Ciaossu ( ・ิω・ิ)
Krik...
Krik...
Oh udah sepi ya? '_'
Maafkan saya baru nongol lagi setelah sekian lama *YangBikinSampeLupa
Sebenarnya, saya sudah selesai nyelesain TA minggu kemarin tapi masih nunggu jadwal sidang. Jadi, saya coba buat pemanasan nulis lagi.
*JanganTanyaKenapaBaruSelesai
Silakan di baca update-an yang seuprit ini. *LangsungKabur
AUTHOR POV
"Kau harus segera ke kantor, Sasuke-kun," bujuk Sakura. Pasalnya, sejak 10 menit yang lalu setelah tiba di Cherry's Cafe, Sasuke menolak untuk melepas genggamannya.
"Kau bisa ke sini setelah dari kantor."
Sasuke menggeleng. Matanya menatap lurus jalanan dari balik kaca mobilnya.
"Ya Tuhan, aku akan baik-baik saja, Sasuke-kun. Tak perlu ada yang kau khawatirkan." Sakura mencoba meyakinkan pria di sampingnya itu.
"Aku tak yakin. Bisa saja mereka datang ke kafemu dan membawamu pergi."
"Mereka?"
"Hn."
Sedetik kemudian, Sakura tahu yang dimaksud Sasuke.
"Ne Sasuke-kun. Aku sudah memikirkannya."
Sasuke menatap sang pemilik iris emerald penuh tanya.
"Setelah kita menikah nanti, aku tak ingin membuatmu khawatir. Aku akan menutup cafe ini."
"Jangan bercanda, Sakura."
"Aku serius."
"Aku tidak akan setuju."
Respon Sasuke justru di luar dugaan Sakura.
"Bagaimana pun juga, kafe ini menyimpan semua kenanganmu. Bukankah kafe ini satu-satunya peninggalannya?"
"Tidak. Ada yang lain. Yang lebih berharga." Sakura tersenyum. "Ichiru."
"Tapi aku tetap tak akan membiarkanmu menutup kafe ini begitu saja. Aku akan membantumu."
"Kau sudah ada perusahaan yang harus kau urus. Aku yang akan memikirkannya nanti."
"Baiklah." Sasuke akhirnya menyerah.
"Bisakah aku turun sekarang?"
Sasuke menggeleng. Dia masih enggan melepas genggamannya. Lagi-lagi Sakura menghela napas. Namun, kali ini sebuah ide muncul di kepala Sakura. Dengan gerakan cepat, ia mencium pipi pria di sampingnya itu. Sasuke pun terkejut dengan apa yang baru saja dilakukan Sakura.
"Sakura... "
"Hn?" Sakura menirukan jawaban khas Sasuke.
"Ya Tuhan, aku menyerah." Sasuke pun melepaskan genggamannya. Kedua tangannya menangkup wajah Sakura dan mencium kening gadis itu. "Aku akan segera ke sini nanti."
"Aku tahu."
Jawaban Sakura membuat Sasuke tertawa tanpa suara.
"Tidak perlu,"tahan Sakura saat Sasuke hendak melepas seatbeltnya. "Aku akan turun sendiri, Sasuke. Dan kamu harus segera berangkat."
"Hai hai"
"Bagus, anak pintar." Sakura mengusap pipi Sasuke.
"Dan kamu sekarang menyamakanku dengan Ichiru?"
Sakura menjawabnya dengan cengiran. Ia pun membuka seatbeltnya dan langsung turun. Sasuke menurunkan kaca jendelanya.
"Hati-hati."
"Hn." Sasuke tersenyum. Ia melajukan mobilnya perlahan meninggalkan kafe. Sementara Sakura masih berdiri di tempatnya menunggu mobil Sasuke hilang dari pandangannya.
