Bab 20-2
Kepada seluruh pembacaku yang setia menunggu Ugly Royale,
Bab 20-2
“Perutmu membesar.” Tristan bersandar pada bingkai pintu. Ujung helaian rambut pirang kecokelatan menyentuh alis gelapnya. Wajahnya merupakan perpaduan antara sedih dan suatu perasaan yang sukar diterka Thalia.
Thalia teguh dalam diam dan kembali menjatuhkan pandangan kepada halaman buku yang sedang ia baca. Thalia beruntung seorang pengungsi sangat mencintai koleksi bukunya sampai-sampai memenuhi kargo kereta kudanya dengan ratusan buku. Tapi, di sisi lain, ini juga merupakan kemalangan. Bagaimana tidak, buku yang sedang ia baca berjudul Pursuit. Dan cerita klasik itu hanya membuat Thalia mengenang mekaran cintanya di Opera Stamford.
Thalia mengingat persis cahaya muram lilin yang membayangi wajah Alec. Tarikan dan embusan napas Alec tiap kali pria itu berbicara. Detak jantungnya yang terasa begitu dekat dengan detak jantung miliknya. Panjang bulu matanya, turun dan naik lentik. Perasaan Thalia yang membuncah. Meminta Alec untuk menggenggam tangannya. Terus menerus. Untuk selamanya.
Perih menggerogoti sudut hatinya. Thalia menarik napas berusaha mengusir rasa yang tak lagi asing itu. Mengusir apapun yang menuntutnya mengenang Alec. Menutup buku klasik Pursuit dan meletakkannya di meja kecil samping ranjang. Sebelah tangannya meraba perutnya yang kelak merupa gundukan besar. Menampung anaknya tercinta. Anaknya dan Alec. Thalia tak akan pernah berusaha mengusir sisa kenangan yang satu ini.
“Tentu saja membesar,” ujar Thalia. “Seseorang sedang tumbuh di dalamnya.”
Tristan berjalan maju, menutup pintu kamarnya. Dengan tatapan matanya yang penuh keluh kesah, ia berlutut di samping ranjang. Tangan kanannya mengelus dahi Thalia sementara yang kiri membelai cabang bayi di bawah perutnya. “Semua orang tahu siapa ayahnya, Thalia.”
Thalia diam. Beberapa minggu terakhir, ketika salah seorang pengungsi secara tak sengaja menguping pembicaraannya dengan hantu Kania (meski pada bagian ini, banyak orang tak percaya), kabar mengenai siklus menstruasinya yang tak sesuai jalan dengan pengungsi wanita kebanyakan, beredar dan menjadi rahasia umum di sini. Thalia tak berusaha mencegahnya sebab itu memang adalah sebuah fakta. Ia mengandung seorang anak dan semua pengungsi tahu siapa ayahnya. Alec. Dengan itu, pengungsi yang kehilangan anggota keluarga serta menderita oleh Reyes, menaruh benci pada janin dalam rahimnya. Janin yang merupakan darah daging Reyes.
“Coleman memimpin rapat tadi pagi,” mulai Tristan. “Meski begitu, semua orang mengharapkan kehadiranmu. Pewaris Reibeart.”
Thalia merasakan bibirnya yang melengkung memikirkan kewajibannya—kewajiban yang tak pernah ia hendaki. “Aku bukan orang seperti ayahku atau Coleman atau pemimpin manapun. Aku bukan seorang pemimpin. Aku pelukis meski lukisanku tak berarti bagi sebagian besar orang. Aku tak pernah bisa menggantikan ayahku, Tristan—“ Suaranya tercekat. Bulir hangat menggantung di pelupuk matanya. Kematian ayahnya terus berkumandang dalam benaknya. “Lagipula ada anak dalam rahimku ini dan banyak orang menginginkannya mati.”
“Aku takut tak bisa melindungimu.” Tristan mencium pipinya. “Seseorang pasti berusaha membahayakan kandunganmu.”
“Aku kuat seorang diri dan sesungguhnya Kania sedang menghantuiku,” ujar Thalia.
