Two Worlds Apart (Three)

Cuaca di siang bolong yang menyengat ditambah dengan ocehan dosen yang monoton membuat perut jadi keroncongan dan mata digelayuti rasa kantuk yang amat sangat. Kudapati sebagian besar mahasiswa di sini sibuk dengan urusan masing-masing ketimbang memperhatikan Pak Dirman yang sedang menerangkan materi. Bahkan Don, cowok indo yang tampangnya mirip dengan Eddie Cahill sampai tertidur di bangkunya yang terletak di pojok ruangan. Oke, aku mengaku bahwa aku salah satu dari mereka. Sedari tadi tak ada satupun kata yang masuk ke otakku karena pikiranku melenceng ke arah lain.

Namaku Kiara Dirgantara, umurku dua puluh tahun. Aku adalah anak dari pasangan Rafael Dirgantara dan Revanya Soedibyo yang pernikahannya tidak disetujui oleh kedua orang tuanya. Aku mempunyai seorang kakak bernama Daniel Dirgantara yang lebih tua empat tahun dariku. Mamaku meninggal saat aku baru berumur dua tahun, lalu disusul oleh papa yang juga meninggalkan kami dua tahun kemudian. Setelah itu kami diasuh oleh Oom Alex dan Tante Widya, sahabat papa dan mama karena baik di pihak Keluarga Dirgantara maupun Keluarga Soedibyo tak ada yang mau mengasuh kami. Baik aku maupun Danny—panggilanku kepada Daniel—sih oke-oke saja. Sekeras apapun mereka menolak kami, mereka tidak akan pernah bisa menyangkal bahwa di tubuh kami mengalir dua darah, yaitu darah Keluarga Dirgantara dan darah Keluarga Soedibyo.

Tapi bukan itu yang membuatku galau. Aku galau karena Danny, kakakku yang jelek itu—eh, nggak, ding. Danny nggak jelek. Ganteng banget malah. Jika dilihat secara seksama, wajahnya mirip sekali dengan Fabio Ide, model blasteran Brazil-Jepang yang bodinya greget dan seksi abis itu. Aku bahkan pernah menghayal bahwa Danny sebenarnya adalah anak hasil hubungan gelap mamaku dengan Fabio (yang nggak mungkin banget. Bayangkan saja, mamaku lahir tahun ’68, sementara Fabio masih muda banget). Kadang aku juga berpikir mengapa Danny tidak jadi model saja. Kan menjadi model tidak beresiko tinggi seperti menjadi detektif swasta.

Okelah, back to topic. Sudah dua hari kakakku yang ganteng itu menghilang. Dan setelah dicari oleh Kak Rey—sahabat Danny yang ganteng dan keren abis serta mampu membuat jantungku seolah mau naik ke tenggorokanku—dan rekan-rekannya di BEPIA, Danny diculik oleh sindikat perdagangan organ tubuh yang telah menewaskan ayahku enam belas tahun lalu. Bagaimana aku tidak sedih? Di masa kecilku aku harus hidup tanpa kedua orang tua kandungku. Kini kakakku, satu-satunya keluarga yang kumiliki juga terancam akan meninggalkanku. Ditambah kata Kak Rey ada kemungkinan aku juga diincar oleh mereka. Enak saja, dikiranya aku semudah itu apa untuk ditangkap? Salah besar! Huh, kalau saja mereka sudah ditangkap, aku akan memutilasi mereka, lalu dagingnya akan kuberikan kepada Sumanto—manusia kanibal yang dulu sempat menjadi topik fenomenal di Indonesia—dan sisanya akan kuberikan pada anjing tetangga. Kalau bisa.

Sialan. Aku jadi marah betulan. Oh, rasanya ingin sekali melempar meja atau kursi entah ke siapa dan...

