Bab 12-1
Kepada seluruh pembacaku yang setia menunggu Ugly Royale,
BAB 12-1
Gemerisik itu belum cukup mengembalikan kesadaran Thalia. Thalia lebih mencurahkan perhatiannya pada pelampiasan atas ketidaknyamanan yang ia rasakan selama dua hari satu malam di bawah tanah. Thalia baru saja hendak beringsut meringkuk ketika aroma itu menyerbu penciumannya. Menambatkan pikirannya ke alam sadar. Mengalihkan dugaannya pada goyang samar ranjangnya. Rangsangan pagi hari.
Lengan itu melingkari pinggangnya dan Thalia tidak menolak. Selain tak daya berucap, Thalia pula tak ingin kehangatan yang keras serta kokoh itu lari dari lekuk tubuhnya. Lengan itu melingkar sempurna. Seolah-olah telah ditakdirkan demikian. Sempurna sebagaimana dini hari tadi dekapannya melingkupi Thalia.
Napas konstan menggelitik permukaan tulang yang menyambung leher dan punggungnya. Thalia jadi bertanya-tanya akankah napasnya mencucup nadi lehernya. Menjilatnya erotis, mengusung gairah. Masih dengan mata terpejam, Thalia coba mengandaikan apabila semua itu terwujud. Rangsangan pagi hari. Betapa nakal benaknya di pagi hari (atau siang hari, Thalia tidak bisa menebak).
Menanggapi rangkulan itu, Thalia meraih tangan yang mengelus perut ratanya. Menangkup tangan besar itu dengan tangannya yang mungil.
Suara dalam yang parau nan seksi itu berucap, “Apa aku membangunkanmu?” Tangannya menyusuri tubuh Thalia dan membuai sisi wajahnya.
Thalia membuka matanya susah payah. Thalia masih menginginkan tidur setelah apa yang ia lalui. Namun, ironisnya, Thalia tidak bisa mengabaikan keberadaan di balik punggungnya. Menghadap kiri, mata Thalia terpancang pada mimpi indah di depannya. Thalia tak pernah menyangka mimpinya digenapkan kuasa alam. Alec ada di depannya. Tampan, merangkul Thalia, dan siap menyayangi.
Atau, siaga menerkam.
Menangkap keindahan rambut cokelat kehitaman Alec, Thalia menahan erangan. Jemari Thalia segera mengalir di antara lembut rambutnya. Menelisik kepalanya, membelai telinganya sebagaimana Alec membelai telinganya sewaktu dulu. Sensasi yang datang menimbulkan getaran antusiasme ke sepanjang tulang punggung Thalia.
Berusaha menjajah tunangan menakjubkannya, Thalia menggeser tubuhnya lebih dekat dengan keberadaan pria itu. Menuju celah menggairahkan di antara kancing kemeja putihnya yang terbuka separuh. Dada bidangnya yang lebar, liat, dan tidak diragukan lagi, keras. Tetapi, sampai sana belaka pencapaian atas usaha jerih payahnya mengalahkan malu.
Dengkuran hasrat menggema dari pangkal tenggorokan Alec. Sejurus kemudian, pria itu berguling ke atas Thalia. Tubuhnya yang besar dan padat menekan tubuh Thalia. Dada bertemu dada. Miliknya berseteru dengan perut lembut Thalia. Keras dan lembut. Lutut Alec memperluas jarak di antara kedua paha Thalia. Thalia tidak bisa memikirkan kemungkinan indah dan menggebu selain ini.
Tangan Thalia menelusuri wajah Alec yang berada begitu dekat dengannya. Menyisir alis legamnya yang mempesona. Mencawil hidung mancungnya. Merasai bulu matanya yang lebat. Menganggumi keangkuhan rahangnya (yang Thalia cinta mati). Dan berhenti pada bibir bawahnya. Menggesek ibu jarinya di sana berkali-kali, menuntut sesuatu. Tak tahu apa.
Alec mengecup ibu jarinya, lama dan dalam. Lalu, menggigitnya. Gigi putihnya lepas cacat. Tidak tahukah Alec bahwa caranya menggigit selalu berhasil memantik api yang membakar perutnya? Sensual dan menggiurkan. Memaksa benak Thalia membayangkan gigi itu menyapu bagian lain tubuh Thalia.
