Two Worlds Apart

Dua orang dalam mobil hitam tersebut mengamati kegiatan yang terjadi di Masjid Al-Fatah. Wajah mereka tampak begitu geram. Apalagi yang wanita. Ia sampai meninju kaca mobil dengan cukup keras.

“ Huh, kurangajar banget. Jadi mereka bersenang-senang di sini?” makinya marah. Seorang pria yang berada di sampingnya menoleh, mengalihkan pandangannya dari teropong yang digunakannya untuk mengamati orang-orang di masjid tersebut.

“ Ya iyalah, Ros, kan ada yang baru married...” begitu mendapat pelototan tajam dari ‘Ros’, pria itu seolah menciut, takut.

“ Tapi yang lagi married itu cowok gue, goblok!” ‘Ros’ memukul kepala pria itu dengan keras, membuatnya mengaduh.

“ Ampun, maaf, maaf...”

‘Ros’ mendengus. “ Tapi gue nggak marah sama dia. Gue dendam sama yang itu, tuh!” ia menunjuk ke arah seorang pria yang memakai baju batik motif sida mukti dengan celana kain panjang warna hitam. Pria itu dengan cepat mengarahkan teropongnya ke objek yang ditunjuk ‘Ros’. 

“ Aih, ganteng juga, bo’...” ujar pria itu genit sesaat setelah mengamati orang yang dimaksud oleh ‘Ros’. Wanita itu melengos melihat reaksi temannya. 

“ Susah ya punya partner hombreng kayak lo,” keluhnya. Pria di sebelahnya itu tersenyum.

“ Duh, Rossa... ya nggak apa-apalah, ngecengin cowok ganteng. Siapa namanya? Dan kenapa lo dendam sama dia?”

“ Namanya Daniel Dirgantara,” Rossa menerawang. Mata hitamnya berkilat penuh kebencian. “ Dia anaknya Rafael Dirgantara, musuh bebuyutan bos besar kita. Gue dendam sama dia karena dia udah berhasil nangkep Radit. Coba kalo cowok gue kagak ketangkep, dia pasti udah nikah sama gue!” nada suara Rossa meninggi. Kekesalannya semakin memuncak. Ia menghantam dashboard mobil dengan kedua tangannya. Pria yang duduk di sampingnya itu jadi kaget.

“ Ampun, Ros, lo kalo marah nyeremin banget,” desisnya. Kemudian ia melanjutkan, “ oh... jadi itu toh sasaran kita? Kasian amat ya, ganteng-ganteng jadi sasaran...”

“ Keviiiinnn!” Rossa meraung marah. “ Objektif!”

“ O... oke, oke,” Kevin mengalah. Ia tak mau melihat kemarahan Rossa yang menyeramkan. “ By the way, kalo nggak salah dia punya adik, kan?” ia berusaha mengingat-ingat data yang diberikan bosnya kemarin.

Rossa mengangguk pelan. “ Punya. Adik cewek. Namanya Kiara Dirgantara.”

“ Jadi, kita mau nangkep dua-duanya, nih?” tanya Kevin.

“ Nggak tau. Sementara ini perintah bos cuma untuk nangkep si Daniel,” jawab Rossa. “ Tapi kita masih harus nyusun rencana buat nangkep tuh anak. Plus kita juga harus cari tau apa kebiasaannya, alamatnya, dan lain-lain.”

Kevin manggut-manggut. “ Oke, terus kita ngapain, nih?” 

Rossa menyerahkan sebuah kamera DSLR kepada pria di sebelahnya itu, “ ambil beberapa foto Daniel. Cepetan, jangan sampe ketahuan.”

Kevin pun dengan lihainya mengambil foto Daniel dan Kiara secara cepat tanpa ketahuan. Ia tersenyum ketika keahlian memotretnya itu menghasilkan kualitas jepretan yang bagus.

“ Udah. Sekarang ngapain?” tanyanya kemudian.

Rossa tidak menjawab. Ia masih mengamati gerak-gerik Daniel. Barulah saat Gabriel, Bella, Kiara, Daniel, Tristan, Luis, Diandra, Callista, Karina, Alya, Ditya, Tante Diana, Oom Julian, Tante Renata, dan Oon Andreas bergerak menuju mobil masing-masing, ia mulai mengomando.

Watch out. Mereka mulai bergerak. Tuh, mobilnya Toyota Alphard warna hitam. Kita ikutin mereka.”

“ Siap,” Kevin mengacungkan jempolnya.

***

Mata Daniel menyorot tajam. Ia kelihatan begitu was-was. Setelah yakin tak ada orang yang akan memergokinya, ia pun dengan cepat memasang CCTV mini wireless di sudut kamar. Ketika pekerjaannya hampir selesai, suara seorang wanita mengagetkannya.

