Two Worlds Apart (Two)
Kiara mondar-mandir di ruang tamu apartemennya. Berulangkali ia melirik jam dinding yang kini telah menunjukkan pukul 20.30. Juga sudah tiga puluh tiga kali ia menelepon dan meng-sms kakaknya itu, namun tidak ada jawaban. Tidak biasanya Daniel belum pulang sampai malam begini. Sebenarnya ia sudah sangat kelelahan dan mengantuk akibat pekerjaan di kafè yang menumpuk, namun ia ingin menunggu kakaknya pulang dulu.
Setengah jam kemudian ia memutuskan untuk menelepon teman-teman Daniel—Daniel sengaja mencatatkan nomor telepon teman-temannya untuk Kiara jika terjadi sesuatu—, tetapi tak seorangpun yang tahu keberadaan Daniel.
Cewek itu mulai putus asa. Airmata menumpuk di pelupuk matanya. Dia takut jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada kakaknya tercinta. Kini tinggal seorang lagi yang belum dihubunginya. Reynaldo Pradana alias Rey.
“ Halo?” setelah beberapa saat menunggu, akhirnya suara Rey terdengar.
“ Kak Rey...” Kiara menelan ludah, “ ini Kiara.”
“ Oh, Kiara. Ada apa?” tanya Rey.
“ Kakak tau nggak Daniel ada di mana? Soalnya dia belum pulang sampe sekarang...” gumam Kiara lirih.
“ Hah? Apa? Danny belum pulang?”
“ Iya. Kakak tau nggak dia di mana?”
“ Waduh, aku nggak tau, Ki. Kamu sendirian di rumah?”
“ Iya, kak...” Kiara terduduk di sofa dengan lemas setelah mendengar jawaban Rey. Tanpa bisa dicegah, ia mulai menganak sungai di pipi.
“ Kamu tunggu bentar, ya? Aku kesana sekarang.” Rey langsung memutuskan sambungan sedetik setelah mengatakan itu. Kiara meletakkan ponselnya di meja. Airmatanya mengalir semakin deras.
Danny, lo di mana?
***
Rey sampai lima belas menit kemudian. Begitu sahabat kakaknya itu tiba, Kiara langsung menghapus airmatanya. Bagaimanapun ia tidak mau kelihatan lemah, apalagi di depan cowok yang disukainya.
“ Danny masih belum pulang juga?” tanya Rey langsung. Kiara menggeleng.
Rey mendesah. Ia mengambil tempat duduk di sebelah Kiara, mengambil ponselnya yang tersimpang di sakunya, lalu menelpon abangnya, Gilang.
“ Ya, Rey?” sapa Gilang dari seberang.
“ Bang, gue nginep di apartemennya Danny. Kiara sendirian. Ntar kalo abang pulang kuncinya gue taruh di bawah pot.” Rey menyahut dengan cepat.
“ Oh, oke.”
“ Ya udah kalo gitu. Assalamualaikum.”
“ Waalaikumsalaam...”
Rey meletakkan ponselnya di meja. Kemudian ia merengkuh Kiara ke dalam pelukannya. Gadis itu langsung berbunga-bunga, namun ketika mengingat Daniel yang sampai sekarang belum diketahui keberadaannya, perasaannya menjadi down lagi.
“ Kamu tenang, ya? Danny pasti pulang. Nggak usah khawatir, ya?” Rey berusaha menenangkan adik sahabatnya tersebut. Kiara mengangguk pelan.
Semoga...
***
Rey memarkirkan mobilnya di tempat parkir kantor BEPIA. Dia baru saja mengantarkan Kiara ke kampusnya. Kebetulan hari ini cewek itu ada jadwal kuliah pagi. Ketika ia akan berjalan menuju ruang kerjanya, ia berpapasan dengan Bowo.
“ Rey, disuruh kumpul di ruang rapat tuh,” ujar Bowo.
“ Hah? Emang ada apa, Wo?” Rey mengerutkan dahinya.
“ Tau tuh Pak Wijaya. Udah, yuk kita kesana,” mereka berdua pun berjalan beriringan. Di ruang rapat sudah banyak para detektif swasta yang berkumpul.
“ Nah, sudah lengkap semua ini pak,” kata Amir, pria 27 tahun berambut keriting yang duduk di pojok ruangan.
“ Oke kalau begitu,” Pak Wijaya selaku pimpinan memulai rapat hari ini. “ Tadi malam, saya mendapat kabar dari Bowo bahwa Daniel tidak pulang ke rumahnya setelah pergi. Rey, apa benar kamu orang terakhir yang melihat Daniel?”
Rey yang ditodong begitu langsung kaget, “ eh, i... iya, pak.”
“ Kamu tahu kemana Daniel pergi?”
Rey menggeleng. “ Kemarin pagi, waktu hanya ada kami berdua di kantor, dia dapat telpon entah dari siapa. Setelah itu dia pergi, katanya ada urusan. Lalu saya nggak tahu lagi.”