Thalia tidak menyadari sebelah tangan Alec yang menyusup ke balik rok gaunnya. Menyingkap kulit seputih susu kepada dunia. Perlahan; mengusap lutut belakang Thalia dan sentuhan itu kian naik. Mencicipi tiap jengkal pahanya yang halus. Halus telapaknya menekan titik sensitif di pahanya. Thalia membendung dorongan untuk menggeliat dan menggelinjang dan melengkungkan tubuhnya pada Alec.
Tapi dirinya tak tertolong lagi. Puncak payudaranya yang mengeras menjumpai bidang dadanya. Pinggulnya bergesek erotis dengan pinggangnya. Bukti gairahnya menekan perut Thalia yang bersedia menerima keras itu tanpa imbalan. Alec menggeram, menyingkirkan gairah dari dirinya meski tahu ia telat.
Usahanya mengasingkan gairah itu terbukti percuma. Tangannya mendorong gaun tidur Thalia ke atas. Kain lembut yang nyaris transparan itu menggumpal di dadanya. Alec menarik diri hanya untuk mendapati dirinya terpesona dengan lekuk tubuh Thalia. Wajahnya kembali mendekat, bersinggungan dengan rona merah di pipi Thalia. Thalia bergairah, itu sudah pasti. Dan ia menginginkan ciuman.
Tapi Alec seorang tukang siksa yang handal, batin Thalia dan ia tidak akan pernah melupakan fakta tersebut. Terlanjur kecewa, Thalia mendesah, memalingkan kepalanya ke samping. Alih-alih merangkul leher Alec, kedua tangan Thalia mencengkeram seprai kasur. Takut kehilangan pegangan atas akal sehatnya.
Alec mengagumi sisi leher Thalia yang jenjang. Mata kelabu itu seolah tidak berkedip. Gairah dalam mata Alec membangkitkan gejolak menyenangkan dalam perut Thalia. Menyadari dirinya kembali dilarut hasrat, Thalia tersentak dan berpikir keras. Berusaha memikirkan satu topik pembicaraan sebelum lekung bibir Alec merajai lehernya. Juga tubuhnya. Sebelum apa yang di antara paha Thalia menjadi kian basah. Sebelum Thalia berharap lebih banyak.
“Kalau ayahku tahu kau di sini, kau akan dibunuh,” kata Thalia parau sembari menggoyang pinggulnya ke kanan mencari jalan keluar dari kungkungan tubuh Alec.
Ibu jari Alec menyelinap di sisi celana dalam Thalia. Menyapu permukaan pinggul Thalia penuh pemujaan. Thalia memejamkan matanya, hanyut dalam euforia. Ia dipuja dan ia tidak bisa membayangkan lebih jauh apabila jari-jari nakal itu menggelitik kelembaban di dekatnya.
Kemudian, mulut itu mengecup perut telanjang Thalia. Menggoda sisi tubuhnya yang berlekuk sempurna. Cengkeraman Thalia pada kasurnya semakin erat. Harga dirinya dipertaruhkan. Ia tidak akan jatuh ke dalam kuasa Alec. Ia tidak akan berharap lebih banyak—
Oh, tapi lidah itu bermain handal di pemurkaan kulitnya. Panas dan basah dan erotis. Meninggalkan jejak gairah berupa gigitan sensual di sana sini. Lalu kembali lidahnya menjelajah perutnya, menelisik pusarnya. Tekanan yang diberikan Alec tak lagi mampu Thalia bendung. Begitu saja, Thalia menyerah. Betapa mudah dirinya berserah atas nama gairah.
Kedua tangan Thalia menangkup kepala Alec kasar sementara pinggulnya menarikan berahi yang berkumpul di pangkal pahanya. “Alec,” lafal Thalia.
Jari panjang Alec mengelus pipi Thalia dan berhenti pada bibir bawahnya. Mata kelabu Alec menyipit penuh kemenangan, menggoda. “Apa aku membangunkanmu, Sayang?” Alec menggeram. Namun, matanya masih berkilat senang. Dihias girang.
Thalia mendecakkan lidahnya. Kesal sebab ia didesak mengalah. “Sungguh? Hanya untuk satu jawaban atas pertanyaanmu itu, Alec?”
Alec mengangkat bahunya. Kepala Alec membayangi wajah Thalia sempurna, semakin gelap, kian dalam. “Kau seharusnya mulai mempelajari bahwa calon suamimu tidak menyukai hening atas pertanyaannya.”