Namun, Tristan memandang Thalia seolah ia adalah seorang pendusta besar. “Kania sudah meninggal, Sayang. Ia mungkin saja menggentayangimu, tapi kemungkinannya kecil.”
“Kau mungkin lebih suka memercayai kemungkinan yang lebih besar. Tapi, kemungkinan kecil bukan berarti mustahil. Ia ada di sini dan aku tak keberatan memanggilnya keluar untuk membuktikan kewarasanku padamu.”
Pria pirang ini tak akan bisa melihatku, Thalia.
Kita bahkan belum berusaha, batin Thalia, keluarlah, aku tak suka dianggap gila.
Seseorang membuka pintu kamarnya tanpa mencoba mengetuk terlebih dahulu. Gideon masuk, tubuh tegapnya menyembunyikan seorang gadis cilik di baliknya. Tangan kirinya tergenggam oleh kepalan kecil si gadis. Sebelah tangannya menahan pintu agar tidak menutup. Alisnya mengerut kala mata biru gelapnya mendapati jemari Tristan bermain di atas perut Thalia.
“Oh.” Hanya itu reaksi yang dikeluarkan Gideon.
Tristan langsung berdiri dan berkata, “Aku ada urusan.” Mengangguk pada Thalia lalu melewati Gideon begitu saja.
Bunyi pintu tertutup menjadi kawan keempat di antara keheningan ketiga pihak. Namun, tak berselang lama kemudian, Gideon membuka mulutnya. “Kakakku tak akan suka mengetahuinya.”
“Kalau begitu, kau tak perlu memberitahunya.” Thalia mengangkat sebelah alisnya. “Siapa gadis cilik itu?” Thalia menemui manik cokelat karamelnya yang manis dan besar.
Gideon menarik gadis itu ke tentang antara dirinya dan Thalia. “Kassia Adonia Sinclair, putri tunggal mantan Jenderal Sinclair.”
“Nama yang indah.” Kassia—benar-benar rupa harfiah dari arti namanya. Manis, kecil, dan polos. Rambutnya terikat dalam dua kepangan. Coklat gelap, segar sebagaimana tanah yang dihujani. Bibirnya tipis, hidugnya mungil. Alisnya tebal, bahkan kedua ujungnya nyaris menyentuh satu sama lain pada titik tengah dahinya.
Thalia mengulurkan tangan. Indikasi bagi Kassia untuk maju tanpa ragu. Namun, wajahnya merah lugu karena malu. Matanya berbinar antara ketakutan dan malu. “Berapa usiamu?”
Ludah tampak menuruni tenggorokan kecil itu. “E-empat belas…”
“Ia adalah seorang pengguna Zahl Healing yang handal dalam usianya yang tergolong muda.” Gideon mendorong Kassia maju. “Ia akan berguna sebagai—yah, perawatmu sebelum anakmu itu lahir.”
Sejurus kemudian, Gideon pergi keluar meninggalkan keduanya di dalam kamar. Thalia memandangi Kassia tanpa menyadari senyum yang mengembang di bibirnya. “Pria itu memang kurang ajar, memperlakukanmu bagai barang.”
Kassia diam, menurunkan kelopak matanya menelusuri sesuatu di sepatunya.
“Apa yang kau cari di sana?” tanya Thalia.
Ia tidak mencari sesuatu. Ia malu, bodoh. Kania bersungut-sungut.
Aku tahu. Kau tak perlu mengataiku bodoh
“Bu-bukan apa-apa,” jawab Kassia gelagapan. “Apa yang bisa kubantu, Yang Mulia?”
Thalia tertawa. Cara gadis ini berbicara mengingatkannya pada kegagapannya yang dulu. Kecanggungannya yang selalu dianggap buruk rupa oleh semua penduduk di Reibeart. Bahkan Alec pernah menganggapnya demikian. Alec. Thalia mengembuskan napasnya perlahan. Entah apapun yang ia pikirkan, semua itu akan selalu berujung pada Alec. Ia sudah mencegah segala cara untuk menghindarinya. Namun, semakin ia menghindar, kian gencar ingatan itu memburunya.
“Tak banyak.” Thalia memejamkan matanya. “Aku hanya butuh sebuah pengalihan.”
