Bab 24-2

Kepada seluruh pembacaku yang setia menunggu Ugly Royale, 

Bab 24-2

 

            Detik itu juga, dunia berputar sungguh cepat. Anomali tersebut diikuti desisan serta guncangan dari dalam bumi. Obor-obor di dalam ruangan nyala-mati. Punggungnya menjerit-jerit kesakitan dengan adanya luka keparat. Tawa histeris Kalia menggema dalam telinganya. Sementara itu, dagingnya diharuskan merasakan kejanggalan yang membelah urat itu: Belati Kalia masih tertancap di punggungnya dan wanita tua itu tampak tak peduli

            Akhir. Ini adalah sebuah akhir baginya.

            Sebuah bola bening jernih timbul begitu saja dari tanah. Di dalamnya terdapat corak keunguan yang meliuk kesana kemari. Bintik keemasan di sepanjang ukiran tersebut berkelap-kelip. Seakan-akan bola tersebut hidup. Liukan adalah napasnya. Bintik itu adalah kedipan matanya.

            Thalia tengah berusaha mencabut belati tersebut saat wajah cantik Kania memancarkan ketakutan, melahirkan kengerian. Bayangannya yang kelabu kian redup dengan kemunculan bola tersebut. Thalia menyaksikan perubahan lambat tersebut; sebagaimana tubuh astral Kania perlahan aus. Bagai lembar uang yang terlalu lama dipakai, terlampau sering digosok.

            Kau—akan menghilang. Batin Thalia bergelut di antara ketidakpercayaan.

            Kania mengangguk. “Hantu tak selamanya mengembara dalam dunia fana, Thalia.” Bola mata keemasannya tak luput dari proses pemudarannya. Tekad yang membara dan berharga. “Sebab aku mengembara demi menanti orang sepertimu dan mengawalnya menuju Kunci. Menjadikanmu penjaganya yang selanjutnya. Tapi, aku tak pernah mengantisipasi gangguan dari Kalia.”

            Ruangan itu seketika berubah hening dan senada tepuk tangan menembus keheningan. Terdengar kering tak ubahnya sumur di musim kemarau. Tak ubahnya dua tulang yang saling beradu. Begitu kering serta menyeramkan. Meski demikian, Thalia tak akan mengakui ketakutannya. Kalia akan memanfaatkan kelemahannya—secuil pun.

            “Tindakan yang heroik, kurasa?” tanya Kalia, suaranya tinggi. Kunci itu mengikutinya dari belakang, terombang-ambing lembut dalam aliran udara. Hidup. “Tapi semuanya sudah berakhir. Kau tak begitu pandai menyembunyikannya, Dik.” Telapak tangan Kalia terulur samping, terbuka. Kunci itu menempatkan dirinya dengan tertib di genggaman Kalia.

            “Kalian tak akan pernah tahu keburukan macam apa yang akan dibawa Kunci itu,” ujar Kania, maju selangkah.

            “Kiamat. Penciptaan dunia baru yang ideal. Bukankah itu mimpi kita dulu, Kania? Menciptakan dunia tanpa kejahatan. Menyucikannya dari dosa. Ayah mewariskan keanggotaannya di Dewan kepada kita agar kita menyadari cita-cita keluarga kita. Arti keberadaan Keluarga Seymour; untuk melanjutkan perjuangan ayah.”

            Pedih di punggung Thalia meletus-letus—tak ada dari mereka berdua yang menyadari kesakitannya. Kania berucap, “Tapi Dewan salah. Membunuh orang tak berdosa demi mendapatkan Kunci. Bahkan kita akan menyiksa lebih banyak orang lagi saat kesemua Kunci itu terkumpul. Mereka akan menderita. Dan sesungguhnya, Kunci itu sendiri adalah makhluk haus darah—mengapa kita harus menumpahkan darah untuk memperolehnya? Tidakkah itu pernah terlintas dalam pikiranmu?“

            “TAPI ITU APA YANG KETUA MAU!” Kalia meraung. “Kita terikat sumpah darah dan tak ada gunanya melawan Dia. Kau bodoh, Kania, meninggalkan Dewan! Posisimu sudah menguntungkan dan terjamin kelak saat dunia baru tercipta.”

            Emas mata Kania seolah meleleh oleh bara api di dalam sana. “Aku tak butuh dunia di mana tirani berkuasa.”

