Dream (2)

Seakan tidak paham dengan kondisiku, perut rataku bergemuruh, membuat lengkungan senyum Soobin semakin lebar. Dengan senang hati ia menyodorkan satu irisan daging miliknya ke mulutku. Aku memakannya, dan sialnya aku bahkan tak bisa merasakan bagaimana nikmatnya dagingnya saat seseorang yang ku kenal menghampiri meja kami. Menyentuh bahu Soobin dengan agresif.

Bukannya ini sudah biasa? Lalu kenapa hatiku seperti ini?

Soobin menyunggingkan senyumnya, melirik sedikit padaku yang kini lebih memilih memakan daging itu, daripada harus melihat drama romansa di depan mataku. Gadis dengan tinggi sebahu Soobin itu ikut duduk, menyentuh punggung tangan Soobin. Jangan tanya seberapa kesal aku berada di tengah-tengah orang kasmaran itu.
Sadar, aku menyadari jika memang pada nyatanya, rasaku hanya sebatas teman. Mimpiku, tentang Soobin hanyalah semu. Yang hanya bisa aku dekap kala tidurku. Mungkin itu alasan kuat kenapa aku menyukai tidur. Aku bisa memiliki hatimu di mimpiku.

“Aku pergi aja, ya.” Soobin menatapku, mengisyaratkan untuk menunggu sebentar.

“Yeji, aku pikir kau tidak perlu menemuiku lagi.” Mataku membulat, terkejut dengan ucapan Soobin pada gadis yang digadang-gadang anak satu sekolah akan jadian dengannya. Hatiku berteriak gembira, tak bisa ku sangkal kepakan sayap hangat menerpa sisi hatiku. Tangan Soobin perlahan menarik diri dari genggaman Yeji.

“Kupikir kau menyukaiku.” Balas Yeji.

“Kupikir juga, kalau gadis di seberangku akan cemburu jika kau terus mendekatiku.” Kepalaku menoleh pada Soobin, ingin menyangkal namun nyatanya aku memang cemburu. Ini dinamakan apa ya? Teman rasa pacar? Ah, itu hanya aku yang merasakan karena selama ini aku yang menyukai Soobin diam-diam. Tak tahu jika sekarang Soobin tengah mendrama karena menolak gadis yang katanya cocok dengannya. Lalu siapa gadis yang beruntung itu? Jelas sekali bukan aku.

Kalau aku, bagaimana?

“Eh?” aku yang asik bergumul dengan otakku disentakkan dengan tarikan oleh Soobin. Membawaku keluar restoran.

“Kenapa? Bukannya dia suka denganmu. Dan kau menyukai siapa sih kalau begitu? Katanya anak sebelah.” Ucapku kesal, langkahku sedikit dipercepat karena Soobin berjalan lebih dahulu, tak mengindahkan pertanyaanku. Ia berhenti sebentar, menengadah. Melihat arlojinya, lalu berbalik padaku yang ikut berhenti di belakangnya. Aku sangat hapal dengan apa yang tengah dipikirkan olehnya.

Hujan.

“Bawa payung tidak?” tanyanya.

“Kenapa kau tidak jadi pawang hujan saja?”

Ia terkekeh, menarik lenganku menuju mini market. Membeli satu payung berwarna putih. Tak selang beberapa detik kemudian, rintik hujan mulai turun. Soobin tersenyum, menampilkan gigi kelincinya. Aku suka ketika ia menyunggingkan senyum selebar itu ketika hujan turun. Apa mungkin karena hujan aku jatuh hati padanya?

Selama mengenalnya sebagai pria cool di sekolah, Soobin selalu menunjukkan sisi lain dirinya kepadaku. Menyukai hujan, melihat ramalan cuaca ketika kami sedang jalan bersama, ataupun sekedar mengajak lari bersama. Selama itu juga aku bisa mengenal seluk beluk hidup Soobin yang menurutku mengasyikkan untuk di dalami. Satu hal yang ku sesali saat berteman dengannya,

Aku menyukainya.

“Berhenti memikirkan sesuatu,” celetuknya, membuka payung yang dibelinya. Merangkul bahuku agar tidak kena hujan.

Berjalan bersama di bawah rintik hujan yang semakin deras. Varsity Soobin basah, membuatku menarik payung itu agar aku saja yang memegangnya, namun pria itu malah mendelik dan membiarkan separuh tubuhnya basah.

“Gadis yang kau suka siapa sih?”

“Gak usah banyak tanya, cepat pulang. Besok aku jemput.” Aku berhenti, Soobin memutar bola matanya.

“Nanti aku kasih tau,” jelasnya menarik tanganku, menggenggamnya terus menerus sampai di depan rumahku.
Di saat aku ingin melangkah menuju pintu, ia menahanku.

“Tidur dengan nyenyak, karena mulai besok aku jamin kau tak akan menyukai tidur lagi.”