Pak Wijaya manggut-manggut. “ Kemarin dia naik apa?”
“ Alphard, pak.”
“ Pak,” Rizal, pria berusia 30 tahun yang duduk tepat di sebelah Bowo mengangkat tangan. Pak Wijaya mempersilahkannya untuk bicara. “ Tapi ini belum 48 jam sejak menghilangnya Daniel. Saya rasa terlalu cepat untuk melakukan pencarian.”
“ Justru kita harus cepat, Zal,” sanggah Pak Indra, asisten Pak Wijaya. “ Bisa jadi Daniel diculik oleh sindikat penjualan organ tubuh. Kita tentunya nggak mau kehilangan dia,” ia mengajukan argumen yang langsung disetujui oleh seluruh peserta rapat tanpa perlu berpikir dua kali. Pak Wijaya menghela napas.
“ Baik, sudah diputuskan, kita akan mencari Daniel. Tentu saja harus ada beberapa orang yang berjaga di kantor,” suaranya terdengar begitu berwibawa. “ Rey, menurut kamu, kemarin Daniel pergi ke arah mana?”
“ Ng...” yang ditanya tampak berpikir, “ kalau nggak salah ke arah barat, pak.”
“ Oke. Indra, Susi, Donita, Darius, Fajar, Muhammad, Adam, Damar, kalian jaga kantor. Yang lain, ikut saya,” komando Pak Wijaya.
“ SIAP!” seru semuanya serentak.
***
Tiga jam sudah operasi pencarian berlangsung, namun belum membuahkan hasil sama sekali. Tim sudah menyisir tempat-tempat yang mungkin dikunjungi oleh Daniel, tetapi yang dicari belum ketemu juga.
Saat ini Rey dan Riley yang berada dalam satu mobil sedang menyisir daerah Jalan Kenanga. Rey yang kebagian mengemudikan mobil langsung menajamkan pandangannya ketika melihat suatu objek yang familier baginya. Ia pun menghentikan mobilnya.
“ Kenapa berhenti?” Riley menoleh, bertanya dengan tatapan bingung.
“ Ley, itu bukannya mobilnya Danny, ya?” bukan menjawab, Rey malah balik bertanya sembari menunjuk ke arah sebuah Alphard hitam dengan nomor plat B 367 AAA yang terletak persis di depan gerbang sebuah gedung. Mata Riley membelalak melihatnya.
“ Iya! Itu dia!” dengan sigap ia meraih car radio walkie-talkie-nya. “ Tim 2 menemukan Alphard hitam, plat B 367 AAA, Jalan Kenanga. Diulangi, tim 2 menemukan Alphard hitam, plat B 367 AAA, Jalan Kenanga.” Katanya cepat.
“ Ley, ayo kita periksa mobil itu,” Rey melepas sabuk pengamannya lalu melompat dari mobil. Secepat kilat ia berlari menuju Alphard hitam tersebut, berharap menemukan sahabatnya di situ. Namun harapan hanya tinggal harapan.
“ Gimana, Rey? Danny ada?” tanya Riley yang baru bisa menyusul Rey beberapa saat kemudian.
Rey menggeleng lemas. Riley menepuk-nepuk bahunya, berusaha membuatnya tenang.
“ Ini semua salah gue,” gumam pria itu dengan penuh sesal, “ andai kemarin gue kepoin kemana dia mau pergi, jadinya nggak bakalan kayak gini. Dia nggak bakalan hilang tanpa ketahuan juntrungannya.” Ia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan.
“ Rey, ini sama sekali bukan salah lo. Mungkin itu urusan pribadinya, jadi dia nggak mau orang lain tau...” kata Riley lembut. Rey menghela napas panjang.
“ Kalo dia emang bener diculik, nggak mungkin dia ada di dalam sana,” gumamnya gelisah, “ penculiknya pasti membuang mobilnya dulu.”
Suara ban mobil yang berdecit tak jauh dari mereka membuat kedua orang itu menoleh. Pak Wijaya dan Markus turun dari mobil.
“ Gimana? Ada Danny?” tanya Pak Wijaya dengan penuh harapan. Riley dan Rey menggeleng pelan. Bahu Pak Wijaya yang semula tegap kini meluruh mendapati anak buahnya yang satu itu belum ketemu juga.
“ Bah! Daniel, kemana pula kau ini?” Markus mengguman dengan logat bataknya yang begitu kental. Ia mulai memeriksa Alphard hitam tersebut. Dengan penuh ketelitian, diamatinya setiap detail interior mobil tersebut.
“ Coba kita periksa ke dalam. Siapa tahu memang ada dia di situ,” perintah Pak Wijaya walaupun ia tahu benar itu tidak mungkin. Riley dengan cepat melompati pagar mendahului ketiga pria di belakangnya.