***
Alec menemukan Kalia terkapar di muka karpet kamar utama. Kulit kencangnya berubah keriput. Berat badannya menurun drastis, tubuhnya jadi ringkih. Dengan mulut mengeluarkan entah rintih atau kutukan lirih, Alec begitu yakin ini adalah kesempatan yang ditawarkan kehidupan padanya. Untuk menginjak tubuh dan menjadikan wanita tua ini debu yang kelak dibawa angin berlalu. Angin masa lalu, kenangan paling keruh.
Tapi, ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya—barang ujung kuku sedikit pun. Kalia mengukungnya dalam lingkaran magisnya. Menghapus gerak nalurinya. Merajai kemauan Alec sepenuhnya. Bahkan dalam kondisi gentingnya, Kalia mampu menyisihkan sedikit dari kemampuannya untuk mengurung kehendak Alec. Alec tak tahu pasti yang mana: Apakah Kalia-lah Sang Maha Kuat sehingga hanya dengan kedipan mata wanita itu telah memperoleh Alec. Atau Alec begitu lemah dan kekuatan Kalia terlalu besar untuk ditanggungnya. Kedua pilihan tersebut sama-sama merujuk pada satu hal, yaitu bahwa dirinya adalah seorang pecundang.
Tak mampu melindungi pujaan hatinya sendiri. Hanya mampu mencicipi bibirnya dimabuk rindu, diombang-ambing hasrat, digerogoti kuasa di luar tubuhnya. Namun, kendati demikian, Alec berhasil memeroleh kembali hangat yang pernah hinggap di tubuhnya. Yang sering menaklukannya. Yang tiap kali mengacaukannya dalam kebimbang. Bibir yang sama, lekuk tubuh di bawah lekuk pakaiannya.
Waktu sempit itu adalah surganya walau terjepit detik-detik taktik si bandit. Dan Alec tak percaya telah dua bulan berlalu sejak pertemuan terakhir mereka.
Pintu kamar menggebrak buka. Seorang wanita muda nan cantik dipaksa masuk oleh dua orang Anjing Reyes. Pertanyaan memenuhi roma muka cerahnya, tak tahu apa yang ia hadapi. Melangkah masuk lebih jauh ke dalam kamar sementara pintu di belakang menutup mengungkung. Mata cokelat-hijaunya menelusuri langit kamar sampai akhirnya menyadari kehadiran Alec dan membungkuk. Pada saat itulah, sebuah pekikan menyumpal rongga tenggorokannya. Ia terperanjat kala mendapati Kalia terkapar bagai serpihan guci paling antik di dunia. Rapuh, rusak, dan penuh gelora lama.
“Ke-kemarilah.” Kalia menjulurkan tangannya ke hadapan si wanita. Seakan berada di bawah pengaruh sihir, ia merunduk mendekati Kalia. Matanya kosong, memasrahkan seluruh hidupnya.
Namun, ketika tangan Kalia mencekik nadi pada lehernya, wanita itu berteriak dengan wajah merah yang perlahan biru. Di lain sisi, Kalia menyempatkan diri meraup berlimpah-limpah umur muda juga kecantikan yang besertanya. Tulang belakang Alec menyalurkan searus energi yang menghantam belakang kepalanya. Memori itu kembali menyeruak. Ibu juga mati karena ini. Karena bedebah tua itu.
Bagai datang dari awal penciptaan, tubuh Kalia sebugar wanita muda manapun. Menggiurkan dan andai saja Alec tak mengenal siapa dirinya, ia akan segera menggebrak wanita itu ke atas meja, menghujam si wanita dalam-dalam. Tapi, pemikiran itu membuat Alec bergidik jijik. Wanita itu pasti akan sama menggelikannya seperti kerumunan parasit.
Kalia menegakkan tungkainya sembari tangannya melempar tubuh keriput ke lembut karpet. Bola mata putihnya menunjukkan lebih dari satu hal. Kematian dan kesengsaraan. Manik Alec yang sedari tadi jatuh pada sosok manusia di bawah sana, dituntut paksa memandangi Kalia. Cantik, muda, pirang. Mengingatkan Alec pada warna jemari yang terlampau kering.