            “TIRA—“ perkataan Kalia terpotong pada detik di mana sebuah belati melesat menusuk tangannya. Kunci menggelinding dari tangannya. Tepat sebelum menyentuh tanah, bola permata itu meengambang mengelilingi mereka bertiga.

            “Cukup dengan omong kosong itu.” Tangan Thalia meraih luka di punggungnya. Betapa bodoh dirinya—seharusnya ia melakukan itu sedari tadi (menggunakan Zahlnya, melucuti belati itu, mengakhiri kuasa siksanya). “Bola permata itu jelas tak akan kau miliki setelah membunuh ibu dan ayah, mencuci otak Alec selama bertahun-tahun dan memberikannya hidup palsu.”

 Kunci itu berhenti tepat di atas Thalia. Turun perlahan melingkar-lingkar dan sampai pada telapak tangan Thalia. Rasanya begitu asing, seolah-olah sebuah beban misterius tersampir di tangannya. Dari jarak ini, Thalia mampu mendengar detak yang menyerupai jantung samar-samar. Kunci ini benar-benar hidup. Hidup dan haus darah.

“Kunci itu memilihmu,” lirih Kania, matanya yang tadi terbakar api kini digenangi air. Thalia bahkan tak tahu  hantu bisa menangis—tapi kemudian, Kania menghilang. Hantu tak selamanya mengembara di dunia fana. Menanti orang sepertimu dan mengawalnya menuju Kunci.

Ini akhir dari gentayanganmu, benar?  Thalia berbisik pada diri sendiri.

Namun, keasingan melabraknya bagai tamparan badai. Ketika seharusnya ia mendengar jawaban berupa dentingan lonceng—benaknya hening. Kania benar-benar sudah pergi. Tugasnya selesai dan ia tak lagi memiliki hak untuk hidup di dunia fana. Thalia kini sendiri. Tidak. Ia berdua. Dengan Kalia di hadapannya. Lingkaran setan ini tak akan berhenti sebelum ia membunuh Kalia.

Kalia tertawa sinting tanpa menghiraukan belati yang menancap di punggung tangannya. Tubuhnya membungkuk gemetar, kedua tangan memeluk perutnya. Rambutnya terurai menutupi wajahnya. Thalia menyiagakan fokusnya, berusaha menerjang Kalia dengan satu serangan setelah kegilaan wanita itu berakhir.

Mendadak, Kalia berhenti tertawa. Bagai goyangan senar yang dipaksa berhenti oleh jari tak kasat mata. Ia mendongakkan wajahnya dan dari tentang di antara mereka, Thalia mampu melihat bola matanya berubah merah. Giginya buas tak ubahnya pemangsa manusia. Thalia baru saja hendak menghantam Kalia ketika menyadari sosok di rangkulan Kalia.

            “Lihat! Apa yang kumiliki di sini.” Cakar Kalia menembus kulit halus itu. Tidur tenangnya terusik oleh gangguan tersebut, dan darah mulai mengalir beserta tangisan memilukan.

            Malaikatnya.

            “Hajar aku, Thalia. Hajar aku. Aku akan memastikan kematian cepat bagi bayi kecilmu ini.” Kalia tertawa. Matanya membelalak tak waras.

            “KAU TELAH BERJANJI TAK AKAN MELIBATKANNYA!” jerit Thalia. Benaknya dipenuhi oleh seribu satu cara untuk menguliti Kalia. Seribu satu mimpi mengenai kematian anaknya. Tapi tak satupun dari kericuhan di benaknya yang mampu menyelamatkan sosok malaikat itu dari genggaman si wanita tua.

            Thalia terbangun dari alam bawah sadar saat bunyi percik darah memenuhi ruangan. Kalia mencabut belati dari telapak tangannya. Mengarahkannya tepat di atas leher kecil itu. “Aku tak pernah berjanji, Tuan Putri.” Kalia mengacungkannya tinggi-tinggi sebelum menikamnya dalam—

            Cekatan, Thalia menahan gaya gravitasi agar belati itu tak menggores leher anaknya. Namun, tak kalah cepat, kekuatan Kalia mendorong bilah itu kian turun ke bawah. Dengan masing-masing kekuatan yang saling beradu, ini mengingatkan Thalia pada dua kutub magnet sejenis. Ia sering berusaha memaksa kedua benda itu menempel. Tapi percuma. Mereka berdua akan menjauh diiringi oleh  ledakan yang Thalia selalu bayangkan.

