Bab 15-2
Kepada seluruh pembacaku yang setia menunggu Ugly Royale,
Bab 15-2
Pandangan Thalia bertemu pepohonan dan salju yang berada di sisi lain jendela. Pemandangan itu seolah terperangkap di antara bingkai jendela. Namun, Thalia jadi bertanya-tanya yang mana tepatnya kebenaran; siapa yang sesungguhnya terperangkap? Thalia atau pemandangan itu?
Thalia menekan kuasnya kuat-kuat ke atas kanvas. Kehampaan menguras semangat hidupnya. Bukan berarti ia hendak bunuh diri—ia tidak selemah itu. Hanya saja sesuatu yang pernah ada di sana menghilang. Lenyap ditimbun salju. Sekarang perasaannya sepolos hamparan salju. Tidak ada senang, sedih, atau hasrat.
Kembali mengalihkan matanya pada lukisannya, Thalia kembali mewarnai abu-abu pada langit di atas kanvas. Ia melukis pemandangan di hadapannya. Satu-satunya hal yang ia mampu lakukan agar tak merasa dikungkung. Mengurung sesuatu.
Ketukan konstan berkumandang dari pintu kamarnya. Ketukan tenang serta tegas. Dua esensi yang pernah menjadi bagian dari diri Thalia.
“Masuk.” Thalia terus menimpakan warna demi warna, menciptakan warna persis kelabu langit hari itu.
“Thalia.” Alec menutup pintu di belakangnya. Thalia menghirup napas dalam-dalam dan menjebaknya di dalam paru-paru. Seolah dengan itu ia bisa membohongi racauan detak jantungnya.
Mata Thalia melirik sosok pria tampan itu. Alecnya. Setidaknya, dulu. Kini Thalia tak begitu yakin apakah Alec masih mendambakan percintaan mereka di pondok. Betapa lembut dan panasnya mereka bercinta. Betapa mendebarkan, dipenuhi antisipasi dan tuntutan. Dan pemberian. Dan cinta.
Itu semua sudah berlalu. Masa bercinta mereka dimakan waktu. Setidaknya ingatan Thalia akan sentuhan Alec tak pernah lumpuh. Meski sudah dua bulan Alec menjauhinya. Sekedar menyapanya ketika bertemu di koridor. Menyapa dan tersenyum. Namun, Thalia tahu matanya menyoroti Thalia dengan ketakutan.
Mungkin kau tidak sepenuhnya aman bersamaku, berhati-hatilah. Kalimat itu hingga sekarang masih mengguncang sebagian kecil diri Thalia.
“Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu.” Alec mendekat. Thalia melangkah mundur, menjauhinya seolah takut tersengat oleh kehadirannya.
“Aku tak percaya setelah dua bulan kau memberiku perhatian sebanyak itu, kini kau hendak memulai percakapan serius denganku,” ujar Thalia sinis.
Pria itu menarik satu kursi dari meja tulis Thalia dan duduk di hadapan kaki ranjang Thalia. Frustasi yang dibalut pengendalian diri berkelebat di raut wajahnya. “Duduklah,” pinta Alec.
Thalia mendengus. Tangannya terus mewarnai lukisannya. Seakan-akan warna dari kanvas itu tumpah tiap kali Thalia menggoreskan warna baru. “Kau bisa lihat aku sedang melukis, Reyes.” Tapi Thalia bahkan tak begitu yakin apa yang sedang dilakukannya adalah melukis. Ia sedang mengalihkan perhatian.
“Jangan buat aku memaksamu, Thalia.” Suara tegasnya sarat ancaman, namun kilat matanya kecewa, seakan mengatakan: Dulu aku Alec bagimu.
Aku kehilangan Alecku. Yang melindungiku penuh keyakinan. Bukan menyerah mengenaiku hanya karena ragu bisa melindungiku.