SAKURA POV
Aku hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum kala mobil Sasuke sudah tak terlihat lagi. Rasanya hidupku sangat beruntung sekarang. Aku tak pernah menyangka bisa menemukan pria yang menerimaku dengan kondisiku. Bagiku, hidup damai bersama anakku saja sudah cukup. Tapi aku memang tak bisa egois. Dia membutuhkan sosok ayah. Meskipun membuka hati untuk laki-laki lagi, bukan hal mudah. Apalagi bisa menemukan sosok yang tepat. Aku hampir saja menyerah. Tapi mungkin memang Tuhan sudah merencanakannya. Mendatangkan sosok yang tepat di saat terakhir untuk mengujiku seberapa sanggup aku mampu berusaha. Dia benar-benar datang dan dengan mudahnya dia menerimaku. Dengan mudahnya aku membuka hati untuknya. Dengan mudah aku diterima di keluarganya. Begitu mudah. Dan aku semakin percaya, jika memang sudah menjadi jalanku, Tuhan memang akan memudahkannya.
"Sakura-chan..." Seseorang menepuk bahuku, membuatku berjengit.
"Ah iya."
"Kau tidak apa-apa?"
"Naruto? Hinata? " Aku terkejut mendapati sepasang suami istri berdiri di sampingku. Entah berapa lama mereka di sana."
"Kau sedang memikirkan sesuatu, Sakura-san?" Hinata menatapku cemas.
"Iie iie. Daijobu."
"Hmmm?" Naruto menatapku penuh selidik.
"Kita bicara saja di dalam," kataku pada akhirnya.
Aku berjalan sambil merogoh kunci dari tasku untuk membuka pintu kafe. Naruto dan Hinata mengikuti di belakangku. Aku langsung mengajak keduanya ke ruanganku dan menyiapkan minum untuk mereka berdua.
"Katakan, kalian datang jam berapa?"
"Tak lama sebelum kamu sampai di sini. Dan aku tak tahu apa yang dilakukan Sasuke di dalam mobil tadi sampai kau tak kunjyng keluar."
"Kami tak melakukan hal yang aneh-aneh."
"Sou ka?" Naruto menatapku sambil tersenyum aneh.
"Dan kalian, sudah beberapa hari di sini tapi kenapa baru mengunjungiku sekarang?" cibirku.
"Hahahaha... Maafkan kami, Sakura-chan. Kami memang sengaja tak ingin mengunjungimu dulu." Naruto tertawa renyah. Sama sekali tak merasa bersalah kepadaku. Sungguh khasnya. "Dan lagi, aku sungguh tak mengerti bagaimana bisa anak dalam kandungan itu bisa meminta hal yang macam-macam padahal dia belum bisa berbicara sama sekali," keluh Naruto sambil mengacak rambutnya.
Tunggu.
Kandungan?
Aku langsung pindah posisi duduk di samping Hinata.
"Hinata, kau hamil?" tanyaku memastikan aku tak salah dengar.
Hinata menjawabnya dengan anggukan sambil tersenyum padaku.
Mataku membulat seketika.
"Kyaaaa.. Hinata! Selamat!" Aku langsung memeluknya. Mendengarnya saja ikut membuatku bahagia.
"Terima kasih, Sakura-san."
"Jadi, sudah berapa minggu?"
"Empat minggu," jawabnya sambil mengusap perutnya yang masih terlihat rata.
"Jaga baik-baik. Perhatikan pola makan dan jangan lupa vitamin."
"Tenang saja, Sakura-san. Naruto-kun selalu mengingatkanku."
"Si bodoh itu?"
"Bisakah kau berhenti memanggilku dengan panggilan itu, Sakura-chan?" protes Naruto.
"Tidak. Itu panggilan paling pantas untukmu." Ya, panggilan itu memang paling pantas untuknya yang tak menyadari ada seorang gadis yang selalu menyukainya sejak lama. Untung saja, gadis itu sudah menjadi istrinya sekarang.
"Ada yang ingin kau ceritakan padaku, Sakura-chan?"
Itu sebenarnya bukan pertanyaan dari Naruto.