“Kau membangunkanku,” desah Thalia. “Apa itu cukup?”
“Tentu saja.” Alec mendekatkan hidungnya dengan milik Thalia. Berseteru dalam pergulatan yang terkesan manis. “Aku begitu khawatir kau bangun dari kenyamananmu. Sampai-sampai aku tidak menutup rapat pintu. Takut kau terbangun oleh suara bedebamnya, atau decitnya, atau gesekannya.”
“Aku tersanjung kau mengkhawatirkanku—“ tenggorokan Thalia tercekat.
Thalia mendapati pintu kamarnya tidak ditutup rapat. Dan tidak dikunci. Seribu rasa takut tiba-tiba menyerbu kalbunya. Menggetarkan mimpi buruknya yang ia kubur dalam-dalam. Selama ini ia mengunci pintu kamarnya. Ia tahu jiwanya adalah ancaman bagi kelangsungan hidup dirinya. Es menjalar di sekujur pembuluhnya, membangkitkan bulu kuduknya. Dingin membelai paha dan perutnya yang terpapar.
Menelan ludah susah payah, Thalia berusaha berkata, “Bisakah ka-kau menjelaskan kenapa pintu kamarku tak di-dikun-ci?”
Kesenangan yang bersarang di raut wajah Alec sekarang berbaur dengan kengerian. Sama besar dengan apa yang tengah perlahan meruntuhkan Thalia. “Ada apa Thalia?” tangannya mengelus pipinya, memberikan dukungan untuk menjawab.
“Bisakah kau menjelaskan mengapa pintu kamarku tidak dikunci?” ulang Thalia sekali lagi, tegas dan nyaris tegar. Gemetar dalam suaranya menjatuhkan Alec ke palung iba dan kesedihan.
“Kau pingsan se—dini hari tadi, tepat setelah langkah pertamamu di luar tambang Reyes,” mulai Alec. “Badanmu dibasuh sebelum ditidurkan di kamar. Alih-alih mengandalkanmu yang tak sadarkan diri untuk mengunci pintu, Tristan mengunci kamarmu dari luar. Pagi tadi ia menyerahkan kuncinya padaku, mengizinkanku menengok dirimu. Namun, karena kupikir kau membutuhkan lebih banyak istirahat, kini barulah aku berkunjung. Cukup?”
“Terima kasih.” Lega menyeruak, merambat dari inti hidupnya, jantungnya. Jadi kamarnya dikunci. Ia masih aman.
“Kenapa kau begitu takut?” Ngeri di wajah Alec pun perlahan pudar. Melembut, kian melembut. Jemarinya meneruskan penjelajahan di wajah Thalia.
“Sejak kasus upaya pembunuhan di kamarku, aku—“ suara Thalia tercekat. Napasnya lari dari paru-parunya begitu saja. Ia menyipitkan matanya keji, tidak menyimpan sedikit pun belas kasih. “Apakah kau pelakunya?” suaranya tenang dan terkendali. Ia berharap Alec menangkap sosok yang hendak direfleksikan Thalia. Kuat, tegar, dan tidak mudah terguncang.
Alec menghembuskan napasnya berat. Ia bergeming selama satu kedipan mata dan kembali bersuara pada kedip selanjutnya. “Ya.”
Kenyataan itu seolah menelan Thalia ke dalam pusaran mengerikan. Yang mana siap menghancurkan Thalia. Bukan, pikir Thalia, aku memang telah hancur.
“Kau?” tanya Thalia.
“Salah seorang suruhanku. Ia mata-mata yang menyamar jadi pelayan di kastil ini.”
Leher Thalia seolah dicekik tangan-tangan setan tak kasat mata. Matanya membelalak ngeri dan penasaran dan marah. “Mata-mata?” ulang Thalia tidak percaya. “Berapa banyak mata-mata yang Reyes tempatkan di kastil ini, Alec?”
“Agaknya—lumayan banyak,” aku Alec berat. “Salah satu penata rambutmu, itu mata-mata Reyes.”
Kepalan tangan Thalia memukul dada Alec. Dada yang keras dan kuat itu. Thalia malah mendapati tangannya nyeri kesakitan. “Betapa teganya kau? Kalau tak salah kuingat, itu adalah kali pertama aku mencium seseorang. Menciummu. Dan kau hendak membunuhku.”
