DUA

Kelas XI IPA 1 di genangi aura ketenangan, semua anak murid berotak cerdas di sana duduk memperhatikan penjelasan dari Pak Wili, lelaki yang baru saja mengemban status duren. Alias Duda Keren.

Kasihan, mana masih muda.

Galen duduk di bangku paling belakang pojok kanan, di samping kirinya ada Angkasa yang sedang diam-diam memakan pecel gendar buatan Neneknya. Merunduk untuk memakan gendar ketika Pak Wili menghadap ke papan tulis— untuk menulis sesuatu.

Menjepit antena kecoa menggunakan dua jari, Galen menyipitkan mata sampai hampir tidak terlihat. Meneliti kecoa di tangannya, "Ini kecoa jantan apa betina?"

Januar yang lokasi duduknya tepat di depan Galen, mau tak mau mendengar pertanyaan konyol sahabatnya. Ia memutar kepala ke belakang melewati bahu, ikut melirik kecoa kecil yang di jepit Galen, "Bencong, kalik," ucapnya ngelantur.

Fero tertarik mendengar pembicaraan unik dari belakang, memeriksa lebih dulu kondisi di depan, baru kemudian dengan tenang menoleh ke belakang, ikut mengamati kecoa, "Menurut mata batin Fero Bagaskoro, dia betina."

Angkasa mencelupkan jari telunjuknya ke saus kacang, menarik kembali jarinya lalu memasukkannya ke dalam mulut. Mengedot tidak ingat umur, ekor matanya mendelik pada kecoa malang di tangan Galen, "Emang mau jantan apa betina, fungsinya apa buat elo?"

"Ya," Galen nampak berpikir, mengusap-usap dagu dengan wajah menatap langit-langit kelas, "Kalau betina mau gue ajak one night stand buat uji coba kawin silang, tapi kalau jantan mau gue lepasin. Ya kali, jantan mix jantan, hormon aquw masih lurus abang."

"Goblok."

"Pekok."

"Semoga berumur pendek."

Begitulah umpatan dari tiga orang untuk satu orang abnormal bernama Galen Ardimava. Si pemuda tinggi berwajah manis, saking manisnya sampai membuat jamu daun pepaya buatan Mak Siti menjadi manis hanya dengan memandang wajah menawan Galen ini.

Mereka berempat adalah teman sejak masih berada di rahim ibu masing-masing, lahir tanggalnya saling dempet-mendempet, satu komplek, satu sekolah, satu kelas, dan satu galaksi. Membosankan bukan?

J-FAG merupakan nama perkumpulan empat pemuda bersahabat. Di lengkapi versi alay yang sering di sebut JIPAK. Barisan pacar idaman sekaligus mantu pilihan. Pinter, kaya, ganteng, tinggi, minus perilakunya mirip alien, karena kadang perilaku nereka suka susah di mengerti anak-anak lainnya.

Bel istirahat berbunyi, pelajaran di akhiri Pak Wili, beliau keluar dari kelas untuk kemudian pergi ke ruang guru ikut beristirahat jua.

"Ey, ey, ey, denger-denger bakalan ada anak cowok baru?" Galen berkata heboh. "Kira-kira, lebih ganteng dari kita nggak, ya?"

"Yang pasti enggak lebih ganteng dari gue," sambil memainkan game, Fero menjawab yang pertama.

Angkasa memainkan game barbie di ponselnya, memilihkan baju untuk sang putri dan menjawab setelahnya, "Mau ganteng, mau jelek, yang penting anaknya wujudan manusia murni bukan makhluk halus jadi-jadian."

Galen menyikut sudut pinggang Angkasa memakai siku kanannya, memberikan tatapan sengit sedikit malas, "Ngomong sama tai jerapah memang susah." Dia beralih ke Januar yang sibuk membaca buku tembang jawa, "Gak bosen lo baca buku tembang mulu, Jan? Sekali-kali baca buku komik yang isinya hentai gitu kek, biar ilmu kedewasaan nambah."

Kalimat dari mulut Galen terdengar nyaring di dalam kelas. Anak-anak yang sedang memakan makan siang, gibah di lantai dekat meja guru, bahkan yang berada di ambang pintu kelas ingin keluar ke kantin, semuanya melongo.

"Mulut lo kalau ngomong nggak ada yang bermanfaat, mending amputasi itu mulut. Belajar ilmu kedewasaan tinggal masuk ke situs online, streaming lebih seru daripada reading. Repot bener perlu beli buku hentai yang memiliki potensi seratus persen bisa ketahuan Romo." Januar berujar santai, menutup buku tembang, berjalan keluar melewati teman-temannya yang kaget.

Mereka pikir, Januar itu kelinci kanibal yang polos.