Wanita itu menempelkan tubuhnya di sisi tubuh Alec. Menggesek naik turun, berupaya memancing gairah Alec. Wanita itu paham sebagaimana merah darah bahwa Alec tak akan tertarik barang setitik pun padanya. Namun, ia terus berusaha dan ketika Alec pikir ia akan menyerah meraba tubuhnya, menciumi daun telinganya, ia justru bersikeras menyentuh kejantanan Alec.
Percuma—Alec tak berjengit sedikit pun.
Itu sama sekali tak menggairahkanku.
Masih dibakar asa, Kalia menggesekkan bokongnya tepat di atas kejantanan Alec yang layu. Mendesah, menikmatinya sendirian tanpa ditunjang dukungan pihak kedua. Kalia berbalik, tangannya merengkuh kerah kemeja Alec dan menarik pria itu mendekat.
Kalia mengulum bibir bawah Alec. “Sangat memalukan, entah bagaimana, menyadari fakta bahwa aku tak mampu menaklukan gairah bocah ingusan sepertimu.”
Sebab pada mulanya aku tak pernah bergairah pada seorang nenek tua yang membutuhkan tumbal bagi kecantikannya.
Kalia tertawa. Menjentikkan jarinya dan memaksa tangan Alec menelusuri lekuk tubuhnya. “Bukan masalah bagiku jika kau tak bergairah. Nenek tua ini hanya perlu disentuh.”
Jemari Alec berhenti tepat di atas pangkal paha wanita itu. Kalia membawa hidung Alec menyentuh hidungnya, mencicipi napas Alec yang berubah tak karuan. Kalia menggigit dan mengulum bibir Alec seraya susah payah ia memaksa tangan Alec menyelinap masuk ke balik gaunnya, menyentuh—
Kalia terlontar mundur beberapa langkah. Matanya nyalang menilik tubuh kokoh Alec. Mematri tatap menembus lapisan-lapisan otot Alec. Menjatuhkan pandang begitu jauh sampai-sampai Alec tak mampu menemui titik temunya. Bibirnya bergetar, terguncang oleh gelombang penglihatan yang mendadak menabraknya.
Apa yang kau lihat?
“Kekasihmu,” ujarnya masih dengan perhatian entah ke mana.
Alec menggeram dalam dirinya. Sebuah ancaman sakral. Jangan berani kau menyentuhnya. Aku akan membunuh dan membuang dirimu ke neraka.
Kalia mengangkat kedua bahunya tak acuh. “Kau bahkan tak bisa menggerakkan kakimu dan kau berani mengancamku? Kau memang punya nyali.” Wanita itu maju selangkah. “Perut kekasihmu, Nak, kian besar.”
Apa? Alec berpikir untuk mengguncang pundak wanita bengis itu, namun disadari oleh kenyataan tragis bahwa kini dirinya berada di bawah pengaruh kekuatannya. Ia hamil?
Alec tak mampu menjelaskan perasaan yang menyeruak ke dalam hatinya. Senang, bangga, dan begitu bersyukur. Berterimakasih pada apapun—dewa ataupun iblis gairah—yang mengantarkan benihnya menempel pada diri wanita itu. Menciptakan kehidupan baru. Kehidupan yang merupakan perpaduan dari cinta mereka. Gairah mereka. Dan Alec akan menjadi seorang ayah.
“Bagaimana bila kunyatakan bahwa janin dalam rahim kekasihmu itu bukanlah anakmu?” Mata Kalia mengintai Alec, siap menerkam tiap kesempatan yang ada untuk meruntuhkan pendirian Alec. “Kau tak akan tahu setelah dua bulan berpisah dengannya. Selalu ada kemungkinan wanita itu bercinta dengan pria selain dirimu,” ujar Kalia, “misalnya saja, teman baiknya, Tristan.”
Mustahil. Suara Alec bergema dalam kegetiran dan getaran kemuraman. Dalam rahimnya pasti anakku.
“Tidak, Alec. Biar kutunjukkan sebuah pemandangan yang mampu meluruskan perdebatan kita.” Marilyn memejamkan matanya dan menyusupkan lebih dari satu episode penglihatan ke dalam benak Alec.
