And The Reason Is You

Mungkin mulutku sudah menganga sejak tangan lincah Kai bermain di tuts piano, karena hanya permainan pianonya yang membuatku takjub begini. Jangan tanya bagaimana reaksi siswa dan siswi yang menonton aksinya saat di ruang latihan. Jangankan mereka yang berada disatu ruangan yang sama, aku dan siswa lain yang bahkan sama sekali tidak mengerti tentang piano, selalu berhenti dan bergerumbul di depan kaca jendela sekedar menonton aksi, Kai.

Semua tau bagaimana Kai menyihir mereka. Melodi indah dan tambahan yang sangat indah adalah dia tampan bukan kepalang.

Wajah khas bulenya, hidung mancung yang kokoh serta senyum menawan setiap tuts piano yang ia tekan, matanya terpejam menampilkan bulu mata lentiknya saat deretan tut situ mengeluarkan nada-nada indah. Seakan ia tengah menikmati alunan musiknya.

Aku masih dengan posisi memegang pinggiran pintu, tubuh miring karena posisi mengintip ini. Kai mendapat tepuk tangan meriah dari seisi ruangan, hingga luar penjuru kelas Piano. Senyumku mengembang saat ia menunduk kepada semua orang, memberi hormat atas penghargaan yang ia dapat dari mereka yang menonton aksi Kai.

"Selalu memukau, dan tak terkalahkan. Kau harus jadi pianist terkenal." Itulah ucapanku setelah kami pulang sekolah. Kai tersenyum tipis sembari membenarkan rambutnya yang diterpa angin.

"Memang kau suka aku main piano?" tanya Kai berhenti, membuatku menoleh.

"Aku suka kau main piano, apapun yang kau lakukan selalu membuatku terpukau."Tuturku santai.

Pria dengan tinggi 180 lebih itu menggaruk tekuknya, wajahnya memerah seketika saat aku menghampiri dan menyentuh keningnya, "Kau demam? Kenapa jadi merah begini?" tanyaku. Kai menyentuh tanganku. "Kalau ini namanya apa?" ia mengarahkan tanganku pada dadanya. Seketika mu

lutku menganga lagi untuk kedua kalinya. Jantung Kai berdetak hebat, sama sepertiku. Sama seperti ketika aku menyadari kalau aku menyukai Kai. Apa dia juga merasakan itu?

"Kau menamakan ini apa? Sebuah perasaan suka?" celetuknya membuatku bersemu. Kini bergantian ia yang menyentuh keningku, lalu berseru girang, "Aku tahu ini bukan demam. Kau salting?" kekehnya membuatku langsung berbalik dan berlari menuju rumahku yang tak jauh lagi. Kai dibelakangku tertawa sambil mengejarku.

Setelah selesai membersihkan diri, aku iseng keluar dan duduk di balkon kamar. Sosok Kai terpantau beberapa meter saja dari balkonku. Aktifitasnya di kamar terlihat, bahkan ketika ia buka baju sekalipun. Sayang, mataku ini tidak pernah sok suci ketika aksi itu tertangkap basah olehku.

Nahas, saat aku tengah memandangi chatku dengannya, pria itu keluar dan duduk di balkonnya. Berseberangan dengan balkonku membuat kami sering berbincang daripada sekedar berkutat dengan chat.

"Jadi, kau suka aku main piano atau suka pada pemain pianonya?" godanya masih belum berakhir. Untung jarak menghalangi penglihatan Kai, wajahku sudah panas.

"Kalau dua-duanya bagaimana?" tanyaku. Ia diam, lalu berjalan menuju pagar pembatas. Kai mengambil sesuatu, setangkai bunga dari pot di dekat pagar. Bunga mawar putih milik ibunya, mungkin. Sedetik kemudian ia melempar bunga itu dan jatuh di dekatku.

Aku mengerutkan kening, lalu mengendikkan bahu.

"Besok kamu udah di cap sebagai pacar Heuningkai. Okay?" Mendengar itu aku membulatkan mata lalu setengah berteriak memaki ucapannya itu, "apa-apaan kau hah! Aku gak mau!"

"Aku berhenti main piano sajalah kalau begitu." Ucapnya mengancam. Otomatis aku melempar bunganya lagi, "Hei, Kai... kamu marah? Kai..."teriakku, sedangkan Kai sudah menutup pintu balkon dan menutup kamarnya juga tirai jendelanya. Aku mendengus sebal melihat reaksinya.

