Two Worlds Apart (Four)
Diandra membanting tubuhnya di springbed-nya yang empuk. Entah mengapa ia merasa sangat capek hari ini. Capek secara fisik, juga capek secara pikiran. Ia terus terbayang adegan ia dan teman-temannya menghajar Sam tadi siang. Ia merasa kurang puas karena tak sempat mematahkan tulang leher bajingan yang hampir mencelakakan sahabatnya itu. Ditambah lagi cowok itu juga salah satu anggota dari sindikat yang menculik kekasihnya, Daniel Dirgantara.
Daniel.
Diandra menghela napas. Ia kembali teringat pada pacarnya itu setelah agak melupakannya selama beberapa jam. Di mana cowok itu sekarang? Baik-baik sajakah ia? Apakah ia masih hidup, atau sudah bertemu dengan Sang Pencipta?
Wajah polos Daniel kembali membayang di kepalanya. Gadis itu langsung teringat akan pertengkarannya dengan Daniel beberapa hari lalu. Dan yang membuatnya menyesal, pertengkaran itu terjadi akibat masalah sepele. Kalau saja ia bisa mengontrol rasa cemburunya, mereka pasti tak akan bertengkar seperti ini, dan mungkin Daniel tak akan menghilang.
Airmata menumpuk di pelupuk matanya. Dalam hati ia bertanya-tanya, bisakah ia memperbaiki hubungannya dengan Daniel? Bisakah ia merasakan pelukan yang biasa diberikan oleh cowok itu lagi? Dapatkah ia kembali menyentuh rambut halusnya? Dan yang paling penting, dapatkah ia melihat Daniel dalam keadaan hidup, sehat wal afiat tanpa kurang suatu apapun?
Perlahan Diandra meraih ponselnya yang terletak tepat di sampingnya. Begitu kunci telepon dibuka, layarnya langsung menampakkan fotonya dan Daniel. Mereka berdua sedang berada di apartemen Daniel, duduk berangkulan di sofa. Kiara yang mengambil foto itu.
Sebutir cairan kristal menuruni pipinya. Dengan cepat Diandra menghapusnya. Ia benci menangis karena ia tahu betul itu tak akan menyelesaikan masalahnya. Namun mau bagaimana lagi, hanya itu yang bisa ia lakukan.
Mendadak pintu kamarnya dibuka dan Tante Ellis alias Mama Diandra muncul. Beliau masuk ke dalam kamar, lalu duduk di samping Diandra.
“ Diandra...” Tante Ellis membelai-belai rambut anaknya yang panjang, “ kamu kenapa, sayang?”
Diandra menggeleng pelan dan berusaha tersenyum, “ nggak apa-apa kok, ma. Cuma kepingin nangis aja.” Kilahnya.
Mata Tante Ellis memicing. Ia tahu ada sesuatu yang disembunyikan oleh anak perempuannya itu. “ Nggak mungkin kamu nangis karena cuma kepingin nangis doang, Diandra. Mama sudah menjadi ibu kamu selama dua puluh tahun dan mama terlalu mengenal kamu. Pasti ada sesuatu yang kamu sembunyikan.”
Mendengar itu, Diandra terdiam. Tante Ellis menarik napas.
“ Ada apa, sih, sebenernya? Cerita, dong, sama mama. Siapa tahu mama bisa bantu kamu.”
Diandra menghela napas. Cewek itu merubah posisinya menjadi duduk di sebelah mamanya. “ Daniel, ma. Diandra kepikiran sama Daniel. Diandra kangen sama Daniel. Diandra pengen tau gimana keadaan Daniel. Sampe sekarang kita semua nggak tau dia ada di mana.”
Tante Ellis merangkul bahu anaknya. Dalam hati beliau juga khawatir. Daniel merupakan satu-satunya kekasih Diandra yang berhasil mengambil hatinya dan suaminya, tak seperti mantan-mantan Diandra yang gayanya slengekan dan kurang bertanggung jawab. Jadi wajarlah beliau khawatir akan kehilangan calon menantu yang berpotensi bisa membahagiakan anaknya bila mereka menikah nanti.