            Dan kini, ledakan benar-benar terjadi di antara mereka berdua. Suaranya bagai siulan burung terkutuk. Kalia mampu menahan ledakan tersebut dengan melekatkan kakinya pada lantai. Namun, di sisi lain, Thalia terlontar ke belakang. Punggungnya menabrak dinding, kencang. Seakan suatu gaya tak dikenali meninjunya ke belakang. Jika luka itu hidup, sekarang ia pasti meringis. Darah mencuat keluar dari mulutnya.

            Pandangan Thalia kabur, lari dari fokusnya. Seolah-olah lensanya tak lagi bekerja dengan baik. Bergoyang-goyang tak wajar. Paru-parunya sesak, namun penuh. Penuh oleh darah atau entah cairan apa yang mengisi dua pasang relung itu. Thalia harus menahan dorongan muntahnya yang ketiga kali—bau besi dalam mulut berhasil mengaduk-aduk isi perutnya.

            Bulu mata Thalia menyentuh kulit di bawahnya. Rasanya seakan-akan seorang malaikat akan turun. Membawanya menuju khayangan. Di mana—

            Tangisan anaknya menyadarkan dirinya. Ia belum mati—masih ada seorang putra yang harus ia perjuangkan. Ia belum mati. Ia belum mati.

            Thalia berteriak sesaat sebelum belati itu menempel di lehernya. “TUNGGU!” Kalia berhenti mendengar teriakannya. Belati itu tak lebih dari satu tarikan napas dari kulit halusnya. Thalia tak akan membiarkan belati yang telah melukai orang banyak merenggut jiwa anaknya.

            “Ma—“ Thalia membendung dorongan untuk muntahnya. Bau darah menyeruak kian pekat ketika ia berusaha menghilangkannya. “Mari k-kita a-dakan p-p-pertukran.”

            Kalia menjatuhkan belati itu ke lantai. “Oh?” raut wajahnya menyiratkan ketertarikan.

            “Y-ya.” Tungkai Thalia selemah anak rusa. Kendati demikian, ia harus berdiri. Harus. “Anakku dengan Kunci ini.” Thalia mengangkat tinggi-tinggi Kunci tersebut meski menyakiti dirinya.

            Kalia tersenyum puas. “Itu adalah apa yang aku tunggu-tunggu!” Dengan antusias dan ambisi menggebu-gebu di wajahnya, Kalia maju. Memberi jarak tiga langkah dari Thalia. Thalia menggigit bibir bawahnya sendiri, kemudian mengembuskan napasnya berat. Entah bagaimana, Thalia memperoleh pandangan bahwa Kalia tak akan bermain bersih. Wanita itu akan menjatuhkan anaknya ke lantai sebelum Thalia menyadarinya. Pandangan itu buram dan kusam. Namun, dalam hatinya sebuah suara berkumandang jelas, menyatakan bahwa semua itu akan terjaid. Apakah ini kekuatan untuk melihat masa depan?

            Thalia menggenggam Kunci itu, erat. Ia tak terlalu peduli pada Kuncinya, sungguh. Tapi, ia tak bisa membiarkan sembarang orang memperoleh benda ini—terutama Dewan Kursi Apalah. Tak tahu rasa tanggung jawab sebesar apa yang menguasai Thalia, ia tak bisa menyerahkan ini kepada Kalia dengan mudah.

            Mendadak saja, kilas balik ingatannya melesat di benaknya. Kala itu, ia tengah mengandung tujuh bulan. Kaki anaknya menendang dari balik perutnya. Nyanyian Kania mengalun diiringi dengan tawa kecil Thalia tiap kali anak itu menendang. Kania menghentikan nyanyiannya. Pertanyaannya tak pernah mengusik Thalia. Namun, kini—pikiran Thalia dipenuhi oleh pertanyaannya: Aku penasaran apakah seseorang bisa mengendalikan ruang dan waktu. Apakah kemungkinan itu ada?

            “Bumi kepada Thalia, kita sedang mengadakan pertukaran, Nak.” Thalia mampu melihat rangkulan Kalia pada anaknya melonggar.

            Visi itu benar, batin Thalia, wanita ini akan menjatuhkan anakku.

            Thalia menjawab, “Ya. Kita akan bertukar di saat yang bersamaan. Dalam satu.”

