Bab 22-1
Kepada seluruh pembacaku yang setia menunggu Ugly Royale,
Bab 22-1
Sudut pandang Thalia menyorot jajaran prajurit yang berpakaian tempur, lengkap. Raut cemas memenuhi para penduduk yang diwajibkan bertarung. Sementara mereka, para prajurit yang siap membela Seymour, menatap lurus begitu yakin. Tristan, berkoordinasi dengan Mayor Jenderal Coleman, warna matanya cemerlang, sungguh percaya diri akan apa yang kelak terjadi. Gideon berdiri menepi dari gugusan petarung, mengatur pasukan infanteri. Wajahnya setenang air, sekelam malam. Fokus pandangan pria itu melintas ke kejauhan dan tampak sekelebat damba pada sesosok gadis mungil.
Mantan Jenderal Sinclair, Ferdinand Sinclair, merundukan pada putri satu-satunya, Kassia. Matanya adalah perpaduan dari awas dan khawatir. Bibirnya melirihkan satu atau mungkin dua rahasia sebelum keberangkatannya menuju medan pertempuran; Gemma, ibukota Reibeart. Dengan punggung yang masih kokoh, kekuatannya—sekecil apapun itu—diperlukan dalam pertempuran kali ini.
Mereka memang telah menghubungi Waisenburg dan meminta sekira-kiranya bala tentara yang tersedia di kerajaan itu. Namun, tak menutup kemungkinan bahwa Reyes sudah membentuk persekutuan rahasia dengan kerajaan adidaya di Timur. Kekaisaran Dyre, saingan utama Waisenburg. Para Reyes yang berpikiran panjang selalu memikirkan masa depan. Mereka tentunya telah membentuk suatu rencana masak-masak kalau tidak memusnahkan para pro-Seymour setelah setahun lamanya.
Reyes bisa saja memusnahkan mereka. Marilyn bisa saja dengan mudah meretas pelindung Kania. Dan mengetahui fakta bahwa wanita itu tak pernah berusaha menghancurkan desa ini mengirimkan selajur listrik yang mengaliri dirinya dengan ngeri. Seakan-akan Marilyn duduk tenang di atas singgasana sembari menanti bidaknya bergerak perlahan, menusuk Thalia dari belakang. Atau, menunggu waktu sempurna demi masa depan.
“Yang Mulia.” Kassia mendekatinya. “Biar aku yang membawanya.”
Thalia menatap sayu malaikat di lengannya. Seluruh rencana yang ia diskusikan dengan Raja Waisenburg, menyeruak memenuhi benaknya. “Kelak, Sayang. Ada waktu bagimu untuk merangkulnya.”
***
Akhirnya.
Pada akhirnya, ia berhasil menginjakkan kaki di atas tanah ini. Tepat di atas petak sebesar kapel kecil ini. Tanah keramat yang dibangun atas darah kelompok oposisi Dewan Kursi Bayangan. Kalia pernah merasakannya: Kakinya melepuh, atau malah nyaris buntung oleh karena kesucian tanah keramat ini. Beberapa tahun yang lalu, satu dekade, atau malah abad yang lalu. Ketika para Seymour menjadi pelindung sah Kastil G emma. Ketika roh Kania masih menggentayangi Kunci tersebut.
Kini, para Seymour telah digulingkan. Kania pergi melindungi putri bodoh itu, entah apa gunanya. Kekosongan kekuasaan itu, memungkinkan bagi Kalia untuk melangkah masuk ke dalam ruang bawah tanah ini. Batu bata di sekelilingnya adalah serangkaian teka-teki yang mesti ia pecahkan demi mencari kunci. Demi Dewan Kursi Bayangan. Dan demi Matthew.