“ Diandra takut kalo Daniel kenapa-napa, ma. Diandra takut kehilangan Daniel...”
“ Ssst,” Tante Ellis berusaha menenangkan anaknya yang kini menangis. “ Berdoa, Di. Berdoa supaya Daniel selamat. Kalau Allah masih menghendaki, Dia pasti membiarkan Daniel hidup.” Sarannya.
Diandra tak menjawab, namun di dalam hati ia mengikuti saran mamanya.
***
“ Rey, gue berangkat dulu, ya!” pamit Gilang sambil memakai helmnya. Saat ini dia sudah nangkring di atas motor kesayangannya. Rey mengangguk.
“ Sip. Hati-hati, bang. Woles aja kalo nyetir. Kagak usah ngebut, kagak usah nyerobot ke jalur busway,” pesannya.
Gilang berdecak. “ Duh, udah kayak emak-emak aja lu.”
“ Yeee, abang. Dibilangin malah gitu. Kan gue cuma ngingetin biar lu kagak usah masuk-masuk ke jalur busway, biar kagak kena denda.” Rey membela dirinya sendiri.
“ Apa kata lu dah. Assalamualaikum.”
“ Waalaikumsalaam.”
Gilang pun memacu motornya dengan kecepatan sedang. Setelah kakaknya itu pergi, Rey melangkah menuju Honda CR-V-nya yang terparkir di halaman rumah. Ketika ia baru akan membuka pintu mobil, seseorang mencekal tangannya, menariknya ke balik pohon mangga. Ia bersiap untuk meninju orang yang menariknya itu ketika orang itu membuka hoodie-nya, menampakkan wajah yang familier.
“ Duh, gue kira siapa. Woles aja kali, kagak usah pake acara narik-narik segala,” dengus Rey kesal. Orang itu hanya menatapnya dengan ekspresi datar dan dingin.
“ Oke, apa yang lu punya?” tanya Rey langsung. Ia membukakan pintu mobil untuk orang itu sebelum ia sendiri masuk. Kemudian ia mulai menjalankan mobilnya.
“ Mereka ngincer Kiara Dirgantara,” gumam orang itu pelan.
“ Terus?”
“ Mereka bakalan ngikutin tuh cewek waktu dia mau berangkat kerja sama temennya, Gabriel. Ada kemungkinan mereka juga ngincer istrinya si Raditya Dewantara itu. Mantannya Raditya Dewantara juga termasuk dalam sindikat itu.”
Mata Rey membelalak, “ wow.”
Orang bernama Ilham itu mengangguk. “ Emang begitu keadaannya. Oh ya, Dharma menugaskan beberapa anak buahnya buat ngejar mereka. Sayangnya, gue nggak dapat kepastian mereka bakal naik apa.”
“ Hm. Ada lagi?”
“ Udah, itu aja.” Ujar Ilham datar. “ Turunin gue di situ aja. Gue mau balik dan nyari ada informasi baru apa kagak.”
Rey pun menghentikan mobilnya di tempat yang ditunjuk oleh Ilham. Pria itu pun turun dari mobil.
“ Makasih, Ham.”
Ilham mengangguk, kemudian berbalik dan berjalan menjauh, sementara Rey kembali melajukan mobilnya.
***
Ditya, Gabriel, dan Kiara menatap ke arah depan dengan wajah tegang, sementara Fabio asyik meminum susunya karena tentu saja ia tak tahu apa-apa. Saat ini, mereka akan menjalankan rencana untuk menggiring anak buah Dharma ke kepolisian.
Setelah mendapat informasi dari Ilham, Rey, teman-temannya serta pihak kepolisian telah menyusun rencana untuk meringkus anak buah Dharma. Menurut info yang diberikan Ilham, mereka akan menguntit Kiara dan Gabriel saat keduanya akan pergi ke kafé. Tetapi hari ini Gabriel dan Ditya akan mengunjungi Radit terlebih dahulu. Jadi mereka bisa langsung menggiring para penjahat itu ke kantor polisi.
“ Ki, kamu dimana?” tanya Rey yang terhubung dengan Kiara melalui telepon.