            Tidak ada dua dan tiga bagi Kalia. Wanita itu menjatuhkan anaknya ke lantai. Thalia yang telah mengantisipasi gerak tersebut, melempar Kunci itu begitu tinggi sampai membentur langit-langit, kemudian turun dengan kekuatan penuh. Thalia cekatan menahan anaknya sebelum jatuh ke udara. Merangkul anak itu dalam pelukannya meski punggungnya menjerit kesakitan.

            Meski tubuhnya, seutuhnya mengerang kesakitan. Meski di balik punggungnya, Kalia sedang tertawa bahagia menyentuh Kunci dalam genggamannya. Tapi, semua ini setimpal dengan apa yang ia peroleh. Anak ini berharga. Anaknya tercinta.

            Aku penasaran apakah seseorang bisa mengendalikan ruang dan waktu. Suara Kania memecah keributan dalam benaknya. Kemungkinan. Kemungkinannya mungkin kecil, tapi—

            Thalia membalikkan punggungnya cepat. Bukan. Waktu yang berdetik begitu lambat. Mengulurkan tangannya ke depan dan entah bagaimana, dengan sarafnya yang berkedut tak wajar, dengan detak jantungnya yang melambat, dengan darahnya yang tiba-tiba berdesir cepat, sebuah suara menjawab keraguannya. Kemungkinan itu terbuka lebar bagimu, Thalia.

            Dalam satu tarikan napas Thalia, dalam intensitas konsentrasinya yang menakjubkan, sebuah lubang hitam terbuka tepat di belakang Kalia. Awalnya, lubang itu tak lebih dari sekedar titik kecil pada dinding. Namun, kemudian, ketika Kalia tak menyadarinya, lubang itu berubah raksasa. Memenuhi satu sisi dinding, penuh.

            Suara menghisap memenuhi ruangan tersebut, mengguncangnya dalam kebisingan. Teriakan Kalia terdengar memilukan. “APAYANGKAULAKUKAN APAYANGKAULAKUKAN! TOLONGAKU TOLONGAKU!”

             Thalia mendekap anaknya, melindunginya dari kemungkinan terburuk. Tubuhnya seakan diterpa angin besar dan dipaksa turut masuk ke dalam lubang itu juga. Dari sela-sela rambutnya, Thalia menyaksikan tubuh semampai Kalia kandas berubah jadi tubuh ringkih seorang wanita tua. “TOLONG! TOLONG THALIA! TOLONG!” jerit Kalia bertubi-tubi.

Air mata menuruni pipinya sebelum tubuh kerontang itu pergi dihisap lubang. Seketika itu juga, seolah tak terjadi apa-apa, lubang itu menghilang. Bising yang tadi memenuhi ruangan itu tak ubahnya mimpi siang bolong.

Thalia menolehkan kepala ke kiri dan kanan, mewaspadai ruangan sekitar. Bersiap menyerang apabila yang tadi adalah halusinasinya, dan sesungguhnya, Kalia masih ada di ruangan itu. Menghantuinya. Tapi, nihil. Tiada seorang pun di sana. Hanya ada dua untaian napas dalam ruangan itu. Miliknya dan anaknya.

Sebuah perasaan menakjubkan tumpah ruah ke tiap-tiap jengkal tubuhnya. Mengirimkan air mata menuju pelupuk matanya. Hangat dan dipenuhi rasa lega. Bahagia. Thalia mencium kening anaknya. Manik besar itu menoleh ke arahnya. Meski dengan luka cakar pada pipinya, anaknya itu bagai malaikat dari angan-angannya. Thalia bertanya-tanya apakah lukisan malaikat yang pernah ia lukis adalah anaknya sendiri. Anaknya ketika kelak ia dewasa.

Kunci haus darah mengambang di sisi wajahnya. Thalia kira, Kunci itu akan lenyap ditelan lubang hitam. Nyatanya, ia salah. Bola itu menyandarkan dirinya pada tubuh mungil anaknya. Sesaat, Thalia kira Kunci itu akan menghisap habis esensi kehidupan anaknya. Tapi, sebuah senyum paling lebar mengembang di wajah anaknya.

            Sebelum Thalia membalas senyumannya, langit runtuh.

***

            Sebuah peluru menyerempet daun telinganya. Darah segar mengalir dari robekan kulit tersebut. Tristan menghentikan usahanya mematahkan leher pria pirang beringas dalam kuncian lengannya. Aroma yang begitu khas mengusik penciumannya. Tanpa perlu berbalik, Tristan tahu yang berada tak jauh di belakangnya adalah Anastasia.