Bersungut-sungut, Thalia menurut. Meletakkan kuasnya, meraih mantel yang ia sampirkan di samping jendela. Lalu, dengan tekad luar biasa besar, ia melangkah. Duduk di atas kasur, di hadapan Alec. Jarak sempit ini mengemukakan titik-titik detail manik Alec. Thalia perlu mengumpat sekali dalam hatinya mengingat sebagaimana persis matanya dengan warna kelabu langit.
“Jadi,” mulai Alec, menumpukan sikunya pada kedua lututnya, “Ayahmu menghubungiku semalam.”
Thalia mengernyit. “Kau tidak memberitahuku?”
“Aku merasa kau tak siap—“
“Kau tak tahu perasaanku!” pekik Thalia.
Telapak tangan Alec menangkup kedua pipi Thalia. “Dengarkan aku.”
Kepala Thalia menyentak tangkupan hangat itu. Percik aliran listrik berdenyar tepat di mana Alec menyentuhnya. “Aku mendengarkan.”
“Baiklah.” Menyadari suara paraunya, Alec berdeham. Menjernihkan tenggorokannya dari.. gairah. Thalia menelan ludahnya, memperingati dirinya sendiri bahwa ia tak perlu bergairah atas suara menggoda Alec.
“Kau tahu sekarang di Reibeart terjadi beberapa pemberontakan yang didalangi para pro-Reyes dan keluarga besar itu sendiri.” Alisnya mengerut sedetik, seolah mengutarakannya membawa bencana hambar bagi harga dirinya. “Beberapa aset penting kerajaan disabotase dan tak jarang diledakkan. Pembunuhan terjadi di mana-mana. Kebanyakan dari sasaran mereka adalah pro-Seymour dan keluarga luar raja. Adalah sebuah keberuntungan kau bisa berada di sini, jauh dari jangkauan dan pengetahuan mereka. Namun, ayahmu memperkirakan bahwa dalam beberapa hari—tempat ini tak akan lagi aman.”
Alec bergidik saat mengucapkannya. Jemarinya saling melilit ketakutan. Kepalanya menoleh ke sana kemari, mencari pengalihan topik. Namun, kesadaran tiba-tiba muncul dalam dirinya. Sebuah tekad bersinar di matanya. Bibirnya terulum jadi satu garis tipis. Garis antara tekad dan takut.
“Mereka memburumu, Thalia.”
Dengan kata terakhir itu, tubuh Thalia membeku. Ini adalah saatnya. Saat di mana suara-suara yang berbicara di dalamnya berubah jadi kenyataan. Saat di mana mimpinya bukan sekedar mimpi. Tapi, sebuah prediksi. Peringatan. Thalia mampu mendengar detak lambat jantungnya. Seolah hanya dengan mendengarkan pernyataan Alec, jiwa Thalia perlahan diseret mati.
“Bagaimana denganmu?” Thalia melontarkannya tatapan histeris. Melihat itu, pertahanan Alec pun goyah.
Kedua tangan Alec terangkat. Sesaat Thalia mengira Alec akan memeluknya. Namun, sangkaannya meleset begitu jauh kala lengan hangat itu jatuh kembali di samping tubuhnya. “Aku tidak begitu yakin. Kau tahu, dengan menyelamatkanmu berkali-kali, aku sudah mengacaukan rencana ibuku. Ibuku mengecapku sebagai pengkhianat, ya. Tapi kurasa Reyes tak benar-benar membuangku.”
“Jadi, mereka hanya menginginkan kepalaku?” Thalia meringis.
Alec menghela napasnya. “Dengan berat hati, kukatakan, tepat sekali. Kau berpikir untuk lari ke tempat persembunyian yang lebih aman, Thalia? Percuma. Ayahmu bahkan paham bahwa kini Reibeart tak lagi aman bagimu. Reyes memiliki mata di mana-mana. Kau pikir bagaimana caranya Reyes menemukan lokasimu? Seymour nyaris kalah dengan satu kekuatan kecil dari wanita bernama Anastasia Stokes, Thalia.”