“ Masih di depan rumahnya Gabriel, kak,” jawab Kiara singkat.
“ Oke, bentar lagi aku nyampe. Baru kamu bisa jalan.” Kali ini Rey, Riley, Markus, serta beberapa polisi bertugas untuk mengawasi jalannya rencana itu serta menjamin keselamatan Ditya, Gabriel, Fabio, dan Kiara.
“ Oke, move,” ujar Rey beberapa lama kemudian. Ditya pun langsung melajukan Pajero milik kakak kembarnya itu. Awalnya perjalanan mereka lancar, namun hal tersebut tak berlangsung lama karena mereka terjebak di dalam kemacetan.
Ditya berdecak. “ Ah, coba bawa motor, pasti udah bisa nyelip-nyelip,” desahnya tak sabar.
“ Emang lu mau boncengin gue, Fabio, sama Kiara naik motor? Nggak, kan?” Gabriel tertawa kecil melihat reaksi Ditya. Ditya melengos.
“ Ya nggak lah. Tapi coba kita naik jip atau mobil apapun yang bodinya kecilan dikit, pasti kita bisa nyelip-nyelip dikit.”
“ Lha terus kenapa lu nggak beli mobil yang berbodi kecil biar bisa kita naikin?” tanya Kiara geli.
Ditya menggeleng. “ Ogah. Enakan juga naik motor. Anginnya lebih kenceng, plus bisa selip sana selip sini.” Inilah yang membedakan Radit dengan Ditya. Ditya tak pernah mau membeli mobil karena ia bukan tipe orang yang sabar menghadapi kemacetan Kota Jakarta. Berbeda dengan Radit, ia santai-santai saja jika terjebak dalam macet sambil membaca komik kesukaannya.
“ Dasar repot,” gerutu Gabriel.
Ditya mengangkat kedua alisnya. Ia menghela napas lega ketika kemacetan mulai terurai sedikit demi sedikit dan akhirnya mereka bebas dari macet. Namun, ketika Pajero itu mencapai perempatan, dua orang bersepeda motor dengan pakaian serba hitam muncul dan mengapit mobil yang dikemudikannya. Ditya pun langusng curiga. Instingnya mengatakan ada bahaya yang mengintai mereka. Ia meminta ponsel Kiara dan melaporkan keadaan kepada Rey.
“ Rey, gue diapit sama dua orang naik motor trail plus pake pakaian serba item. Tampaknya mencurigakan,” ujarnya.
“ Oke, aksi dimulai. Jangan khawatir, gue sama yang lain ada di belakang lu,” sahut Rey dari seberang. Kemudian sambungan pun diputus. Ditya mengembalikan ponsel Kiara, lalu menyeringai kepada Gabriel dan Kiara.
“ Please fasten your seatbelt, ladies,” katanya santai namun mencurigakan, “ because we will...” ia menggantung kalimat, membuat kedua cewek itu penasaran.
“ Hah? Emang kita bakal ngapa... DITYAAAAAAAAAAAA!!!” jerit Gabriel yang tidak sempat melanjutkan kalimatnya karena Ditya sudah keburu menginjak pedal dalam-dalam, membuat Pajero milik suaminya itu melesat dengan kecepatan tinggi.
“ Dit, please jangan ngebut, dong! Ngeri banget ih! Ntar kalo nabrak gimana? Gue belum bikinin adik buat Fabio!!!” Gabriel kembali histeris. Tetapi sepertinya Ditya tidak berminat untuk mengurangi kecepatannya sedikitpun.
“ Tenang aja, Gab,” lagi-lagi ia berkata santai, “ gue pernah gantiin Vin Diesel pas syuting ‘Fast & Furious’ gara-gara dia kebelet boker. Nah, pas banget adegannya kebut-kebutan,” kesablengannya mulai muncul.
“ Ah, ngibul! Impossible!” cibir Kiara yang tampaknya juga agak keder dengan adegan kebut-kebutan ini. Wajahnya sedikit memucat.
