Bab 1-1

Pertama-tama saya panjatkan terima kasih kepada Tuhan karena sudah mengizinkan saya menyelesaikan bab 1 bagian 1 dengan lancar, tanpa gangguan suatu apapun. Saya ucapkan selamat berjuang kepada yang akan menghadapi UN, Uts dan ulangan sekolah lainnya. Terima kasih kepada para readers yang udah mau baca bab 1 ini. Saya masih amatiran dalam dunia tulis menulis, dan tulisan saya tidak bisa dibandingkan dengan tulisan penulis lain di sini. Tapi, walaupun begitu, karena menulis adalah hobi saya, apa boleh buat saya ekspresikan perasaan saya lewat tulisan. Tokoh kali ini hampir sedikit mencerminkan saya jadi, mohon enjoy ya bacnya ahahahaha.

@dusk2day @sadflair <ilopeupul>

@chrisxmas @stephenie @clarissa1226 <tuntaskan UN!>

@trickymindful @sefriskamaria @hadbow <tanpa kalian, saya tak akan bisa seperti ini sekarang>

Dan untuk para fans saya yang lain :D makasih banyak sudah mau mendukung anak bocah ini :D

Komentar atau kritik sangat saya hargai, dan--saya tidak mengharapkan--vote bila anda menyukai part ini :D

Sekian, dan selamat beraktifitas!!!

BAB 1- 1

Thalia Ersa of Seymour berjalan menuruni tangga utama Kastil Seymour, dan semua pelayan yang berlalu lalang menghindarinya. Mereka semua-para pelayan-menatap Thalia selama lima detik dengan wajah bertanya-tanya, seperti biasanya, apakah mereka harus membungkuk, menghormati putri mahkota Kerajaan Reibeart yang berdiri di depan...membawa kanvas di satu tangan dan cat minyak beraneka warna di tangan sebelah. Thalia merunduk, kepalanya bergetar gugup karena ditatap oleh banyak pasang mata.

Thalia melangkahkan kaki kanannya turun ke anak tangga selanjutnya. Langkahnya begitu canggung dan lemah seakan-akan ia adalah anak rusa yang baru saja lahir. Semua pelayan-akhirnya-berhenti melakukan kesibukan masing-masing dan membuka jalan bagi Thalia. Mereka semua merunduk, membungkuk, menekuk lutut memberi hormat kepada sang putri, Thalia. Tidak seperti anggota kerajaan lainnya yang mengangkat dagu sedikit lebih tinggi ketika melangkahkan kaki melewati para pelayan, kepala Thalia merunduk, begitupula dengan tubuhnya. Kedua pundaknya turun ketika berjalan, matanya tak menatap ke depan, rambut hitam menutup wajah pucatnya, langkahnya tergopoh-gopoh, dan ekor gaunnya berwarna antara ungu dan abu-abu terseret-seret, menyapu lantai.

Thalia menghembuskan napasnya dengan berat setelah melewati kerumunan para pelayan itu, lalu berbelok ke kanan. Ia menghembuskan napas seakan-akan napasnya tertahan selama berjalan tadi. Ia letakkan tangan di atas jantungnya dan membalikkan setengah tubuhnya menghadap aula utama kastil. Matanya yang terbingkai oleh bulu mata tebal nan panjang, melihat jalan itu kembali menutup, dan para pelayan mulai pergi ke tempat aktifitas mereka masing-masing. Ia membawa sejuntai rambut hitam legamnya ke belakang telinga kanan dan mulai berjalan ke halaman tengah kastil dengan mata yang masih merindukan ubin mewah kastil seiring berjalan.