            Tak mengherankan, sungguh. Wanita itu seorang petarung. Wanita itu tak akan mudah mati dalam pertarungan berdarah seperti ini. Darah adalah apa yang ia lihat sehari-harinya. Kekejian adalah nama belakangnya. Pengendalian diri sebeku es adalah jati dirinya. Membunuh seseorang bukanlah masalah bagi wanita itu.

            “Lepaskan pria itu. Kau tak akan suka mendapati jantungmu berhenti berdetak.” Terdengar suara gesekan tangan di atas pelatuk. Menunggu. Tristan tak menyangka Anastasia mampu menunggu.   

            Tristan berbalik dan di sanalah wanita itu. Berdiri, semua keraguan sirna dari kehadirannya. Tristan tak pernah menemui wanita yang lebih percaya diri daripada Anastasia. Tristan juga tak pernah menemui kelihaian dan keberanian seperti yang ia temukan dalam diri Anastasia. Tristan juga tak pernah menimbun dendam pada seorang wanita—selain yang satu ini. Anastasia adalah berlian di antara permata, sekaligus sebuah gangguan bagi Tristan. Baik fisik maupun secara emosional.

            “Tak akan.” Dan dalam hitungan yang tak mencapai satu detik, Tristan mematahkan leher pria di lengannya. Memutuskan perjalanan hidupnya seketika.

            Untuk sesaat, sebuah amarah berkelebat pada manik birunya. Namun, logikanya cepat mengambil alih. Cekatan, Anastasia mengirimkan rentetan peluru ke arahnya. Tristan merunduk, melenggang, dan mengelak dari tembakan-tembakan tersebut. Sembari beringsut mendekati wanita tersebut, Tristan mendapati dirinya sendiri kagum oleh kecepatan Anastasia mengisi peluru. Akurasinya yang tak sembarang orang mampu hindari. Sayangnya, Tristan adalah sembarang orang tersebut.

            Sampai tepat di hadapan wajahnya, Tristan menghantam sisi wajah Anastasia, keras. Puas akan kejatuhan wanita itu, Tristan tidak mengantisipasi tendangan pada perutnya. Terlontar ke belakang, Tristan menyaksikan wanita itu mengusap darah dari mulutnya, membuang gigi yang lucut dari tempatnya. Tak terganggu oleh fakta bahwa salah satu giginya lepas. Tak peduli dengan ketidaksempurnaan yang baru menghantamnya.

            Entah bagaimana, sikap wanita itu barusan menggenapi kesempurnaannya.

            “Tangkap ini, Schiffer!” seru Gideon dari jauh. Sebuah senapan sampai dengan tepat pada telapak tangannya. Tanpa banyak basa-basi, Tristan membidik tubuh wanita itu. Tak peduli bagian yang mana—Tristan akan mengirimkan peluru itu berkali-kali sampai wanita itu mati.

            Pandangannya yang tajam, mendorong Anastasia segera menjatuhkan dirinya ke atas tanah. Tangan panjangnya menggapai senapan yang ia jatuhkan tadi. Tetap merunduk di bawah dalam dua detik yang cepat sebelum berlutut dan balas menembak Tristan.

            Wanita yang gigih.

            Tristan berguling menghindari serangannya. Ia tak akan kalah. Apalagi terhadap seorang wanita. Meski, di luar sepengetahuannya, tubuhnya menjerit kesakitan saat gagasan membunuh terlintas di benaknya. Persetan dengan sakit. Wanita itu hendak membunuhnya. Satu-satunya cara untuk selamat dengan jantan adalah dengan membunuh wanita itu. Cara yang pengecut: Lari dari pertarungan.

            Seluruh pandangan Tristan mendadak jernih. Dadanya mengembang dan mengepis dengan teratur. Konstan. Ia akan membidik jantungnya. Mengakhiri pertarungan ini dengan satu gerakan. Ia mengacungkan senapannya di depan wajah, lalu dengan satu tembakan yang jitu, peluru itu melesat. Melesat dan bersarang tepat di atas jantungnya.

            Wanita itu roboh ke atas tanah. Wanita itu kalah.