“ Watch out, Danny, watch out. Mereka hampir sampai ke kamar,” suara tersebut mengingatkannya untuk segera menyelesaikan pekerjaannya. 

“ Diterima,” dengan sedikit terburu-buru Daniel membereskan peralatannya. Setelah yakin ia tidak meninggalkan jejak sedikitpun, ia keluar kamar dan menguncinya dengan kunci duplikat yang ia minta dari resepsionis. Dengan langkah lebar-lebar ia berjalan menuju kamar yang telah dipesannya. Beberapa saat kemudian, seorang wanita masuk ke kamar yang sama dengan Daniel.

“ Fiuh, tepat waktu.” Wanita itu menghembuskan napas lega.

Yeah,” Daniel dan wanita itu ber-high-five. “ Eh, Ley, cepetan pantengin laptop-nya,” ujarnya kemudian. Wanita yang dipanggil ‘Ley’ itu mematuhi perintahnya.

Ya, kali ini Daniel sedang berada dalam misi untuk mengusut kasus perselingkuhan seorang pengusaha top di Indonesia. Dan ia tidak sendirian. Wanita yang dipanggil ‘Ley’, yang aslinya bernama Riley Amber itu adalah partnernya. Ia merupakan orang baru di BEPIA. Pak Wijaya memerintahnya untuk mengerjakan kasus seperti ini bersama Daniel karena menurut beliau ia masih butuh sedikit bimbingan.

Pandangan Daniel dan Riley tak lepas dari layar laptop yang menyajikan empat panel. Panel-panel tersebut masing-masing menampilkan satu video rekaman CCTV yang dipasang Daniel di setiap sudut kamar yang sedang mereka intai. 

“ Belum ada apa-apa,” gumam Riley sebelum menenggak jus jeruknya.

“ Lama banget tuh orang berdua. Ngapain aja, sih? Tau gitu gue nggak cepet-cepet tadi...” rutuk Daniel. Tepat setelah ia berkata begitu, pintu ruangan yang diintainya terbuka. Seorang wanita dan seorang pria masuk ke dalam kamar tersebut.

Gotcha!” Riley berseru senang. “ Kita dapet, Dan!”

Good,” Daniel tersenyum. Kemudian ia kembali memfokuskan pandangannya pada layar laptop, begitu pula dengan Riley. Sampai akhirnya...

Mas,” terdengarlah suara genit seorang wanita dari alat penyadap yang dipasangnya di bawah tempat tidur kamar yang mereka intai.

Iya, sayang?” sahut seorang pria. 

Aku kangen banget sama kamu, tau nggak? Aku nggak bisa tidur, aku nggak bisa makan, itu semua karena aku mikirin kamu, mas...

Riley mencibir. “ Pembicaraannya kayak anak ABG aja... cuih!”

“ Namanya juga orang kasmaran, Ley...” timpal Daniel sambil tersenyum geli. 

Aku juga, sayang. Bahkan aku nggak bisa konsen ke pekerjaanku kemarin. Bayangin, waktu meeting, aku nggak bisa menjelaskan isi bahan meeting karena waktu yang seharusnya aku gunakan untuk memahami isi bahan meeting aku gunakan untuk mikirin kamu!” 

“ Iuh. Nggak mutu banget, sih?” omel Riley kesal. Daniel hanya menanggapi omelan partner-nya itu dengan senyuman. 

Aah, sayang, coba kita bisa bersatu, ya...” sang wanita terdengar sedih. 

Iya... aku janji, sayang, sehabis ini, kita bakalan bersatu. Selamanya, sampai akhir zaman!” 

Panel satu menunjukkan gambar sang pria yang mengecup tangan sang wanita. Daniel melirik sejenak ke arah partner-nya tersebut. Pria itu tertawa melihat wajah Riley yang menunjukkan ekspresi jijik sejijik-jijiknya. 

Aku punya lagu buat kamu, mas,” sang wanita berdeham, kemudian mulai menyanyi, “pengen ku SMS-an, wedi karo bojomu... pengen ku ngomong sayang, wedi karo bojomu...”

Daniel yang sedari tadi berusaha menahan tawa akibat pembicaraan dua sejoli yang diintainya ini akhirnya tidak mampu lagi. Tawanya meledak bagaikan bom. Begitu juga dengan Riley. Mereka berdua tertawa terbahak-bahak. 

“ Buset, malah dangdutan,” celetuk Daniel di sela-sela tawanya. 