Sekretaris Alec yang cantik dan seksi dan berani. Thalia masih ingat keluhan Tristan akan kuatnya Anastasia menghantam dirinya dengan hak sepatu. Tristan. Rindu melanda Thalia bagai badai tak diundang. Apa kabar Tristan? Namun, di atas semuanya, apakah Tristan berhasil hidup? Betapa majunya teknologi medis Republik Whiteford, itu tak akan menutup kemungkinan ajal menjemput Tristan.
“Buronan pirang yang sering muncul di media? Yang sebulan lalu diduga meledakkan salah satu gudang senjata Reibeart?”
“Sesungguhnya, bukan diduga. Itu memang dia. Wanita itu sengaja memberitahukan kepada Reibeart bahwa ia akan meledakkan gudang senjata. Supaya Bartholomeu mengerahkan banyak prajurit mengamankan gudang itu. Sehingga, markas besar infanteri di benteng wilayah Seymour, dengan mudah dibantai habis. Bisa diperkirakan, kini tersisa setengah dari jumlah prajurit semula. Memberikan akses lebih lebar bagi Reyes mengepung kastil raja. Setelah itu mungkin gedung pemerintahan di Gemma akan disabotase. Setelahnya—yah, aku tak tahu apa yang akan terjadi.”
Thalia merasakan dingin yang menjalar di sekujur tulang punggungnya. Entah bagaimana berita itu tidak mengejutkannya. Apa yang mengguncangnya ialah jalan pikiran Alec. Apakah mungkin sedikitnya di sana tersisa sepotong ambisinya bagi Reyes? “Mengerikan.”
Alec memicingkan matanya. Pria itu tak mungkin salah dengar—namun, ia meminta Thalia mengulang perkataannya sekali lagi. Hanya untuk memastikan bahwa kata itu tak tertuju padanya. “Maaf?”
Yah, Thalia tak mudah mengabulkan permintaannya yang satu itu. Thalia menggeleng. “Jadi, apa rencanamu?”
Punggung Alec yang membungkuk, dipundung beban dunia, mendadak lurus. Thalia mengangkat sebelah alisnya. Hening yang canggung. Namun, pada akhirnya Alec membuka mulut. “Sesungguhnya ini rencana ayahmu dan aku tak punya pilihan selain menyetujuinya.”
Thalia masih menunggu meski bayangan demi bayangan berdarah mulai berhamburan di benaknya. Pikiran rasionalnya seolah pergi lari dalam jangka waktu tersempit itu. Kesadaran kembali merasukinya saat Alec berucap.
“Kau tahu. Alasanku melamarmu adalah untuk mempersatukan dua keluarga kita yang bermusuhan dan saling membunuh sejak masa Adolphus Sang Pejuang. Dan kini, dengan kerusuhan yang pecah di mana-mana serta para prajurit tangguh Reibeart hampir seutuhnya berhasil dipukul mundur—Reibeart berada di ambang kehancuran. Ayahmu, Bartholomeu, menyadari bahwa di saat genting seperti ini sudah tak lagi penting siapa pemimpin Reibeart. Baginya, yang terpenting adalah persatuan dan perdamaian. Kita tak bisa hidup apabila kedua keluarga berpengaruh ini terus melemparkan granat dan peluru. Maka daripada itu, ayahmu memutuskan untuk menikahkan kau denganku. Mengikat hubungan di antara kita sehingga dengan persatuan itu, setidaknya, kehancuran mampu diredam.”
Jantung Thalia yang sudah jatuh terlalu jauh, kini seolah ditelan dimensi lain. Menikah. Dengan Alec. Oh, ia sering memimpikannya. Melambungkan angan-angannya bersama tiga anak imajiner. Namun ia tak pernah menyangka bahwa apapun yang dimimpikannya menjadi kenyataan. Pembunuhan itu. Pernikahan ini.
Tapi, sesuatu yang lebih dalam dari rasa senang mengusiknya. Menganggunya dan menyerbunya dengan seribu pertanyaan sama. Pernikahan politik? Tampaknya. Seharusnya ia tahu. Sejak awal, lamaran ini bermotifkan politik. Thalia menggigit bibirnya. Geliginya menembus kulit lunak di sana dan merasakan darah. Kedua tinjunya mengepal. Berjuang membendung dorongan agar tidak meluncurkan pukulan bertubi-tubi pada Alec. Pada ayahnya. Pada—segalanya.
