Bab 21-2
Bab 21-2
Breathing you in when I want you out,
Finding out truth in a hope of doubt—Spectrum ft. Matthew Koma – Zedd
Serona senyum tersungging di wajah Thalia. Membiaskan sejumlah kebahagiaan tak ada kira, tiada tara. Bertahtakan apa adanya—pelarian, wilayah evakuasi, kebencian, dan perseteruan—meski tiara serta gunungan harta sewajarnya mengelilingi tubuh mungilnya. Namun, ini adalah segalanya dan Thalia tak pernah merasa sebahagia belakangan. Menyayangi, melindungi malaikat bermanik kelabu dalam naungan rangkulnya.
Kaki mungilnya menendang tak karuan. Mata besarnya menatap penasaran, bibir manisnya menggumamkan rentetan bunyi yang tak Thalia mengerti. Terdorong rasa gemas, Thalia menunduk hingga ujung hidungnya menyapa cupingnya. Hidung yang terkadang mengingatkannya pada Alec. Dipadu dengan rambut cokelat—milik Alec. Lakuran yang membuatnya takut
Bahwasanya, malaikat ini adalah buah cinta mereka—Alec dan Thalia—namun, tetap tak bernama hingga usianya yang kini nyaris empat bulan. Thalia begitu berharap, memohon pada dewa atau setan sekalipun, Alec datang menjejakkan kaki kemari. Walau tahu akan dicacimaki, tapi ia melangkah dan mencium dahi Thalia. Tersenyum berterima kasih, lalu menamai anak ini. Dan tak sampai di situ saja, mereka akan menghabiskan waktu seharian, atau selamanya, mengisahkan hari-hari bersama mereka yang hilang. Atau, menerka-nerka hari yang akan datang.
Harapan. Itu harapan yang mengabutkan pikirannya di antara angan-angan. Yang memperdaya, tak terhitung kalinya. Menjerumuskannya dalam kebahagiaan yang seharusnya mustahil. Alec menikahi wanita lain dan tak menutup kemungkinan pria itu sudah melupakan anaknya, buah hati yang kini berbaring tenang dalam lengan Thalia.
"Bagaimana pendapat Anda, Yang Mulia?" tanya Coleman, mengamati Thalia yang duduk di ujung meja. Tempat para pemimpin.
Thalia mendongak, matanya berkeliaran dari satu tempat ke tempat lain, heran. Melemparkan pertanyaan dengan pandangannya kepada Tristan, kepada Gideon yang menyandarkan punggung pada dinding, kepada Yang Mulia Raja Waisenburg di hadapannya. Setidaknya, proyeksinya yang terpancar dari proyektor curian. Mayor Jenderal Coleman memiliki ide yang awalnya dianggap gila: Berusaha menghubungi Waisenburg dan meminta bantuan. Namun, beberapa hari yang lalu, konfirmasi dari sang raja pun datang menghampirinya.
Jadi, di sinilah mereka, para pemimpin. Berada dalam satu ruangan kecil, gudang tak terpakai. Merencanakan penyerangan atas kastil kerajaan di Gemma, merebut kembali Reibeart.
"Demi kelangsungan yang politis, kau akan dilarikan ke dalam pesawat kami selama peperangan berlangsung, Thalia." Dagu William Waisenburg tertopang kedua punggung tangannya.
Thalia mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum berupaya menjawab, "Dan membiarkan kalian bertarung untukku?" Melewatkan kesempatan berjumpa dengan Alec? "Tak akan." Gagasan itu memang terdengar sinting—tapi, Alec perlu tahu bahwa mereka memiliki anak. Anak laki-laki yang sehat dan penuh cinta meski tanpa nama.
Derit geser kursi menyayat gendang telinga Thalia. Thalia segera menyorotkan matanya pada Tristan yang berdiri tidak setuju. "Kau memiliki seorang anak, Thalia. Jika sesuatu terjadi padamu—kau tahu anak itu tak akan bahagia."
Coleman mengangguk. "Dan alasan lainnya, Yang Mulia, rakyat Reibeart hanya akan mengikutimu. Keturunan Seymour. Andalah orang yang kelak memimpin Reibeart, menjadi ratu. Kami semua menginginkan keselamatan Anda."
Thalia mendengus. "Tidak semuanya."
"Beberapa orang itu akan diurus, nanti," ujar Coleman. "Ini adalah amanat yang diwariskan Yang Mulia Bartholomeu pada Anda. Anda tak bisa lari dari tanggung jawab ini begitu saja."