***

            Dengan kecepatan bagai cahaya, sebuah bom berkekuatan ledakan besar menghantam Kastil Gemma. Api mulai menjilat inci demi inci dari bangunan itu. Sebagian bebatuan yang runtuh, jatuh membunuh orang-orang di bawahnya. Getaran yang mengikuti ledakan tersebut, mengguncang Alec menembus tulang. Menembus mimpi paling buruknya. Menembus ketakutan terbesarnya. Napasnya hilang dari paru-parunya. Ia menghirup kehampaan dan rasanya menyakitkan.

            “Ap—“ Alec mengguncang tubuh William di sampingnya. Mereka tengah bersembunyi dari bidikan Alaric bajingan itu. Alec sendiri tak menyangka pria yang lebih muda darinya mampu menyebabkan kekacauan begitu besar. Membuat mereka berdua kewalahan oleh serangannya yang membabi buta. Dan tampaknya, pria itu tak akan pernah lelah menghajar lawan hingga mati.

            “Apa yang kau lakukan! Ledakan tadi berasal dari pesawat Waisenburg!” Alec menarik kerah seragam tentara William. Amarah tersirat dari tiap kata yang diucapkannya. Kastil itu kini terbakar api sepenuhnya. Seutuhnya. “THALIA ADA DI DALAM SANA!”

            “Aku tidak tahu!” William menghubungi awak pesawat dengan benda kecil yang menempel dekat telinganya. “Bukankah sudah kuperingatkan jangan menembak kastil?”

            Suara berdecit keluar dari benda kecil itu. “Bu-bukan kami—Dyre—“ ucapannya terputus, tergantikan teriakan yang memilukan. Sebelum akhirnya, salah satu pesawat Waisenburg jatuh, mengacaubalaukan struktur Kastil Gemma.

            Ketakutan merayap dari ujung jemari kaki Alec. Thalia ada di dalam sana. Ada di dalam sana. Sebuah pusaran menyeramkan mengaduk isi perutnya. Meledakkan isi benaknya. Mengacaukan detak jantungnya. Menghancurkan kewarasan pikirannya. Alec pernah, melihat kekasihnya mati dalam api dari kejauhan. Tanpa bisa menolongnya. Tanpa bisa menyelamatkannya.

            Dan sekarang, Thalia akan mati dalam api. Kekasihnya sekali lagi akan mati di antara api.

            Mati.

            Hidup tanpa Thalia. Alec bahkan belum meminta maaf. Belum mengecup bibir merah itu sebagai tanda perpisahan. Belum merangkul anaknya. Belum menamai anaknya. Belum—begitu banyak keinginannya yang belum terlaksana. Termasuk membentuk keluarga yang bahagia bersama Thalia.

            Tapi kini, harapannya putus begitu saja. Putus.

            Persetan.

            Alec berdiri, lalu keluar dari tempat persembunyiannya. William menyerukan namanya. Dan seperti yang telah ia antisipasi, Alaric mengirimkannya ribuan—bukan, jutaan serangan. Tembakan maupun lemparan pisau, kesemuanya jitu. Mengoyak kulitnya di sana, lalu di sini. Melukai tungkainya. Melukai punggungnya. Rasanya seolah akan lebih baik jika ia menyerah saja.

            Tapi. Tapi. Thalia ada di sana. Beberapa meter di hadapannya, di bangunan yang perlahan meruntuh akan api. Meraih senapan yang tercecer di tanah, Alec membidik Alaric. Tak lagi peduli dengan kecepatan angin maupun akurasi tembakannya. Ia hanya butuh sedikit jeda dari Alaric.

            Dan jeda itu ia dapatkan. Meski senang tembakan kacaunya itu berhasil mengenai Alaric, Alec tak berhenti berlari. Berlari kian cepat menuju bangunan tersebut. Entah bagaimana, secepat apapun Alec lari, bangunan itu hanya akan menjauh. Lalu menjauh. Menjauh, hingga jadi titik kecil luput ditelan horizon.

            Thalia.

            Alec berlari bagai manusia kehilangan akal, menembus peperangan dan debu-debu. Ia tak akan membiarkan api membuat Thalia terbunuh. Ia tak akan membiarkan hal yang sama terulangi. []


            Haiii! Akhirnya bisa selesai juga ini bab! Semoga ga mengecewakan ya :* dimohon tanggapannya mengenai akhir dari bab ini. Setelah ini, kita akan beralih ke bab baru, atau nama lainnya: Bab terakhir. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top