Bab 2-1
Bab 2-1
Matahari mulai bersembunyi ke tempat yang tak satu orang pun tahu, menyinari Reibeart dengan cahaya keemasannya. Kastil Seymour terletak di wilayah Seymour, bagian paling barat Reibeart, selalu menjadi pusat perhatian para turis domestik maupun mancanegara. Matahari akan tenggelam di belakang menara-menara tinggi kastil, memberikan pemandangan indah dan cahaya keemasan, kadang keunguan. Halaman belakang Kastil Seymour yang mencakup kebun anggur, mawar, dan rumah kaca, akan ramai setiap sorenya, dipenuhi oleh turis serta para pelayan. Jika dari kejauhan matahari tenggelam sudah mempercantik Kastil Seymour, ketika kita masuk ke dalam, pergi ke halaman belakang kastil kita dapat melihat matahari seakan di depan mata. Begitu besar dan bulat. Begitu indah dan romantis. Semua orang akan merasakan kebahagiaan dan kehangatan menjalar di hatinya, namun tidak bagi Thalia Ersa of Seymour.
Kegelisahan nampak di wajah putri buruk rupa itu. Ia berjalan dari satu sisi ke sisi ruangan yang lain dengan hentaman kaki kasar. Badannya memang selalu membungkuk, begitupun sekarang. Gaun ungu kelabunya tak ia ganti, ia masih memakai gaun kusam itu sampai sekarang..setidaknya sebelum makan malam. Tunggu, ia tak akan makan malam bersama ayahnya. Ayahnya belum pulang dari Waisenburg dan Thalia berharap pria yang ia hormati itu tidak akan pulang sebelum dirinya membereskan kekacauan di kamarnya ini.
Kamarnya kacau dan berantakan. Kertas-kertas sobekan dari buku gambar berserakan di seluruh pelosok kamar tidur sementara Thalia menginjaknya sambil berlalu lalang. Selain kertas-kertas berserakan, kamarnya tidak berantakan. Namun, kertas-kertas itu terlalu banyak. Sepulang dirinya dari halaman tengah, Thalia mengeluarkan sepuluh buku gambar, menyobek kertasnya satu persatu dan mulai menggambar apa yang ada di kepalanya. Sayang, ia tak berhasil menggambar gangguan di kepalanya, dan ia menjadi gelisah memikirkan gangguan itu.
Thalia menghempaskan tubuhnya ke ranjang dan merentangkan kedua kaki dan tangannya. Berjalan dan menggambar sungguh melelahkan, namun ada yang bahkan lebih melelahkan daripada itu. Memikirkan. Memikirkan adalah salah satu tindakan yang melelahkan, walaupun orang-orang tak menyadarinya. Ada dua kemungkinan yang dihasilkan setelah kita 'memikirkan'. Kesenangan pribadi atau kegelisahan tak berujung. Dan, ironisnya, Thalia merasakan kegelisahan tak berujung, memikirkan seseorang.
-Alec of Reyes
Thalia menyampingkan tubuhnya dan mulai mengingat kembali wajah tampan pria itu. Mulutnya memang ketus, sikapnya arogan, dan di atas semuanya...pria itu membenci Thalia, tertera dengan jelas di wajah penuh pesonanya. Yah, itu hanya penilaian sekilas saja, sih. Thalia harus menghilangkan ingatannya akan wajah pria itu-Alec. Wajahnya, mata biru kelabunya, rambut hitamnya, tubuh atletisnya, dada lebarnya, kaki panjangnya..semuanya. Ia harus melupakan semuanya..namun, sayangnya, ia tidak bisa. Setiap detik, diperbolehkan atau tidak, Thalia akan selalu terkenang akan mata pria itu, menggambarnya di atas kertas dengan teliti dan tekun. Dan hasilnya adalah nol, sama sekali tak ada yang berhasil. Aneh. Thalia tidak bisa menggambar mata pria itu.
Entah kenapa dirinya tak bisa menggambar matanya. Ia sudah mencoba di atas ratusan kertas gambar, namun tak ada satupun yang berhasil. Di gambarnya akan ada selalu kekurangan kasat mata dan Thalia gelisah akan hal itu juga hal tentang pria itu. Sangat gelisah...bukan. Ia sangat menginginkan pria itu di depannya, duduk manis, menyunggingkan senyum terbaik, sementara Thalia menggambarnya cekatan tanpa harus meraih penghapus, Thalia akan menggambarnya tanpa kesalahan satupun. Rasanya ia bisa melakukannya jika pria itulah modelnya.