“ Abis lo goblok banget sih! Udah tau tuh laki dah punya isteri, masih aja dijabanin,” Riley menambahkan. 

Mereka pun tetap tertawa sampai beberapa lama kemudian. Panel 1, 2, 3, dan 4 menayangkan adegan mesra yang terjadi di antara kedua pasangan tersebut. Begitu melihatnya, tawa Riley dan Daniel terhenti. 

“ Oke, gue rasa cukup,” Daniel berdeham, berusaha mengusir rasa canggung yang dirasakannya setelah melihat rekaman tersebut. 

“ Mau dimatiin?” tanya Riley.

“ Jangan, Ley. Biarin aja. Kita butuh bukti yang lebih greget,” cegah Daniel. Riley mencibir. 

“ Greget, greget... kayak Mad Dog aja lo.”

Daniel mengangkat sebelah alis, lalu menoleh ke arah Riley yang kini duduk di kasur. “ Lo tau Mad Dog?”

Riley mengangguk. Dengan semangat ia berkata, “ tau dong. Yang di film ‘The Raid’, kan? Film favorit gue, tuh! Asli keren banget! Adegan berantemnya juga seru, pake silat. Gue jadi pengen belajar silat, nih.”

Mata Daniel berbinar mendengar perkataan Riley. Ia tidak menyangka rekannya yang asli berasal dari Inggris ini begitu semangat membicarakan tentang Indonesia yang notabene bukan negara asalnya. 

“ Katanya sekuelnya bakal keluar ya? Kapan?” 

Kemudian mereka pun terbawa ke dalam obrolan yang seru sambil sesekali melirik ke arah rekaman CCTV yang menayangkan adegan yang semakin tidak pantas dilihat bocah di bawah umur.

***

Dua hari kemudian...

Diandra keluar dari gerbang kampusnya. Mata kuliahnya sudah selesai untuk hari ini. Ia celingukan, berusaha mencari papanya atau kakaknya yang biasanya sudah standby di dekat gerbang, namun ia tidak menemukan keduanya. Ia mendengus kesal. Tidak biasanya papa atau kakaknya terlambat menjemputnya, sesibuk apapun mereka. Baru saja ia akan bersandar di tembok sebelah gerbang, suara seorang pria mengagetkannya.

“ Nyari siapa, Diandra Karina Rosella?”

Suara itu begitu familier di telinga Diandra. Kontan ia menoleh dan mendapati seorang pria dengan tinggi kira-kira 185 cm yang mengenakan kaus lengan pendek warna hitam dan celana jeans. 

“ Daniel?” raut wajahnya berubah senang. Ia menghampiri pria itu. “ Ngapain kamu di sini?”

Daniel tersenyum. “ Jemput kamu, lah. Emang mau ngapain? Mau daftar kuliah lagi?” ia mengacak-acak rambut gadis di depannya. 

“ Tapi tadi papa atau kakak aku yang mau jemput...”

“ Tadi aku nelpon ke rumah kamu. Aku udah bilang ke Dito kalo aku yang bakal jemput kamu sekaligus mau ajak kamu jalan,” Daniel menyebutkan nama kakak Diandra. Diandra mengangguk paham. 

“ Oke, jadi kita berangkat sekarang?” Daniel akan membukakan pintu mobil untuk Diandra ketika seseorang memanggilnya. Wanita, tepatnya. 

“ Danny?”

Daniel pun menoleh. Ia tersenyum mendapati Riley, salah satu rekannya di BEPIA itu sedang bersandar pada bagian depan Toyota Rush-nya. 

“ Ngapain lo disini?” tanyanya.

“ Gue nungguin adik gue,” Riley mengangkat kedua bahunya, “ lo sendiri?”

Mendengar pertanyaan Riley, Daniel pun segera teringat kepada cewek yang berdiri di sebelahnya. “ Kenalin, ini Diandra, pacar gue. Di, ini Riley, rekanku di BEPIA,” ia mengenalkan dua wanita itu.

“ Diandra Karina Rosella, panggil aja Diandra. Salam kenal,” Diandra mengulurkan tangannya ke arah Riley yang langsung dijabat olehnya.

“ Riley Amber. Panggil aja Riley,” balasnya sambil tersenyum. 

“ Adik lo siapa namanya, Ley?” tanya Daniel beberapa saat kemudian.

“ Nadya Amber. Mahasiswi Fakultas Hukum semester enam,” jawab Riley. Kemudian ia beralih kepada Diandra, “ lo kenal dia?”

Diandra menjawabnya dengan sebuah anggukan pelan. Bagaimana bisa ia tidak mengenal salah satu mahasiswi yang populer karena kecantikannya dan keseksiannya di kampus ini, sekaligus musuh bebuyutannya serta teman satu gank-nya?