“ Yeee, dibilangin kagak percaya. Tau nggak? Selesai syuting, Vin Diesel ngucapin makasih atas akting dan kemampuan mengebut gue yang luar biasa,” sanggah Ditya.
“ Ngawur abis!” cetus Kiara.
“ Terserah,” Ditya mengedikkan bahunya. Ia melirik ke kaca spion. Dua orang yang tadi mengapit mobilnya kini sedang membuntuti mereka.
“ Wah, bener nih dugaan gue. Kita diikutin.” Ia kembali memfokuskan pandangannya ke jalanan dan melambatkan laju mobilnya karena di depan ada lampu merah. Matanya kembali melirik ke kaca spion. Dua orang tadi kembali mengapit mobilnya.
Lampu merah sudah berganti lampu hijau, tetapi tak ada tanda-tanda Ditya akan melajukan mobilnya kembali. Mobil itu tetap berhenti di tepi jalan.
“ Heh, lu buta, ya? Udah ijo, tuh!” terdengar makian dari seorang pria berwajah sangar yang menaiki mobil Hummer berwarna cokelat. Ia tidak bisa lewat lantaran bodi Hummer yang memang besar, plus bodi Pajero yang juga sama-sama besar. Ditya hanya menoleh sebentar, lalu dengan cueknya ia menutup kaca jendela mobil agar makian demi makian yang dilontarkan pria itu tak terdengar olehnya.
“ Dit, lu emang manusia super nyebelin, ya?” omel Gabriel sebal. “ Udah ijo tuh lampunya! Kenapa nggak jalan?”
“ Tenang aja, Gab. Gue punya rencana tersendiri, kok. So just relax and enjoy the show, Mrs. Dewantara,” sahut Ditya santai.
“ Rencana apaan? Lu mau melenceng dari rencana awal? Hah?” Gabriel semakin kesal terhadap adik iparnya itu.
Ditya tertawa kecil, kemudian menggeleng. “ Nggak, lah. Cuma rencana kecil, kok. Nggak sampe ngerubah rencana besarnya.”
“ Terserah lu, dah! Kesel gue ngomong ama lu!” dengus Gabriel. Melihat ekspresi kakak iparnya, Ditya hanya mengangkat kedua alisnya dan kembali memfokuskan pandangannya ke depan. Matanya berbinar ketika lampu hijau akan kembali berganti menjadi merah dalam hitungan sepuluh detik. Ia pun kembali memegang setir mobil.
“ Sembilan... delapan... tujuh... enam...” gumamnya pelan.
“ Ngapain sih Dit? Udah cepetan jalan, sana! Udah mau merah lagi, tuh!” celetuk Kiara yang sedari tadi diam.
Ditya tak mengacuhkannya, “ lima... empat... tiga... dua... bye-bye, motherfuckers!”
Tepat pada hitungan satu, Ditya kembali menginjak pedal dalam-dalam, membuat mobil kembali melaju dengan kecepatan tinggi. Dua orang yang mengapit Pajero putih itu tak akan menyangka bahwa Ditya akan melakukan hal selicik itu sehingga mereka kembali terjebak di lampu merah.
Gabriel yang semula marah kini memandang adik iparnya tersebut dengan rasa kagum. “ Pinter juga lo, Dit. Aah, nggak nyangka seorang Arditya Dewantara bisa punya pikiran seperti itu, ya?” katanya.
“ Siapa dulu, dong... Ditya!” cowok itu tertawa, tetapi sejurus kemudian tawanya berhenti. “ By the way, itu tadi pujian atau hinaan?”
Kiara nyengir. “ Bisa jadi keduanya, sih.” Sahutnya yang disambut dengan tawa Gabriel. Ditya jadi manyun.
“ Huu, dasar...” kalimatnya terhenti begitu saja karena spion yang diliriknya memantulkan bayangan tiga orang bersepeda motor plus satu mobil jip membuntuti mereka.
“ Hell!” umpatnya. “ Ternyata nggak cuma dua orang tadi! Aah, kampret!” dengan kesal ia menghantam dashboard mobil dengan kepalan tangannya.
“ Iya, ini baru dikabarin Kak Rey, masih ada penguntit lain,” gumam Kiara.