Aku menghela napas. Aku tak bisa menutupinya lagi dari Naruto. Cepat atau lambat, dia selalu berhasil membuatku menceritakan apa yang sedang menggangu pikiranku.
"Aku hanya sedang memikirkan cara untuk tetap menjalankan kafe ini. Awalnya aku ingin menutupnya. Tapi Sasuke tak mengizinkannya. Aku harus mencari pengelola. Dan kau tahu, itu tidak mudah."
"Hinata, apa kau memikirkan hal yang sama?"
"Hanabi kan?" tebak Hinata.
"Hanabi?" Alisku bertaut.
"Adikku, Sakura-san."
"Hanabi pernah ikut andil dalam perusahaan keluarga Hinata. Tapi dia menolak untuk mengelolanya. Jadi Neji-sepupu Hinata yang mengelolanya."
"Bisakah aku bertemu dengannya?"
"Aku akan menghubunginya nanti. Serahkan saja padaku."
"Terima kasih, Naruto, Hinata."
"Jadi, kapan pernikahan kalian dilangsungkan? Kalian tak akan menundanya kan?
"Kami akan mengunjungi orang tuaku dulu dan akan membicarakan hal ini."
"Tentu," ujarku. "Kalian mau kemana setelah ini?"
"Di sini." Hinata memamerkan deretan giginya.
"Iya di sini. Hari ini Hinata ingin menghabiskan waktu di kafemu."
"Bagus. Aku akan hidangkan menu terbaik di sini. Setelah jam buka," kekehku. "Kalian tak keberatan aku tinggal sebentar?"
"Gunakan waktumu, Sakura-chan."
Aku pun meninggalkan mereka berdua di ruanganku untuk mengecek karyawan yang sudah datang. Setelah keluar ruangan, ku lihat beberapa yang sudah datang. Aku berjalan menghampiri salah satu karyawanku.
"Haru, kalau sudah siap semuanya bisa langsung buka saja ya. Saya sedang ada tamu. Tolong kasih tahu ke yang lain."
"Baik, Sakura-san."
Aku pun kembali ke ruanganku menemui Naruto dan Hinata.
❣❣❣
SASUKE POV
Hari ini, entah kenapa aku ingin segera menyelesaikan pekerjaanku dan segera kembali ke kafe. Tapi bagaimana pun juga, aku harus berhati-hati mengecek beberapa berkas, termasuk laporan keuangan perusahaan bulan ini.
Fokus.
Ya, hanya itu yang aku butuhkan saat ini. Namun, dering ponsel menginterupsiku lagi. Aku meraih ponselku dengan malas dan melihat siapa yang menghubungiku. Melihat nama tertera di sana, aku hanya bisa menghela napas.
"Ya, Itachi-nii."
"Lama sekali kau menjawabnya, Sasuke."
"Kerjaanku banyak, nanti saja mengocehnya."
"Sasuke."
Aku tercekat kala suara aniki berganti menjadi suara ayahku.
"Ya, ayah. Maafkan aku."
"Ayah dan ibu sudah menemui Kizashi, sebagai wakilmu. Kita juga sepakat akan makan malam bersama sambil membahas tentang pernikahan kalian. Mungkin kalian berdua bisa membicarakan hal ini dulu sebelum kita bicarakan bersama keluarga saat makan malam besok. "
"Baik, ayah."
"Ya sudah, kau lanjutkan saja pekerjaanmu. Maaf ayah mengganggu."
Ayahku langsung mengakhiri panggilan setelah mengatakannya. Namun, aku tersenyum dibuatnya. Pasalnya, ayahku termasuk irit berbicara. Dan lagi, beliau bahkan mau membantuku untuk mengurus pertemuan keluarga kami dengan Sakura.
Bertepatan dengan jam makan siang, aku pun sudah menyelesaikan pekerjaanku. Segera kuhampiri Michiru untuk memastikan bahwa tak ada pertemuan yang harus ke hadiri hari ini.