Kalia memejamkan matanya, membiarkan tiap bagian kecil Zahlnya menyelinap ke sela-sela batu, mencari kunci. Kunci yang mana disembunyikan oleh Kania, si pengkhianat. Kalia tak pernah benar-benar membencinya bahkan ketika adiknya itu merupakan kesayangan Ketua Senat. Dipercaya para anggota. Menjerat hati ribuan pria dengan kecantikannya yang memukau. Tidak. Kalia mungkin memang iri, memang cemburu. Tapi tak pernah benar-benar membencinya. Sebelum peristiwa itu.
Tak lama setelah ia mendapat pujian mutlak dari seluruh anggota Dewan setelah berhasil menaklukan Adolphus of Reyes, Kania dituntut untuk membunuhnya. Mengabaikan perintah Dewan, Kania berkhianat. Membunuh Ketua Senat, mencuri Kunci dari pria itu dan menyembunyikannya. Sebuah kejahatan besar. Seluruh anggota Dewan setuju untuk bersekongkol membunuhnya. Menunjukkan padanya neraka dunia. Tapi, Kania balas mengancam.
Katanya waktu itu, “Bunuh saja aku, aku akan menghancurkan Kunci.”
Kalia, menghantamkannya ke tanah. Seluruh anggota Dewan membentuk lingkaran. Memandang dari jubah keunguan mereka yang melambangkan spritualitas dan pintu terakhir Dunia Baru: Tamit. Mereka tampak menikmati pemandangan di hadapan masing-masing. Sepasang kakak beradik saling bantai.
Kania tidak menjerit maupun berteriak kendati darah terus mengucur dari kepala serta selangkangannya. Kalia tak pernah merasa lebih buruk dari ini; membunuh anak yang bahkan belum lahir. Tapi, benci telah mengakar begitu jauh. Ia membenci pengkhianat. Ia membenci orang-orang yang menduakan kepercayaannya.
“Sekarang, Kania, bagaimana caramu menghancurkan Kunci? Kau bahkan tak mampu menggerakkan ujung jarimu.” Kalia mencekiknya lebih erat.
Mulutnya yang pecah dan robek, membuka. “Tidak—aku telah menyembunyikannya di tempat tak satupun kaki anggota Dewan yang mampu menginjaknya.”
Sepersekian detik kemudian, terbersit di benak Kalia, Tanah Keramat Kapel Kastil Gemma. Kapel di mana semasa pembangunannya dipertahankan oleh para ksatria suci yang bertempur melawan Dewan. Kemenangan ksatria suci menjadikan darah mereka berkuasa atas tanah tersebut. Menghalau sihir hitam serta Dewan Kursi Bayangan. Tanah itu bak perak bagi para iblis.
Setelahnya, Kalia membunuh Kania. Kendati demikian, Kalia tak pernah menduga bahwa roh wanita itu berkeliaran, melindungi Kunci dari tahun ke tahun sembari menanti generasi penerusnya: Seorang Seymour dengan kekuatan pengendali. Tujuannya tak jelas apa. Barangkali untuk balas dendam.
Salah satu batu-bata maju diiringi bunyi gesekan antar batu. Menonjol di antara kerataan di sekitarnya. Terlonjak, agak tercengang akan sebagaimana mudah Kalia menemukannya, dirinya mengambil langkah maju. Matanya membesar dalam keterkejutan dan bibirnya membelah lebar. Selama ini—semudah itukah?
Pandangan Kalia menyisiri bidang di hadapannya, inci demi inci. Tak ada lubang kunci. Kalia berusaha menariknya lepas dari tempatnya, namun tak berbuah hasil. Maka, ia mengetukkan jarinya pada batu bata tersebut. Begitu berharap akan menemukan pantul bunyi ketukannya. Nihil.
Batu bata ini bukan kotak penyimpanan. Batu bata ini pasti kun—
Goresan keemasan perlahan timbul di permukaannya. Tertulis:
Darah pengendali titisan sang pengkhianat
Membuka kotak entah berkah atau laknat
Dengan itu, amarah Kalia meletus sudah. Adalah sebuah kesalahan baginya membiarkan putri itu selamat. Membunuhnya ketika kesempatan terbuka lebar. Dan kesempatan itu tak datang satu atau dua kali melainkan berkali-kali. Menghabisi jiwanya saat Kania begitu sibuk mengurus sihir hitam Kalia yang menggerogoti bayi kecilnya.