Dalam gambaran itu, tubuh indah Thalia telanjang. Matanya berbinar menanti sesuatu. Paha semulus sutranya membuka dan menampakkan inti dirinya, merekah merah basah. Alec menelan ludahnya menyaksikan keagungan tubuh Thalia. Melempar dirinya pada kenangan dulu di mana Alec mencium dan menjilati jengkal demi jengkal kulit putihnya. Merasakan madu yang seolah mengali di permukaan tubuhnya.
Tapi, kemudian, sesuatu yang tak Alec sangka berlangsung begitu cepat. Seorang pria merangkak di atasnya. Bukan hanya menelusuri, namun juga memuja tubuh Thalia. Itu bukan sembarang pria—itu adalah Tristan. Rambut pirangnya menyapu halus kulit Thalia. Melakukan hal-hal yang pernah dilakukan Alec pada Thalia. Memuja Alec melebihi Alec memujanya. Sebuah gelombang murka melanda dirinya sekejap. Beserta pertanyaan yang datang setelahnya.
Apakah selama ini aku tertipu oleh wanita itu?
Kalia melingkarkan tangannya di sekitar leher Alec. Menggantung di sana dan menyandarkan kepalanya di atas jantung Alec. “Dengan berat hati, harus kukatakan, ya. Selama ini kau tertipu. Wanita itu hanya menginginkan dirimu karena ia tahu tak ada pria selain dirimu yang mampu memuaskan gairahnya. Namun, ia menyingkirkan dirimu begitu saja ketika Tristan datang. Wanita itu selalu mencintai Tristan, Alec. Kau hanyalah pengalihan. Sebuah pemuas gairah baginya. Tristan adalah hidupnya kau hanyalah tepian yang menjaga hidupnya tak runtuh.”
Aku—selalu disampingkan?
“Ya. Kalau tidak demi apa wanita itu mengorbankan dirinya menyelamatkan Tristan?”
Tristan adalah temannya yang berharga. Suara Alec tercekat seolah hatinya diiris-iris kehancuran dunia.
“Apakah kau yakin Thalia akan melakukan hal yang sama demi dirimu?” bisik Kalia, lirih. “Itu, Alec, adalah kenyataan yang perlu kau terima. Thalia tak pernah benar-benar mencintaimu. Wanita itu hanya membutuhkanmu sebagai pemuas gairah murahannya. Kau bahkan tak dianggap seorang manusia olehnya. Kau hanya dianggap—benda. Benda hidup yang memenuhi liang menjijikannya itu.”
Aku tertipu, aku Alec getir.
“Benar. Tertipu. Ia berlaku polos dan tak tahu apa-apa mengenai jerat kecantikannya,” mulai Kalia. “Namun, sesungguhnya, ia tahu ia mampu dengan mudah membawamu mencium kakinya. Menyembah dirinya—bagai seorang ratu yang tanpa belas kasihan akan memintamu bunuh diri.”
Benar. Selama ini Alec selalu merasakan manik emas itu tak pernah sungguh melihatnya. Hanya menyapu sosoknya sebentar, lalu dalam sekejap, hinggap pada pria lain. Alec tak berarti bagi Thalia. Alec hanyalah pemuas gairahnya. Lidahnya kelu ditipu. Entah bagaimana, tangannya menggumpal menjadi satu dendam.
“Thalia adalah seorang pengguna Zahl Forming,” ujarnya mantap dan yakin. “Kau takkan pernah tahu sejak kapan atau selama apa wanita tengik itu telah mempengaruhimu. Memperbudak dirimu.”
Pikirannya berubah gelap. Tapi, setidaknya, ia tahu ini nyata. Bukan kenangan buram mengenai senyum hangat Thalia yang ia pikir adalah miliknya. Thalia bukan milliknya. Tak pernah menjadi miliknya. Jantungnya berderap pelan bagai detik waktu yang begitu pasti. Sepasti keyakinan yang tumbuh di benaknya.
Ia akan membunuh Thalia dan benih di dalam rahimnya. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top