🌻3🌻

Pandu kembali memacu motornya keluar taman.

Sekalian saja ia berkendara di jalur yang biasa ia lewati saat dulu masih sekolah. Udara pagi dan hiruk-pikuknya mungkin kurang mengembalikan kenangan, tapi ini cukup.

Sebelum berkendara ia sudah menghubungi kepala divisinya, tentu saja ia berbohong kalau ia ijin tidak masuk karena sakit. Sekarang tinggal berkendara dengan tenang menuju ke Gunung Klotok.

Jalur yang ia lewati memang bukan jalur utama atau jalan raya besar, hanya jalan perkampungan, makanya banyak belokan dan sepi kendaraan.

Sambil mengendarai dengan hati-hati, pikiran Pandu berkelana. Apa ya yang ia akan lakukan nanti setibanya di sana? Mengambil foto? Sudah lama Pandu tidak pergi memburu foto, sejak ia keluar dari ekskul fotografi, ia sudah jarang mengambil foto-foto yang menarik. Kemudian, setelah lulus sekolah, ia sama sekali tidak memburu foto selain foto kucing dan buku, dan mungkin beberapa gelas teh boba.

Itu pun kalau Pandu sempat beli buku baru.

Omong-omong kucing … Pandu menyempatkan diri untuk keluar jalur sebentar, ia jadi teringat sebuah tempat di mana ia juga sering menghabiskan waktu bersama kucing-kucing lucu. Tempat itu adalah pet shop milik temannya.

"Fin!" sapa Pandu saat sampai di toko tersebut.

"Lah, Ndu, nggak kerja?"

"Bolos," jawab Pandu sambil cengengesan.

"Wow! Seorang Pandu Wiranata yang bahkan sejak SMK nggak pernah bolos, sekarang ternyata bisa bolos juga!" Dhafin menggoda.

"Ngawur! Justru sejak SMK, aku jadi terlatih bolos bareng kalian-kalian itu. Ya gimana ya, lumayan juga, jadi banyak waktu buat garap tugas kejuruan."

"Oh, iya juga!" balas Dhafin sambil manggut-manggut.

"Btw, uang donasi tinggal berapa?"

"Tiga ratus ribuan kalau nggak salah, kenapa?" tanya Dhafin.

"Kuambil, ya, mau hunting kucing jalanan," jawab Pandu sambil berjalan menuju ke rak makanan kucing yang berbentuk stik-stik panjang.

"Nggak mau besok aja bareng sama aku?" Dhafin menawar.

"Aku maunya sekarang, biar nggak gabut." Pandu membawa lima bungkus makanan stik padat dan dua bungkus susu kucing ke meja kasir.

"Mau hunting di mana emang?" tanya Dhafin sambil memasukkan kode-kode batang dari produk yang diambil Pandu.

"Rahasia." Pandu tersenyum misterius.

"Mbelgedes," balas Dhafin.

"Makasih, Fin." Pandu berujar. "Nanti agak siangan abis ngasih makan kucing, aku ke sini, yo?"

"Siap!"

Pandu kembali melajukan motornya ke jalur semula. Sudah diputuskan, Pandu akan mengambil potret dan memberi makan kucing-kucing jalanan!

*

Beberapa menit kemudian, Pandu sudah bisa melihat Gunung Klotok. Orang-orang juga menyebut kawasan pegunungan ini sebagai Si Cantik atau Si Mungil (karena memang lebih pendek dan lebih kecil jika dibandingkan dengan Gunung Wilis) Yang Sedang Tertidur. Letak puncak-puncaknya memang persis seperti tampak samping seseorang yang sedang tidur dengan hidungnya yang mancung.

Pandu melewati kebun bunga matahari dan parkir di area museum. Seterusnya, dari sana ia berjalan sambil menenteng kantong plastik berisi makanan-makanan kucing. Sejujurnya, Pandu tidak yakin apakah ia nanti akan benar-benar bertemu kucing … tapi ya sudahlah, kalau tidak ketemu ya bukan sebuah masalah.

Kawasan tersebut tidak seramai biasanya, karena memang Pandu datang di hari kerja, bukan akhir minggu. Namun, ia masih menemui beberapa orang yang masih berolahraga. Sementara itu dari kejauhan terdapat suara yel-yel anggota TNI yang sedang jogging.

Pandu tidak melewatkan kesempatan tersebut, ia merogoh ponselnya dan mulai memotret. Mungkin tiga atau lima kali sampai benar-benar mendapatkan hasil yang bagus, lalu ia kembali berjalan, melihat pepohonan yang masih hijau.