Segalanya terasa salah dan pada saat yang sama, menyedihkan.
Thalia mampu merasakan getaran bibirnya yang seolah menjalar ke ujung-ujung syarafnya. Lidahnya kelu saat hendak berkata. Kekuatannya dihisap. Dihisap kesedihan. “Menikah?”
“Ya.” Alec menangkup punggung tangan Thalia. Membawanya ke bibirnya. Merasakan napas Alec menerpa kulitnya. “Maukah kau menikahiku?”
Setitik air mata menggenang di pelupuk matanya. Bukan terharu. Ia kecewa. Teramat kecewa. “Kalian bahkan tak tahu perasaanku,” bisik Thalia.
Alec mengecup ibu jari Thalia. “Dengar, Thalia, aku tak suka darah dan kematian yang mewabah di kerajaan ini. Dan aku akan melakukan apapun untuk menghindarinya. Karena bagaimanapun, meski keluargaku berupaya menggulingkan ayahmu dari tahtanya, serta telah beberapa kali mencoba membunuh keluargamu—Reibeart tetap kerajaanku. Tanah di mana aku lahir dan besar. Aku tak akan sudi melihatnya jatuh runtuh. Satu-satunya cara adalah menikahimu. Menikahimu, Thalia.”
Thalia menepis tangkupan tangan Alec dan membawa kedua tangannya ke dada. Seolah takut Alec menularkan penyakit. Seolah takut ia kelak terpengaruh kata-kata pria ini. Pria yang pernah memasukinya—menyebar ekstasi di tiap jengkal tubuhnya. Ia tak percaya pria itu ada di hadapannya. Mustahil.
Thalia terisak, sebelah tangannya menghapus tangis di pelupuknya. “Kau bahkan tak mencintaiku,” ujar Thalia selirih bisikan angin. Sejernih langit malam musim panas. Sesakit menemui ekspetasi yang sudah lama diharapkannya.
Alec yang sedari tadi seakan siap merangkul Thalia, membujuknya menyetujui rencana ayahnya, tiba-tiba menjauh. Mundur begitu jauh, terperanjat. “Thalia,” mulai Alec kaku. Hening kembali merembes di dimensi antara keduanya. Alec mendecakkan lidah kesal. Jelas tak suka percakapan mengenai cinta.
“Aku menyukaimu.” Alec mengembuskan napas pasrah. Jemari panjangnya menyusuri kelebatan rambut cokelatnya. Berhenti di sana sejenak sebelum turun kembali menumpukannya di atas paha. “Aku bergairah padamu. Aku menyukai senyummu. Aku ingin memilikimu,” ucapnya lamat-lamat, “tapi aku tak pernah yakin apakah aku mencintaimu.”
Jadi, apa yang selama ini dirasakan pria itu? Sementara pria itu membuatnya semakin cinta dan mendamba—yang dirasakan Alec hanyalah perasaan tak jelas antara hasrat serta suka. Jantung Thalia berdenyut sakit seakan perkataan Alec tadi merasuki darahnya dengan racun. Namun, hanya sampai di sana rasa pedih itu. Tak ada panas tangis yang mengalir. Hanya sakit. Seluruh tubuhnya kelu dan nyeri. Terutama hatinya.
Thalia membuka mulutnya gemetar. “Mengapa?” Sejenak Thalia mendapati mata abu-abu itu berair. Namun pada kedip mata selanjutnya, Thalia mendapati air itu telah lenyap.
Alec memijat pelipisnya. “Kau akan mengataiku bodoh kalau kau tahu.”
Thalia beranjak menyambar tangan Alec yang menutupi matanya. Kini, Thalia sudah sepenuhnya yakin bahwa tadi memang ada seberkas air di matanya. “Aku pernah mengataimu iblis dan bermuka dua tapi aku tak akan mengataimu bodoh.”