Thalia adalah seorang-bukan, Thalia Ersa of Seymour adalah seorang putri mahkota Kerajaan Reibeart, pemimpin kerajaan selanjutnya dan semua orang dengan berat hati menerima keputusan itu. Ada paman kejamnya yang bisa menjadi pemimpin nantinya, tapi ia terlalu kejam dan sadis. Dan selir Raja Bartholomeu IV masih memungkinkan, di umurnya yang masih muda, untuk melahirkan pewaris tahta baru. Namun, entah kenapa, ayahnya menegaskan bahwa dirinya, anak semata wayang Bartholomeu IV of Seymour adalah satu-satunya orang yang harus memerintah selanjutnya...entah kenapa, dan Thalia masih bingung akan pernyataan blak-blakan ayahnya itu.

Daripada memerintah sebuah kerajaan-yang merupakan tanggung jawab amat berat-ia lebih senang menyendiri di kamarnya, mengenakan gaun paling polos, dan mulai menyoret-nyoret kanvas dengan granit. Atau mungkin mencampur aduk setiap warna cat air yang ia koleksi. Atau mengotori kanvas dengan cat minyak secara abstrak. Atau membersihkan studio lukis pribadinya. Atau menodai gaun polos dengan cat minyak. Atau mendapati wajahnya dipenuhi oleh cat beragam warna. Ya, ia suka melukis, namun ia kurang percaya diri untuk memamerkan lukisannya ke hadapan rakyat. Ia takut menemukan salah satu lukisannya di TPA, dan itu sangat-sangat-sangat memungkinkan.

Lukisannya bisa dibilang amatiran, apalagi bila dibandingkan dengan lukisan wajah para Seymour di lorong yang sedang ia lewati ini. Lukisan itu berderet-deret terbingkai rapi di salah satu dinding lorong. Dinding itu berwarna putih polos tanpa noda sedikit pun. Warna emas di tepi atas dan bawah dinding sangat mencolok, beberapa orang bahkan sempat mengira bahwa itu emas, bukan cat. Tapi, tentu saja itu cat, sebetapa kaya keluarga kerajaan, melelehkan emas dan menempelkannya di dinding itu sangat merugikan, mengingat emas-emas itu akan dicuri nantinya. Jadi, mereka gunakan cat emas yang akan bersinar, berkilau pada senja hari, disinari oleh sinar matahari terbenam yang dapat dilihat jelas dari dinding kaca di seberang. Semuanya begitu indah, anggun, dan, entah bagaimana sangat berbau 'bangsawan'.

Wajah Thalia belum dilukis. Para pelukis selalu memberi alasan ketika diperintah untuk melukis dirinya, entah kenapa. Apakah mereka tak sebegitu maunya melukis gadis muram, suram, yang selalu memakai gaun panjang berwarna kelabu? Sejak kecil, ketika ia melewati lorong ini, ia akan selalu berandai-andai. Ia selalu membayangkan dirinya dilukis oleh pelukis paling terkenal seantero Reibeart dan mendapatkan wajahnya berubah drastis, berubah cantik, terbingkai, tergantung di dinding mewah ini.

Banyak orang yang berkata bahwa wajahnya tak menarik. Dan mungkin saja itu benar karena hampir sepanjang waktu rambutnya menutupi wajah, memberikan kesan suram. Bahkan ada yang memanggilnya 'penyihir'-itu para anak-anak, 'bangsawan jelek'-itu para rakyat (sepertinya), 'si seymour suram'-itu keluarganya. Tapi ia tak merasa tersinggung dengan sebutan-sebutan itu. Well, pada awalnya ia sedikit tersinggung, padahal ia baru saja memanjangkan rambut hingga ke pinggul, tapi sudah diejek 'hantu' dan segala macam. Ia sama sekali tidak terganggu karena ayahnya memiliki sebutan tersendiri untuk Thalia. 'Sayang' adalah sebutan ayahandanya.