Riley mempersiapkan kedua kepalan tangannya ketika melihat pintu gedung dalam keadaan terbuka lebar. Gembok yang semula mengunci pintu tersebut rusak, menandakan ada pemaksaan masuk. Ia memasuki dan menelusuri gedung tersebut. Tidak ada tanda-tanda seseorang berada di sini.
“ Gimana, Ley?” suara Pak Wijaya menggema di belakangnya. Riley menoleh dan menggeleng.
“ Nggak ada tanda-tanda orang di sini, pak.”
Rey maju selangkah dari Riley. Ia berjongkok ketika menemukan sebuah benda yang bersinar terkena pantulan cahaya senter. Diambilnya benda tersebut, lalu diamatinya secara seksama. Benda itu berbentuk seperti sebuah peluru, namun lebih pipih dan ada sebuah besi runcing di ujungnya.
“ Ini... ini peluru taser, kan?” ia memperlihatkan benda itu kepada Markus, Riley, dan Pak Wijaya untuk mengonfirmasi bahwa pernyataannya tersebut benar. Markus menjawabnya dengan sebuah anggukan mantap.
Rey mengarahkan senternya ke sekeliling. Matanya membelalak ketika menemukan secarik kain berwarna hitam dengan bordiran huruf ‘D’ di atasnya. Buru-buru ia mengambil kain itu dan mengamatinya. Sesaat kemudian ia mengumpat, “ shit...”
“ Kenapa, Rey? Ada apa?” tanya Riley langsung. Rey menunjukkan potongan kain yang ditemukannya pada ketiga orang di belakangnya.
“ Ini dari jaketnya Danny,” jelasnya, “ saya ingat kemarin dia memakai jaket tersebut ketika akan pergi.”
“ Berarti... benar Daniel diculik?” Pak Wijaya dengan cepat menyimpulkan, walaupun dari nada suaranya bisa diketahui bahwa pria tersebut sedikit ragu atas kesimpulannya.
“ Beta rasa pun begitu, pak,” Markus menyetujui perkataan Pak Wijaya.
“ Saya rasa juga begitu, pak,” tambah Riley, walaupun ia juga agak ragu. Beberapa saat kemudian perhatian mereka teralihkan oleh suara derap kaki yang semakin mendekat ke arah mereka. Tim 3 sampai tim 10 telah datang.
“ Gimana? Danny ada?” Alfa dari tim 4 bertanya.
Rey menghela napas, “ seperti yang lo liat, nggak ada.”
“ Tapi kami—bukan, Rey lebih tepatnya, menemukan ini,” Riley menunjukkan peluru taser dan sobekan jaket Daniel yang kini berada di tangannya. Semuanya langsung bergerombol melihat barang yang ditemukan Rey.
“ Kami menduga Daniel diculik,” Pak Wijaya menambahkan.
“ Eh... pak...” seseorang di barisan belakang mengangkat tangan. Secara otomatis orang yang berada di bagian depan menyingkir, memberi jalan bagi wanita tersebut untuk maju. Ia adalah Risma, salah satu detektif terbaik di BEPIA.
“ Kalau tidak salah, enam belas tahun lalu gedung ini—sebelum diresmikan menjadi gedung pertemuan, tentunya—pernah menjadi tempat penculikan sindikat perdagangan organ tubuh, pak. Sindikat tersebut dulunya juga menggunakan taser serta sobekan dari pakaian korban untuk menandai bahwa korban diculik di sini.” Kata Risma.
“ Tapi bukannya sindikat itu sudah ditangkap pihak kepolisian?” Pak Wijaya menyanggah.
“ Memang. Tapi bisa jadi sindikat itu berdiri lagi.” Riley mendukung cerita Risma.
“ Kalau tidak salah juga, dulu sindikat itu pernah membunuh seorang detektif swasta. Entah siapa namanya.” Risma menambahkan.
Mendengar kalimat Risma, Rey seolah teringat akan sesuatu. Ia memutar otak, berusaha mencari jawaban yang tepat. Dan secara tiba-tiba ia terlempar ke masa lalu.
“ Namanya Rafael Dirgantara.” Rey menyahut cepat. “ Dan dia ayah Daniel.”
Kontan semuanya menoleh ke arah Rey. “ Yang bener lo?”
Pria berusia 25 tahun itu mengangguk. “ Dulu, waktu Daniel masih berumur 8 tahun, ayahnya tewas dikeroyok dan ditembaki oleh anggota geng. Tapi belakangan baru diketahui bahwa geng tersebut adalah anggota sindikat perdagangan organ tubuh yang bos-nya diselidiki oleh Oom Rafael, entah karena tuduhan apa. Lalu anak buahnya balas dendam. Tetapi beberapa minggu kemudian mereka ditangkap. Bisa jadi kali ini mereka melampiaskan dendamnya kepada Daniel.”
“ Jadi... sindikat ini berdiri lagi?” tanya Alfa meyakinkan. Rey mengangguk mantap.
