🌻1🌻

Hari ini adalah hari yang spesial. Walaupun urusan pekerjaannya tadi menyebalkan, 'tapi, Pandu bersumpah, bahwa kejadian tadi tidak akan bisa merusak mood-nya.

Bagaimana tidak? Lelaki itu sehari-harinya bekerja di sebuah kantor kontraktor, pekerjaannya mengurusi seputar: gambar, banyak gambar, dan lebih banyak gambar. Jujur saja, Pandu sudah terbiasa untung diberondong dengan setumpuk proyek bangunan, sudah terlatih sejak SMK.

Masalah hari ini berbeda. Pertama, Pandu diberondong banyak deadline proyek. Kedua, ketika lelaki itu sudah berusaha menyusun jadwal (semacam skala prioritas berisi gambar mana yang harus ia dahulukan untuk diselesaikan) dan berhasil menyelesaikan satu di antara lima proyek lainnya, dengan jumlah gambar lebih dari sepuluh lembar kertas A3, tiba-tiba saja owner dari proyek yang ia tangani merevisi total seluruh rancangan bangunan.

Yap, diganti baru.

"Diganti baru, Pak? Terus ini?" tanya Pandu siang itu ke seorang bapak-bapak berusia 50 tahun dengan jenggot dan rambut beruban.

"Ya nggak dipakai, pending aja dulu, kita jadi harus nunggu gambar dari owner-nya," balas rekan kerja Pandu dengan kekehannya yang terkesan pasrah. "Padahal kita juga diburu-buru, dan udah hampir selesai, tapi diubah total dari 'sananya' sendiri, mau gimana lagi?"

Pandu mendesah berat.

"Ya, okelah."

Alhasil, sejak pukul 9 pagi sampai pukul 4 sore, Pandu menghabiskan waktu di kubikelnya dengan merengut tajam. Matanya sedikit-sedikit melirik jadwal yang telah ia susun rapi di dinding kubikel, sekarang, ia harus kembali menyusun jadwal tersebut karena revisi dadakan.

"Haah," desah Pandu, "jadwalnya jadi berantakan." Ia mengambil magnet dan kertas kecil berwarna putih yang menempel di dinding kubikelnya, merobek kertas itu sampai kecil-kecil, dan melemparnya ke tong sampah.

Pertanyaan dari temannya pun tidak ia indahkan karena temannya pun tahu bahwa gambar yang ia tangani berubah total, yang artinya, nanti Pandu harus mulai menggambar dari awal lagi.

Namun, saat bel pulang berkumandang dari mesin absen sidik jari, Pandu menepuk-nepuk pipinya dan mencoba tersenyum. Ia mengecek ponselnya, pengingat kalender muncul dengan tulisan: reuni SMK.

Senyum Pandu semakin semringah.

Cepat-cepat ia mengambil absen pulang dan melajukan motornya ke rumah. Ia segera mandi sekaligus merencanakan ingin pakai baju yang seperti apa, Pandu bertekad, sebisa mungkin ia harus tampak berubah di depan teman-temannya.

Sudah hampir tiga tahun ini tidak bertemu mereka, Pandu sebenarnya tahu, bahwa banyak dari mereka yang sudah mengalami perubahan.

Kalau aku sendiri ….

Pandu terdiam di depan cermin panjang di dalam kamarnya, mematut dan merenung. Tidak ada banyak perubahan dalam dirinya, masih kurus seperti itu-itu saja, yang paling berubah mungkin hanya rambutnya, lainnya tidak.

Dulu, semasa SMK, rambutnya pasti hanya selalu dipotong cepak atau pendek rapi. Sejak lulus, ia jadi semakin berani untuk potong rambut model undercut dan sedikit memanjangkan rambut bagian atasnya.

Kalau teman-temannya, bakal berubah seperti apa ya? Seingat Pandu, ada dari mereka yang kerja dan kuliah, pasti semakin modis, beberapa dari mereka juga semakin bebas dalam menentukan sesuatu, mungkin sudah punya pacar juga, dan mungkin … sudah punya banyak uang.

Ya, kalau aku ….

Pandu dengan cepat menggelengkan kepala. Ia sudah bersumpah bahwa tidak akan ada yang bisa merusak mood-nya. Tidak bahkan juga itu dirinya sendiri.