Sayang...ia rindu mendengar ayah mengucapkannya dengan mata berbinar-binar sambil mengelus rambut hitamnya. Seminggu sudah ayahnya beserta beberapa menteri pergi ke kerajaan seberang, Waisenburg, mengadakan perjanjian persekutuan dengan kerajaan adidaya itu. Seminggu sudah telinganya tak dihiasi dengan kata 'sayang' ayahnya. Setelah ibunya, Ratu Milicent meninggal, Thalia menganggap ayahnya lebih berharga dari siapapun. Ia bahkan tak berani melawan perintah ayahnya, malah ia sangat menuruti semua perkataan ayahnya. Tapi, sekarang ia bertanya-tanya, apakah dirinya ini memalukan ayahnya?

Angin segar melintasi tubuh, menyegarkan kesan suramnya, tepat saat itu juga Thalia membalikkan tubuhnya ke arah halaman tengah kastil. Thalia berjalan, menuruni beberapa anak tangga dan menginjak rerumputan halaman. Jika ia berjalan mengitari halaman tanpa alas kaki, mungkin ia kesuraman dari dirinya akan terangkat dan kegugupannya mungkin menghilang. Ia berniat melakukannya, nanti, pasti, setelah melukis air mancur di tengah halaman.

Thalia berjalan mendekati kursi kayu dan menghempaskan tubuh ke atasnya. Thalia mendongak sedikit ke belakang, kedua kakinya mengetuk kaki kursi perlahan-lahan mengikuti irama lagu yang sedang ia dengungkan. Matahari di atas begitu terik memancarkan sinarnya hari ini, membuat dirinya harus menutup mata selama mendongak. Syukurlah, pohon rimba di belakang kursi menutupi wajahnya dari sinar terik dan menyejukan daerah di sekitarnya.

Beberapa detik kemudian, Thalia merunduk, melepas satu persatu sepatunya. Sepatu berwarna hitamnya itu sudah ketinggalan zaman. Ia menemukan keduanya di gudang kastil...beberapa bulan yang lalu. Seketika itu juga ia langsung mencobanya dan beranggapan sepatu itu nyaman dipakai dan tak melukai tumit kakinya. Lalu, ia pertahankan sepatu itu sampai sekarang. Walaupun, pernah para pelayan membuangnya ke dapur, Thalia mencari lagi sepatu itu yang telah tertimbun berbagai macam sampah dapur. Ia mencuci sendiri sepatu itu, di kamar mandi pribadi, dan memakainya hingga-------sekarang. Kalau itu tak bisa disebut aneh dan tak masuk akal, lalu apa? Lagipula dua kata itu benar-benar sesuai dengannya.

Thalia meletakkan sepasang sepatunya tepat di bawah kursi, agak menyudut. Ia membawa kanvas ke pahanya, mengambil sebuah pensil di antara cat minyak. Pensil itu baru ia keluarkan dari kotaknya, masih panjang, dan tak patah di bagian ujung, namun banyak cat menghiasi badan pensil itu. Thalia menatapnya sebentar dengan bangga, tahu bahwa dengan bercak di pensil itu, ia telah menghasilkan banyak lukisan amatiran. Ia topangkan dagu ke telapak tangannya sebelum meletakkan pensil tersebut ke pipinya. Matanya menatap jauh ke arah air mancur, bingung, bagaimana sebaiknya memulai lukisan ini.

Air mancur itu dasarnya bulat? Tabung? Atau apalah sebutannya. Air mancurnya tak tinggi, tapi lebar, dengan ukiran ombak besar mengitari bulatan atas air mancur, memberikan kesan 'lebar'. Air yang mengalir sangat tenang, tak terlalu terburu-buru. Beberapa burung bertengger di sekitar air mancur, bermain dengan air begitu percaya diri. Hm, jadi ia harus memulai dari mana? Tentu saja sketsa terlebih dahulu sebelum diarsir atau dicat. Mungkin sebaiknya ia menggambar pola dasarnya terlebih dahulu.