"Michiru, berkas dan laporan ini sudah saya cek semua." Aku menyerahkan beberapa map kepada Michiru. "Apakah hari ini saya ada meeting?"
"Untuk hari ini, tidak Pak."
"Bagus. Terima kasih. Saya harus kembali dulu. Hubungi saya langsung kalau ada keperluan mendesak."
"Baik, pak." Michiru mengangguk mengerti.
Aku meninggalkan ruanganku dan langsung menuju tempat parkir. Tempat pertama yang harus ku kunjungi adalah kafe Sakura. Tanpa perlu waktu lama, aku langsung melajukan mobilku meninggalkan kantor.
❣❣❣
Hanya butuh waktu kurang dari setengah jam, aku tiba di kafe milik Sakura. Suasana kafe belum terlalu ramai pada siang ini. Aku segera memarkirkan mobilku. Mataku terfokus pada satu-satunya mobil yang terparkir di sana. Hal itu membuatku sedikit was-was. Segera ku langkahkan kaki memasuki kafe, menuju ruangan Sakura. Sayup namun aku dapat mendengar suara seorang lelaki dari ruangan Sakura.
"Sakura!"
"Sasuke-kun?"
Ketiga pasang mata menatapku penuh tanya. Namun setelah itu, aku pun langsung cengo ketika mendapati sepasang suami istri kembali asyik menyantap makanan di meja.
"Oi, Dobe. Kenapa kau masih di sini?"
Pertanyaanku tak dijawab olehnya.
"Kau sudah pulang?"Sakura berjalan menghampiriku.
"Ku kira salah satu mereka yang datang ke sini" ujarku lega.
Sakura menggeleng.
"Kau sudah makan siang, Sasuke-kun?"
"Belum." Aku memang sengaja tidak makan siang di kantor karena aku ingin makan siang bersama Sakura. Namun sepertinya, hal itu tidak akan terjadi. Setidaknya, untuk hari ini saja.
"Duduklah, aku akan mengambilkan makanan untukmu." Sakura berjalan keluar ruangan.
"Apa yang kau lakukan di sini, Naruto?" tanyaku sambil berjalan menghampirinya.
"Apa kau tidak bisa melihatku sedang makan sekarang ini?" seloroh Naruto.
Aku berdecak kesal mendengarnya. Naruto menghentikan makannya.
"Menemui Sakura-chan, tentu saja. Kami sudah lama tidak bertemu. Dan lagi, Sakura-chan sudah seperti keluargaku sendiri."
Aku duduk di sampingnya.
"Sebaiknya kau jangan menunda pernikahan kalian." Kali ini nada bicaranya lebih serius.
"Aku memang tidak berniat menundanya. Dan aku datang kemari juga ingin membicarakan tentang pernikahan kami. Tadinya, aku akan langsung mengunjungi orang tua Sakura. Tapi ternyata ayahku sudah melakukannya lebih dulu."
"Syukurlah kalau seperti itu."
Pintu ruangan Sakura terbuka. Dan seseorang masuk sambil membawa nampan berisi makanan. Aku segera berjalan menghampirinya dan mengambil nampan itu.
"Kenapa kau tidak minta tolong karyawanmu?"
Sakura menjawab hanya dengan cengirannya. "Makanlah dulu," suruhnya.
Aku pun segera menurutinya. Apalagi, cacing-cacing di perutku sudah mulai unjuk rasa sejak aku masih di kantor tadi.
❣❣❣
Naruto dan Hinata pergi beberapa saat setelah mereka menghabiskan makan siang. Aku mungkin harus berterima kasih karena mereka sudah pergi lebih dulu tanpa harus ku minta. Karena, jujur saja, aku butuh waktu berdua dengan Sakura saat ini untuk membahas pernikahan kami. Sakura baru saja masuk ke ruangan setelah membereskan meja dan membawa piring kosong ke dapur kafenya. Namun, dia kembali dengan membawa dua cangkir minuman. Dari aromanya, aku bisa memastikan Sakura membawa kopi.