“ Kiara, kamu mengerti apa yang saya jelaskan?” suara Pak Dirman yang sangar menggema ke seluruh ruangan. Aku mendongak dan mendapati tatapan tajam ala Pak Dirman tertuju kepadaku.Shit. Seharusnya jika ingin melamun, aku harus memperhatikan sikon dulu. Pak Dirman bukanlah tipe orang yang mudah memaafkan jika salah seorang muridnya terang-terangan tidak memperhatikannya. Kuedarkan pandangan sekilas ke seluruh ruangan. Wajah para mahasiswa yang sebelumnya mengantuk kini menjadi tegang. Begitu juga dengan Don, yang mendadak menjadi segar bugar.

“ Kamu itu kalo belum pinter jangan sok-sokan begitu. Belagu banget, pake nggak memperhatikan dosen segala,” ya, seperti yang sudah-sudah, Pak Dirman akan memberikan ceramah panjang lebar. Sebenarnya aku ingin sekali berdiri dan berkata, “ ngaca dulu, dong, pak! Bapak itu kalo ngajar monoton banget. Tadi Don juga ketiduran di pojokan dengerin ceramah bapak!”, tetapi aku menahan diri. Bisa berabe kalau aku kelepasan. Bisa-bisa aku dikeluarkan dari kampus.

“ Sebagai hukuman, keluar dari kelas sekarang!” perintah Pak Dirman. Aku hanya bisa pasrah. Akhirnya, aku keluar dari kelas dengan wajah bete.

                                                            ***

Begitu keluar dari kelas, aku langsung ngacir menuju kantin. Karena belum jamnya makan siang, kantin tidak begitu ramai. Cenderung sepi malah. Di salah satu sudut terdapat sekumpulan cowok-cowok terkeren dan terpopuler di kampus ini. Mereka sedang melahap bakso dengan kompak. Ingin juga aku nyamperin mereka, tapi takut dikira SKSD.

Aku memutuskan untuk duduk di salah satu bangku tengah. Kubuka tas-ku dan kuambil novel yang dibelikan Danny minggu lalu. Yah, kakakku itu memang nggak pernah pelit. Sebenarnya minggu lalu aku sudah mempersiapkan uangku sendiri untuk membeli novel, tetapi ia menyuruhku untuk menyimpan uangku. Aku membeli lima novel romance dan misteri, sementara ia membeli komik Conan serta dua novel Sherlock Holmes. Ah, abangku itu memang baik sekali.

“ Sendirian?”

Suara seseorang yang nge-bass abis mengagetkanku di sela-sela keasyikanku membaca buku. Aku menoleh dan tampaklah seorang cowok bermata cokelat, berambut hitam pekat, serta memakai jaket hoodie biru dengan strip putih sedang duduk di depanku. Ia tersenyum manis kepadaku. Aku pun menutup bukuku.

“ Kelihatannya gimana?” aku balas bertanya. Cowok itu tertawa kecil.

“ Kelihatannya sih, sendirian,” jawabnya pelan. “ Tapi siapa tahu temanmu lagi ke kamar mandi atau gimana.”

Aku tersenyum, “ yah, aku sendirian.”

“ Nggak ada mata kuliah?”

Aku mendesah, “ aku barusan dikeluarin dari kelas.”

Cowok itu menatapku prihatin, “ emang kenapa?”

“ Aku ngelamun.”

Kudengar cowok itu tertawa lagi. Kemudian ia sedikit memiringkan kepalanya, membuatnya terlihat makin cute. Ah! “ Ngelamunin apa?” tanyanya penuh selidik.

“ Kepo, deh.” Jawabku singkat. Cowok itu kembali tersenyum.

“ Oh, ya, omong-omong kita belum kenalan,” ia mengulurkan tangannya yang besar kepadaku. “ Samuel Cortez. Panggil aja Sam.”

Aku pun menjabat tangannya, “ Kiara Dirgantara, panggil aja Kiara.”