Thalia berbalik, menghadap pohon besar di belakangnya, bersiap-siap untuk menggambar pola dasar air mancur. Namun, ia berhenti di situ, matanya terfokus pada satu titik di belakang pohon. Banyak bunga matahari menjulang tinggi, walaupun belum mekar sama sekali. Padahal ia rasa baru satu bulan yang lalu, awal musim panas, bibit bunga matahari ditanam, kenapa bisa secepat itu pertumbuhannya? Bunga itu cantik, sungguh. Walaupun tinggi, tak anggun, namun mereka bagaikan lambang keceriaan yang selalu menghadap matahari.

Ah, Thalia berubah pikiran. Ia akan menggambar proses pemekaran bunga matahari dimulai dari hari ini. Ia akan menggabungkan gambar-gambar sebelum mekar pada satu kanvas, mengecat latar belakangnya dengan warna hijau dan kuning. Dan ketika bunga itu sudah benar-benar mekar, ia akan menggambarnya pada satu kanvas baru dengan latar belakang biru dan kuning. Tunggu, ia rasa warna latar belakang bisa menunggu nanti dan seleranya akan berubah seiring waktu. Jadi yang seharusnya yang ia pikirkan sekarang adalah niatnya untuk menggambar, bukan membayangkan hasil akhir terlebih dahulu. Sejelek apapun hasilnya, bukankah yang terpenting itu prosesnya?

Thalia beranjak dari kursi kayu, membawa seperabot cat minyak beserta kanvas barunya. Ia berjalan mengitari kursi, meletakkan semua peralatan melukis di depannya, duduk di tanah, punggungnya bersandar pada pohon, sementara tubuhnya membelakangi air mancur. Ia tarik kanvas itu ke atas paha, lalu menarik pahanya mendekati perut, membuat lututnya sejajar dengan dadanya. Pensil yang tadi ia letakkan ke antara cat minyak, terambil kembali dan terangkat ke atas kanvas.

Thalia menarik sejumput rambutnya ke belakang telinga agar memberikannya pemandangan atas bunga matahari lebih jelas. Kepalanya merunduk ke arah kanvas, sering kali dengan mata cokelatnya ia melirik ke arah bunga. Matanya begitu serius menatap dua benda, kanvas dan bunga matahari. Tangannya meraih penghapus di dekat batang, menghapus bagian yang ia anggap salah, dan melanjutkan kembali sketsanya. Tangannya bergerak pelan di atas kanvas, jarinya begitu lihai memegang pensil, seakan-akan secara automatis tahu bagian mana yang harus dilengkungkan se-

"Tidak mungkin!" seru seorang wanita, suaranya serak dan mampu mengagetkan Thalia di belakang pohon.

Thalia terkesiap, ia sama sekali tak sadar bahwa ada orang di belakang. Kanvas dan pensil turun dari pahanya, ia letakkan tepat di sampingnya. Tanpa membalikkan badan sedikit pun, ia menjulurkan leher dari pohon, hendak melihat apa yang terjadi tanpa mengganggu ataupun dianggap pengganggu. Dan dirinya pasti akan dilemparkan tatapan jelek itu, tatapan yang menganggapnya pengganggu, oh, ya ampun, ia pasti akan snagat gugup. Ah, dan yang terlihat hanya wanita itu, wanita berambut pirang..tunggu, itu Hannah..atau Jessica? Siapalah namanya, dia itu salah satu dari seratus lima puluh pelayan di kastil ini, bukan? Wanita itu pernah mengantarkan makan malam Thalia ke kamar. Memangnya ada apa? Kenapa wanita itu begitu terkejut? Wajahnya pucat dan bibirnya setengah terbuka tak percaya, menatap seseorang di depannya. Ya, pasti ada satu orang lagi.

Rasa penasaran Thalia memuncak, ia membalikkan sedikit tubuhnya ke arah si wanita. Tangannya mencabik-cabik rumput, sebuah upaya agar tak membalikkan badan lebih banyak dari itu. Ia melihat-seorang pria. Napasnya tercekat. Seketika itu juga, tiba-tiba saja ada perasaan seperti, kupu-kupu berterbangan sedangkan bunga bermekaran di perutnya.

