupakan segala hal merepotkan ini. Tidak ada yang lebih baik dari tidur dan itu sudah kubuktikan sedari dulu, semenjak orang-orang mulai merendahkanku, Thalia mencoba menenangkan dirinya.

                Thalia kembali mempertimbangkan pilihan untuk tidur atau untuk tidak tidur, memikirkan pria terkutuk itu seharian. Keputusannya bulat sudah, ia akan tidur. Jadi, ia beranjak dari kursi kayu yang telah memanas diduduki oleh Thalia selama tiga puluh menit. Itu artinya sekarang sudah pukul setengah satu pagi, bagus. Bagus, jadi kemungkinan dirinya tertidur dan tercemplung ke kolam tempat pelantikan, mempermalukan diri sendiri di hadapan banyak orang sudah pastilah seratus persen.                

                Tapi setidaknya Thalia ingin meminimalisirkan kemungkinan seratus persen itu, jadi ia berjalan cepat menuju tangga darurat Kastil Seymour yang gelap dan, sialnya, sangat menyeramkan saat malam. Untunglah para pelayan Seymour menyalakan seluruh api di tangga itu sehingga Thalia tidak akan terselip oleh ekor gaunnya sendiri atau tiba-tiba menemukan makhluk astral melayang di depannya. Tidak, pilihan kedua itu terlalu imajinatif, ia memang takut dengan hal-hal gaib, tapi sepanjang hidupnya ia tidak pernah menyaksikannya secara langsung dan ia tidak mau hal seperti itu terjadi ketika ia menaiki tangga menuju lantai tiga kamarnya.

                Sampai di pintu besi menuju ujung koridor kamarnya, Thalia memepetkan tubuh ke badan pintu dan mendorongnya sekuat tenaga. Tubuh kurusnya sama sekali tak mampu membuka pintu besi yang biasa dibuka oleh penjaga kastil bertubuh besar, tetapi menutup pintu itu sama sekali bukanlah masalah besar karena hanya dengan sedikit sentuhan pintu itu telah tertutup. Thalia melirik ke kanan dan ke kiri, takut seseorang terbangun akibat tindakannya menutup pintu. Dan tidak ada seorangpun yang terbangun, syukurlah.

                Thalia berjalan seperti biasa, tahu bahwa tubuh ringannya tidak menghasilkan sedikitpun suara saat berjalan, layaknya kucing. Layaknya kucing pula, Thalia mendapatkan refleks tubuh menakjubkan yang mana Thalia sendiri tak menyangka. Kamarnya tidak berada lebih jauh dari ruang baca di dekat tangga utama dan Thalia bisa sampai dengan cepat, menghempaskan tubuhnya ke atas kasur dan tertidur lebih cepat. Tapi, suasana malam ini begitu menusuk tulang.

                Lorong itu memang gelap setiap malam, Thalia jadi ingat malam-malam sebelumnya di mana Thalia mengambil dari studio di lantai dua. Tapi, tidak sesunyi dan semenakutkan ini. Entah kenapa, padahal lorong ini kosong, tapi seakan-akan ada sesuatu yang mengikuti Thalia dari belakang. Hanya bayangan mungkin, atau mungkin pelayan yang suka tidur sambil berjalan itu. Thalia dengan cekatan berbalik dan yang ia dapatkan hanyalah angin malam berhembus dari jendela di ujung koridor.

                Kalau begitu yang mengikutiku hanya angin, pikir Thalia. Dengan gagasan itu, Thalia mencoba menenangkan dirinya dari ketakutan dan kecemasan yang dirasakannya ini. Hatinya tidak sejalan dengan gagasannya. Hatinya malah semakin mencemaskan keramaian para pelayan wanita yang biasanya sedang berbincang-bincang, para pelayan pria yang mendengkur, para penjaga yang bermain kartu pada jam tengah malam seperti ini yang membuat Thalia cukup berani kemanapun ia mau. Tapi, hari ini kesunyian dan keheninganlah yang mengisi lorong itu. Bahkan langkah kakinya yang seringan rambut terdengar kencang. Dan suara tangan jam bergerak. Dan suara yang bergerak-gerak di kamarnya.

                Thalia menelan ludahnya dan memegang gagang pintu erat-erat sebelum membukanya. Ada suara dari kamarnya dan Thalia tidak tahu suara apa itu. Suaranya bagaikan lonceng dan desisan ular yang bergerak dari sisi satu ke sisi kamarnya yang lain. Thalia menelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, memastikan bahwa tidak ada orang yang menyelinap masuk ke kamarnnya. Lalu, pintu itu terbuka, bahkan sebelum Thalia sempat mendorongnya—

                “Oh, ya Tuhan. Ya Tuhan. Ya Tuhan. Demi Tuhan—“ perkataan Thalia terputus melihat sesosok tubuh terkapar tak berdaya disinari oleh terangnnya bulan.

                Apakah memungkinkan bagi siapapun untuk melakukan pembunuhan di sekitar wilayah Kastil Seymour?

               TBC 

Yak dan bab 4 selesai sampai di sini :D maafkan asya karena udah beberapa hari gak update/upload._. lagi ditimpa ulangan :\ dan untunglah ulangan saya nilainya di atas rata-rata semua ehehehehe :D oh iya, gak kerasa ya sebentar lagi udah april, padahal kayaknya baru aja pergantian tahun...wah, waktu itu ternyata cepat banget ya dan gak tanggung-tanggung ngasih pelajaran :/ sepertinya kita perlu mengoreksi diri kita secepet waktu itu berjalan deh, karena katanya kakak tercintakuh @stephenie hidup itu pendek. Walaupun begitu kita harus menikmati hidup kata @clarissa1226 . oh iya, ada kakak saya yang katanya ceritanya kehapus......engga sengaja.... @dusk2day ceritanya The Citizens terhapus engga sengaja....yang berbaik hati mau ngevote kembali ceritanya silakan ya.... Ehehehe. Oh iya, makasih buat semua komen di bab sebelumnya, saya terharu dan kadang suka jingkrak-jingkrak sendiri ngeliatnya di layar kecil kolot bb wkwk. Mohon votenya bagi yang suka....dan yang gak suka komentar atau kritik aja ya._. karena saya nantiiiinnnn banget itu. Makasih, dan selamat beraktifitas! :D makasih untuk semuanya kakakakaka: @sadflair @trickymindful @chrisxmas

PIC: Thalia Ersa of Seymour

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top