Kemudian Daniel dan Riley terlibat dalam pembicaraan yang amat serius sampai-sampai Diandra merasa diacuhkan. Sesekali mereka berdua tertawa, membuat hati cewek itu panas. 

Maklum saja jika Diandra sedikit cemburu. Statusnya sekarang adalah kekasih dari seorang Daniel Adrian Dirgantara. Setelah sembilan bulan menyimpan perasaan masing-masing, akhirnya Daniel melangkah maju. Ia mengajak Diandra untuk makan malam berdua di sebuah restoran. Dan pada saat itu juga, ia menyatakan perasaannya kepada cewek itu dan mengajaknya jadian. Sudah seminggu mereka jadian. 

“ Dan...”

“ Terus si Bowo tuh. Katanya udah lamaran. Padahal baru kenal sebulan. Cepet banget ya?” 

“ He’eh. Ckckck, tuh anak emang...”

“ Danny...”

“ Oh ya, katanya Susi hamil, ya?”

“ Ah, yang bener lo?”

“ Iya, kemaren dia cerita ke gue. Waktu...”

“ Dan...”

Sekali lagi Diandra memanggil kekasihnya tersebut, namun tidak ditanggapi. Akhirnya ia benar-benar marah. Ia bersidekap dan langsung masuk ke mobil tanpa ada seorangpun yang menyadarinya. 

Dua puluh lima menit kemudian seorang cewek genit yang memakai halter neck warna merah dengan rok mini hitam serta wedges warna cokelat muncul di tengah-tengah mereka. 

“ Aduh, sorry ya... udah nunggu lama?” tanya cewek itu yang tak lain dan tak bukan adalah Nadya Amber, adik dari Riley.

“ Lo ngapain aja di dalem?” cecar Riley langsung. “ Tau gitu gue nggak cepet-cepet jemput lo. Shane juga belum makan siang,” lanjutnya.

Nadya nyengir. “ Maaf. Tadi gue ngobrol dulu sama temen gue,” ia memberikan alasan. Riley mencibir mendengarnya. Setelah itu, tatapan Nadya beralih kepada Daniel. 

“ Ini siapa?” tanyanya genit.

Daniel mengulurkan tangannya. “ Daniel Dirgantara. Panggil aja Danny. Rekan kerjanya Riley di BEPIA.”

“ Nadya Amber, adiknya Riley,” ia berbisik kepada kakaknya, “ ganteng banget... lucky amat lo...”

Walaupun suara Nadya sangat pelan, tetapi telinga Diandra yang peka berhasil menangkap suara tersebut. Kecemburuannya pun semakin memuncak. Dengan kasar ia menghantam setir mobil.

“ Danny! Jadi jalan nggak?” ia menyembulkan kepalanya dari jendela mobil. Hal tersebut berhasil menyita perhatian Daniel, Riley, dan Nadya. Nadya langsung pasang tampang menyebalkan ketika mengetahui bahwa itu adalah Diandra, saingan terberatnya di kampus.

“ Lho? Diandra? Ngapain kamu di situ? Kamu kenal Daniel?” ia—Diandra tahu betul ia sengaja—berjalan mendekati Daniel. Diandra mendengus.

“ Gimana gak kenal, orang dia pacar gue,” ketusnya langsung, membuat Nadya kaget.

“ Apa?” tanyanya shock. Dengan gaya lebay ia menutup mulutnya.

“ Iya, dia pacar gue,” Diandra mengulangi pernyataannya dengan wajah disetel sepolos mungkin.

Daniel mengacak-acak rambut Diandra sebentar. “ Ya udah deh, Ley. Gue mau jalan dulu.” Pamitnya. 

Riley mengangguk. “ Iya. Gue juga mau ke tempatnya Shane, nih,” ia memerintahkan Nadya yang cemberut untuk masuk ke dalam mobil, lalu ia menyusul. Beberapa saat kemudian Toyota Rush itu melaju, meninggalkan Daniel dan Diandra.

Daniel kini telah duduk di kursi pengemudi. “ Jadi, kita mau kemana ini?”

“ Terserah,” Diandra menjawab judes. Daniel tertawa kecil. Ia tahu bahwa Diandra cemburu karena kejadian tadi. 

“ Ya udah, terserah aku, ya?” ia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju tempat yang ada di pikirannya.

***

Singkat cerita, sore itu Daniel dan Diandra terdampar di Stardust Cafè setelah berjalan beberapa jam nonstop. Gabriel menyambut kedatangan dua sejoli itu dengan gembira.