Tawa mengejek mengalun keluar dari bibirnya sembari kepalanya menggeleng. Mengatakan tidak pada memori masa lalu. Thalia tahu rasanya. Dibayangi masa lalu. Diinjak-injak apa yang sudah berlalu.
“Alec,” panggil Thalia. Nada suaranya rapuh dan lirih. Menjadikan nama yang biasanya terkesan kuat teguh itu tak ubahnya serangga tidak berdaya.
Sebelah tangan Alec membelai lekukan pinggul Thalia. Sedangkan yang lainnya menyingkirkan tangan Thalia dari wajahnya. Mata Alec memerah, sekelebat kesedihan. “Aku suka kau memanggil namaku.” Tangan Alec naik turun sepanjang sisi tubuh Thalia. Menyusup ke balik mantel merahnya.
“Aku mencintaimu,” ujar Thalia mantap. Meski dengan pernyataan itu, pertahanan terakhirnya runtuh. Meski rasanya seperti ditelanjangi dan diterjang ratusan anak panah. Alec perlu tahu bahwa Thalia mencintainya. Reibeart berada di ambang kehancuran—tak akan ada yang tahu kapan dirinya mati. Kapan dirinya dibawa ajal lari.
Elusan Alec berhenti. Jemarinya mencengkeram kain tipis gaun Thalia. Alec mendongak dan Thalia mendapati kilau yang bersarang di abu-abu matanya. Alec menjulurkan wajahnya pada Thalia, menggesek hidungnya dengan miliknya.
Alec mencium bibirnya, ringan. Dengan itu, kehampaan di hati Thalia segera dipenuhi kenangan-kenangan bergelora. “Aku tak bisa mempersembahkanmu yang kedua.”
“Siapa? Yang pertama?” Thalia memiringkan kepalanya.
Alec menarik Thalia duduk di pangkuannya. Kedua tangan Alec melingkari pinggang Thalia. Napas panas pria itu menerpa tengkuknya. Untuk satu momen ini, musim dingin tak menjadi masalah bagi Thalia.
“Guru pribadi keponakanku. Namanya Astrid Smythe. Kami sama-sama berumur tujuh belas tahun. Aku jatuh cinta padanya—akan caranya tertidur. Malam itu aku sedang menyusuri lorong ketika kudapati kamar keponakanku terbuka. Dulu aku selalu membawa belati, berjaga-jaga akan kemungkinan terburuk. Namun, ketika aku menghambur masuk, aku mendapati seorang putri tidur terlelap di atas meja belajar. Aku membangunkannya, memerintahkannya tidur di kamar.
Sejak itu, kami sering bertemu. Di jalan. Taman. Koridor. Di mana-mana. Aku pernah bertanya padanya kenapa dia mengikutiku. Ia menjawab bahwa ia tak pernah mengikutiku, ia memang sering ke tempat-tempat tersebut dan acap kali menyapa Alec. Namun kurasa, sesungguhnya perasaanku padanya yang menjadikannya ada. Selalu ada. Perasaan itu yang selalu memanduku menemukannya. Bahkan di tempat yang pepat orang.
Kami membicarakan banyak hal. Berciuman berkali-kali. Bahkan bercinta. Aku sudah sering melakukannya. Namun, aku adalah yang pertama bagi Astrid. Awalnya, aku tak berpenglaman menghadapi seorang perawan—aku menyakiti Astrid saat itu. Aku bersumpah tak akan menyakitinya lagi.”
Alec mengelus pipi Thalia. Lambat dan penuh irama. “Maka dari itu aku melakukannya perlahan denganmu, Sayangku. Aku tidak tahu mengapa, namun aku teringat akan Astrid saat memandangimu ketakutan—sekaligus antusias. Aku tidak ingin menyakitimu sebagaimana aku pernah menyakitimu. Maka dari itu sesungguhnya berat bagiku memandangi tubuhmu tanpa dibius gairah. Karena aku tak ingin menyakitimu. Tak ingin menjadikan pengalaman pertamamu sebagai sebuah kenangan menyakitkan.”