“ Ini berarti kita harus bekerjasama dengan kepolisian,” Pak Wijaya mendesah, tak menyangka kasusnya akan serumit ini. “ Ayo, kita kembali ke markas. Saya akan menghubungi pihak kepolisian.” Ia memimpin seluruh anak buahnya berjalan keluar gedung. Namun, setelah beberapa langkah, ia berbalik dan berkata, “ dan mari berdoa supaya Daniel tetap selamat,” yang diamini seluruh anak buahnya.
Rey mengikuti rombongan tersebut dengan lemas. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana. Ia menggigit bibir, ragu apakah ia akan menyampaikan berita ini kepada Kiara.
Shit. It’s much worse than I think, umpatnya dalam hati. Ia tidak tega menyampaikan berita buruk ini kepada Kiara. Bagaimana reaksi gadis itu jika tahu kakaknya diculik sindikat perdagangan organ tubuh?
“ Rey?” suara Riley memanggilnya. “ Lo nggak apa-apa, kan?”
Rey menggeleng pelan. Riley memperlambat langkahnya, merangkul bahu Rey.
“ Udah, nggak usah sedih begitu. Gue yakin Daniel pasti selamat,” katanya, berusaha menenangkan.
“ Bukan itu masalahnya, Ley,” Rey menoleh ke arah wanita di sebelahnya. “ Gue nggak tau gimana gue harus bilang ke Kiara tentang ini.” Lanjutnya muram.
Riley mengangguk paham. “ Lo ceritain aja yang sejujurnya. Bilang kalo kita bakalan berusaha nyelametin dia.” Sarannya.
Rey menghela napas panjang. Dengan memantapkan hati, ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan langsung menelepon Kiara. Setelah beberapa lama menunggu, akhirnya cewek itu mengangkat teleponnya juga.
“ Ki...”
***
Suasana kantin kampus begitu ramai. Maklum, ini jam makan siang. Banyak sekali mahasiswa yang mampir kesini untuk mengisi perut yang keroncongan selama mata kuliah berlangsung.
Di suatu sudut duduklah Diandra, Kiara, Karina, Gabriel, Bella, Alya, dan Callista. Di depan mereka tersedia makanan serta minuman yang mereka pesan. Namun hari ini ada yang lain dari Kiara. Biasanya, pada jam makan siang seperti ini dialah yang paling semangat makan, tetapi kali ini ia hanya melamun sambil mengaduk-aduk gado-gado yang dipesannya dari Bu Muhto. Di pikirannya hanya ada satu hal: Daniel belum pulang-pulang sampai sekarang.
Gabriel menepuk bahunya keras, membuatnya tergeragap. “ Kenapa, Ki? Danny belum pulang?” tanyanya lembut.
Kiara menggeleng. “ Belum,” ia menjawab dengan lesu. “ Kira-kira dia kemana, ya? Ditelpon juga kagak diangkat, di-sms kagak dibales.”
“ Paling juga lagi sama Nadya,” celetuk Diandra tajam. Kontan Kiara menoleh ke arahnya dengan tatapan tajam setajam silet.
“ Nggak segitunya juga kali, Di,” sahutnya sewot. Alya langsung menepuk-nepuk punggung tangannya, berusaha menenangkan.
“ Mungkin dia pergi kemana, gitu, terus lupa pamit,” Karina mengajukan sebuah alasan untuk menghindari pertengkaran diantara Kiara dan Diandra.
Kiara menggeleng, “ impossible. Daniel selalu pamit ke gue walaupun dia cuma mau pergi ke tetangga sebelah,” bantahnya.
“ Ya kali aja dia lupa,” Karina masih tetap keukeuh dengan alasannya.
Baru saja Kiara akan mengatakan sesuatu ketika intro lagu ‘Days Are Forgotten’ yang memang disetel dengan volume tinggi menyela. Cewek itu dengan cepat mengambil ponselnya. Matanya berbinar ketika melihat caller ID-nya. Langsung saja ia mengangkat telepon.
“ Ki...” panggil suara di seberang sana.
“ Iya, Kak Rey, ada apa?” dahi Kiara berkerut mendengar nada suara Rey yang tak seperti biasanya. Muram dan sedih.
“ Hmm... duh, gimana gue bilangnya, ya...” Rey mendesah. Walaupun tidak melihat wajah tampannya secara langsung, Kiara tahu bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. Hal tersebut bisa ditebak dari suara Rey yang muram.
“ Ada apa, kak? Is something bad happened?” todong Kiara langsung.
Terdengar suara Rey menelan ludah. “ Ki...” ia mengambil jeda dengan menarik napas, “ Danny diculik sama sindikat perdagangan organ tubuh. Dan menurut dugaan kami, itu sindikat yang udah membunuh ayah lo juga.”