"Minumlah." Sakura menyodorkanku secangkir kopi yang dibawanya.
"Terima kasih, Sakura," kataku. Aku pun menyesap kopi itu.
"Pekerjaanmu sudah selesai?" tanyanya.
"Hn."
Sakura duduk di sampingku.
"Kau lelah?"
"Sedikit."
"Berbaringlah." Sakura menepuk pahanya, memintaku untuk berbaring di atas pangkuannya. Aku menurut. Dapat kurasakan sebuah pijatan di kedua pelipisku yang membuatku langsung memejamkan mata. Kami terdiam selama beberapa saat.
"Ayahku sudah menemui orang tuamu lagi. " Aku mengawali percakapan kami.
Sakura terdiam, tangannya masih memijat kedua pelipisku.
"Kita akan makan malam bersama besok sambil membahas acara pernikahan kita," lanjutku. "Kita harus membahasnya berdua dulu sebelum kita menyampaikannya kepada keluarga kita. Sakura, kau ingin konsep pernikahan seperti apa?"
Gerakan Sakura terhenti, membuatku langsung membuka mata.
"Aku ingin yang sederhana saja. Hanya keluarga dan teman dekat kita saja yang datang. Tapi, aku ingin Sasuke-kun saja yang menentukannya.”
”Ternyata, kita punya pemikiran yang sama. Hanya saja, aku tak tahu bagaimana harus mempersiapkannya. Mungkin aku akan minta tolong kepada kakakku dan istrinya." Aku meraih tangan Sakura. Menyelipkan jariku di sela-sela jarinya. Tangan kami bertaut. “Aku ingin bunga sakura dan warna merah muda di dalam pernikahan kita nanti.”
”Aku ingin warna putih,”ujar Sakura.
”Putih dan merah muda? Hm, sepertinya bagus juga. Baiklah, kita gunakan dua warna,"putusku. "Kau ingin outdoor atau indoor?"
"Aku tak masalah dengan keduanya."
"Outdoor mungkin lebih nyaman."
"Dan akan lebih santai," imbuh Sakura.
Aku bangun dari posisi tidurku.
"Ano, Sasuke-kun...”
”Hn?"
"Kamu tidak perlu memikirkan kafe ini-”
“Tidak, aku tidak setuju jika kamu menutupnya," bantahku. Aku tetap tidak setuju jika Sakura menutupnya. Terlebih, karyawannya menggantungkan hidup dari bekerja di Cherry's Cafe. Dan jujur saja, aku masih belum bisa menemukan orang yang tepat yang akan bertanggung jawab menjalankan kafe ini.
“Bukan itu maksudku...”
“Lalu?"
"Naruto dan Hinata akan mencoba menawarkan adiknya untuk mengurusnya."
"Adiknya Hinata?" tanyaku memastikan. Karena Naruto hanyalah anak satu-satunya dari keluarganya.
“Iya."
“Begitu ya?"
"Tidak perlu dipikirkan, Sasuke-kun. Kamu sudah banyak yang perlu diurus di perusahaan."
"Baiklah." Aku menurut. Harus aku akui, aku beruntung memiliki sahabat seperti Naruto. Dia mungkin bertingkah konyol atau kadang ceroboh tapi dia adalah sahabat yang dapat dihandalkan.
"Ternyata sudah hampir jam pulang Ichiru," gumam Sakura.
"Aku yang akan menjemputnya."
"Tidak, kau harus istirahat dulu. Biarkan aku yang menjemput Ichiru."
"Aku juga harus menjemput..."
"Hotaru. Aku tahu, Sasuke-kun," potong Sakura cepat.
"Tapi, Sakura..." Aku hendak menyelanya.
"Tidak ada tapi. Kalau Sasuke-kun ingin menjemput juga, aku yang menyetir."
Aku hanya menghela napas.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top