Dan terpampang jelas di hadapannya bahwa Kania menanti Thalia bukan untuk seribu hal melainkan satu keutamaan; darah Thalia harus tumpah ke atas tanah ini sebelum Kalia mampu memperoleh Kunci. Thalia adalah kunci utama membuka Kunci. Kunci. Kunci.
Alec, apakah kau di sana?
Satu detik yang menegangkan sebelum pria itu menjawab, Ya, Kalia.
Aku menemukan lokasi keberadaan Thalia.
Di mana? Sebuah geraman memenuhi telepati keduanya.
Pinggir Alterfield. Menuju perbatasan di tenggara Reibeart. Tangkap dan bawa dia ke sini. Aku ingin menyaksikanmu membunuhnya.
***
Semburat jingga membuat luruh langit biru. Awan-awan yang mulanya bergelayutan, putih dan lembut, kini menyebar panjang kelabu. Matahari sudah nyaris menyentuh horizon, kelak akan pergi menyambut belahan dunia lain. Angin berembus pelan membawa deru desir pesisir tak jauh dari kereta kuda dengan kusir yang disewa. Bak bunyi suling yang mampu membawamu ke alam bawah sadar.
Tak terasa sehari nyaris berlalu dan jantung Thalia menabuh kian kencang. Malam. Rencananya akan dilaksanakan nanti malam. Akan ada pesawat yang datang, ia harus melakukannya cepat. Sebab hanya ia yang mampu mengalahkannya. Mengalahkan Kalia. Setidaknya, bila Kania undur diri dari pertarungan ini, mengurungkan niat balas dendam terhadap Kalia, ia mesti membalaskan kematian ayahnya.
Ia tidak berharap temu dengan Alec. Bahkan jikalau nanti lirikannya tak mampu menahan diri, mennyuluhi seutuhnya diri Alec, ia akan terus melancarkan rencana ini. Harapannya telah mengikis seiring pedih yang persis pria itu ukir di atas hatinya.
Namun, di atas segalanya; ia enggan mengemban tugas memimpin Reibeart. Thalia of Seymour bukan seorang pemimpin. Jemarinya adalah milik seorang seniman. Ambisi melukis bergejolak dalam tubuhnya. Membakarnya dan menari-nari dalam dirinya. Ia ingin melukis, bukan memimpin. Tapi, tiada seorang pun yang mendukungnya.
Andai saja ia bisa menjadi apapun yang ia inginkan tanpa harus merasa terbebani.
Ide buruk. Andai saja aku tahu apa rencanamu, aku tak akan menolongmu.
Thalia diam sejenak, melalui guncang ketidakrataan tanah, lalu membalas, Kudengar kau mampu membaca pikiran orang lain.
Ya, membaca pikiran orang yang terbuka. Bukan yang dilapisi berton-ton pelindung dan cangkang besi seperti milikmu.
Aku tak pernah melapisinya pelindung.
Kau melapisinya, secara tidak sengaja. Itu memang hal yang baik, tapi tetap saja membuatku naik pitam.
Kassia memiringkan kepalanya dengan manis. Mata cokelatnya menerawang menembus pribadi Thalia. Sementara itu, kereta kuda masih berguncang hebat di atas tanah yang berlubang. “Yang Mulia? Wajah Anda tegang.”
Thalia meraba wajahnya dengan sebelah tangan. Tangan yang lainnya menjaga si malaikat tetap berada di rangkulannya. Dirinya akan terjun dalam perang nanti, tapi malaikat ini akan pergi menjauh dari persaingan besi itu. Sebab ia adalah hartanya dan alasan utama Thalia tak henti menggantungkan setitik harapan. “Benarkah? Kurasa itu hanya seberkas gugup.”