"Kau meminta pendapatku—dan aku tidak setuju. Aku akan ikut bertarung. Aku tidak bisa melihat lebih banyak darah tanpa berdaya." Thalia mengeratkan rangkulannya pada si malaikat. Tangan kecil Kassia, mengelus pundaknya.
Thalia menatap Gideon yang matanya memancarkan sinar ketertarikan. Dengan salah satu tangannya, diam-diam, ia mengacungkan ibu jarinya pada Thalia.
"Jadi, keputusannya: Aku tak akan mengirimkan satu unit pesawat teruntuk putri manis ini?" William tersenyum manis. Rambut cokelatnya jatuh mengenai alisnya dan menjadikannya kian tampan di usianya yang tak lagi muda.
Coleman berdiri dari tempat duduknya. "Tidak. Anda akan tetap mengirimkan sebuah pesawat tambahan." Matanya tegas mematri pandangan kepada Thalia. "Dan Anda akan memimpin setelah kemenangan. Itu pasti."
"Aku tak sudi memimpin kalian," ujar Thalia, maniknya bersinar di bawah keredupan lampu. "Aku akan bertarung bersama kalian."
Hening. Setiap tarikan napas di sana berubah hening. Pernyataan itu menghantam tanpa mereka sangka. Semua pasang mata memandang Thalia antara kekaguman dan kesintingan. Mungkin perpaduan keduanya yang menjadikan dirinya tak biasa.
Orang yang berhasil sadar terlebih dahulu adalah Sang Jenderal Heaton. Pria pendiam itu berujar dalam suaranya yang berat. "Kami tak akan mengubah keputusan ini, Yang Mulia."
Sepersekian detik kemudian, Thalia melangkah keluar dari lingkaran pertemuan itu.
***
Alec tak menemukan Thalia di mana pun. Tinjunya menghantam dinding keramik kamar mandi. Air mengguyur kepalanya. Ia baru saja pulang dari pelosok demi pelosok mencari Thalia, selama tiga bulan terakhir. Keberadaan wanita itu bagai bisikan angin yang mengalir di sana-sini. Namun, sosoknya tak ditemukan sekeras apapun Alec mencari.
Sepulangnya tadi, Anastasia menyambutnya. Mengharapkan sebuah kabar gembira. Sementara Kalia bertanya-tanya, heran. Kendati demikian, entah mengapa Alec berjumpa dengan sebuah ilham mengerikan ini; bahwa Kalia tahu siapa yang Alec cari dan sesungguhnya, mengharapkan kepala Thalia berserta anaknya itu di nampan makan malam.
Alec mendongak membiarkan wajahnya dipercik air hangat dari pancuran. Semakin keras tekadnya untuk membunuh Thalia, kian sering pula bayangan-bayangan menggairahkan mengisi benaknya. Alec tak bisa menemukan kesempurnaan gairah dengan Anastasia. Tubuhnya selama ini hanya meminta Thalia. Menginginkan Thalia. Meski ia tahu, bahwa pikirannya telah terlanjur jijik terhadap wanita itu. Meski ia tahu, hatinya begitu sakit—seolah cintanya disampingkan begitu saja.
Tapi, kemudian, tubuhnya akan terus membutuhkan Thalia. Dan tekad itu perlahan meluntur. Hatinya melunak oleh cinta-cinta yang Thalia berikan. Yang ia bayangkan Thalia pernah berikan. Pedih memang—namun, hanya dengan itulah gairahnya terpuaskan. Senyum manisnya memenuhi benaknya. Tangan Alec memujanya, menuntut sebuah erangan terlepas dari bibir menggoda itu. Menyentuhnya. Menciumnya. Menggigitnya. Menjadikan wanita itu miliknya, berkali-kali. Membuat wanita itu menjerit hingga meruntuhkan surga.
Kejantanannya mengeras dan gelenyar nafsu berpusar bolak-balik pada tulang punggungnya. Alec menggigit bibirnya, berupaya membendung napas terengah-engahnya. Matanya memejam dan di kegelapan itu, hanya ada Thalia. Tangannya berjengit menggapai kejantanannya. Namun, berhenti setengah jalan.
Pria lain pernah menyentuh tubuh itu. Menelusuri rongga mulutnya yang panas. Menyembah dan mengulum payudaranya. Meluncurkan ciuman pada perutnya, pada pahanya. Menyusupkan lidah dan uluman menggairahkan pada inti wanita itu. Inti yang menguarkan keharuman serta bukti gairah yang kelak berujung pelepasan. Teriakan. Erangan. Panggilan: Tristan.