“ Wow. Berarti Dharma nggak main-main, nih.” Celetuk Gabriel dengan wajah polos, membuat Ditya dan Kiara geregetan.
“ YANG BILANG DIA MAIN-MAIN SIAPA, GABRIEEEEEEEL???” seru Kiara dan Ditya kompak. Gabriel nyengir.
“ Iya, iya, udah, nggak usah sewot gitu dong,” ia tertawa. Ditya memutar bola matanya. Ia kembali waspada saat mobil jip itu berhasil menyusul Pajero yang ia kemudikan.
Kaca jendela jip dibuka. Sebuah tangan terulur, mengarahkan sebuah batu besar tepat ke kaca di sebelah Ditya.
“ Ditya, awas!” seru Kiara panik.
“ Gab, ambil alih kemudi. Kasihin Fabio ke Kiara. Biar gue yang ngadepin cecunguk ini,” ujar Ditya dengan wajah serius. Gabriel pun langsung menyerahkan bayinya kepada Kiara, sementara ia mengambil alih kemudi dengan posisi yang masih di bangku penumpang samping sopir. Ditya mengambil pemukul baseball yang terletak di kantung belakang bangkunya dan membuka kaca jendela.
Ketika tangan itu bersiap melempar batu ke arah Ditya, pria itu dengan sigapnya langsung menghantamkan pemukul baseball yang dipegangnya ke tangan tersebut, membuat si empunya tangan mengaduh dan memaki-maki.
“ Yah, bukan salah gue, kan, kalo tangan lu patah?” Ditya mengedikkan bahu dengan cuek seolah-olah ia tidak melakukan sesuatu yang salah. Kemudian ia menutup kaca jendela di sampingnya.
“ Fiuh, ilang satu,” Gabriel menghela napas lega. Namun hal itu tak berlangsung lama, karena beberapa saat kemudian kaca di sebelahnya pecah. Spontan ia menunduk dan menjerit panik.
“ Gab! Lo kagak apa-apa?” Ditya bertanya panik. Belum sempat Gabriel menjawab, tangan si pengendara sepeda motor menarik rambut panjangnya, membuatnya menjerit kesakitan.
Kiara membaringkan Fabio yang menangis karena kaget di bangku di sebelahnya. Tangannya mengambil pemukul baseball yang terletak di samping Ditya. Ia membuka kaca jendela di sebelahnya, lalu menjulurkan tubuhnya keluar. Kemudian ia menghantamkan pemukul baseball itu ke kepala si pengendara motor. Kontan si pengendara motor jatuh terguling beserta motornya.
“ Thanks, Ki,” gumam Gabriel sembari mengelus-elus kepalanya sendiri. Kiara mengangguk. Pada saat yang bersamaan, seorang pengendara motor menggantikan posisi temannya yang jatuh karena hantaman pemukul baseball.
“ Gab, awas samping lo!” Ditya memperingatkan Gabriel. Cewek itu bereaksi cepat. Dibukanya pintu mobil dengan keras sehingga mengenai si pengendara motor yang bernasib sama dengan temannya yang tadi.
Gabriel menggigit bibir melihat nasib Mitsubishi Pajero Limited Edition milik suaminya itu. Kacanya pecah. Di salah satu pintunya terdapat goresan yang lumayan besar, plus sedikit ringsek. Ia merasa bersalah mengingat bagaimana Radit merawat dan menjaga mobil ini baik-baik.
“ Duh, gimana nih? Radit bakalan sedih kalo tau mobilnya kayak gini...” gumamnya pelan.
“ Yang penting kita semua selamat,” Ditya berkata dengan cueknya.
Gabriel mendesah, “ tapi...”
“ Udahlah, Gab. Ntar gue yang biayain reparasinya. Kalo perlu gue beliin yang baru. Radit pasti ngerti.”
“ Gab, maaf ya,” ujar Kiara tak enak hati, “ gara-gara ini, mobil laki lu jadi rusak.”
“ Nggak apa-apa, kok, Ki,” Gabriel menyahut dengan tulus.