"Maaf, Kai. Tapi aku gak bisa, walau aku sebenarnya juga suka kamu."

Besoknya, Kai membuktikan ucapannya. Satu sekolah heboh, karena beredar berita kalau Kai keluar dari eskul musik. Tanpa alasan yang jelas, ya tentu saja, alasannya karena aku menolak tetangga ku itu kemarin malam. Sialnya, karena hal itu juga ia mulai menjauh dan tak berkomunikasi ketika kami pulang bersama secara tak sengaja.

Di balkon pun dia tidak kunjung menampakkan diri, tirai jendelanya bahkan tertutup. Hanya nyala lampu kamarnya yang jelas terlihat.

Aku mengiriminya pesan, namun urung. Ku pandangi kamarnya.

"Kai, kamu marah ya?" gumamku.

Seminggu berlalu, Kai seperti di telan bumi. Ia menghilang bagai buih di terpa angin. Terlihat namun tak terasa ada. Dia benar-benar menghilang karena hari itu. Ku lirik pintu balkonku, berharap Kai membuka tirai kamarnya, atau barang sekali saja mengirimiku pesan. Aku gengsi duluan mengirim kalau dia cuek begini. Takut dia merespon dengan hanya membaca chatku. Malu!

Sayangnya, semua pikiranku berujung pada hal mengecewakan. Kai benar-benar telah menjauh dariku. Padahal aku merindukannya, merindukan ia menggodaku dengan caranya, terlebih lagi aku rindu lincah jari jemarinya di tuts piano. Kai, ayolah kenapa pertemanan yang selama ini kita bangun harus hancur seperti ini? Aku bahkan rela menyembunyikan rasa ini demi pertemanan kita. Demi kamu.

Sepulang sekolah, seperti biasa piketku berakhir melelahkan. Membersihkan kelas, mengepelnya, dan merapikan meja. Cukup membuatku harus menarik napas panjang. Hana, dan Yera teman sekelasku sudah keluyuran untuk pulang. Mereka berdua sudah janjian untuk pergi jalan-jalan. Dan tinggal aku sendiri di kelas.

"Kai pasti sudah pulang." Gumamku, mengingat jika setiap pulang piket Kai akan berdiri diambang pintu sambil menenteng minuman dingin kesukaanku. Tapi kali ini kan beda. Aku pulang sendiri.

Langkahku terhenti di depan ruangan musik. Alunan piano menggema, ku buka perlahan pintu itu dan sosok Kai yang bersinar karena diterpa cahaya matahari sore. Rambutnya tersibak, matanya terpejam sambil terus bermain lincah di deretan note piano.

Tanpa ku sadari jika Kai kini berhenti memainkan pianonya, memandangku yang mematung.

"Kenapa berdiri di situ? Gak kangen sama aku?" tanyanya, secercah senyum yang kurindukan memancar begitu manisnya. Kai kau belum berubah rupanya!

"Kau menjauhiku! Kau bahkan keluar dari kelas music? Apa karena hari itu? Kau harusnya mikir dong! Jang—" telunjuk lentiknya menutup mulutku yang bicara panjang lebar.

Kai tersenyum lebar, menimpali ucapanku dengan bunyi pianonya. Hanya sedikit dari nada River Flows in You.

"Tau tidak, kalau lagu ini yang pertama kali aku mainkan." Aku memerhatikan jarinya yang kembali bermain. Lalu berhenti, "Aku main piano saat kamu bilang suka dengan Beethoven, Fur Elise."

Aku menepuk pundaknya, "masih ingat saja. Aku bahkan sudah lupa kalau asal mula aku jatuh cinta dengan piano adalah Beethoven."

"Dan alasanku jatuh cinta adalah kamu. Aku mau kamu lihat aku main piano disaat kamu mau. Aku ingin menghibur kamu dengan permainan piano, dan aku ingin kamu jatuh hati denganku lewat piano." Kai berujar, kini tangannya kembali memainkan nada rendah di bagian River Flows In You.

Aku mematung, diam memandang warna hitam dan putih khas tuts piano.

Dan alasan itu adalah kamu.

Kai dan aku saling berpandangan selanjutnya tertawa bersama.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top