Thalia terbangun ketika mendapati seseorang mengetuk pintu kamarnya. Mata Thalia bergelimang cahaya bahagia menyadari nada ketukan itu mirip dengan kepunyaan ayahnya. Ayahnya sudah pulang dan Thalia ingin membukakan pintu untuk ayah tercintanya. Namun, ia tak mungkin membiarkan ayahnya melihat kertas-kertas penuh mata penghipnotis itu tercecer di lantai, menghalangi keduanya-ia dan ayahnya-berjalan ke sofa paling empuk di dekat jendela besar, satu-satunya benda untuk menatap santai matahari terbenam.
Thalia merunduk dan mulai mengambil kertas gambarnya satu persatu secepat mungkin. Dan, sialnya, Bartholomeu IV sudah melangkahkan kaki masuk ke kamar, menginjak kertas pertama di hadapanya. Wajah Thalia berubah pucat dan tenggorokannya mengering. Ia takut mengecewakan ayahnya dengan kekacauan di kamarnya ini. Ia takut ayahnya membalikkan punggung dan menunggu kamar ini bersih. Ia takut ditanyakan hal-hal aneh tentang mata-mata di atas karpet ini.
Namun, tidak. Bartholomeu berjalan cepat ke arah Thalia dan memeluknya erat-erat. Thalia dapat merasakan detak jantung ayahnya beradu dengan jantungnya dari balik kemeja linen ayahnya. Thalia menutup kelopak matanya sambil menghirup aroma tembakau di kemeja ayahnya yang, anehnya, menenangkan. Kepalanya ia benamkan lebih dalam ke dada ayahnya, mempererat pelukan walaupun tangannya yang pendek tak mampu melingkari tubuh kekar ayahnya. Seketika itu juga, kegelisahan di hatinya tergantikan oleh rasa rindu yang mendalam kepada ayahnya setelah seminggu tak bertemu.
Padahal, baru seminggu...hanya seminggu. Tapi, rasa sayang kepada ayahnya terlalu besar, sampai-sampai berat untuk menghitung hari demi hari sampai akhirnya hari ini tiba.
Bartholomeu memberi jarak di antara mereka agar pria itu dapat melihat wajah putri semata wayangnya. Thalia, di balik rambut hitamnya yang menutupi rambut, dapat melihat dahi ayahnya berkedut menatapi wajahnya. Tangan besar ayahnya menangkup kedua pipi Thalia sebelum akhirnya mebawa banyak rambut ke belakang. Ayahnya tersenyum dan kali ini ia bisa melihatnya jelas, senyum paling indah seakan-akan mampu memekarkan banyak kuntum bunga anggrek di rumah kaca.
"Kau cantik, anakku," mulai Bartholomeu, "kau harus memotong rambutmu. Aku akan memanggilkan penata rambut terbaik besok, kalau kau mau."
Thalia menggeleng ragu. "Kurasa tidak perlu, ayahanda."
Bartholomeu menghela napas, mendengar penolakan dari anaknya. "Baiklah, aku tak akan memaksa." Bartholomeu melirik pada sofa di dekat jendela, memutar bola matanya seiring tubuhnya gemetar gugup. Thalia menatap wajah Bartholomeu sama gelisahnya dengan wajahnya tadi. Mata hijau Bartholomeu menelusuri kamar
Thalia seakan mencari sebuah kata untuk melanjutkan pembicaraan ini. Thalia menggigit bibir bawahnya perlahan, berharap tidak merobek bibirnya. Ayahnya gugup, hendak mengatakan sesuatu, namun tidak bisa mengutarakannya. Thalia tahu itu, namun kegugupan ayahnya malah membuatnya lebih gugup. Apakah ada yang salah pada dirinya?
Akhirnya, Bartholomeu membuka mulut.
"Bagaimana kalau kita duduk di sofa, melihat-lihat matahari terbenam sambil bersenda gurau. Ah, maksudku adalah bagaimana kalau kita duduk di sofa? Posisi berdiri seperti ini sangat melelahkan karena aku hendak memberitahumu sesuatu yang sangat..." Bartholomeu memutar bola matanya, sekali lagi. "Penting."