Kami pun terlibat dalam obrolan yang seru. Sam adalah cowok yang humoris dan menyenangkan. Walaupun kata Danny jangan gampang percaya dengan orang yang baru dikenal, sulit rasanya mencurigai atau membayangkan bahwa Sam adalah penjahat yang bisa membahayakan hidupku.

Tetapi ketika aku mengobrol dengan Sam, entah mengapa aku merasa seseorang sedang mengawasiku, entah dari mana. Ketika aku mendongak, aku mendapati seorang pria berpakaian serba hitam duduk di bangku di sudut ruangan. Pandangan kami bertemu. Dan kurasa aku mengenali pria itu...

Kak Rey?

                                                            ***

Secepat kilat aku memalingkan wajah dari tatapan cewek itu. Aku tidak mau ia mengetahui bahwa diam-diam aku mengawasinya. Yah, bukannya aku tidak mempercayai Gabriel dan sahabat-sahabatnya yang lain, aku hanya ingin memastikan dia benar-benar aman, terlindungi dari segala ancaman maupun serangan sindikat sialan itu.

Sebenarnya aku curiga kepada pria yang mengaku bernama Samuel Cortez itu. Di mataku setiap gerak-geriknya terasa begitu mencurigakan, entah kenapa. Dan aku merasa sedikit... cemburu?

Ah, entahlah. Sejujurnya aku tak tahu bagaimana perasaanku yang sebenarnya kepada Kiara. Di satu sisi, aku menyayanginya seperti kasih sayang kakak kepada adiknya. Sementara di sisi lain, aku juga menyayanginya seperti kasih sayang pria kepada wanita. Membingungkan, bukan?

Untunglah dering ponselku menyelamatkanku dari pemikiran yang rumit. Nama Riley terpampang di layar. Aku berdiri dan berjalan menjauh, lalu mengangkat telepon.

“ Halo.”

“ Rey, gimana Kiara?” tanya Riley dari seberang sana.

“ Baik-baik aja. Tapi gue curiga sama cowok yang sekarang lagi ngobrol sama dia.” Aku merendahkan volume suaraku.

“ Siapa?

“ Dia ngaku sebagai Samuel Cortez.”

“ Ciri-ciri?

“ Ng...” aku menoleh ke arah Kiara dan Samuel, “ rambut model spike warna hitam, dagu lancip, bibir tipis, mata cokelat, hidung mancung.”

“ Wait a minute, Rey... coba gue cari...” sambungan pun diputus. Namun tak sampai dua menit kemudian, ada MMS masuk dari Riley. Rupanya ia mengirimkan foto seorang pria yang mirip sekali dengan Samuel Cortez. Hanya bedanya, di foto rambutnya gondrong.

Gmn? Mirip ga? Gw dikasih fotonya sm Pak Wijaya...

FYI, ini Anthony Gerrard, slh satu anggota sindikat itu.

Langsung kuketik pesan untuk membalasnya.

Mirip bgt. Mereka bnr2 ngincer Kiara. Code red.

Beberapa saat kemudian datanglah balasan dari Riley.

Awasi trs. Kita lihat langkah mereka slnjtnya.

Aku memasukkan ponselku ke saku, lalu kembali menatap Kiara dan Samuel Cortez a.k.a Anthony Gerrard.

I’m watching you, Anthony Gerrard...

                                                            ***

Lagi-lagi aku terbangun dalam kegelapan.

Bukannya aku takut, hanya saja aku benci sekali dengan yang namanya kegelapan. Kegelapan membuat diriku, seorang manusia biasa dengan penglihatan biasa tidak bisa melihat apapun. Kegelapan membuatku tidak bisa mengenali wajah tersangka pembunuh ayahku dengan baik.

Sungguh, aku merasa sangat tidak berguna jika teringat kejadian itu. Aku tidak bisa menolong ayahku sendiri. Bahkan aku tidak bisa membantu polisi dalam pencarian para tersangka.