Pilihan keluar dari kelas dan mencari ketenangan di dalam perpustakaan nyatanya salah besar. Januar sangat menyesal, rasanya dia ingin menjedotkan keningnya pada permukaan dinding bercat putih, meratap kepada Tuhan, “Mengapa dia harus di pertemukan dengan Sally dalam kehidupan ini?”

"Januar, Januar, Sally bawa permen. Mau nggak? Ada rasa susu sapi campur coklat, campur strawberry, atau... mau yang campur sama rasa cintaku?"

"Gak. Pergi dari sini sebelum gue balik ini meja, terus jatuh ke muka lo sampek gepeng mirip peyek kacang."

"Iya, iya, Sally tahu, Sally tahu, Januar itu sayang... banget sama Sally. Tenang aja, Sally sayang juga kok sama kamu. Mau seganteng apapun anak murid baru di kelas Sally nanti, hati ini hanya di ukir atas namamu. Keren nggak tuh, keren nggak tuh?"

"BAB."

Sally berhenti berceloteh, memutar manik matanya memikirkan ulang kalimat yang baru saja dia dengar, berpikir lebih lama, dia merasa ada yang aneh, "Januar mau eek?" Otaknya hanya mampu menebak ini.

Blak!

Januar menimpuk kepala kecil Sally tanpa sungkan maupun rasa kasihan. Menimpuk kepala kecil itu seperti tengah menimpuk kasur yang sedang di jemur di halaman depan rumah. Ia menatap sengit lawan bicaranya, "BAB artinya, Biasa Aja Bodoh."

"Ouw....." Sally menimang-nimang suatu hal dalam kepalanya, menarik dasi Januar mendadak, menghasilkan spontanitas terkejut dari pemuda itu.

"Lo mau ngapain? Lepasin!"

"Mau ngecek mata kamu, kayaknya ada beleknya. Kamu tadi pagi cuma mandi bebek? Harusnya mandi bangau."

Mendengar lebih banyak kalimat Sally membuat kepalanya pusing tak karuan. Karena semakin lama gadis ini berbicara, maka semakin banyak pula keanehan yang mengalir dari mulut semerah bunga prem itu.

***

"Ketiban kebahagiaan berapa kilo sama si Janus?" Tanya Mina begitu melihat kehadiran sahabatnya melalui sudut mata. Karena saat ini dia sedang sibuk fokus bermain game ML di gawai pipihnya yang berwarna merah.

"Ketiban kesengsaraan, bukan kebahagiaan," jawab Sally setengah kesal. Mendorong ke depan kursi tempat Mina duduk, otomatis sang empu yang tengah duduk di kursi dengan nyaman terjepit di depan meja.

"Anjing!" Umpat Mina. Permainan ML-nya jadi kalah gara-gara dorongan sialan dari Sally. Kepalanya menoleh cepat, bersiap melemparkan puluhan kalimat kasar. Tetapi, dia urung saat melihat salah satu sisi kening Sally berwarna merah cerah di antara warna putih kulit gadis itu, "Loh, kening lo kenapa? Ketiban bidadari terus nyium aspal?"

Sebenarnya, Sally bersedia pergi meninggalkan Januar duduk sendirian di perpustakaan karena dia ditimpuk lima kali menggunakan buku oleh pemuda itu, rasanya sangat sakit. Namun dia tidak bisa berkata jujur atau Mina akan menertawakan dia sepanjang malam.

"Ssstt," Sally meletakkan jari telunjuknya di atas permukaan bibir Mina. Wajahnya terangkat, menatap papan tulis mini berisi jadwal piket kelas. Mata kucingnya menyipit tajam. "Mina jangan ngomong sama Sally dulu, ini lagi marah sama emosi. Takutnya nanti, Sally cakar-cakar wajah Mina karena udah enggak bisa nahan ini amarahnya."

"Karena Januar?" Tebak Mina, satu-satunya pemicu emosi Sally yang paling ahli hanyalah Januar seorang.

Mau di hujat maupun di timpuk seberapa banyak oleh Januar, Sally yang dungu dan bodoh ini selalu saja menganggap semuanya angin lalu, meski sebelum menganggap semuanya angin lalu, dia pasti menumpahkan kekesalan kepada Mina atau kepada angin atau terkadang kepada dirinya sendiri.

"Iyalah, siapa lagi? Masak Chiko Pramana dari SMA sebelah yang suka banget ngirim boneka panda ke rumah Sally?"

"Oh..." Mendorong turun jari telunjuk Sally dari bibirnya. Mina tersenyum manis, menepuk bahu Sally sekali, berkata seraya tertawa menyemangati, "Selamat menahan diri dalam kemarahan, gue mau lanjut ML kalau gitu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top