“Kau tidak menyakitiku, Alec.” Thalia membelai pelipis pria itu. “Sekarang, di mana gerangan wanita beruntung bernama Astrid ini?”
Mata Alec kembali berubah sendu. “Ia kini sudah pergi ke tempat yang sangat jauh. Begitu jauh sampai-sampai aku tak bisa merengkuhnya lagi.”
“Maaf. Aku tidak tahu kalau—“
Telunjuk Alec menyentuh muka bibirnya. “Jangan minta maaf. Kau tidak salah. Dan aku memang hendak membicarakan tentang kematiannya.”
Alec memegang pinggul Thalia lebih erat. Seolah mengindikasikan untuk bersatu dengannya agar Thalia mampu mengerti perasaannya. Perasaan mengenai kehilangan.
Embusan napas berat mengalir dari celah antara bibir Alec. “Satu tahun telah kami lalui bersama. Penuh cinta, ciuman, dan kehangatan. Ia adalah satu-satunya hal yang mampu mengalihkan perhatianku dari balas dendam dan kebencian. Namun kedatangan selalu disertai kepergian. Malam itu aku mengamati rumahnya dari kastil. Aku tahu itu tindakan bodoh, mustahil aku bisa melihatnya. Namun aku mendapatinya berlari tergesa-gesa ke salah satu markas pemberontakan Reyes. Hendak menemui ayahnya, mungkin. Aku terus memacangkan mataku pada sepetak kecil rumah kumuh itu sampai akhirnya—aku tidak tahu bagaimana—api-api mulai menjalar, menjilat, dan menghanguskan semua yang ada di dalam. Membunuh Astrid.
Aku segera berlari menuju rumah itu. Banyak orang berjuang memadamkan api. Beberapa orang bahkan berusaha menembus api, menyelamatkan siapapun di dalam. Tapi, apinya terlalu liar, terlalu besar. Orang-orang yang menembus api, ikut mati di dalam. Aku hanya bisa berdiri di sana, menatap api itu melahap dan tumbuh kian besar. Aku bahkan bisa mendengar teriakan Astrid memanggil namaku. Tapi aku di sana, tak berdaya, hanya mengamatinya hingga mati.
Keesokan harinya, desas-desus menyebar dengan cepat di antara Reyes. Seymour adalah pelaku utama kebakaran itu. Aku yang sudah dilatih membenci, kini menanam dendam dalam hatiku. Itu, Thalia, alasan mengapa aku bertaruh akan hidupmu, dulu. Alasan mengapa aku membencimu. Hendak menghancurkanmu. Hendak membunuhmu. Membuatmu sengsara.”
Alec memejamkan matanya. “Justru, kini aku takut. Aku tak bisa mencintai seseorang lagi Thalia, dan perasaanku padamu menakutiku. Sebab aku takut tak bisa melindungi orang yang kucintai. Seperti halnya Astrid. Kau dengar ceritaku, bukan? Aku hanya berdiri di sana bergeming, memandangi api menjilat-jilat tubuhnya.” Alec mencengkeram kuat kain gaun Thalia.
Thalia hendak berbicara, namun telunjuk Alec menekan lebih dalam ke bibir Thalia. “Bagaimana kalau kau nanti mati dan aku diam di sana mengamati? Bagaimana jika kau mati di antara api?”
“Aku bukan Astrid.” Thalia meraih tangan Alec dan meletakkannya membentang di sisi wajahnya. Merasakan kehangatannya, denyut nadinya, desir darahnya, dan ketakutannya. “Aku tidak akan mati di antara api.”
Alec mendesah pasrah. Wajah Thalia mendekat, membayangi kesempurnaan wajah Alec. “Bagaimana kalau aku sendiri yang membunuhmu? Bagaimana kalau aku tidak bisa melindungimu?” nadanya pedih dan berat. Namun, ia menerima kehadiran Thalia dengan baik. Meraba-raba wajah Thalia dengan tiupan napasnya.