Tetapi sesungguhnya, di ruangan berukuran 3x3m tempatku disekap ini tak terlalu gelap juga. Ada cahaya masuk dari sebuah ventilasi kecil di tembok sebelah kanan. Sayang sekali cahayanya tidak sampai menjangkau tempatku.

Sejak insiden aku hampir menyundul si Dharma bangsat kemarin, di sinilah aku, terduduk dengan kedua tangan terborgol di kaki kursi dan mulut disumpal kain bekas yang rasanya seperti oli—sebenarnya aku tidak tahu pasti bagaimana rasa oli. Aku belum pernah meminumnya.

Sedari kemarin aku memikirkan Kiara, adik semata wayangku yang tersayang itu. Aku takut jika Dharma benar-benar mengincarnya. Tapi aku tahu bahwa Rey, Riley, teman-teman di BEPIA, plus sahabat-sahabatnya akan menjaganya. Kadar kekhawatiranku berkurang sedikit.

“ Pssst, Danny!”

Panggilan seseorang membuatku menoleh. Wajah Kevin nongol di ventilasi, membuatku terbelalak kaget. Ia tertawa tertahan.

 “ Aku jatuhin, ya.” Tanpa aba-aba kresek hitam tersebut meluncur turun dan mendarat mulus tepat di sampingku. Ketika aku mendongak lagi, Kevin sudah tidak ada. Kemana perginya tuh anak?

“ Lo istirahat dulu sana, biar gue yang jagain dia.” Tiba-tiba terdengar suara berat dari balik pintu. Aku yakin itu suara Kevin. Dan dugaanku benar, beberapa saat kemudian ia masuk dengan cengiran lebar di wajahnya. Dengan segera ia melepaskan sumpalan di mulutku dan borgol di kedua tanganku.

“ Kamu mau ngapain di sini?” tanyaku heran.

“ Bawain kamu makanan,” jawabnya santai. Ia duduk di lantai, lalu mengeluarkan lilin dan korek api dari saku jeans-nya. Setelah itu ia mengeluarkan sebuah bungkusan dari kresek yang tadi dijatuhkannya.

“ Nih, nasi padang. Enak lho,” ia menyodorkan bungkusan itu padaku dan kuterima dengan senang hati. Dari kemarin aku belum makan, jadi wajar saja kalau aku lapar.

“ Makasih, Vin.” Aku tersenyum simpul.

“ Sama-sama.”

Awalnya kami diam-diaman. Suasana pun jadi canggung. Karena tak betah lagi, akhirnya aku mengajukan sebuah pertanyaan yang sedari awal kupendam.

“ Vin, kenapa kamu baik banget ke aku?”

Kevin yang sebelumnya asyik menatap ke arah langit-langit langsung menoleh. “ Emang salah kalo aku baik ke kamu?” ia balik bertanya dengan nada heran.

Aku mengangkat sebelah alis, “ ya nggak, sih... nggak salah. Tapi aku yakin ini bukan perlakuan yang biasanya diterima korban penculikan, kan?”

Kevin terdiam. Sepertinya ada sesuatu yang tidak ingin dikatakannya. Suasana kembali menjadi canggung.

“ Vin...”

“ Sebenernya aku nggak mau menjalani kehidupan yang kayak gini,” Kevin menekuk kedua kakinya, lalu menumpukan kedua tangannya di atas lutut. “ Aku pengen jadi orang yang hidupnya normal, nggak penuh kriminal seperti ini.”

Ia berhenti berbicara. Aku menatapnya dengan rasa kepo—penyakit terparahku—yang mulai muncul. Kevin tertawa kecil.

“ Kayaknya kamu kepo banget, ya?” todongnya langsung.

“ Hehehe, iya. Sorry, my bad.” Ujarku tak enak hati. Kevin tertawa.

“ Nggak usah sungkan,” katanya, “ beneran mau dengerin ceritaku?”

“ Kenapa nggak?”

Kevin kembali tertawa, namun hal tersebut tak berlangsung lama. Wajahnya kembali muram. Karena ia tak kunjung bicara, kekepoanku jadi semakin parah.