Thalia mengangguk dan mulai berjalan mendahului ayahnya. Ia berdiri di salah satu sofa dan menariknya ke belakang untuk memudahkan ayahnya duduk, dan juga untuk etika. Memastikan ayahnya telah benar-benar duduk, Thalia mengitari meja dan menghempaskan tubuhnya ke sofa seberang. Ayahnya memberengut melihat tindakan Thalia. Thalia berdiri kembali dan duduk di sofa tanpa menghempaskan tubuhnya. Ayahnya memang ketat akan etika, tapi, untunglah, Thalia diberi kelonggaran untuk menjalaninya.
Ayahnya memajukan tubuh dan melipat dua tangannya di atas paha seraya kedua ibu jarinya bermain bersama. Ayahnya sesekali menatap ke jendela, lalu ke tanah, ke langit-langit, dan pada akhirnya ia memaku tatapannya pada Thalia. Ayahnya menghela napas terlebih dahulu, lalu berkata, "Berapa umurmu, Thalia?"
Thalia merunduk, mengingat-ingat ada berapa lilin di kue ulang tahun terakhirnya. Tanpa mendongak, menatap ayahnya, Thalia mengangkat suara lirihnya, "Delapan belas. Kurasa."
"Besarkan suaramu. Aku yakin kau delapan belas tahun," ujar ayahnya penuh keyakinan, seakan-akan dialah yang meniup delapan belas lilin beberapa bulan lalu. "Kau sudah besar." Ayahnya tersenyum lembut pada Thalia.
Rambut-rambut kembali menutupi penglihatan Thalia dan dirinya tak berniat merapikannya. Rambutnya selalu turun di saat yang tepat, seperti halnya sekarang. Sekarang, wajah Thalia memerah akan pernyataan ayahnya itu. Ia memang sudah besar dan orang di sekitar tak pernah menyinggungnya. Itu menjadikan ayahnya, Bartholomeu IV, orang pertama yang melakukannya. "Ku-kurasa," gumam Thalia.
Bartholomeu melototi Thalia. "Besarkan suaramu."
Thalia mengangguk. "Baik, ayah."
"Nah, ayah akan melanjutkan," ujar Bartholomeu, "ada dua tawaran yang ditujukan padamu."
Bartholomeu berhenti berbicara, menunggu reaksi anaknya. Thalia mendongak, heran ayahnya berhenti berkata. Ketika melihat wajah serius ayahnya, Thalia membuka mulutnya. "Ya, ayah."
Bartholomeu mengetukkan kaki ke lantai beberapa kali. "Dan keduanya, kuharap kau jangan terkejut, adalah lamaran untuk menikahimu," umum ayahnya
Thalia membesarkan matanya ketika napasnya tiba-tiba tercekat, tersangkut di tenggorokannya dan-sepertinya-kembali ke paru-paru, walaupun hal seperti itu sangat mustahil. Seketika itu juga rasa khawatir, cemas, kegelisahan melanda dirinya. Tubuhnya melemas, dan ia menidurkan tubuhnya ke sofa dengan lebih berat sekarang. Tungkai kakinya seakan-akan tak bisa menahan berat tubuhnya sehingga ia harus mencengkeram erat kedua tangan sofa. Beberapa detik kemudian sebelah tangannya meraih dahinya, memijit, memerasnya perlahan.
Lamaran? Pernikahan? Kedua hal itu sangat mustahil bagi putri buruk rupa seperti dirinya. Sebuah pengkhianatan dan beberapa makian akan sangat pantas untuk dirinya, dan ia tak akan mengelak atau tersinggung lagi. Namun, yang tak bisa dipercayai oleh benaknya adalah pernikahan! Lamaran! Bahkan dua lamaran pernikahan! Tak pernah sekalipun terpikirkan oleh dirinya yang buruk rupa ini, hal semacam itu. Hal semacam..semacam mengikat diri dengan seseorang secara sakral di atas atlar dan melakukan perjanjian di atas kertas..
Thalia mengalihkan pandangannya dari Bartholomeu dan menyapu seisi ruangan dengan mata besarnya. Dinding merah, karpet hijau, pintu emas, ranjang yang kebesaran untuk dirinya, jendela besar, dan...astaga, pernikahan! Ia baru saja menginjak usia dewasanya, delapan belas tahun. Ia baru saja akan memulai kegiatan sosial di masyarakat ataupun kegiatan politik bersama beberapa menteri atau dewan rakyat lainnya. Ia baru saja akan memperbaiki penampilannya agar dicintai rakyat. Ia baru saja akan tertawa ketika mendengar ayahnya berbicara begitu gagap. Namun, ya ampun, bahkan dirinya menganga selebar gajah setelah telinganya terhujam oleh kata itu. Kata itu, 'pernikahan'.