Kedua tangan Kassia terulur pada pelipis Thalia. Bibir gadis itu membuka. “Jika Anda tidak keberatan, saya bisa mengurangi rasa gugup itu.”
“Perhatianmu menyentuhku. Sungguh, aku tidak apa.” Thalia menghidu aroma bayi yang menguar dari malaikatnya. “Aku cukup tenang dengan adanya dia.”
Senyum mengembang di wajah manis Kassia. Bibir yang agak kebesaran di wajah mungilnya itu tampak indah ketika melengkung. “Akan kuambilkan buah—“
Kereta kuda mendadak berhenti. Thalia dan Kassia terlempar ke depan. Kepala Thalia menyodok kayu terlampau keras, alhasil kini berdenyut menyakitkan. Bunyi ‘duk’ pelan terdengar di bagian depan kereta. Kelontang kesiagaan senjata menyentuh genderang pendengarannya. Thalia mengulum bibirnya dan darahnya seolah tak mengalir.
Sial. Kania menggedor-gedor benaknya. PERGI DARI SANA! CEPAT!
Apa maksudmu Ka—
Sabetan dan letusan menyatu jadi dentingan brutal. Terdengar teriakan-teriakan memilukan sebelum akhirnya darah yang terciprat pada kaca buram di sekat pembatas kursi penumpang dan kusir. Kedua ekor kuda penarik mulai meringkik ketakutan. Ketukan kaki kuda itu bagai menyambar tanah bertubi-tubi. Terdorong rasa penasaran, Thalia mengintip dari kaca buram tersebut.
Ketiga prajurit tumbang sudah—tak elak si kusir. Sayatan di leher, tikaman di mata maupun dada, dan peluru pada dada. Suatu gejolak menjijikan bergemuruh di perutnya. Membendung niat muntahnya, Thalia segera melabrak punggungnya pada permukaan kulit kursi. Kassia yang gemetar menemukan tangan Thalia dan nyaris menumpahkan air mata.
Rencana Thalia tak berjalan semulus dugaannya. Kini ada pembunuh psikopat yang akan menghabisi mereka bertiga hidup-hidup. Tidak—setidaknya jika Thalia melawan—ia bisa—
LARI, seru Kania. LARI!
Tak ada perhitungan lagi. Thalia menyerahkan malaikatnya pada Kassia. Dan dengan masih menggenggam gadis kecil itu—demi takluk atas rasa takut, meski Thalia tahu itu sia-sia—Thalia mendobrak buka pintu. Thalia tak menyadari keberadaan seorang pun di sana sampai sejurus kemudian sebilah pedang berdarah terarah tepat di depan wajahnya.
LARI!
Waktu seolah berputar teramat perlahan. Manik Thalia menyusuri bilah pedang itu. Menatap lekas gagangnya sebelum mengenali tangan yang menggenggamnya. Mengenali wajah yang berada di ujung gagang pedang itu. Pria itu berwajah kian tirus sejak terakhir kali Thalia melihatnya. Mata kelabunya seakan menghitam—semakin kelam dan Thalia bahkan tak tahu mengapa. Garis-garis tegang mempertegas rahangnya. Bibirnya adalah satu bentuk kedinginan yang sempurna.
Bahkan ketika ia berucap—hanya kebencian yang Thalia tangkap, “Thalia.”
Thalia hendak membalasnya. Namun, lidahnya kelu. Tiap indranya lumpuh. Alec.[]
Hai, maaf banget baru bisa upload :) karena ada masalah keluarga dan berbagai hal serta UAS, aku baru bisa upload.Maaf ya kalo mengecewakan, maaf juga udah bikin kalian nunggu lama. Tapi aku tetep sayang kalian kok #duak. oke, abaikan. jangan lupa vote dan komen ya, karena tanpa kalian saya butiran debuuuuu~~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top