“ Mamaku nggak berasal dari keluarga baik-baik. Ortunya cerai, terus beliau ikut sama papanya alias kakekku,” Kevin memulai ceritanya, “ yah, kamu tau kan, Dan, kerjaan anak broken homeyang nggak dapet perhatian ortunya? Dugem, pergaulan bebas, dan sebagainya. Sampai pada suatu malam, mama ketemu sama ayah biologisku, seorang pejabat yang berumur empat puluh lima tahun.

“ Sebulan setelah melakukan—ehm, you know what I mean, lah, Dan, mama hamil aku. Beliau minta pertanggungjawaban sama ayah biologisku itu. Tapi dia nggak mau tanggung jawab. Alasannya karena ia masih sayang banget sama isterinya. Dan apa yang mereka lakukan itu cuma cinta satu malam aja. Akhirnya dia ngasih mama uang lima juta dan menyuruh beliau menjauh darinya dan keluarganya.

“ Mama masih berusia tujuh belas tahun saat itu. Beliau bingung harus pergi kemana. Kalau pulang, pasti kakek bakalan marahin beliau habis-habisan. Mama pun nyewa penginapan super murah dan berusaha nyari pekerjaan karena lama-kelamaan duit yang dikasih bajingan itu pasti habis. Nah, waktu nyari pekerjaan, beliau ketemu sama Oom Dharma. Beliau pun ikut dengan Oom Dharma yang bersedia memberikan beliau tempat tinggal dan pekerjaan, asal beliau masuk ke dalam sindikat ini.

“ Di sini mama bertemu dengan papaku, namanya Lukas. Papa menikahi mama ketika umurku lima tahun. Papa sayang banget sama aku walaupun aku bukan anaknya sendiri. Malah mama yang membenciku, karena menurut beliau wajahku mirip banget sama si bajingan tengik itu. Mama nggak pernah memperhatikanku. Beliau sering banget mukulin aku waktu aku melakukan kenakalan yang wajar bagi bocah kecil. Beda banget sama papa yang nggak pernah marah meskipun aku bandelnya minta ampun.

“ Sampai akhirnya pada suatu hari, mama dan papa bertengkar hebat. Papa berniat untuk membawa kami menjauh dari lingkungan yang penuh dengan kriminalitas ini. Tapi mama nggak mau karena Oom Dharma memberinya upah yang besar setelah menjual organ tubuh. Papa pun memutuskan untuk bawa aku aja, tapi mama nggak setuju. Alasannya adalah karena aku anaknya, anak kandungnya, sementara papa hanyalah ayah yang sah di mata hukum. Pertengkaran pun semakin sengit. Mama ngebunuh papa dan ngambilin organ tubuhnya malam itu juga, di depan mataku.”

Astaghfirullah. Ini lebih parah dari kondisiku dulu.

“ Semenjak papa meninggal, nggak ada lagi yang ngebelain aku waktu dimarahin mama. Nggak ada lagi yang muji aku kalo aku dapet nilai bagus di sekolah. Nggak ada lagi yang ngelindungi aku waktu aku dipukuli mama. Aku kadang ngerasa Tuhan itu nggak adil. Kenapa papa yang sayang banget sama aku harus diambil duluan? Kenapa nggak mama aja?

“ Kadang aku iri kalo liat temenku dijemput sama kedua orang tuanya. Mereka kelihatan begitu bahagia, begitu harmonis. Nggak kayak aku yang dibenci sama mamaku sendiri dan menganggap aku masalah terbesar dalam hidupnya, padahal aku juga nggak pernah minta dilahirkan. Jahanam banget.”

Airmata mengalir deras menuruni pipi Kevin. Shit. Aku benci kalau ada orang yang sedang menangis di sebelahku sedangkan aku tak tahu harus berbuat apa. Kalau Kiara yang menangis, aku akan menyuruhnya menyandarkan kepalanya ke bahuku. Tapi kalau Kevin yang menangis, haruskah aku berbuat seperti itu juga?