Pernikahan...orang-orang pasti akan berpikir dua kali untuk menikah seorang putri buruk rupa, kalau tidak memandang kekayaan dan gelar yang akan mengalir pada setiap keturunan mereka. Ayahnya, Bartholomeu IV of Seymour pasti bercanda. Ya, ayahnya pasti bercanda. Seharusnya Thalia menyibakkan rambutnya ke belakang, atau mungkin memotongnya, agar wajah ayahnya dapat terbaca dengan baik. Terkadang rambutnya memang berdampak baik, tapi juga berdampak buruk seperti sekarang. Ayahnya pasti bercanda. Mana mungkin..pernikahan untuk wanita buruk rupa sepertinya...seperti yang dikatakan orang-orang mengenainya. Thalia tertawa masam, kali ini ia berbicara dengan suara lantang, ingin mempercayai bahwa ayahnya benar-benar bercanda. "Ayahanda pasti bercanda! Mustahil sekali putri buruk rupa sepertiku akan menikah. Lucu, sungguh lu-"
Bartholomeu memotong tajam perkataan Thalia. "Siapa yang memanggilmu buruk rupa?" Bartholomeu menegaskan, "Kau cantik dan tidak akan kubiarkan orang-orang menilaimu seburuk itu." Sekali lagi, Bartholomeu menegaskan, suaranya menggema ke pelosok kamar, "Kau cantik, Thalia of Seymour. Dan aku serius mengenai dua lamaran itu. Ikat rambutmu erat-erat dan perhatikan, tatap wajahku yang serius. Wajahku yang berkerut semakin tua, tak terasa kau sudah tumbuh dewasa dan dua pria hendak meminangmu. Dua pria membawa banyak bunga dan beberapa persembahan kepadaku tadi siang, mereka berdua hendak menikahimu. Jangan merendahkan dirimu, beranggapan tak akan ada pria yang akan menikahimu! Tatap wajahmu di cermin dan perhatikan baik-baik. Kau adalah cerminan dari nenek moyangmu, Kania of Seymour, salah satu selir Adolphus of Reyes, sang pendiri. Dua buah lamaran dari dua orang yang berbeda, mereka berdua ingin menikahimu demi kejayaan Reibeart."
Wajah Thalia berubah pucat dan keringat mulai membasahi telapak tangannya. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat, mengharuskan Thalia menghembuskan napas empat kali lebih cepat. Ia tidak percaya sama sekali, namun melihat wajah ayahnya yang serius, bagaikan patung dewa, menatapnya tanpa kilatan bercanda. Ia menelan ludahnya susah payah, kakinya tak dapat bergerak sedikitpun, begitupula tangannya. Ya ampun, keadaan ini sungguh lucu, seakan-akan gambar malaikat yang beberapa hari lalu ia lukis benar-benar membawakannya sebuah kehidupan baru tak ia sangka-sangka.
Thalia menyadari bibirnya kering, lalu menjilat membasahinya. "Si-siapa?" suaranya kaku dan terdengar kikuk. Tentu saja, ia kikuk dan canggung..apalagi setelah mendengar kata pernikahan. Pernikahan juga Reyes, keduanya berputar-putar di kepala Thalia, walaupun yang satunya-reyes-telah berhenti memberontak. Tapi, tetap saja...kecanggungan ini sama saja rasanya dengan kegelisahan beberapa menit yang lalu. Benar juga, beberapa menit yang lalu ia gelisah memikirkan cara paling baik, sempurna, untuk menggambar mata penghipnotis milik pria itu, berjalan ke sana ke mari mencari cara untuk mengeluarkan ingatan akan pria itu tanpa meledakkan kepalanya. Namun, sekarang...jantungnya tak kuat menerima hal lebih hebat dari menggambar. Hal seperti ini terlalu baru untuknya, dan ia tak bisa menerimanya begitu saja. Setidaknya, kalau Bartholomeu bersedia memberikan sejumlah alasan di mana Thalia terpaksa mengiyakan.
Thalia berdiri, meletakkan tangannya di dada dan memprotes, "Aku tak akan menerima tawaran mereka jika ayah tidak memberikan sejumlah alasan untuk mengiyakan lamaran mereka!" seumur hidup Thalia, baru kali ini ia menaikkan nada suaranya dan dengan berani memprotes pernyataan ayah tersayangnya. Rasanya sungguh menyenangkan dan penuh kebebasan bisa mengutarakan apa yang di pikirannya semudah memakai baju. Rasanya sungguh hebat bisa memprotes perkataan orang lain. Thalia berharap, berdoa, bahwa semoga saja ia bisa seperti ini di hadapan banyak penduduk dan semoga saja ia bisa melawan alasan kuat ayahnya.