Thalia tak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Ia tak pernah merasakan kupu-kupu terbang di dalam perut dan menyedot darah sehingga jantungnya harus memompa darah lebih cepat. Tak jarang ia bertemu dengan banyak pria. Tapi tak satupun dari mereka yang bisa membuat Thalia merasakan fenomena aneh ini. Mungkin itu disebabkan oleh ejekan 'jelek' kepada Thalia yang tersirat dari mata mereka. Pria-pria sebelumnya juga tampan. Tapi, ya Tuhan, yang satu ini dua puluh tiga kali lipat lebih tampan, ia terkesima.

Thalia tak bisa memastikan wajahnya, namun ia bisa melihat punggung pria itu yang membelakanginya. Punggungnya tegap, kuat, dan sedikit berotot, dipertegas dengan pakaian formalnya. Apakah sedikit berotot?Atau pria itu berotot? Tunggu, kenapa Thalia tak bisa melihat perbedaan dari kedua pernyataan itu? Balik ke si pria, warna rambutnya tak jauh berbeda dengan Thalia, hitam. Namun, rambut pria itu lebih terang, sedangkan rambut miliknya hitam legam, tebal, tak bisa dibilang indah, kusut, dan panjang lurus.

Thalia menatap mereka dengan antusias, menunggu pria itu berbicara. Seakan bisa membaca pikiran Thalia, pria itu akhirnya membuka mulutnya. "Aku serius," katanya ketus, "Pulang."

Thalia tercengang, matanya melebar. Pria itu memang tampan, tapi kenapa berbicara seketus itu? Baiklah, suaranya memang membuat beberapa bagian tubuhnya bergetar nikmat entah karena apa, tapi...Ya, ampun, Thalia mengharapkan kata-kata manis keluar dari mulut pria itu. Bukan kata-kata ketus seperti yang ia ucapkan tadi. Eh, apa yang ia pikirkan tadi? Mengharapkan sesuatu yang manis keluar dari mulut pria itu? Thalia mendengus, sekarang penilaian terhadap pria itu berkurang dan sekarang ada batu sedang menerajang perutnya. Terlalu cepat berubah pikiran, salahkan saja si pria itu.

Wanita itu menekuk lutut dan berkata lirih, "Permisi, My Lord." Lalu berlari kecil ke koridor menuju kamar para pelayan. Thalia berbalik, membereskan semua peralatan lukisnya, pensil, cat minyak, dan kanvas. Ia akan berjalan sesunyi kucing dan menghilang dari hadapan pria itu secepatnya. Entah kenapa, ia tidak ingin berurusan lebih jauh dengan pria itu. Orang suram seperti dirinya tak akan bisa bergaul dengan pria seperti dirinya yang-mungkin-arogan.

Thalia berdiri, mulai menginjakkan kaki satu-persatu, matanya tak menatap tanah, ia menatap pria itu waswas. Dan, oh, sial! Tak melihat tanah ternyata membawakannya keberuntungan buruk. Ia menginjak seranting pohon, dan suara yang dihasilkan cukup keras untuk menyadarkan pria itu bahwa ada seseorang, sedari tadi, menguping. Ia hendak lari, tapi pria itu sudah terlebih dahulu membalikkan badan ke arahnya. Thalia diam di tempat, merunduk, dan kedua bahunya maju ke depan, tak tahu harus bagaimana, ia malu. Thalia gigit bibir bawahnya, mengatupkan mulut rapat-rapat.