“ Sebenernya gue yang salah. Coba kalo gue bawa Forester-nya bokap...” celetuk Ditya.
“ Heh, udah deh, nggak usah merasa bersalah gitu. Ini udah takdir. Mau kita bawa Pajero, mau bawa Forester, sampe kalo kita bawa truk, kalo emang udah ditakdirin ya bakalan rusak. Gitu aja lah.”
Ditya dan Kiara dengan kompak menyetujui. Suasana kembali tenang, tapi tak berlangsung lama, karena di belakang mereka ada dua sepeda motor dan mobil jip yang mengikuti, serta dua sepeda motor mengapit mobil mereka.
“ Wanjirrr, cepet banget mereka ngikutin kita lagi!” lagi-lagi Ditya mengumpat kesal.
“ Tambah kecepatan, Dit! Kantor polisi udah deket!” Gabriel memekik tertahan. Maka tanpa ba-bi-bu lagi Ditya kembali menginjak pedal dalam-dalam.
Adegan kebut-kebutan dimulai lagi. Kali ini anak buah Dharma semakin beringas. Mereka terus berusaha menyusul Ditya, Gabriel, Kiara, dan Fabio.
“ Yah, silahkan berusaha nyusul kami, bapak-bapak yang terhormat. Karena sebentar lagi Anda semua akan masuk ke dalam perangkap mematikan!” Ditya berkata dengan gaya ala MC. Gabriel dan Kiara nyengir mendengarnya.
Semakin dekat dengan kantor polisi, Ditya semakin menambah kecepatan. Anak buah Dharma tidak menyadari bahwa mereka digiring ke kantor polisi. Sampai akhirnya mobil Ditya masuk ke halaman depan kantor polisi, barulah mereka sadar. Mereka baru saja akan keluar dari kantor polisi ketika Rey, Riley, Markus, serta beberapa polisi menodongkan pistol ke arah mereka.
“ Turun dari kendaraan dan taruh tangan kalian di atas kepala!”
***
Radit menatap Ditya dan Gabriel yang berada di hadapannya dengan dahi berkerut. Tidak biasanya adik kembarnya dan isterinya itu muram seperti saat ini. Ada apa?
“ Dit, Gab, kalian kenapa, sih? Kok muram gitu?” ia bertanya dengan heran. Dua orang di depannya itu mendongak, menatapnya sejenak, sebelum akhirnya menunduk lagi.
“ Hei, kalian itu kenapa? Dit, ada apa? Lu putus sama Alya?” terkanya. “ Gab, kamu juga kenapa? Kamu sedih Alya putus sama Ditya?”
“ Nggak, Dit. Gue nggak putus sama Alya, kok.” Ditya menjawab pelan.
“ Terus lo kenapa? Biasanya datang kesini ha-ha-hi-hi, sekarang kok malah kayak orang mau dieksekusi mati begitu. Ada apa, sih? Cerita dong sama gue.” Cerocos Radit.
Ditya tidak menjawab. Ia menatap Gabriel, meminta persetujuan. Gabriel balas menatapnya dengan tatapan sayu. Sementara Radit semakin heran.
“ Ada apa, sih? Please, dong, jawab!” serunya kesal karena rasa ingin tahu yang semakin memuncak. Ditya pun langsung mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah foto yang membuatnya shock.
“ Astaghfirullah! I... ini... mobil gue... kenapa bisa gini?!” tanyanya terbata-bata.
Gabriel meraih tangan Radit yang besar, lalu menggenggamnya erat-erat. “ Maaf, ya, sayang... mobil ini kita buat action... ya? Maaf, ya? Maaf...” katanya memelas.
“ Iya, Dit... gue juga minta maaf. Coba gue bawa Forester-nya papa, mobil lo kagak bakalan rusak... ya? Sorry... ntar gue biayain deh reparasinya... atau gue beliin yang baru...” tambah Ditya.
Radit menelan ludah. Ia memejamkan matanya, berusaha meredam kemarahan yang mendadak menyesaki dadanya. Setelah menarik napas beberapa kali, ia merasa kemarahannya mulai surut. Ia pun membuka matanya dan mendapati Gabriel serta Ditya menunjukkan tatapan puppy dog eyes mereka.