Bartholomeu membesarkan matanya, tak percaya Thalia bisa begitu percaya diri mengutarakan pendapatnya. Bartholomeu tersenyum, lalu setelahnya, ia berkata, menjabarkan beberapa alasan. "Kau tahu, ayah selalu ingin tahta ini jatuh kepadamu, anakku satu-satunya, Thalia Ersa. Aku tidak mau pamanmu yang kejam itu memperoleh tahta, ataupun anak-anak selirku. Aku hanya menginginkanmu agar berubah...merubah seluruh dirimu agar kau pantas dipandang menjadi ratu kerajaan ini. Dan kurasa, pertunangan bisa mengubahmu, Thalia. Apalagi salah satu dari kedua lamaran sangat menjaminkan kesejahteraan Reibeart ke depannya."
Thalia mengangguk, meresapi perkataan ayahnya. Ia berpikir sejenak, lalu membuka mulutnya. "Itu saja?"
"Ya ampun, kuharap kau berbicara sejelas dan se-percaya diri ini setiap saat, Thalia. Aku jatuh cinta," kata Bartholomeu sambil menyeringai.
Thalia merunduk, menatap tanah, takut rona di pipinya terlihat oleh ayahnya. "Te-tentu saja i-itu tidak bisa. Ha-hanya di depan..Eh, di hadapan ayahan-da-da lah aku bisa se-berani ini..kurasa.Tapi, kurasa benar..eh, kurasa salah?" gumam Thalia
Bartholomeu berdeham, membuat Thalia mengalihkan pandangannya pada pria itu, bukan ke tanah lagi. "Tentu saja bukan hanya itu. Kalau kau tak mau menerima dua lamaran itu," mulai Bartholomeu, "Gelar putri mahkota tak akan kau sandang lagi, akan kuberikan kepada adik tirimu, Callisto. Studiomu akan dibakar, beserta kanvas-kanvas berhargamu, tak peduli baru atau tidak, bagus atau tidak. Studiomu itu akan kujadikan istal kuda. Kau akan diasingkan ke pulau jajahan Reibeart di timur dengan makanan terbatas, mengingat reputasimu di sini, sesungguhnya, sudah sangat memalukanku. Dan, pamanmu yang kejam itu, Joseph akan memerintah. Kau tahu, pamanmu akan menyiksa setiap penduduk di sini dengan otak agak sintingnya, tidak mengirimkan makanan ke pulau tempatmu terasingkan, mengebom setiap kerajaan di dekat Reibeart, dan menjadikan kerajaan ini sebagai musuh utama dunia." Helaan napas Bartholomeu menyela. "Dan kira-kira itulah yang akan terjadi kalau kau tidak menerima lamaran pertama dan kedua." Bartholomeu tersenyum puas, menyenderkan punggung pada sofa dengan santai.
Thalia bergidik ngeri. Musibah pertama, gelar putri mahkotanya akan beralih ke adik tirinya, dan itu sama sekali tidak buruk. Musibah kedua, studio kesayangannya akan dibakar beserta kanvas-kanvasnya untuk dijadikan kandang kuda, dan itu agak buruk, Thalia bisa menghasilkan banyak karya baru. Musibah ketiga, terasingkan ke pulau di timur dengan persedian makanan terbatas, mungkin tidak sama sekali, dan itu sangat buruk, mengingat selera makannya yang di luar batas walaupun tubuhnya ramping bukan main. Musibah keempat, Paman Joseph akan menjadi raja, buruk sekali. Musibah kelima, penduduk akan disiksa, sangat buruk. Musibah keenam, tidak mengirimkan makanan ke pulaunya, SANGAT BURUK. Musibah ketujuh, mengebom kerajaan lain, SANGAT SANGAT BURUK. Musibah kedelapan, menjadikan Reibeart sebagai musuh utama kerajaan di dunia, SANGAT SIALNYA SANGAT BURUK.