Mendengar itu, sekujur tubuh Kiara langsung melemas. Ponselnya terjatuh dari genggamannya, membuat teman-temannya kaget. Tetapi dengan cepat ia bisa kembali menguasai diri. Diambilnya ponselnya yang terjatuh, lalu ditempelkannya kembali di telinga.
“ Ki? Tadi apa...”
“ Nggak apa-apa, kak,” potong Kiara cepat. “ Lantas, gimana?”
“ Kami akan bekerjasama sama pihak kepolisian, Ki,” jawab Rey. “ Kamu tenang, oke? Doakan supaya Danny selamat. Kami bakalan berusaha sekeras mungkin untuk menemukan dia.”
“ Iya, kak.” Ujar Kiara dengan suara bergetar. Kemudian tanpa persetujuan dari Rey, ia langsung memutus sambungan telepon. Kemudian ia memasukkan ponselnya ke saku celana.
“ Ada apa, Ki?” Callista bertanya dengan hati-hati. “ Apa...”
“ Daniel diculik,” jawab Kiara. Airmata mulai mengalir menuruni pipinya, “ sama sindikat perdagangan organ tubuh.”
Keenam sahabatnya langsung shock mendengar jawaban cewek itu, terlebih Diandra. Ia merasa jantungnya copot begitu mendengarnya.
Danny... diculik?
***
Kiara berdiri di depan kediaman milik Radit dan Gabriel. Sebuah ransel besar tergeletak di sampingnya. Ia mengetuk pintu depan. Sekali, tidak ada sahutan. Dua kali, nihil. Sampai akhirnya untuk yang ketiga kalinya, barulah pintu dibuka. Gabriel muncul dengan wajah yang fresh.
“ Sorry, ya, Ki. Gue baru mandi, nih,” ia meminta maaf. “ Harusnya lo masuk aja langsung, nggak perlu nungguin gue.”
Kiara menggeleng. “ Nggak sopan. Meskipun gue ini sahabat lo, nggak berarti gue bisa seenaknya begitu.”
Gabriel tersenyum manis mendengar jawaban temannya. “ Ya udah. Yuk, masuk.” Ia mempersilahkan Kiara masuk ke dalam rumah.
Kiara mengedarkan pandangan ke seluruh ruang tamu. Dindingnya berwarna hijau muda. Dengan sofa berwarna hijau tua dan korden hijau pastel, suasana di ruangan ini begitu segar dan damai.
“ Ah, asyik. Jadi ada temennya, nih. Nggak berdua-dua sama Fabio mulu,” gumam Gabriel kegirangan. “ Ntar lo tidur di kamar gue, ya, Ki. Biar gue tidur di kamar Radit bareng Fabio.”
“ Iya deh, terserah lo aja. Disuruh tidur di sofa gue juga mau, kok,” canda Kiara. Gabriel tertawa, sementara Kiara hanya bisa tersenyum tipis. Kemudian mereka berdua menaiki tangga menuju kamar Gabriel.
Setelah Pak Wijaya menyimpulkan bahwa penculikan Daniel dilandasi dengan motif balas dendam serta ada kemungkinan bahwa Kiara juga diincar, ia menyuruh Rey dan Riley untuk memproteksi cewek itu. Tetapi karena tidak mungkin mereka bisa mengawasi 24 jam penuh, maka mereka menyuruh Kiara untuk mengungsi sementara di rumah temannya agar dia tidak sendirian di apartemen sampai Daniel ditemukan. Gabriel dengan senang hati langsung menawarkan. Ia senang jika ada seseorang yang menemaninya di rumah, karena jujur saja, ia kesepian walaupun ada Fabio. Kiara pun mengiyakan dan jadilah ia menumpang di rumah Gabriel dan Radit.
Gabriel dan Kiara segera turun ke ruang keluarga sehabis menata pakaian Kiara di kamar. Baru saja mereka duduk, suara tangis Fabio terdengar dari kamar Radit. Gabriel langsung berdiri lalu berjalan setengah berlari menuju kamar Radit. Lima menit kemudian barulah ia keluar sambil menggendong Fabio.
“ Kenapa, Gab? Laper?” tanya Kiara.
“ Nggak. Ngompol,” Gabriel menjawab sambil membelai-belai rambut bayi laki-laki berumur dua bulan tersebut.
“ Sini, Gab, gue pengen gendong,” Kiara mengulurkan kedua tangannya. Dengan penuh kehati-hatian Gabriel menyerahkan bayinya kepada Kiara. Bibir Fabio bergerak-gerak begitu ia berada dalam gendongan sahabat ibunya.
Kiara tersenyum, “ halo, Bio... kenapa nangis? Habis ngompol, ya?” tanyanya seolah Fabio bisa menjawab pertanyaannya.
“ Iya tante...” Gabriel menjawab dengan suara melengking, berpura-pura itu adalah suara Fabio sendiri. Mendengar itu, Kiara tertawa.
“ Nah, gitu dong, Ki. Ketawa dikit. Jangan murung melulu,” celetuk Gabriel yang sedetik kemudian disesali oleh dirinya sendiri karena Kiara kembali murung.
