🌻2🌻
"Nak, Pandu, bangun!"
Merasakan ada goyangan pelan di pundaknya, Pandu tergeragap bangun dan menemukan wajah sang Ibu yang berdiri khawatir di depannya.
"Ada apa, Ma?"
"Kamu masih ada uang, nggak?"
Deg. Rasa kantuk Pandu tiba-tiba hilang begitu saja mendengar pertanyaan ibunya.
Kemarin sudah pinjam uang, kali ini apalagi?
"Kenapa memangnya, Ma?" tanya Pandu berusaha meredam perasaannya dan mengatur agar pertanyaannya tidak terdengar kasar.
Belum sempat ibunya menjawab, Pandu membelalakkan matanya selama sedetik dan ber-oh ria. Telinganya mendengar alarm meteran listrik pulsa yang mulai berbunyi, ia beranjak dari kasurnya dan mengambil ponsel.
"Kamu yakin masih ada uang?"
Pandu memaksakan senyumnya. "Masih, cukup buat beli pulsa listrik, 'nggak usah nunggu gajian dulu yang masih empat hari lagi," ujarnya sambil berlalu ke luar.
Tangannya ketak-ketik di layar ponsel sambil dia berjalan ke luar rumah, tak perlu menunggu lama untuk mendapatkan token listrik dari layanan i-banking. Setelah mengisikan token, laman aplikasi i-banking-nya menutup, ia melihat saldo yang tersisa di rekeningnya. Empat ratus ribu rupiah.
Otak Pandu segera berpikir, uang di dompetnya tinggal selembar 20.000, sekarang masih hari selasa. Pastinya, dia harus menarik uang sebanyak 100.000 untuk uang pegangan sampai gaji selanjutnya turun. Berarti sisa saldo di rekeningnya tinggal 300.000.
Pandu benar, itu cukup. Walaupun terlalu press dengan kebutuhannya. Semoga nggak ada tagihan atau tarikan uang mendadak. Karena kalau sampai ia harus ambil lagi … Khawatirnya, bisa-bisa saja saldo di rekeningnya terkuras sampai batas maksimal (100.000).
Cowok itu mendesah. Selalu begini, setelah belanja, mengeluarkan uang, otaknya secara otomatis akan bekerja memproses hitung-hitungan. Rasanya tidak ada hari yang damai bagi Pandu untuk tenang setelah belanja. Entah sejak kapan juga, Pandu mulai memikirkan hal-hal macam ini, yang jujur saja, berat.
Apa ini ya rasanya jadi dewasa? Punya penghasilan sendiri sekaligus sadar kalau ekonomi keluarga sama sekali nggak stabil? Udah hampir tiga tahun kerja, kenapa hidupku jauh berbeda dari Toni dan teman-temanku yang lain?
Pandu menggeleng dan memijat pangkal hidungnya. Ia sama sekali tidak mau berpikiran seperti ini, ia mengutuk dirinya sendiri karena telah berpikir demikian. Cowok itu kembali masuk ke rumah dan menuju dapur.
"Pandu bantu, Ma," ujarnya. Ibunya hanya membalas dengan senyuman yang hangat.
Begitulah aktivitas di dapur mereka mulai, meski begitu, pikiran Pandu masih belum bisa tenang.
*
Semalam, Pandu bisa mencairkan suasana dengan menguap lebar-lebar dan mengeluarkan suara "hoam" yang keras. Meski begitu, itu tidak bertahan lama, percakapan masih saja di seputar kegiatan mereka selama hampir tiga tahun lulus ini.
Pandu benci mengakui ini tapi memang benar, kalau dia iri. Untuk seseorang yang dulunya selalu masuk rank tiga besar (dan bertahan di posisi 2) selama SMK, kemudian hanya hidup jadi pegawai kantoran biasa yang nggak bisa membawa kestabilan ekonomi buat keluarganya sendiri.
Ia mendengus.
Motornya mulai melaju membelah keramaian lalu lintas Kota Kediri di jam 6 pagi, tapi kali ini rasanya, ia tidak akan menuju ke kantor. Di pertigaan jalan utama, ia memilih untuk belok ke kanan dan masuk ke sebuah taman.
Kalau Pandu bisa menilai, ini adalah taman dengan desain terburuk dibanding taman lainnya di Kota Kediri. Bahkan, seringnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya, serta satu-satunya yang dipasang pagar keliling dan pintu gerbang.
Menurut Pandu, sebagai tempat publik, taman tersebut harusnya tidak memiliki pagar, dan mungkin mengubah desainnya agar tidak terlalu biasa-biasa saja. Selain itu mungkin faktor tempat juga, yang tidak mungkin banyak orang-orang mampir untuk sekadar berteduh. Taman ini terletak di jalur lewat truk dan kendaraan berat lainnya, sangat tidak strategis untuk dijadikan destinasi wisata. Aktivitas penduduk setempat pun entah kenapa tidak bisa terkonsentrasi di taman ini.