Lelaki itu sebenarnya sedikit berharap, kalau saja ia datang di musim kemarau, ia akan memotrer setiap jengkal pepohonan di kawasan ini. Karena suasananya akan terasa seperti musim gugur.

Mata Pandu tiba-tiba saja melihat seekor kucing oranye yang sedang menjilati pantatnya. Ia segera berhenti dan berjongkok, menjaga jarak sambil membuka makanan stik yang ia bawa. Pelan-pelan ia sodorkan makanan tersebut sampai si kucing bisa menghirup aromanya dan ….

Dapat!

Kucing itu mendekat dan menjilati makanan yang diberikan Pandu. Lelaki itu tersenyum, perlahan ia berdiri dan berjalan mendekat sampai ia berada di samping kucing gembrot itu dan mengelus tempurung kepalanya.

"Makan yang lahap!" ujar Pandu, terlampau girang.

Setelah makanan kucing itu benar-benar habis (dan Pandu mendapatkan sepuluh stok foto kucing tersebut dari berbagai sudut dan pose), Pandu kembali berjalan. Kakinya lelah, karena ia benar-benar sudah hampir berjalan memutar, dari jalur tempat ia masuk hingga ia sampai di kawasan TNI yang terdapat jalur bernama Maskumambang. Jika Pandu berjalan terus menyusuri jalur itu, ia akan sampai lagi di tempatnya masuk.

Namun, tiba-tiba saja matanya bertemu pandang dengan seseorang. Seorang gadis yang familiar di mata dan ingatannya, gadis itu juga menatap balik sambil menyeruput minuman gelas di tangannya. Ia mengenakan atasan seragam sekolah … tetapi dengan celana …. Ah, celana itu, celana itu juga sebenarnya adalah seragam, seragam kejuruan, berwarna biru muda dengan banyak kantong di sisi kanan dan kiri.

Loh … dia kan ….

Pandu berusaha mengais informasi yang ia tahu dalam kepalanya. Sampai ia bisa mendengar sebuah bel berbunyi dalam kepalanya.

Si gadis magang! Pandu tidak tahu namanya. Namun, ia yakin betul bahwa gadis itu adalah si gadis magang yang baru sebulan ini magang di kantornya. Bagi Pandu, wajar jika ia tidak mengenal nama gadis itu, atau melabeli diri sebagai "seseorang yang tidak akrab" karena merek jarang berkomunikasi. Paling pol ya hanya saat meminjam tempat untuk print. Tugas magang yang dikerjakan anak magang juga bukan ia yang bertugas untuk memberikan, melainkan kepala divisinya.

Pandu akan menyapa dan bertanya mengapa gadis itu tidak pergi ke kantor saat gadis itu keburu melengos pergi, membuatnya mengurungkan niat, sementara keyakinannya runtuh seketika.

Gimana kalau aku salah orang?

Akhirnya, Pandu pun mengabaikannya juga dan lanjut berjalan sambil melihat sekeliling. Ia dengan cepat mengambil banyak foto bagus, total, Pandu  sudah mengambil sepuluh foto kucing dan lima kali foto pemandangan kota yang terlihat dari sisi lereng Gunung Klotok dan dibingkai oleh ranting-ranting pepohonan. Akan sangat bagus jika Pandu sempat kembali ke tempat ini saat musim kemarau nanti–ia harap, perubahan iklim tidak mengganggu siklus musim kemarau dan menggagalkannya lagi untuk kesekian kalinya. Sudah cukup kegagalan yang menumpuk di hidupnya selama ini.

Ia beranjak dari posisinya yang semula berjongkok sambil tersenyum, ponselnya ia masukkan ke kantong dan kembali melanjutkan perjalanannya ke tempat lain. Harap-harap ia ketemu kucing lagi, duh, memang kucing adalah penghilang stres paling mujarab! Memikirkan itu saja membuat Pandu senyum-senyum sendiri.

"Kak!"

Pandu menoleh, ia melihat seorang gadis berambut panjang sepunggung yang berlari ke arahnya. Gadis yang tadi ia temui sedang berlari tunggang-langgang ke arahnya.

"Loh …." Belum sempat Pandu bertanya, tangannya segera disambar.

"Nanti aku jelasin, pokoknya lari dulu! Di belakang ada Satpol PP!"

Begitulah sekarang mereka berlari sangat kencang di jalanan yang menurun hingga tubuh mereka terasa seperti melayang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top