“ Gimana gue nggak murung, Gab,” desah Kiara lirih, “ abang gue satu-satunya diculik. Mending kalo penculik biasa. Tapi ini sindikat perdagangan organ tubuh, Gab... sama dengan sindikat yang ngebunuh papa gue dulu...”
Gabriel merangkul sahabatnya dengan erat. Kiara mulai menangis.
“ Gue nggak mau kehilangan Daniel. Dia kakak gue satu-satunya, Gab. Cuma dia satu-satunya yang gue punya sejak mama dan papa gue nggak ada. Okelah, gue udah ikhlas kalo mama sama papa gue diambil sama Yang Maha Kuasa. Tapi gue nggak bakalan rela kalo Danny yang harus diambil dari gue...”
“ Ki...” bisik Gabriel. Dia juga ikut-ikutan menangis mendengar kisah hidup sahabatnya yang pedih. Dalam hatinya ia bersyukur karena ia tidak ditakdirkan untuk melewati fase kehilangan kedua orangtua di usia yang masih sangat belia seperti Kiara.
“ Kalo Daniel harus pergi dari gue, terus gue mau hidup sama siapa? Gue nggak punya siapa-siapa lagi. Ya memang ada Oom Alex sama Tante Widya, tapi ngerepotin mereka yang udah tua di usia gue yang udah menginjak dua puluh tahun ini rasanya nggak enak...”
“ Ki,” Gabriel menepuk-nepuk bahu Kiara dengan agak keras, “ lo harus yakin sama usaha Kak Rey dan teman-teman abang lo di BEPIA, plus pihak kepolisian. Gue yakin mereka bisa meringkus sindikat tersebut sama nyelamatin Danny. Ya?”
Kiara tak menjawab, hanya mengangguk. Kemudian mereka berdua terdiam.
***
Rasa pusing yang amat sangat langsung menyerang Daniel ketika perlahan-lahan ia membuka kedua kelopak matanya. Ia mendapati dirinya sedang berada di sebuah ruang yang sempit dan gelap tanpa penerangan. Ia berusaha menegakkan tubuhnya, namun ia langsung berhenti ketika rasa sakit menjalari sekujur tubuhnya. Tulang-tulangnya terasa kaku tak bisa digerakkan. Pergelangan tangan dan kakinya juga sakit karena diikat dengan sangat kencang. Mulutnya disumpal dengan kain bekas. Sejurus kemudian ia merasakan seseorang menjambak rambut hitamnya dengan kuat dan menghantamkan kepalanya ke sesuatu yang berada di belakangnya.
JDUAK!!!
Pandangan Daniel langsung berkunang-kunang. Ia hampir saja kembali ke alam bawah sadarnya ketika sebuah tangan menampar pipinya.
“ Bangun, woy! Enak aja lo tidur,” itu suara Rossa. Daniel langsung menghadiahinya sebuah tatapan tajam menusuk yang dibalas dengan bogeman mantap yang telak mengenai pipi kanannya. Cowok itu bisa merasakan rasa darah yang anyir di mulutnya.
“ Bar, lo jagain dia di belakang sini. Gue sama Kevin di depan,” titah Rossa pada dua pria yang berdiri di belakangnya. Pria yang dipanggil ‘Bar’ mengangguk menyetujui, tetapi sepertinya pria yang dipanggil Kevin tampak keberatan.
“ Gak, gak. Lo sama Bara di depan. Gue jagain dia di belakang,” Kevin menunjuk Daniel dengan dagunya. Rossa melengos.
“ Sorry, Vin. Tapi buat urusan yang ini kayaknya gue gak bakal mercayain si Dirgantara ini ke lo. Lo nggak bakalan objektif kalo bareng dia.” Tolak Rossa.
“ Oke, kalo gitu. Gue nggak ikut.” Dengan lemah gemulai Kevin berbalik, bersiap meninggalkan Rossa dan Bara. Buru-buru Bara mencekal tangan temannya itu.
“ Aah, lo Vin. Sensi amat kayak cewek PMS,” Bara menggerutu dengan suara rendah. “ Ya udah sono, lu temenin Dirgantara bangsat ini. Biar gue sama Rossa di depan.”
Sebenarnya Daniel geram mendengar nama keluarganya disebut-sebut dengan embel-embel ‘bangsat’ di belakangnya. Jika saja tangan dan kakinya tidak terikat seperti pocong begini, ia pasti sudah menghabisi Bara, Kevin, dan Rossa dengan kemampuan beladirinya. Alhasil ia hanya bisa melemparkan tatapan tajam setajam-tajamnya kepada Kevin ketika pria itu duduk di sebelahnya. Kevin malah membalasnya dengan senyuman manis nan menggoda. Dan pada saat itulah Daniel tersadar bahwa orang di sebelahnya ini malah lebih berbahaya dari kedua temannya yang duduk di depan.