Tapi untunglah, sebelum aku menyandarkan kepala Kevin ke bahuku, ia buru-buru menyeka airmatanya dengan punggung tangannya.

“ Sorry,” ujarnya sambil tersenyum, “ jadi nangis, deh.”

Aku balas tersenyum, “ nggak apa-apa, Vin. Semua orang berhak untuk nangis,” kataku menenangkan.

Kevin menghela napas, lalu bersiap untuk melanjutkan ceritanya. “ Sejak saat itulah aku pengen bebas dari mereka. Aku pengen orang lain nggak nyamain aku sama mama, Oom Dharma, Rossa, Bara, atau yang lainnya. Aku pengen dikenal sebagai orang baik-baik. Oleh karena itu, aku berusaha bersikap baik terhadap orang yang kami culik walaupun ada aja yang jelas-jelas menolak bantuanku.”

Aku mengerutkan dahi, “ emang kenapa mereka nolak bantuan kamu?”

Kevin melengos. “ Masa’ kamu nggak ngerti sih, Dan? Orientasi seksual-ku itu sama sekali nggak normal. Dengan kata lain, aku ini gay alias maho alias homo alias hombreng. Dan orang-orang memandangku sebelah mata gara-gara itu.” Jelasnya.

“ Tapi aku rasa itu bukan sebuah alasan untuk menolak bantuan orang lain, kan?”

Kevin tersenyum. Kemudian ia menatapku dalam-dalam. “ Itu dia yang bikin aku tertarik sama kamu, Dan.”

Aku mendongak. “ Hah?” tanyaku bingung.

“ Sifatmu yang satu itu yang bikin aku tertarik sama kamu, Daniel Dirgantara. Kamu selalu menerima orang yang pengen berteman sama kamu dengan tangan terbuka, nggak peduli siapa orang itu atau bagaimana orientasi seksualnya. Kayak sekarang. Kamu nggak pernah menganggapku menjijikkan, padahal kamu pria normal.”

Aku menelan ludah, tak tahu harus berkata apa. Okelah, sebenarnya aku merasa sedikit risih dan itu wajar untuk seorang pria normal sepertiku. Tapi ketika tahu Kevin tidak akan berani melakukan hal yang macam-macam padaku, rasa risihku itu perlahan memudar, lalu hilang tanpa bekas.

Kudengar Kevin tertawa kecil. “ Kamu nggak usah khawatir, Dan. Aku nggak akan maksa kamu bales perasaanku. Kamu nggak merasa jijik ke aku, itu udah cukup buatku,” gumamnya pelan.

“ Ngapain juga jijik? Kamu kan bukan ulat bulu,” candaku berusaha menetralkan suasana.

Kevin tertawa. Suasana pun kembali normal. “ Emang kamu jijik sama ulat bulu?”

Aku mengedikkan bahu, “ nggak juga, sih. Cuma suka geli aja kalo liat dia gerak-gerak. Apalagi ulat keket itu. Ihh...” aku bergidik membayangkannya. Ya, memang aku dan Kiara paling benci dengan yang namanya ulat. Kata almarhum papa, itu sifat turunan dari mama. Mending kalau ulat bulu, masih unyu-unyu begitu. Lha ulat keket? Big no!!!

Kevin tertawa terbahak-bahak. Aku tersenyum melihatnya.

                                                            ***

“ Ki, pulang yuk! Udah nggak ada matkul, kan?” pertanyaan Gabriel menyela obrolan di antara Kiara dan Sam. Cewek itu bergegas menghampiri mereka berdua, disusul oleh Karina, Alya, Bella, Diandra, dan Callista.

“ Ini siapa, Ki?” tanya Alya.