“Aku tidak menyatakan bahwa aku yang menyuruh mereka semua menyusup ke kediaman Seymour. Baiklah, aku memang menyelundupkan beberapa mata-mata. Beberapa. Dan aku memang dulunya berupaya mem—membunuhmu—sial!” Umpatan itu terus berlanjut, menghukum Alec dalam kebejatan kata-kata.
“Aku akan meminta ayahku memperkerjakan ulang pelayan-pelayan yang mencurigakan,” gumam Thalia masih tidak percaya. “Dan kau mencoba membunuhku.”
“Dan bukan hanya aku saja. Reyes menginginkan kematianmu. Ibuku bertekad memusnahkan keluargamu.” Alec mendesah.
Musnah. Jadi kekuasaan menuntut kemusnahan. Kekuasaan mengakali tiap jiwa ambisius di dunia ini. Siksaan yang ia lalui di penjara bawah tanah berkelebat cepat di benaknya. Mulai dari sayatan dan tamparan dan lecehan. Thalia meraih wajahnya dan mendapati luka-luka itu telah membaik. Obat dari Waisenburg. Jantungnya berdenyut menyakitkan, namun darah seolah tak berdesir di balik kulitnya. Peluh dingin bergulir melalui punggungnya. Air mata menggenang di sudut matanya. Begitu banyak air mata—
Takut membayangkan dirinya sirna, berdarah, dan mungkin dimutilasi.
Tangan Alec terangkat untuk menghapus tangisnya. Thalia dengan tangkas menepisnya menjauh. Suara tepisan itu berkumandang menusuk genderang telinga Thalia.
“Thalia.”
Pandangan Thalia terpancang pada satu titik di belakang Alec. Tidak tahu itu apa. Brangkali bayangan akan kematian.
“Aku akan mati.”
“Thalia,” ujar Alec lebih lembut berusaha membujuk.
“Aku akan mati.” Thalia tersesat dalam kehisterisan.
“Aku akan mati.”
“Aku akan mati.”
“Aku akan mati.”
“Aku akan mati,” ujar Thalia pasrah. Toh, ia akan mati juga.
“Thalia.” Alec menangkup rahang Thalia dan mengarahkan pandangan kosong itu pada kelabu matanya. Lambat namun pasti, kesadaran mulai mengumpul kembali di mata emas itu. Berkilat sedih dan memilukan dan pucat. Thalia takut.
“Aku takut,” bisik Thalia lirih, “aku takut.” Begitu lirih sampai-sampai menyerupai permohonan pada sang hening.
Bibir Alec bergetar, tertular ngeri. Namun, pada akhirnya, bibir itu menyelimuti bibir Thalia. Keras dan penuh akan kepemilikan. Mulanya bibir Thalia nyeri diserbu kenikmatan posesif itu. Yang meraup dan tak menyisakan udara bagi Thalia. Tapi jauh di lubuk hati, Thalia menyadari bahwa Alec hendak menyatakan: ia kuat dan akan melingkupi Thalia, akan melindungi Thalia, akan menyelimuti Thalia dari bahaya. Dari bahaya.
Alec berhenti hanya untuk memeluk Thalia. Hangat, aman, dan kokoh. Aman dari bahaya. Alec perwujudan aman itu sendiri bagi Thalia. Kedua tangan Thalia membalas pelukannya. Sama eratnya, sama amannya. Tapi kerapuhan yang tersirat tak mampu mereka elak. Tangis Thalia merebak, membasahi kemeja putih pria itu.
“Aku akan melindungimu.” Alec berbisik di telinganya, mengirimkan getaran gairah dan tenteram ke tiap jengkal ketakutan Thalia. “Aku akan melindungimu.” Jemari kasarnya membelai pelipis Thalia dalam sayang. “Aku akan melindungimu.”
Thalia membalas pelukan Alec.
“Kau aman bersamaku.” Lalu Alec mencium telinganya.
Alec mengangkat tubuhnya, menyediakan ruang bagi Thalia untuk bernapas. Thalia akan memperjelas segalanya. Mengangkat segala rahasia ke permukaan sehingga tidak ada lagi keraguan. “Tapi, kau Reyes. Dan kau pernah berupaya membunuhku.”