Sedetik, jantung Thalia berhenti berdetak. Sesuatu seolah menyumbat darahnya. Mimpi itu kembali berkelebat cepat di benaknya. Alec yang mengacungkan belati. Singgasana berkarat. Darah yang menggenang. Dirinya dengan leher tergorok, tak sadarkan diri, pucat pasi. Thalia menelan ludahnya susah payah, menelan ketakutan. Namun, Thalia tahu sebagaimana persis ia paham bahwa langit itu kelabu dan musim dingin dipenuhi salju, bahwa ia harus bersikap kuat. Setidaknya sekali. Agar pria itu tahu bahwa tak selamanya ia bisa melindungi orang-orang yang ia cintai. Namun, biarkanlah ia mencoba.
“Aku tidak akan mati,” bisik Thalia. Bibirnya memagut bibir Alec. Panas yang nyaris Thalia lupakan kini menyeruak melalui ujung lidah Alec yang menggelitik rongga giginya. Tangannya naik turun mengelus permukaan dada Thalia. Sesekali meremas payudara Thalia, rakus. Menggesek puncak keras itu dengan gesit. Membuat Thalia mengerang senang.
Alec mengalihkan bibirnya pada leher Thalia. Menyerbunya dengan ciuman dan gigitan. Punggung Thalia melengkung, meminta lebih. Payudaranya menyentuh dada bidang Alec, menimbulkan getaran yang tak disangka. Yang selalu disukai Thalia. Sebelah tangan Alec mengelus paha dalamnya. Dekat intinya yang basah. Sementara yang lain menjamah kulit halus punggung Thalia.
Thalia menggoyangkan pinggulnya maju mundur, merasakan kejantanan keras itu menekannya. Berusaha menembus lapisan demi lapisan penghalang di antara mereka berdua. Alec mengerang. Erangan membawa pergi ketakutan dan kesedihannya. Di antara erangannya, Alec berucap, dengan napas terengah-engah.
“Kau tidak abadi.” Napasnya mengembus tepat di atas nadinya. Memacu desir darahnya. Mengentak-entak jantungnya. Mencambuk tubuh Thalia dengan antisipasi.
Telapak Thalia menyusuri dada bidangnya yang terbalut pas dalam kemeja birunya. Terus naik, membelai lehernya. Memuja rahang kerasnya. “Kau bisa membuatku merasa abadi,” ujarnya lirih.
Alec menghempaskannya ke ranjang. []
Haiiii! Akhirnya, sudah sampai sini :’] apakah ada yang sadar bahwa cerita ini sedikit lagi akan tamat? YAYY. Hahahaha! Oh iya, makasih ya sudah membacaa. Dimohon dukungannya berupa voment :--) karena tanpa kalian, cerita ini ngga akan sampai sini. Dan ini adalah para pemenang di bab sebelumnya:
Komentator Pertama: alitmas
Voter Pertama: alitmas
Komentator Terbanyak: zilkaKireya (dengan 6 komen, sedangkan di peringkat kedua kak endahend dengan 5 komentar xixixi)
Ohiya, aku juga mau ngucapin gws buat kak annisapott yang beberapa hari lalu mengalami kecelakaan, nabrak mobil :,] untungnya kakak ga kenapa-kenapa. Ternyata tuhan emang masih mau kakak hidup. Hidup buat kuliah dan baca cerita aku… #duak. Hehehe. Maka dari itu, bab ini didedikasikan buat diaaa (hip hip hoooooraaay)
Lagu yang saya dengarkan selagi menulis bab ini:
Swan Lake – Tchaikovsky
Past Lives – Kesha
Not On Drugs – Tove Lo
Monster – Skillet
Burn – Ellie Goulding
Buku yang sedang saya baca:
The Darkest Night by Gena Showalter.
OMG. MADDOX. MADDOX MASA. AW AW AW. POKOKNYA AKU SENENG BANGET SERI AKU UDAH LENGKAPPP YAY YAYYY J
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top