Epiphany

Mereka bilang sering terjatuh akan membuatmu menjadi manusia kuat. Saking kuatnya aku bahkan sampai lupa bagaimana rasa sakit itu . Orang penyakitan semacam diriku mungkin lebih berpikir mati saja daripada bertahan jika pada akhirnya juga akan mati seperti yang sudah-sudah. Betul bukan? Pada nyatanya bait doaku masih ingin bertahan untuk seseorang.

Dia, yang menenggak satu gelas kecil berisi bir di depan meja bartender menatapku heran dengan pakaian rumah sakit yang masih melekat di badanku. Beomgyu mendelik tajam padaku, mengibaskan tangannya agar aku pergi dari tempat laknat itu.

Sayangnya, aku keu-keuh dengan pendirianku untuk membawanya pergi, sebelum ia berakhir mengenaskan dengan mabuk berat di kelilingi wanita jalang yang hobi memeraskan isi dompetnya. Sebagai seorang kekasih yang baik aku rela kabur dari tempat perawatan dan meninggalkan jadwal kemotrapiku hanya untuk memboyong pria itu keluar dari club. Karena apa?

Ya, karena aku menyayangi dirinya lebih dari diriku sendiri. Gila? Itu wajar, Beomgyu juga pernah melakaukan hal gila demi diriku, semisalnya dia pernah kabur dari sekolah dan meninggalkan ulangan hanya karena tahu aku kehabisan obat. Besoknya dia harus bermesraan dengan mentari dan tiang bendera depan sekolah.

"Gyu, ayo pulang. Kau tidak boleh mabuk disini." Ucapku baik-baik, namun pria yang sudah mabuk itu cuma tersenyum sinis. Aku tak mengerti kenapa ia bisa berada di tempat gila ini. Tanganku mengambil gelas berisi wine yang entah keberapa itu, hingga delikan tajam Beomgyu membuat gelas itu jatuh ke lantai, membuat seisi club berakhir menatapku.

"Kau apa-apaan hah!" Beomgyu turun dari bangkunya dan memakiku di depan semua orang, plus dengan suara tingginya. Aku menjauhkan tubuhku sedikit, terkejut bukan main dengan makian Beomgyu.

"Kau seharusnya kemotrapi! Bukan ke sini bodoh! Pikirkan dirimu sendiri, kau tau mengurus orang lain saja tapi dirimu? Kau itu gadis penyakitan!"

Mataku berkaca-kaca, tak menyangka jika kata-kata kasar itu keluar dari mulutnya Beomgyu, orang yang selama ini menjagaku. Ada apa dengannya?

"Kau kenapa? Kau marah padaku? Apa aku melakukan salah?" cicitku pelan, ingin menggapai tangannya. Sayang, kesadaran pria itu mengalahkan dirinya sendiri, hingga tamparan pedas mendarat di pipiku. Darah segar mencuat sedikit dari sudut bibirku.

"Kau kenapa?" tanyaku menahan tangis di tengah-tengah orang-orang yang sudah tak menghiraukan pertengkaran kecil kami. Beomgyu menarikku keluar club, menarikku sejauh mungkin dari tempat itu. Angin malam menyapa kulitku yang pucat pasi.

"Aku ingin kita putus."

Kenapa tiba-tiba? sontak aku menggenggam erat pembatas besi jembatan kecil di tengah taman yang kami datangi.

"Aku lelah." Jawabnya simple namun menyayat hatiku seutuhnya, aku sadar selama ini akulah yang menyusahkannya bukan dia. Air mataku menetes perlahan.

"Maaf."Rintihku tidak tahan untuk lama-lama melihat wajahnya, secepat mungkin aku lari dari hadapan Beomgyu. Berdiri di pinggir jalan seperti orang gila, menahan tangis yang sudah ingin pecah karenanya.

Suara klakson mobil bersahutan melihatku berjalan tanpa arah menyeberangi jalan. Membuat pengendara dari dalam mobil keluar hanya sekedar memastikan aku baik-baik saja. Mereka menghampiriku dan menuntunku ke pinggir jalan.

"Nona, kau harusnya tidak menyelesaikan masalahmu dengan cara seperti ini." Ucap seorang pengendara yang melihatku terdiam, hingga mengalir setetes darah dari hidungku. Pengendara itu panic.

"Paman, aku baik-baik saja. Terima kasih." Membungkuk lalu pergi, setelah paman itu menawarkanku untuk ke rumah sakit.

Dadaku bergemuruh, air mataku sudah tak terhitung banyaknya, belum lagi darah yang keluar dari hidungku. Tubuhku merosot di tanah, jalanan sepi menuju rumah sakit senyap menatapku dengan iba, malam seolah menjadi penyembunyi kesedihanku.