Bibir Alec masih gemetar, megecup pipi Thalia. “Aku yakin setelah Naumann diamankan ke Chyrus—penjara Reibeart, ibuku tak lagi menerimaku atas semua kesalahanku—pengkhianatanku. Lagipula aku memang berencana lari dari rumah itu. Kau tidak tahu betapa berat siksaan yang ia timpakan padaku. Siksaan untuk mengingatkan padaku bahwa kau adalah musuhku. Dan aku harus membencimu.”
Telapak Thalia menemukan tulang rahangnya yang keras dan anggun. “Apakah kau membenciku?”
Erangan yang terkekang di tenggorokan Alec membangkitkan kembali gairah Thalia. “Tidak.” Alec merunduk, mencium bibir Thalia, ganas. Dan pada bagian akhir, melembut. Sebelum benar-benar meninggalkan ciuman itu, Alec menggigit bibir Thalia. Thalia mendesah senang.
“Aku tidak bisa membencimu.” Suara Alec begitu pahit seolah hatinya dipecut ketidakadilan. Ketidakadilan bahwa selama ini dia diajarkan untuk membenci Seymour. Namun ia mendapati dirinya jatuh ke dalam dosa atas sumpah yang pernah ia ikrarkan. Ia menginginkakn Thalia. Raut wajahnya membuktikan segalanya. Segalanya. Gelora. Murka. Dan sayang.
Alec memeluk Thalia, sekali lagi. Sama eratnya seperti sebelumnya. Dilimpahi rasa melindungi yang pekat. Tak akan karat. Namun, tampaknya, kali ini Alec lah orang yang membutuhkan perlindungan. Kalimat yang diucapkannya sungguh pilu. Hati Thalia sesak mendengarnya. Alec kuat, jarang menunjukkan kesedihannya. Tapi, kini, saat ini, Thalia diberi kehormatan menyaksikan pertahanan diri pria itu mendebu.
“Aku tidak bisa pulang,” ucap Alec.
Thalia mendekap telinga Alec dengan bibirnya. Melatunkan sepatah perlindungan pada pria yang rapuh itu. “Aku bisa menjadi rumahmu. Kau bisa pulang kapan saja. Aku tidak akan menuntut kau membenci ini atau mencintai itu. Kau bebas mencintai dan membenci. Kau bebas,” ujar Thalia, “kau telah pulang.”
Leher Thalia meraba tetes hangat yang jatuh di sana. Itu bukan air mata Thalia. Tubuh Thalia memeluk Alec lebih erat. Lebih erat dan lebih kuat, takut salah satu dari mereka tersesat di antara hasutan. Keduanya nyaris menyatu, membentuk kuantum yang rapuh dan hampir berubah jadi debu.
Thalia beringsut mencium pipi Alec. Dalam dan lama. Ia mencurahkan apapun dalam ciuman itu. Dukungan, perlindungan, rumah, dan kebebasan. Barangkali mustahil bagi Alec memijak rumahnya lagi. Bertemu keluarganya lagi. Tapi bukan berarti Seymour tak akan menyambutnya. Thalia jadi bertanya-tanya, apakah, selama ini, nyawa Thalia sepadan dengan keluarganya itu. Keluarga Reyes yang membenci Thalia. Yang menginginkan Thalia mati. Yang memaksa Alec membenci Thalia
Ibuku bertekad memusnahkan keluargamu.
Thalia mengelus leher Alec, menaungi pria itu demi dirinya sendiri.
“Kau aman bersamaku.” []
***
Selesai sampai di sini. Bagaimana? Maaf kalau mengecewakan :) Aku udah berusaha sebagus mungkin. Hehe. Selamat Lebaran!! Dimohon dukungannya berupa vote dan komentar dan tanggapan dan kritikan dan.. pujian #plak. Sebab tanpa kalian cerita ini tidak akan pernah sampai sepanjang ini. Makasih banyak :)
Lagu yang aku dengar selagi menulis cerita ini:
1. Teenage Dream - Katy Perry
2. Wet - Nicole Scherzinger
3. Technicolor - Madeon
4. This City - Madeon
5. We All Want Love - Rihanna
6. Two Pieces - Demi Lovato (Dipersembahkan untuk Alec dan Thalia yayang)
7. She Will Be Loved - Maroon 5
8. Cancer - My Chemical Romance
Buku yang sedang saya baca:
1. Kumpulan Cerpen Kompas 2013 :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top