Alec mengerjapkan matanya tak percaya. Dahinya menyentuh dinding, putus asa. Dari bibirnya, sebuah bisikan keluar mengalir. "Andai saja, itu namaku yang kau sebut—"
Alec. Alec.
Ya. Begitu.
Dan bibir yang menyebut namanya itu, menjamah kejantanannya. Menjilatnya, menciumnya. Membuat tubuh kokoh Alec merapuh oleh keerotisan bibirnya. Alec. Ya. Masuk—lalu keluar. Alec akan membimbingnya. Meraup lembut sebagian rambut hitam sutranya, mengarahkan kepalanya. Dengan kepolosannya, wanita itu akan memuaskannya. Thalia akan memuaskannya.
Lidah yang membelainya. Rongga mulut yang sepanas intinya. Puncak payudara yang keras. Mata yang berkabut. Memohon. Meminta. Memberi. Segalanya. Thalia Ersa of Seymour adalah segalanya.
Thalia.
Alec. Alec. Alec. Alec—
Jemari Alec mengepal. Darah mengalir dari robekan kulit yang disebabkan kukunya. Darah itu mengalir bercampur dengan air hangat. Sekeras inikah ia berusaha membendung gairahnya terhadap Thalia? Membendung—rasanya. Cintanya. Hingga bersimbah darah.
Bagai bujukan iblis yang memandunya dalam palung putus asa—jemarinya itu menggapai kejantanannya. Menyelimutinya utuh. Mengelusnya perlahan. Alec tak tahu sudah berapa kali dalam tiga bulan terakhir ia memuaskan dirinya.
***
Langit-langit kamar adalah satu-satunya teman Thalia di malam senyap itu. Malaikatnya telah tertidur pulas. Kassia tak sadarkan diri, terduduk di atas kursi dekat ranjang bayinya. Tak ada kabar dari Kania. Semenjak kelahiran si malaikat kecil, wanita itu jarang berbicara. Thalia tahu Kania sedang memusatkan kekuatannya untuk melindungi anaknya. Namun, ia merasa sepi tanpa suara menenangkan itu.
Intinya, tanpa suara menenangkan itu, dalam benaknya berputar kekacauan. Tapi, ia tahu sesungguhnya apa yang ia inginkan. Apa yang dengan tekad sekeras baja akan dilaksanakannya. Malam ini.
Thalia beranjak dari ranjang sebelum suara itu menyentak dirinya. Hantu Kania, bayangannya tak begitu jelas diliputi abu-abu, berdiri di hadapannya. "Ke mana?"
"Gudang pertemuan." Thalia meraih jaketnya, melapisi dirinya dari udara malam. "Mengapa kau datang?"
"Kudengar kau merasa sepi tanpaku?" Kania menyeringai. "Dengar, aku akan membantumu melakukan apapun yang akan kau lakukan nanti, mengerti?"
Pintu terbuka, gigi Thalia gemertak kedinginan. Tangannya memeluk dirinya sendiri. Hati Thalia seketika seolah dirujam oleh tombak paling menyakitkan. Tangannya pernah memeluk Alec demi dirina dan pria itu. Kini, Thalia memeluk dirinya sendiri. Tak akan ada yang memeluknya. Tak akan ada yang balas memeluknya.
Kania berjalan di sampingnya. Tak ada ketukan kaki yang mengiringinya, namun jalur yang ia lalui memperoleh dingin dunia kematian. "Tidakkah kau bertanya-tanya ke mana selama ini aku pergi?"
"Melindungi bayiku karena Kalia ingin menghancurkannya dari dalam sedangkan kau ingin mempertahankannya? Dan dengan itu, Kalia berniat mengalahkanmu dalam pertarungan sengit ini?"
Jari Kania mengetuk dagunya. "Tepat. Tapi ada suatu hal lain yang membuatku terjaga siang malam."
Sebelah alis Thalia mengangkat. "Apa?"
"Melindungimu dari Alec," ujar Kania. "Pria itu berkeliaran di sekitar wilayah ini selama tiga bulan—tapi yang ia selalu temukan adalah batasan dari perisai pelindung desa kecil ini."
Mulut Thalia membuka lebar, tak percaya. Maniknya membelalak sungguh lebar seakan-akan keluar dari rongganya. Harapan serta antisipasi melimpahi dirinya bagai cahaya lembut yang perlahan bersinar terang. "Alec? Ada di sini? Mengapa kau tak memberitahuku?"