"Aku salah apa? Apa selama ini kamu hanya iba?" gumamku memukul dadaku yang terus sesak. Darah di hidungku merembes mengenai baju. Jalanan yang ku duduki kini menjadi ajang pelampiasan sakit ini. Hingga buku-buku jariku berdarah.

"Kenapa aku tidak mati saja sekarang, percumakan kalau aku hidup! Aku penyakitan! Betul kata Beomgyu, aku bodoh!" Tubuhku lemas, tersungkur bersama darah yang berakhir di tetesan terakhirnya. Kepalaku mulai pusing, berputar dan akhirnya jatuh.

Cahaya yang berpendar di mataku membuatku memicing, mengerjap menyesuaikan jumlah cahaya yang masuk ke retina mataku. Dokter yang merawatku tersenyum tipis, lalu mencibut pipiku gemas.

"Kau kenapa kabur hah, liat sekarang kondisimu." Dokter Year yang menanganiku menggeleng. Ia duduk menatapku, Jika bukan karena kekasihmu itu, kau mungkin sudah mati kedinginan.

"Aku tak perduli." Balasku membuatnya mendelik, sedetik kemudian ia mencubit tanganku.

"Kalian bertengkar jadi sampai kau kabur untuk kemo." Aku mengangguk pelan, "Tepatnya kami putus." Dokter Yera sekali lagi menggeleng heran. "Beomgyu ada di luar, dia tengah menunggu."

Aku membelalak kaget, bangun dan bergegas keluar tak perduli dengan panggilan dokter Yera. Pintu kamar ku buka lebar, sosok Beomgyu terkejut melihat kehadiranku. Tak perduli dengan wajahnya yang shock melihatku, segera ku peluk ia seerat mungkin seakan takut ia pergi.

"Aku minta maaf jika membuatmu lelah selama ini." Bisikku, ia mengusap kepalaku, menciumnya lembutnya.

"Bertahanlah untukku lebih lama," pelukanku lepas.

"Bertahanlah, aku akan carikan secepat mungkin pendonor untukmu."

"Beomgyu,"

"Tadi aku mabuk, aku lupa segala. Bahkan tanganku sudah berani melukaimu." Ku lirik buku-buku jarinya yang koyak. Ku gapai tangannya mendelik tajam padanya yang tersenyum tipis.

"Kau juga terluka, makasih." kekehnya.

"Tidak sepatutnya, harusnya aku yang berterima kasih karena kau sudah mau bertahan sangat lama untukku." Senyumku mengembang melihatnya mendekat, lalu memelukku. Sayang, tanpa ku sadari tubuhku merosot lemas di lantai. Kehilangan keseimbangan.

"Kau baik-baik saja?" Dokter Yera datang sebelum aku sempat menjawab pertanyaan Beomgyu. Beomgyu membopongku ke kamar.

Hidungku kembali berdarah, belum lagi pusing yang mendera kepalaku kian tersa menyakitkan. Tanpa kesadaran penuh aku meracau merasakan sakit yang mendera tubuhku. Beomgyu menggenggam tanganku.

"Dok dia kenapa?" tanya Beomgyu melihat kearahku. Dokter Yera menggeleng, tatapannya sendu.

"Sebenarnya, selama beberapa minggu kekasihmu ini absen dari jadwal kemonya."

Aku menggeleng menggapai lengan Dokter Yera, Beomgyu kembali menatapku, menahanku agar dokter Yera mengatakan hal yang sesungguhnya. Kalau aku sudah di vonis tidak akan lama untuk bertahan, bahkan percuma jika aku harus bolak balik kemotrapi.

"Maaf." Cicitku, di sela rintihan sakit yang tak kunjung berhenti. Dokter Yera sudah di temani para perawatnya. Semua terasa gelap, aku dapat merasakan pemompa jantung mulai mensentrum tubuhku membuat kesadaranku kembali meski aku tak yakin kali ini napasku masih berlanut atau tidak.

Beomgyu datang menggenggam erat tanganku.

"Ini salahku, seharusnya kau tidak datang ke club tadi!"

Aku tersenyum, perlaahan keringat dingin turun dari dahiku. Rasa sakit itu tak kunjung reda, bahkan ketika dokter Yera mulai menatap monitorku. Ia mengusap wajahnya, seakan menyerah.

"Bukan,"

"Kau harus bertahan!"

"Beomgyu, aku pikir ini sudah berakhir." Aku menarik nafas panjang, sebelum akhirnya semua terasa berkunang-kunang dan gelap.

*****

TBC...Ketemu lagi dengan member lain. Bye bye...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top