BLACK SYMPHONY (1)
Malam sunyi ku impikanmu, ku lukiskan kita bersama.
Namun selalu aku bertanya, adakah aku di mimpimu?
Malam itu seperti beradu, antara kenyataan dan mimpi, yang ingin unjuk gigi padaku di pagi hari. Setelah menyesap manisnya sebuah mimpi yang tampak nyata. Memimpikan seseorang yang mungkin saja tak pernah menganggapmu ada. Atau bahkan menganggapmu biasa saja.
Koridor sepi mulai di pijaki keramaian, siswa-siswi mulai berlalu lalang menggendong tas ransel mereka. Tatapan mataku tertuju pada bangku taman yang dihuni seorang pria berkaca mata tipis. Tengah fokus pada bacaan ditangannya. Setiap pagi selalu begitu. Dan setiap malam aku memimpikannya. Sungguh lucu hidup ini.
Setiap mimpi itu datang, satu pertanyaan mulai mengerayangi pikiranku. Apa ada aku di dalam mimpinya?
Di hatiku terukir namamu.
Cinta rindu, beradu satu.
Entah, kapan cinta itu terus berkembang. Berawal dari kekagumanku padanya, hingga berbulan-bulan aku merajut impi dalam dunia tidurku. Hingga sebuah fakta kalau perasaan biasa itu berubah menjadi perasaan yang terus menyakitiku. Menyakiti perasaanku yang terus berkembang.
Tak bisa disangkal, jika hatiku telah menorehkan namanya dengan sangat jelas. Choi Soo Bin. Siswa yang selalu hadir di mimpiku.
Ia mendongak ketika melihat kehadiranku di depannya, seukir senyum selalu menghiasi wajah manisnya.
"Kapan kau datang?" ia melepas kaca matanya dan mengubah posisi duduknya untuk menghadapku. Soobin, satu kata yang tepat untuk mendeskripsikan dirinya, menarik. Kenapa? Karena, dia akan sangat mudah membuat semua orang yang hanya sekali menatapnya kagum. Siapapun di sekolah ini yang mengenalnya, terutama wanita. Aku jamin mereka jatuh hati padanya, tidak terkecuali diriku. Teman sekelasnya.
"Jangan-jangan kau sudah lama, ya?" aku menggeser duduk agak sedikit jauh darinya. Mungkin menghindari detak jantung yang terus bergemuruh ini. Tidak akan ku biarkan ia tahu kalau, jantung ini tidak pernah bisa terkendali jika bersamanya.
"Tidak, aku hanya membaca sebentar. Jadi, kapan?" ia menatapku dengan wajah penuh binar kebahagiaan. Seraut senyum tulus dapat ku tangkap dari lengkungan itu, juga sebuah harapan.
"Nanti malam." Jawabku yang di tanggapinya dengan tepukan kecil. Ia menyibak rambut depannya, menghilangkan semacam kegugupan yang ia buat sendiri.
Napasku berubah pendek, sesak. Ironis.
Malam itu seperti mimpi sebelumnya. Soobin duduk di sisiku. Dengan kaos panjang hitam juga celana jeans hitam. Tak lupa dengan tatanan rambut commanya. Sejak duduk bersebarangan dengannya, tubuhku bereaksi berlebihan. Panas beradu dengan hawa dinginnya malam.
Bukan sebuah mimpi. Lukisan kebersamaan kami membekas dalam ingatanku. Aku tersenyum tipis memandangnya yang tengah memainkan ponsel beserta senyumnya melihat layar monitor.
Dia bisa membuatku segila ini, juga sebodoh ini.
Namun selalu aku bertanya.
Adakah aku di hatimu?
"Soobin, aku boleh jujur?" ucapku tegas. Pria itu menoleh dengan mulut terbuka, heran mengartikan ekspresiku yang tegang ini. Matanya menembus tajam netraku, menusuk ulu hatiku dengan sebuah fakta.
"Apa?" ia menaruh ponselnya yang menyala, menampilkan sebuah pesan yang membuatku tersenyum.
Bisakah kau dengar simfoniku?
Simfoniku hanya untukmu.
"Kalian pasangan serasi." Ucapku kelu.
Fakta terberat, jika aku hanyalah penyambung kisah cintanya. Penyambung scenario hubungan sahabatku.
"Maaf menunggu lama, Soobin." Sebuah suara menginterupsi obrolan kami. Senyum gadis itu mampu membuat wajah Soobin begitu bahagia. Gadis itu terengah karena mengejar waktu kencannya dengan Soobin, dan aku? Haha, ironisnya aku hanya pengantar Soobin menemui sahabatku.
Mengapa, aku tak bisa sentuh hatimu?
"Terima kasih sudah memberitahu Soobin tentang hal ini."
Ia memberi hormat padaku, aku tertawa renyah melihatnya.
"Bersenang-senanglah, Soobin akan tersesat jika aku tak membawanya tadi."
Sahabatku tersenyum, menepuk pundakku.
"Kau memang sahabat terbaikku, aku pergi dulu ya."
Soobin memberi senyum tipisnya padaku, lalu hilang bersama gandengan tangannya dengan sahabatku. Tertawa sepanjang jalan mereka, meninggalkan rongga menyakitkan di hatiku.
Bahkan aku tidak pernah ada di mimpimu. Malam itu, ku abaikan mimpi indah itu. Ambisiku sudah lenyap saat itu. Namun pertanyaan paling menyakitkan hatiku terus berputar manja di otakku.
Mengapa aku tak bisa sentuh hatimu?
*****
Tenang ini belom selesai kok. heheh
See you next part kawan kawan.... semoga terhibur dengan kehaluanku yang galau ini bhahahaha manusia gak waras kayak gue bias galau juga loh.
Salam dari penerus bangsa yang lagi bermimpi bias ikut fanmeet TXT padahal fandom ARMY. Emang gitu mah anak fangirl macam akuhhh.... kabuurrr
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top