“ Girls, ini Samuel Cortez. Sam, ini Gabriel, Karina, Alya, Bella, Diandra, dan Callista. Mereka sahabat-sahabatku,” Kiara memperkenalkan teman-teman se-gank-nya kepada cowok yang duduk di depannya.

“ Panggil aja Sam... senang ketemu sama kalian,” Sam menyalami sahabat-sahabat Kiara satu-persatu sambil menebar senyum semanis gula.

Callista menyipitkan matanya. Entah mengapa instingnya mengatakan bahwa Samuel Cortez, cowok yang—kelihatannya—baik tersebut patut dicurigai. “ Eh, kita jadi ke Stardust, kan?” tanyanya memelintir topik pembicaraan.

“ Iya, dong. Udah lama kita nggak main ke sana,” Alya menjawab.

“ Eh, aku boleh nebeng, nggak? Soalnya aku mau ke pertokoan sekitar Stardust,” Sam menyela dengan nada yang sedikit terlalu cepat. Hal tersebut membuat Callista semakin percaya dengan instingnya.

“ Boleh, kok. Why not?” Bella mengangkat kedua bahu.

“ Kamu semobil bareng Gabriel sama Kiara, ya,” tambah Diandra. Sam mengangguk senang.

“ Makasih, girls!” serunya gembira.

“ Ayo, deh, ntar kesiangan,” ajak Karina. Mereka berdelapan pun berjalan menuju tempat parkiran.

                                                            ***

Saat ini Gabriel, Kiara, dan Sam berada di dalam Pajero milik Radit. Gabriel dan Kiara duduk di kursi depan, sementara Sam duduk di kursi belakang sendirian.

“ Lho, emang ada di antara kalian yang punya Stardust Cafè?” ujar Sam berbasa-basi.

“ Aku pemiliknya sekaligus manajernya,” Gabriel menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan. “ Kalo Kiara salah satu pekerja di sana.”

“ Ooh...” Sam mengangguk-angguk. “ Oh, ya, kalo nggak salah kamu udah punya suami ya, Gab?”

Gabriel mengangguk. “ Iya. Raditya Dewantara.”

“ By the way, kamu tau dari mana, Sam?” Kiara nimbrung.

“ Gosipnya tuh udah nyebar ke seluruh kampus.”

Gabriel tertawa kecil. “ Ternyata cowok suka gosip juga, ya?”

“ He-eh,” timpal Kiara.

Sam tertawa mendengarnya. Namun lama-kelamaan tawanya mengecil dan akhirnya berhenti. Tangan kanannya menggenggam sesuatu yang sedari tadi telah dipersiapkannya di saku jaketnya. Perlahan-lahan ia mulai mencondongkan badannya ke depan, ke arah Kiara.

“ Tapi meskipun cowok suka gosip, mereka nggak selemah cewek...” Sam bersiap menjerat leher Kiara dengan seutas tali, “ kayak gini!”

Belum sempat Sam menjerat leher cewek itu, Kiara yang sedari tadi mengawasi gerak-geriknya dari kaca spion mobil langsung menghadiahinya sebuah sikutan keras. Kontan Sam langsung terjungkal ke belakang. Gabriel yang kaget langsung mengerem mobilnya, membuat Pajero putih tersebut berhenti mendadak. Tapi untunglah seatbelt yang dikenakannya menahan tubuhnya agar tidak terlempar ke kaca depan.

“ Shit!” maki Sam. Ia mengusap pipinya yang terkena sikutan Kiara.

“ Motherfucker...” desis Kiara tajam, “ kalo mau ngebunuh orang liat sikon dulu, goblok! Gue bisa liat apa yang lo lakuin dari spion!”