Lelaki yang sekarang berusia genap 20 tahun itu membuka lemari dan memilih padu padan baju mana yang sekiranya cocok menggunakan selera fesyen ala kadarnya (yang hanya ia tahu lewat platform ide Pinterest). Ia mengambil celana chino berwarna abu-abu dan kaos putih polos berleher V, serta mengambil kemeja flanel lengan panjang berwarna biru gelap.

Ia memakaikan sepatu kanvas putih dan langsung pamit pada ibunya yang sedari tadi memandanginya di ruang keluarga dengan sedikit senyuman.

"Setil banget bajumu hari ini? Mau ngajak pacar?"

"Kan, Mama, mulai deh. Pandu mau reuni sama temen SMK. Pandu berangkat ya, assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam, hati-hati!" Seperti teringat sesuatu, Ibunya Pandu kembali memanggil.

"Ya?" toleh Pandu.

"Anu, makasih ya tadi pinjaman uangnya."

Pandu tersenyum, "Iya, nggak masalah."

"Minggu depan Mama balikin." Pandu tidak menjawab dan langsung berlalu, karena ia tahu bahwa mungkin, tidak secepat itu.

Pandu mengendarai motornya tepat di pukul 5 sore, bibirnya melengkung membentuk senyuman, sementara itu ia terus berpikir bahwa malam ini akan jadi malam yang menyenangkan.

*

"Tante!" sapa Pandu saat bertemu dengan ibu-ibu paruh baya yang baru saja keluar rumah.

"Heee!" Perempuan itu kembali menyapa dengan heboh. "Pandu, ya?"

"Iya, Te. Alhamdulillah, masih inget, ya!"

Perempuan itu menepuk bahu Pandu pelan sambil tertawa. "Kamu masuk aja dulu, ada Ummu sama dua temenmu lagi di dapur, sekalian bantuin juga boleh."

"Siap, Tante. Tante mau ke mana?"

"Ke stasiun."

Pandu ber-oh ria dan segera berpamitan menuju dapur. Dulu, sejak jaman SMK, Pandu sering bermain ke rumah ini. Rumah yang terletak di gang selebar dua meter saja dengan jalan yang masih dipaving. Untuk rumah ini sendiri hanya selebar 6 meter dan ke belakangnya mungkin hanya sepanjang 8 meter. Kecil, tetapi nyaman.

Hampir tiga tahun berlalu, rumah kecil ini rasanya jadi semakin bagus. Bufet kayu tempat TV sudah diganti dengan laci dan rak yang lebih modern, TV tabung sudah diganti dengan TV layar datar, kamarnya yang dulu hanya ditutup tirai, sekarang sudah berpintu. Pandu berjalan ke belakang, dulu ia tidak pernah menjamah dapur rumah temannya ini, tapi bisa ia pastikan kalau sekarang dapurnya pun bagus dan bersih.

"Assalamualaikum!" sapa Pandu.

"Waalaikumsalam! Pandu!" Ketiga gadis menyapa Pandu bersamaan.

"Emang nggak pernah berubah ya, selalu datang lebih awal!" ujar Gadis berjilbab yang memakai celemek, namanya Ummu.

"Agak lebih kurusan sih," ujar gadis berambut pendek yang bernama Tika.

"Udah punya pacar belum?" tanya satu lagi gadis yang berkerudung.

"Hush, udah, bantuin aku lagi, masih banyak yang kudu dimasak sama ditata. Pandu ikut bantu!" perintah Ummu.

"Oki!" Pandu menaruh tasnya di kursi terdekat dan segera menjalankan perintah untuk menata buah-buahan di dalam gelas.

Reuni ini sebenarnya kalau dihitung-hitung, yang pertama diadakan setelah mereka lulus. Jadi, Pandu lumayan bersemangat, ia yakin teman-temannya juga begitu. Juga sebagai pesta sambutan untuk temannya yang pulang setelah bekerja dari Jakarta karena baru sempat ambil cuti.

Sekitar satu setengah jam kemudian, sudah semakin banyak teman-temannya yang datang, mungkin hampir seluruh kelas jika Pandu menghitung kasar, itu artinya sekitar hampir 35 orang berkumpul di dalam rumah seluas 6x8 meter persegi tersebut.