Malamnya, tubuhku tak bisa terkontrol. Berguling-guling tidak jelas di atas kasur, menutup wajah dengan bantal. Aku menelungkup mengingat perkataan Soobin saat perpisahan kami di depan pintu rumahku. Tanganku dengan kesal memukul-mukul kasur di samping wajahku.
Lagi-lagi dia membuatku berharap lebih.

Meredam rasa yang kian menggebu itu semakin membuatku merasa kesetanan. Namun suara dering ponselku membuat aksi gila itu terhenti. Aku dengan cepat menggapai ponselku di atas nakas. Tertera dengan jelas, kalau Soobin mengajakku video call.

Ya Tuhan … anak ini kenapa?

Aku diam saat wajahnya terpampang jelas di ponselku, rambutnya yang terbelah menampilkan jidat putihnya. Soobin tersenyum. Aku memicing melihat lokasi di belakang tubuh Soobin, seperti mengenal tempat itu. Ia berbalik , tau kalau aku memperhatikan sekitar dari balik layar ponsel.

“Kau berusaha mengingat tempat di belakangku?” dimple Soobin membuat wajahku panas, senyum pria ini memang racun mematikan untuk gadis-gadis.

“Ada apa?” aku menutup separuh wajahku, menahan senyuman lebar yang kini tertutup selimut.

”Keluar, aku tunggu.” Aku membulatkan mataku terkejut. Menyibak selimut dan bergegas lari, tak peduli jika ponsel itu masih menampilkan cengiran Soobin yang menyebalkan. Saat pintu rumah terbuka, kakiku yang telanjang itu terus menyusuri jalan, mencari sosok Soobin.

Menyerah, aku tak menemukan pria itu. Padahal aku kenal tempat yang Soobin datangi itu. Sekitaran komplek rumahku. Tapi di mana dia?

“Di mana dia?” gumamku, bersamaan dengan itu sepasang tangan menutup mataku. Bisikan dari suara bassnya membuatku sadar,

Ini Soobin.

“Mencariku?” tanyanya, dekat dengan daun telingaku yang geli karena terpaan hangat napasnya. Tubuhku berbalik, menjauh sedikit darinya yang malam ini sangat tampan bagiku. Ia mengacak rambutku, menatap kakiku yang telanjang. Soobin berbalik, memunggungiku, namun juga memintaku naik ke punggungnya.

“Naik.”

“Aku bisa jalan tanpa pakai alas.”

“Naik atau aku yang gendong paksa?”

Jujur saja, aku tidak terpaksa, cuma wajahku saja tengah berakting kalau aku terpaksa. Yakinlah, gadis mana yang bakalan menolak di tawari begini dari Soobin.

“Mau kemana?” tanyaku, mengalungkan tangan di lehernya yang jenjang.

“Menemui pacarku.”

Tombak itu seakan tepat menancap di ulu hatiku, mataku memanas. Bukankah aku harus siap, jika memang pada dasarnya, Soobin hanyalah teman untukku. Dadaku bergemuruh,  mendadak sesak. Air mata yang ku tahan kini merembes turun ke baju kaos putih milik Soobin.

Ia menurunkanku di jalanan, berbalik menatapku yang benar-benar sudah menangis. Tertunduk karena takut Soobin mengetahui perasaanku selama ini. Tangannya mengusap wajahku.
Membuat mataku yang sembab menatap pada manik matanya, senyumnya terukir jelas.

Bahkan kau tersenyum di saat hatiku sesakit ini.

“Kau menangis karena aku?” ia masih menangkup wajahku, menunduk sedikit agar bisa mensejajarkan wajahnya denganku.

Mulutku bahkan kelu hanya karena sakit ini, semudah itu seorang pria masuk ke kehidupan seorang gadis lugu sepertiku, lalu semudah itu juga dia membuatku sakit. Soobin tak hentinya menyunggingkan senyum.
Aku menunduk lagi, air mataku turun tanpa  henti. Menahan sesak yang terus menggerogoti ulu hatiku, tak ada sedikit hal yang mampu membuatku tenang jika pria ini terus menatapku dengan senyumnya.

Perlahan, ia menarik wajahku. Membuang jarak kami berdua, matanya tertutup rapat. Tidak denganku yang mematung, menahan napas saat perlahan hal yang tak pernah ku rasakan hinggap di bibirku.

Malam itu, detik itu, aku bisa merasakan sakit itu terobati.  Aku gadis beruntung itu, mimpiku ternyata bukan angan. Dia memiliki hatiku, begitu juga aku.

“Jangan menangis karenaku,” otakku berhenti bekerja, hangatnya masih terasa.

“Ah, malam-malam selanjutnya mungkin kau tidak akan tidur nyenyak lagi,sayang.”

*****

Huhu...emang udah gk nyenyak gara2 kamu masuk ke kehidupanku Ubin...eleh2...ini anak...ngegemesin bgt dah...

Gimana? Masih mau lanjut? Gak di minta juga gue pasti lanjut😂😂😂😂


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top