Thalia mendongak sedikit, penasaran akan wajah si pria. Sekali lagi, Thalia terkesima. Pria itu ternyata memang benar-benar tampan, mungkin saja ia pria paling tampan yang pernah ia temui. Hal pertama yang Thalia perhatikan adalah kedua mata biru kelabunya, begitu dingin, sedingin es di bagian kutub, namun begitu panas ketika ia menatap Thalia dari ujung rambut ke ujung kaki. Alis cokelatnya bagaikan garis lurus yang telah terukir paling istimewa di antara alis orang lain. Hidungnya mancung dan tulang pipinya tinggi, Thalia iri, bahkan dirinya tak mempunyai tulang pipi setinggi tiu. Bibirnya-Thalia kembali melengkungkan bibirnya ke bawah, mengingat betapa

ketusnya bibir pria berkata kepada pelayan kastilnya...

Kastilnya. Thalia tak pernah menganggap kastil ini miliknya, namun tadi entah kenapa kata kepemilikan tiba-tiba saja meluncur di benaknya. Kastilnya. Kastil Lady Thalia Ersa of Seymour. Hm, mungkin ia akan mulai menyukainya. Kastil Terkutuk Anggota Kerajaan Paling Jelek, ya yang itu juga bagus. Kalau semua orang beranggapan ia buruk rupa, maka semua orang juga harus menerima, ketika nanti, suatu saat, nama Kastil Seymour akan berubah... Itu kalau ayah mengizinkannya.

Thalia menyadari seseorang melototi dirinya yang tak lain adalah si pria itu. Pria itu menatap bosan Thalia, seakan sudah tahu dari tadi ia bersembunyi di balik pohon. Matanya menyiratkan Thalia bahwa ia adalah sampah di pinggiran jalan. Rahang pria itu mengeras, matanya menyipit, napasnya terdengar lebih berat. Thalia menelusuri tubuh pria itu dengan matanya, dan mendapati kedua tangan pria itu mengepal kencang yang membuat Thalia berpikir bahwa kulit telapak tangannya akan robek tertusuk oleh kukunya. Matanya bagaikan dua bongkahan es terbingkai di atas hidung mancung aristokratnya. Sesekali rahangnya bergerak ke kanan dan ke kiri, menimbulkan suara gertakan gigi. Mulutnya tak terbuka sama sekali, namun Thalia yakin bahwa pria itu siap memaki Thalia dengan kata paling brengsek, kalau saja Thalia bukanlah putri raja. Pria itu marah, marah hanya karena Thalia menguping. Itu terlihat jelas di wajahnya. Tapi, apakah ia benar-benar marah karena Thalia menguping atau ada hal lainnya?...Satu kata untuk pria di depannya ini, KEMURKAAN yang telah dipendam terlalu lama, mengasingkan perasaan itu dengan wajah mempesonanya.

Mulut pria itu membuka, siap mengeluarkan kata-kata. Thalia menutup matanya, takut mendengar kata-kata ketus nan kasar yang akan dilontarkannya. "Seymour," geram pria itu. Setelahnya, pria itu mengumpat, telinganya samar-samar mendengar apa yang pria itu kutuk. Thalia yakin, dengan pendengarannya yang sedikit lebih tajam dari orang lain, pria itu mengatakan beberapa kata seperti 'pendosa' 'bajingan' 'lintah' dan ada juga-

"Alec of Reyes, di situ kau rupanya." Seseorang berseru dari koridor. Walaupun tempat mereka sekarang sedikit lebih jauh dari koridor, tapi suara bening itu terdengar jelas di kedua pasang telinga mereka. Thalia dan pria itu mengadahkan kepala ke sumber suara. Terlihat seorang wanita cantik mengangkat kipasnya menutupi wajah, menyiratkan pria itu untuk mendekatinya. Pandangan Thalia beralih ke pria itu yang berjalan dengan langkah lebarnya, menghampiri si wanita. Thalia bergeming. Berdiri di sana memikirkan satu kata yang mana berputar-putar di benaknya, memberantaki seluruh memori di otaknya. Ia mencari arti atau mungkin asal-usul kata itu.

'Reyes'

Siapa dia sampai-sampai namanya mampu memberontak di benak seorang putri mahkota?

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top