Oh, God. Dia hombreng.
“ Vin!” suara Bara yang nge-bass abis kembali terdengar, membuat perhatian Kevin teralih kepada temannya tersebut. “ Kalo dia tidur, jedotin aja kepalanya!”
“ Oke,” Kevin berujar santai sambil mengacungkan kedua jempolnya seolah ia sudah biasa melakukan hal tersebut. Mendengar itu, Daniel langsung was-was. Ia bersiap menghadiahi Kevin dengan tatapan tajamnya lagi, namun urung ketika cowok itu menoleh dengan gemulai ke arahnya dan membisikkan sesuatu.
“ Relax,” walaupun tidak melihat wajah musuhnya, Daniel tahu Kevin sedang tersenyum, “ I won’t do that to you, Danny. Aku nggak kayak mereka.” Tahu-tahu sumpalan di mulut Daniel terlepas. “ Kamu bebas ngomong apa aja, asalkan nggak keras-keras. Kamu juga boleh tidur, tapi kalo Rossa sama Bara tau, aku bakalan pura-pura jedotin kepala kamu dan kamu harus bangun. Understand?”
Daniel menjawabnya dengan sebuah anggukan. Kevin kembali tersenyum. Kali ini dia melonggarkan ikatan di tangan Daniel. Daniel menghela napas lega, tetapi sedetik kemudian ia meringis karena pergelangan tangannya terluka akibat ikatan yang super kencang.
“ Tangan kamu lecet. Nanti kalo udah sampe di tempat tujuan bakalan kukasih obat,” bisik Kevin lagi.
“ Makasih,” walaupun Kevin berstatus sebagai musuhnya, Daniel merasa bahwa ia harus berterimakasih atas apa yang dilakukan cowok itu padanya.
Kevin mengangguk. “ No problem,” ia memberikan bonus sebuah kerlingan mata yang kontan membuat Daniel agak risih. Bagaimanapun ia masih normal. Tapi Daniel merasa ia tak perlu khawatir Kevin akan melakukan hal yang aneh-aneh padanya.
Bara melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Pria itu benar-benar ugal-ugalan. Ia tetap saja melaju kencang meskipun tahu di depannya ada sebuah lubang besar menghiasi jalanan beraspal tersebut, mengakibatkan Daniel dan Kevin yang kebagian duduk di belakang van tergoncang-goncang. Kepala Daniel kembali menghantam bodi van sehingga ia kembali merasa pusing.
“ Bar! Kampret lo, kepala gue sakit nih!” teriak Kevin marah. Kalau sedang marah begini, Kevin gahar seperti pria tulen. Namun jika sedang biasa saja, ia lemah lembut seperti wanita. Bara cuma nyengir.
“ Sorry, Vin. Udah kebiasaan sih, hehehe,” ujarnya tanpa merasa bersalah. Rossa tertawa, sementara Kevin misuh-misuh.
“ Kamu nggak apa-apa?” tanya Kevin pelan kepada Daniel.
“ Nggak apa-apa,” jawab Daniel berbohong. Ia tak mau kelihatan lemah di depan musuhnya. Tetapi Kevin bisa mengendus kebohongan itu.
“ Nggak usah bohong. Kamu pasti pusing. Aku yang baru kejedot sekali aja udah pusing, apalagi kamu yang udah dua kali,” ia menyanggah pernyataan Daniel, “ udah, sana tidur.”
Daniel tak bisa menolak lantaran Kevin sudah mendorong kepalanya sehingga menempel di sudut van. Lagipula ia juga mengantuk. Jadilah perlahan-lahan matanya mulai terpejam. Namun ia langsung terbangun ketika dengan gerakan cepat secepat ninja Kevin memindahkan kepalanya ke bahunya.
“ Di sini aja. Seenggaknya lebih nyaman,” bisik Kevin tanpa menoleh. “ Tidur aja dulu. Ntar kalo udah mau nyampe aku bangunin.”
Walaupun Daniel merasa semakin risih, tapi sepertinya ia tak punya pilihan lain. Thanks, God, ujarnya dalam hati.
***
“ Dan, bangun. Kita udah nyampe.”
Daniel merasakan bahunya diguncang-guncang oleh seseorang. Ia pun segera terbangun dari tidurnya. Setelah berhasil mengumpulkan nyawa, ia kembali teringat bahwa saat ini ia sedang berada di belakang sebuah van bobrok dengan tangan dan kaki terikat. Ia menegakkan tubuhnya dan meringis ketika lagi-lagi rasa sakit menyerang sekujur tubuhnya.
“ Ayo, kita udah nyampe.” Kevin kembali menyumpal mulut Daniel dan mengencangkan ikat tangannya sedikit. Tiba-tiba pintu belakang van dibuka dan tampaklah Bara dan Rossa yang menatap mereka dengan wajah curiga.