Ya ampun, apakah tak ada celah satupun bagi Thalia untuk memprotes sekali lagi? Kalau ia tidak menerima kedua lamaran itu, musibah buruk akan menimpanya dan mungkin juga rakyatnya. Thalia terdiam, merasa terkalahkan dan terkuasai oleh pengaruh ayahnya. Sial, benar-benar tak ada celah. Kali ini sebersit rasa kesal membakar hatinya setengah mati. Ia tak bisa menahan panas dan unek-unek di hatinya. Ia ingin memakan dunia segampang ia memakan telur rebus buatan Ms. Darling. Ia duduk di kursi, manis dan rapi. Ia terkalahkan dan diharuskan mengalah. Mau bagaimanapun juga, ayahnya ingin dirinya menikah, untuk kepentingan Reibeart...untuk Reibeart. Ia akan menikah demi Reibeart, baiklah, ia terpaksa pasrah menerimanya.
Bartholomeu, seakan membaca pikiran Thalia, berkata, "Aku tahu kau akan menerimanya. Dan untuk itu, aku telah mengatur sebuah pertunangan. Aku tak mau putri tercintaku bertunangan dengan seseorang tanpa mengenalnya terlebih dahulu, begitupula sebaliknya. Aku ingin kau mengenal keduanya, sebelum akhirnya menikah. Namun, aku sudah memutuskan untuk menunangkanmu dengan orang pertama."
Thalia mengangkat sebelah alisnya dengan suram, walaupun usahanya itu sia-sia saja karena rambut hitam menutupi wajahnya. Bartholomeu melanjutkan, "Orang pertama adalah Herman Greyster, seorang bangsawan keturunan kakek dari pihak ibumu. Jangan terkejut seperti itu, aku tahu dia sudah berumur. Umurnya tiga kali lipat dari umurmu, namun aku yakin ia bisa memberikanmu yang terbaik. Dari caranya mengolah estatnya aku tahu Reibeart akan diolah lebih baik pula. Kau akan menemuinya besok pagi, di kastil ini. Ia akan membawakan bunga atau mungkin cokelat, kurasa karena aku memberitahunya kalau kedua barang itu adalah favoritmu."
Thalia menggigit bibir bawahnya. Herman Greyster. Ya Tuhan, Herman Greyster sangat tua, gemuk, buruk rupa-sama seperti dirinya-, dan mata keranjang! Kenapa ayahnya tidak mengetahui hal terakhir itu? Ya, Herman Greyster memang pintar mengolah estatnya, namun Reibeart tidak sekecil estat pinggirannya itu! Reibeart adalah sebuah kerajaan besar di benua tengah. Dan barang kesukaannya bukanlah bunga dan cokelat, tapi kanvas dan cat minyak! Kenapa ayahnya memberikan informasi palsu se-feminim itu?
Thalia memberengut, ingin memprotes, namun sifat pemalu kembali melandanya. Ia tak berani mengutarakan pendapat sebenarnya. Biarkanlah perasaannya akan ini disimpan jauh-jauh, dalam-dalam hati. Ia tak ingin menjadi pusat perhatian orang-orang, menjadi semenonjol dan semenarik yang mereka minta dengan cara berbicara se-percaya diri mungkin dan rambut terpotong. Tapi apa daya Thalia? Dirinya adalah dirinya, ia kikuk, canggung, ceroboh, tak pintar berkata-kata, dan tak menarik.
Thalia mengangguk, menipu ayahnya dengan anggukan paling manis walaupun agak kikuk. Ia menelan ludahnya susah payah, seakan-akan ada duri menempel di teronggokannya. Kalau orang pertama saja sudah seburuk itu, bagaimana dengan orang kedua? Thalia yakin, seratus persen, orang kedua akan jauh lebih buruk dari yang satu ini, sehingga Thalia harus menerima lamaran dari Herman Greyster dan hidup bahagia memimpin kerajaan bersamanya. Lagipula, siapa pria tampan yang bersedia menikahinya? Thalia bertanya lirih, "Siapa orang kedua, Ayah?"
Bartholomeu membunyikan rahangnya, tak menyangka putrinya, Thalia, akan bertanya hal semacam ini setelah mendengar calon pertamanya seburuk itu. "Kau mungkin tidak akan percaya.."
Thalia menggeleng. Ia siap walaupun orang kedua akan lebih buruk dari-
"Orang kedua adalah Alec Zachary of Reyes," potong ayahnya, suaranya sedingin es membekukan setiap tindakan Thalia, setajam pedang menusuk telinga Thalia, perkataannya mengejutkan tubuh dan segala gerakannya. Malaikat itu memang membawakannya ke kehidupan baru yang tak terduga...
Alec Zachary of Reyes melamar Thalia Ersa of Seymour.
Gila, dan mungkin telinganya salah menddengar.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top