“ Oh, jadi ini maksud lo nebeng mobil gue? Mau nyelakain Kiara? Atau malah mau nyelakain kita berdua?” Gabriel berang. Ibu satu anak ini langsung meninju pipi kanan Sam, membuat satu gigi Sam copot. Cowok itu langsung membuka pintu mobil dan berlari keluar. Tetapi usahanya untuk menghindar dari serangan dua cewek tersebut malah menyeretnya ke serangan yang lebih ekstrem lagi. Ketika ia berlari ke belakang, Bella yang telah menyuruh Karina menghentikan Xenia-nya langsung membuka pintu depan dengan cepat, membuat Sam kembali terjungkal ke belakang.

“ Ternyata emang bener insting gue. Lo bukan cowok baik-baik!” seru Callista yang baru saja keluar dari mobil. Ia langsung menginjak perut Sam. Cowok itu mengerang kesakitan.

“ Wah, wah, wah, cowok apa jelly, nih? Lembek amat,” cibir Diandra. Dibilang begitu, Sam langsung berdiri, menantang ketujuh cewek yang dari luar kelihatan lemah lembut namun garang di dalamnya tersebut.

“ Gue nggak takut sama kalian!” serunya. Dadanya naik-turun, menandakan bahwa ia sedang marah.

“ Oh, ya? Kalo gitu, nih!” Kiara melancarkan sebuah pukulan yang telak mematahkan hidung Sam. Cowok itu langsung memegangi hidungnya. Lalu, tanpa memberi kesempatan bagi Sam untuk beristirahat, Alya langsung memukul kepala cowok itu dengan tas-nya yang lumayan berat.

“ Kurang? Terima nih!” BUGG!!! Sebuah bogeman berhasil didaratkan oleh Diandra tepat di perut Sam. Ketika cowok itu—lagi-lagi—terjungkal, Karina langsung menendang tulang rusuknya denganwedges-nya.

“ Ups. Sori. Nggak sengaja.” Ia menutup mulutnya dengan gaya innocent, seolah-olah ia tak bersalah. Sam tidak bisa bangun lagi. Kini ia terbaring di tanah, dikelilingi tujuh orang cewek yang gahar-gahar. Walaupun di antara mereka tidak ada yang menyandang gelar judoka, karateka, dan sebagainya kecuali Diandra, tak disangka mereka memiliki skill berkelahi yang cukup tinggi.

“ Udah, yuk, girls. Kita tinggalin aja dia di sini. Nggak ada gunanya nolongin orang bejat kayak dia,” ajak Gabriel kepada teman-temannya.

“ Yuk. Bye, Samuel Cortez!”

Ketujuh cewek itu kembali ke mobil masing-masing, meninggalkan Sam sendirian.

                                                            ***

“ GOBLOK!!!” dengan kesal Dharma memukul kepala Sam alias Anthony dengan gulungan koran yang ada di tangannya. Matanya berkilat-kilat, menandakan bahwa ia sangat marah. Anthony hanya bisa diam dan menunduk menghadapi kemarahan bos-nya.

“ Masa’ lo yang termasuk petarung terbaik gue nggak bisa ngadepin cewek lemah kayak mereka? Malu-maluin!” PLAK!!! Satu pukulan kembali diterima oleh Anthony.

“ Ma... maaf, bos,” dengan takut-takut ia berusaha menjelaskan alasannya tidak bisa membawa Kiara, “ tapi cewek-cewek itu bener-bener gahar, bos! Apalagi yang kita incer itu, beuh! Tonjokannya bikin idung mancung saya ini patah!” katanya sambil mengelus-elus hidungnya yang kini dibalut oleh plester. Dharma yang makin kesal langsung memencet hidung Anthony, membuat anak buahnya itu menjerit kesakitan.

“ Dasar lembek!” marahnya. “ Pokoknya gue nggak mau tau. Lo suruh anak buah lo nangkep Kiara. Dan besok siang cewek itu udah harus berada di tangan gue. Ngerti?”

“ I... iya, bos. Siap.” Anthony mengangguk-angguk. Dharma melengos.

“ Ya udah, sekarang lu bilangin anak buah lu. Cepet!” serunya setengah mengusir. Anthony pun lari keluar ruangan.

                                                            ***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top