“ What?” ditatap seperti itu, Kevin jadi risih. Rossa maupun Bara tidak menjawab, hanya mengedikkan bahu sesaat kemudian menarik Daniel keluar dari van dengan kasar.
“ Be careful, Bara. His hands are wounded,” Kevin berkata dengan nada tidak senang.
“ Who the hell is care?” balas Bara dengan nada menyebalkan. Daniel tahu betul bahwa Kevin sebenarnya sangat ingin melumat Bara tanpa perlu menoleh.
Saat ini mereka berempat berada di sebuah hotel yang telah terbengkalai. Bara terus menarik Daniel masuk. Kemudian mereka naik lift menuju lantai sebelas.
Berbeda dengan lantai-lantai di bawahnya yang tampak masih bagus dan terang, lantai sebelas ini tampak sangat tidak terawat. Dindingnya bolong-bolong plus dihiasi beberapa retakan yang lumayan besar. Keramiknya pecah-pecah. Jika ada orang yang berjalan di atasnya tanpa menggunakan alas kaki, bisa dipastikan kaki orang tersebut akan mengalami luka. Ditambah dengan penerangan yang minim, lantai sebelas ini sangat mirip dengan kondisi rumah di game‘The House’. Beberapa kali Daniel tersandung akibat pecahan keramik yang mencuat dan tarikan Bara yang sangat keras.
“ Bar! Pelan-pelan, ‘napa?” seru Kevin kesal.
“ Heh, Vin, ngapa lo yang protes? Toh Dirgantara bangsat ini juga nggak apa-apa,” omel Rossa.
Gue sebenernya mau banget matahin leher lo dan Bara, terus mayat lo berdua gue buang ke Kali Ciliwung. Tapi apa daya gue nggak bisa, marah Daniel dalam hati. Kupingnya semakin panas kala lagi-lagi nama keluarganya disebut dengan embel-embel ‘bangsat’ di belakangnya.
Akhirnya setelah lima belas menit berjalan, Bara, Daniel, Rossa, dan Kevin sampai di sebuah ruangan yang besar dan luas. Daniel menduga bahwa ruangan itu dulunya digunakan sebagai aula. Di sana banyak sekali orang-orang berwajah sangar dengan pakaian ala penjahat. Begitu mereka berempat datang, seluruh tatapan tertuju kepada Daniel.
“ Done yet,” Rossa nyengir sambil menunjuk Daniel dengan dagunya.
“ Great, Rossa.” Seorang pria muncul dari kerumunan di aula tersebut. Ia menatap Daniel dengan penuh dendam.
“ Lu pasti masih ingat gue, kan, Daniel Dirgantara?” tanyanya sinis sambil menekankan kata ‘Dirgantara’. Daniel balas menatap pria itu dengan tajam. Ia berusaha mengingat-ingat identitas sosok di depannya ini. Melihat reaksi Daniel, pria itu berdecak.
“ Oke, gue rasa lo nggak bakalan inget,” katanya lagi. “ Gue Dharmawan Abimanyu, orang yang pernah bokap lu selidiki atas tuduhan membawa kabur seorang gadis. Terus tuduhan itu terbukti, dan akibatnya gue harus pisah sama isteri gue. Kemudian gue nyuruh anak buah gue buat bales dendam...”
Mata Daniel melebar mendengar perkataan Dharma. Mendadak saja masa lalunya seolah berputar di depan matanya. Mulai dari peristiwa meninggalnya sang mama hingga peristiwa penembakan yang menewaskan papanya tercinta. Kali ini Dharma tertawa melihat reaksi Daniel.
“ Udah inget, kan?” tanyanya di sela-sela tawanya. “ Gue rasa balas dendam sama bokap lu kagak cukup. Gara-gara dia, gue harus kehilangan isteri gue yang paling gue cintai!”
Dharma menendang perut Daniel sehingga ia terjungkal. Punggungnya menghantam lantai dengan sangat keras, membuatnya mengaduh kecil. Kemudian Dharma menginjak dadanya dengan sepatu bot-nya yang bersol tebal.
“ Gue rasa gue juga harus balas dendam sama lo,” ucapnya dingin. Matanya berkilat-kilat, menunjukkan rasa dendam dan benci yang mendalam. Perlahan ia mengangkat kakinya dari dada Daniel.
“ Dan juga adik lo,” lanjutnya, “ gue rasa dia bisa jadi budak gue.”
Mata Daniel nyalang mendengarnya. Dengan kasar ia bangkit dan berusaha menyundul dagu Dharma, tetapi usaha tersebut digagalkan oleh bogeman Bara yang mendarat di perutnya. Ia kembali terjungkal.
“ Bawa dia pergi,” perintah Dharma, kemudian ia kembali masuk ke aula. Sementara Bara memaksa Daniel berdiri lalu menyeretnya pergi diikuti Rossa dan Kevin.
Ya Allah... jangan Kiara, bisik hati Daniel.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top