Tak lama, pemilik rumah datang. Seorang ibu paruh baya dan seorang lelaki tinggi dengan tubuh kekar dan tegap masuk ke dalam rumah.

"Toni!"

Semua menghambur termasuk Pandu, acara reuni pun berlangsung tanpa aba-aba setelah itu.

"Gila, Toni keren banget, dulu jaman SMK kurus kering!" ujar Fadil.

"Iya loh, kena suasana metropolitan kali, ya?" timpal Tantri yang membuat ruangan pecah dengan tawa.

"Kalian ini, apa sih?" tanya Toni.

Iya, sekilas lihat pun, Pandu mengakui ttemannya ini terlihat keren setelah lama tidak bertemu.

Kalau dibandingkan denganku ….

Pandu menunduk dan mengambil es buahnya.

"Tapi emang faktanya keren banget, kamu udah kerja di Jakarta, terus bisa bantu ibu kamu. Ini yang beli furnitur-furnitur di sini juga kamu kan?" tanya Tika kepada Toni.

"Ya dibantu sama kakak-kakakku lah, tetep."

"Tapi tetep aja, keren! Udah punya duit banyak." Tika bersikukuh.

Pandu mengangguk menyetujui.

Betul, kalau dibandingkan denganku ….

"Memang, ranking nggak pernah bohong kayanya," ujar Amel. "Toni dulu tiga besar kan? Terus liat deh, tiga besar di sini. Ada Farel si ranking 1 paralel selama tiga tahun, sekarang di mana?"

"Kuliah Teknik Sipil, dong!" jawab Farel dengan bangganya.

"Terus ranking 2-nya Toni, kan?"

Pandu terbatuk.

"Salah, si ranking 2 tuh Pandu. Kan kita temen sebangku yang kebetulan rank-nya atas bawah." Farel merangkul leher Pandu.

"Oh iya, duo nggak terkalahkan. Sekarang di mana, Ndu?" tanya Amel.

Nah, ini dia, pertanyaan yang paling tidak diharapkan oleh Pandu.

"Di Kediri aja, hehe, kerja."

Teman-temannya pun ber-oh ria.

Barangkali, karena tahu kalau kerja di Kediri tidak se-wah itu, dibandingkan dengan yang sudah bekerja di luar kota, bener 'kan?, batin Pandu.

Percakapan di reuni segera banting setir dengan ajang memamerkan prestasi. Ada yang bercerita tentang suka duka kuliah, gimana banyak tugas bisa menyenangkan atau bikin stres di saat yang bersamaan, ada yang bekerja di luar kota dan menceritakan bagaimana suasana kota tersebut.

Sementara Pandu hanya menyimak percakapan tersebut dari ujung ruangan, dan rumah seluas 6x8 meter persegi itu kini terasa luas dan memanjang. Di mana teman-temannya berkumpul di satu ruangan yang jauh dari dirinya.

Kalau dibandingkan denganku ….

Pandu masih memasang senyumnya. Ranking dua, masuk tiga besar, tapi hanya bekerja di Kediri, tubuhnya ya hanya begitu-begitu saja. Ekonomi? Kalau ekonominya stabil pun dia pasti sudah kuliah sekarang, bukan bekerja. Bahkan, selama dua tahun belakangan ini, Pandu sudah gagal SNMPTN, gagal SBMPTN, gagal mengikuti lowongan kerja di kantor tempat Toni sekarang, keberhasilan? Entahlah ….

Kalau dibandingkan dengan teman-temannya, Pandu memang bukan siapa-siapa.  Sumpahnya untuk menjaga mood yang ceria pun runtuh seketika. Ia menaruh gelas esnya dan merasakan rasa yang aneh di dalam hatinya sekarang–yang seharusnya tidak ada, yang ia enggan mengakui rasa apa itu yang membuat hatinya terasa seperti diremas-remas.

Percakapan di reuni terasa semakin menggaung dan kabur.

*

Halo! Selamat datang di bab 1! Gimana menurut kalian sejauh ini? Aku sempat bingung harus gimana membuka cerita ini wkwk, pengaruh juga karena ini kan bukan zona nyamanku yah.

Taruh sini kesan dan pesan kalian, sama ekspektasi kalian buat bab depan :3

Sampai jumpa di bab 2!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top