Radit menghela napas. “ Ceritain ke gue apa yang sebenarnya terjadi,” perintahnya dingin dan tegas.
Ditya pun dengan cepat menjabarkan tentang Rossa yang diduga mengincar Gabriel, Dharma yang mengincar Kiara, serta action mereka pagi ini. Radit mengangguk paham begitu selesai mendengar cerita Ditya.
“ Yang penting gue, Gabriel, sama Fabio selamat. Ya, kan?” ujar Ditya.
“ Jadi gimana, sayang? Dimaafin, nggak?” tanya Gabriel, masih dengan wajah memelas.
Dengan berat hati Radit mengangguk. Isterinya itu langsung memeluknya dan menciumnya dengan semesra mungkin agar suaminya itu semakin luluh.
“ Makasih, sayang!” ujarnya girang. Radit tersenyum, namun dalam hatinya ia menangis.
Oalah... Pajero-ku...
***
Wajah Dharma mengeras. Dengan penuh kemarahan ia menggebrak meja, membuat anak-anak buahnya keder seketika.
“ Guoblok! Saya heran kenapa saya bisa memilih mereka sebagai anak buah saya!” makinya. Matanya menatap satu persatu anak buahnya dengan nyalang.
Rossa memandang Dharma dan berkata, “ jadi... apa rencana kita, bos?”
Dharma terdiam. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa anak buahnya akan ditangkap polisi dan ia juga belum membuat rencana B. Ia mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, berusaha mencari cara agar polisi tak dapat menangkap mereka semua. Beberapa lama kemudian wajahnya berubah sedikit cerah. Ia telah menemukan rencana B-nya.
“ Kita bawa semua tawanan kita ke markas dua di Bandung.”
***
Setelah rapat dadakan itu bubar, seluruh anak buah Dharma keluar dari aula. Mereka bersiap-siap untuk acara pindah besar-besaran ini, kecuali Ilham. Ia memisahkan diri dari teman-temannya. Kakinya melangkah menuju lift ketika Dharma memanggilnya.
“ Mau kemana kamu, Ham?” tanyanya dengan suara rendah.
Ilham menoleh, “ mau cari udara dulu, yah. Bentar, kok. Habis itu saya naik lagi ke sini.” Jawabnya dengan nada datar dan dingin. Wajahnya tanpa ekspresi.
“ Oh, oke. Jangan lama-lama, kita harus cepat move.”
“ Iya, yah.” Ilham meneruskan langkahnya, sementara Dharma pergi entah ke mana.
Beberapa menit kemudian, Ilham sampai di lantai paling bawah. Begitu keluar lift, ia kembali berjalan keluar markas dengan langkah lebar-lebar.
Keadaan di luar markas sangat gelap karena tak ada penerangan sedikitpun. Hanya ada cahaya samar-samar dari dalam markas. Ilham terus melangkah menerobos semak-semak yang tumbuh rimbun di sekitar. Setelah yakin tak ada seorangpun yang bisa mendengarnya, pemuda 19 tahun itu mengeluarkan ponselnya.
Sejenak ia ragu. Ia ragu untuk mengkhianati Dharma yang notabene menjadi ayah tirinya yang merawatnya sejak kecil, tetapi ia juga tak mau terus-menerus terlibat dalam sindikat ini. Setiap kali Dharma menyuruhnya memanen organ tubuh dari seorang manusia yang masih bernyawa, ia akan terus terbayang-bayang tentang wajah orang itu, bagaimana caranya ia mengambili organ tubuhnya, serta bagaimana anak-anak buah ayah tirinya itu membuang mayat dengan semena-mena. Tiga hal tersebut seringkali membuatnya takut, menghantui mimpi-mimpinya.
Setelah menimbang-nimbang, akhirnya ia pun mendapatkan sebuah keputusan. Dengan cekatan ia mencari nama seseorang di phonebook-nya, lalu menekan tombol hubungi.
“ Mereka bakalan ngebawa seluruh tawanan ke markas dua di Bandung.”
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top