Pertanyaan penting juga, apakah tamannya fotogenik? Tidak sama sekali.
Namun, bagi Pandu, adanya taman ini cukup untuk tempat istirahat sejenak. Tempat untuk merenung ke mana dia akan pergi hari ini. Haruskah ia pergi ke kantor? Karena tiba-tiba rasanya tidak ada gunanya juga untuk pergi ke kantor.
Selama hampir tiga tahun ia bekerja, ia selalu rajin pergi ke kantor, tak pernah ambil cuti. Bekerja dan bekerja, lalu gaji selama seminggu akan ludes selama tiga hari setelah dibayarkan. Cuman mampir doang, rasanya digaji bukan sebuah penghargaan. Tentu saja, Pandu lelah juga karena hanya itu yang bisa ia capai setelah 12 tahun bersekolah, dan selalu masuk ke ranking tiga atau lima besar.
Pandu, kamu memalukan.
Lelaki itu menghela napas panjang dan melihat ke jalanan di luar pagar taman.
Di sana ia melihat dirinya sendiri, tiga tahun lalu dengan seragam hari Selasa, yakni seragam dengan atasan putih dan celana abu-abu. Motornya masih sama seperti yang sekarang ia pakai, tapi masih terlihat kinclong dan belum terlalu berumur.
Di punggungnya tersampir tas ransel juga sebuah tabung yang dibuat dari pipa berdiameter 7 cm dengan dihias oleh kain batik perca–di mana tas itu juga mendapat nilai 85 di mata pelajaran Kewirausahaan, Pandu sangat bersyukur. Panjang tas pipa tersebut cukup untuk menampung kertas ukuran A3 dan A4 yang digulung.
Hampir tiga tahun lalu, dia berangkat sekolah tanpa pernah berpikir kalau kerja nanti, uangnya juga toh hanya sekadar lewat. Yang ada di pikirannya hanya cepat sampai di sekolah, karena ia masih harus mencicil tugas-tugas yang belum sempat dikerjakan karena pukul 4 sore sampai pukul 11 malam ternyata hanya cukup untuk mengerjakan tiga lembar A3 tugas kejuruan.
Benar, sejak SMP, Pandu bercita-cita untuk menjadi desainer, lebih spesifiknya adalah desainer rumah, dan pikirannya segera saja meruncing untuk menjadi arsitek. Sementara itu, melanjutkan pendidikan ke tingkat SMK dengan mengambil jurusan Teknik Gambar Bangunan. Yang baru ia sadari kalau itu adalah pilihannya yang salah, keputusan yang mengantarkannya ke sebuah kegagalan.
Mata Pandu masih mengikuti dirinya yang dulu, membelah jalanan Kota Kediri yang masih sepi dengan motornya untuk menuju ke tempatnya bersekolah. Tempat yang agak jauh dari rumah, sekaligus tempat yang asri dan segar karena dekat dengan sebuah dataran tinggi. SMK tempat Pandu bersekolah tidak seberapa jauh dari SMP-nya dulu, dan Pandu selalu hapal, ketika ia sampai di parkiran SMK-nya, tepat bersamaan dengan lonceng gereja yang berada tak jauh dari sekolahnya berbunyi.
Embun biasanya belum turun, dan jika Pandu mengendarai motornya lurus dari sekolah, ia akan sampai ke sebuah kebun bunga matahari, yang menandai masuknya ia ke sebuah rangkaian pegunungan yang dipanggil sebagai Gunung Klotok.
Orang-orang percaya bahwa Gunung Klotok adalah gunung yang sudah mati, sebagiannya lagi percaya bahwa "belum" waktunya untuk aktif. Namun, faktanya, Gunung Klotok adalah rangkaian pegunungan yang terletak di kaki Gunung Wilis, gunung yang sudah mati, tetapi bisa dikatakan cukup jauh dari Gunung Wilis itu sendiri.
Gunung Klotok ….
Mata Pandu membelalak, selentingan ide baru saja mampir ke kepalanya.
Gunung Klotok adalah destinasinya hari ini.
*
Halo! Bab kali ini pendek wkwk. Cuma 1078 kata dibanding kemarin bisa tembus 1400 kata. Tapi aku suka proses menulis kilas balik di sini, juga mendeskripsikan tempat-tempat yang memorable buat Pandu, yang kebetulan ada di sekitar sekolahnya.
Kalau kalian, ada nggak tempat memorable di sekitar sekolah kalian?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top