Kania terdiam. Wajahnya serius, sarat akan rahasia yang harus ia jaga. "Ya. Dia di sini. Siang tadi ia pulang."
Pulang. Alec pernah lebih dari sekali berpulang pada sentuhannya. Membutuhkannya. Menjadikannya cahaya di antara keraguannya. Thalia bertanya-tanya apakah pria itu masih menganggapnya cahaya—poros hidupnya—cinta?
Kania, dengan gerakan samar-samar kepalanya, membuka pintu berat gudang itu. "Aman. Masuklah."
Thalia masuk dan menyalakan lampu yang memancarkan sinar kekuningan, redup. Kania mengedikkan bahunya. "Semuanya di sini, Nak." Hantu itu merujuk pada seperangkat proyektor serta alat-alat komunikasi lainnya. Perjuangan menghubungi Waisenburg adalah perjuangan yang berat—setidaknya, tidak akan sia-sia.
"Nyalakan itu. Lalu arahkan ke dinding. Putar tombol yang ada di alat komunikasi itu sampai kau mencapai Waisenburg." Kania bersedekap.
Melakukan hal yang dipinta Kania dalam sekejap—bukan karena penjelasan tak karuannya itu, tapi karena ingatannya akan teknisi yang bertugas menghubungi Waisenburg—Thalia tersenyum simpul. Puas.
Layar yang biru itu perlahan menampilkan sesosok pria, berbalut pakaian tidur berwarna cokelat. Sebelum pandangan pria itu beralih pada layar di hadapannya, Thalia menangkap sekelebat bayangan hitam. Seorang wanita berambut hitam dengan mata keunguan. Hilang dalam sekedip mata.
Aku melihat seorang wanita, batin Thalia.
Watcher of Noa, Gabrielle. Kekasih sang raja. Jangan bertanya—benar, wanita itu roh. Hantu. Tak ubahnya aku, jawab Kania.
Berselingkuh?
Tidak, pria itu tak pernah benar-benar mencintai istrinya. Ia selalu mencintai Gabrielle.
Mata yang memandang Thalia itu bersilih ganti antara hijau dan biru. Gairah terpampang seutuhnya pada wajah tampannya. Bibirnya semerah matanya. Menangis?
"Selamat malam, Tuan Putri," ujarnya parau.
Thalia tersenyum tanpa ragu. "Selamat malam, Yang Mulia."
"Apakah kau berniat mengubah keputusan?" Sang Raja menyunggingkan senyum yang mampu melelehkan hati beribu-ribu wanita di dunia. "Kau tahu kau kalah suara."
"Aku memang berniat mengubah keputusan, Yang Mulia. Aku tak memerlukan suara banyak untuk menyatakan bahwa aku tidak setuju." Thalia menelan ludahnya. "Mereka membuat keputusan itu di luar keterlibatanku—aku akan melakukan hal yang sama terhadap mereka."
Sang Raja tampak tertarik. Dicondongkan tubuhnya, sehingga wajahnya memenuhi layar. Dengan lirih, bibirnya berbisik, "Apa yang kau rencanakan, Tuan Putri?"
Thalia, turut bergabung dalam lingkaran rahasia itu, berkata, "Aku perlu bantuanmu. Kuharap kau merahasiakannya dari semua orang. Aku—"
Percakapan itu, tak akan lekang sepanjang hidupnya. []
Hai, bagaimana? Semoga ga mengecewakan ya! Saya usahakan minggu depan juga upload satu chapter. Kenapa diusahain? Karena minggu depan adalah minggu UASSSS~huahaha. Jadi, sebagai anak rajin yang akan melanjutkan ke SMA /cuih/ saya akan belajar huahahhahaak. Mohon dukungannya ya. Buat belajar dan cerita ini juga. Hakhakhak. Semoga saja saya bisa konsen ngehadepin UAS tanpa mikirin Thalia :---(
Ohiya, lirik lagu yang ada di awal cerita itu, aku rasa menggambarkan perasaan Alec. Huahaha.
Lagu yang didengarkan ketika menulis cerita ini:
Love's To Blame – Joel & Luke
One and Only – Adele
Come With Me Now – KONGOS
Ready or Not – Bridgit Mendler
Too Close – Alec Clare
Dare ka, Umi wo – Aimer
Buku yang sedang dibaca:
The Darkest Whisper – Gena Showalter (Hip Hip Sabin!)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top