“ Cieee, yang lagi nge-date,” ledeknya sambil tersenyum. 

“ Nggak jenguk Radit?” tanya Daniel.

Gabriel menggeleng. “ Kemaren udah. Duh, kalian ini bikin envy aja deh. Coba kalo ada Radit, pasti bisa jalan bertiga bareng Fabio...” ia mengecup pipi chubby Fabio yang kini terlelap dalam gendongannya. 

“ Ya bareng Ditya dong. Anggap aja itu Radit. Wajah mereka juga mirip banget. Bedanya cuma dikit. Wajah Ditya lebih kelihatan sablengnya,” kali ini Diandra yang berbicara.

Gabriel melengos, “ bisa dikemplang Alya gue...”

“ Hahaha, gue yakin Alya nggak kayak gitu. Lagipula Ditya itu adik ipar lo, kan? Sah-sah aja dong kalo lo jalan sama dia.”

Gabriel nyengir. “ Tapi gue juga nggak yakin Radit gak bakalan ngomelin Ditya kalo dia jalan sama gue...”

Diandra mendesah, “ ah, laki lo tuh emang posesif banget ya...”

Mereka terdiam sesaat. Kiara datang dengan membawa notes dan pulpen. 

“ Selamat datang di Stardust Cafè, Anda ingin pesan apa?” tanya cewek itu dengan profesional. 

“ Nggak usah formal-formal amat kali, Ki,” gumam Diandra.

Kiara berdeham, “ maaf, tapi profesionalisme merupakan motto utama kami.”

Daniel mengangguk. “ Kamu mau pesen apa, Di?”

Diandra tampak berpikir. “ Cappuccino sama... mmm... apa ya? Ah, chocolate souffle aja, deh!”

Daniel menoleh ke arah Kiara yang memasang tampang datar, “ oke, kalo gitu cappuccino sama chocolate souffle dua porsi.”

“ Baik, cappuccino dan chocolate souffle dua porsi...” Kiara mengulangi perkataan kakaknya sambil mencatat pesanan. Setelah itu, ia menatap Daniel dan Diandra dengan ekspresi yang sulit ditebak. Kemudian...

“ Cieeeee, pesenannya samaan! Aaaaaa, romantis amat dah kalian berdua! Bikin ngiri tau nggak!” pekiknya kegirangan. Raut wajah profesionalnya kini telah berganti dengan ekspresi senang. Kemudian ia berlari secepat mungkin ke arah dapur sebelum Gabriel mengomelinya.

“ Kiara! Aaaa, sableng nih anak!” Gabriel pun langsung menyusul Kiara ke dapur. Daniel dan Diandra yang melihat kejadian itu hanya bisa menggelengkan kepala.

“ Ckckck...” decak Daniel. 

“ Yah, adik kamu emang gitu,” Diandra tertawa. Kemudian mereka berdua mengobrol dengan mesra layaknya orang pacaran. Sesekali Daniel membelai helai-helai rambut hitam Diandra. Seorang pelayan pria yang mengantarkan pesanan menginterupsi pembicaraan mereka sebentar. Setelah pelayan itu pergi, mereka kembali terlarut dalam suasana mesra. 

“ Daniel?”

Suara seorang wanita—lagi-lagi—menginterupsi mereka. Dua sejoli tersebut menoleh. Diandra langsung melengos melihat siapa yang memanggil nama kekasihnya tersebut. Nadya Amber. 

What the fuck are you doing here?” desisnya pelan. 

“ Nadya? Ngapain?” tanya Daniel sambil melemparkan setengah senyuman. Dengan wajah tanpa dosa Nadya menggeser Diandra. 

“ Lagi makan, habis shopping,” Nadya tersenyum, “ kamu sendirian?”

Mata lo soak kali! Orang jelas-jelas dia sama gue! Dafuq! Maki Diandra dalam hatinya. “ Nggak liat? Dia sama gue dari tadi,” ujarnya sebal.

Nadya melirik ke arah Diandra dengan sinis, kemudian ia merubah ekspresinya dengan cepat. Seperti bunglon yang bisa merubah warna kulitnya. “ Oh, maaf, gue nggak liat. Hai, Di,” ia berkata sambil melemparkan senyum sok manis ke arah Diandra yang membuat cewek itu jijik. 

“ Ngapain lo disini?” sebenarnya itu bukan pertanyaan, namun kalimat perintah bagi Nadya untuk menyingkir. 

“ Mmm... gue boleh gabung, nggak?” tanpa memedulikan perkataan Diandra yang ketus, Nadya mengajukan sebuah pertanyaan kepada Daniel dan Diandra—namun spesifiknya ditujukan kepada Daniel.

“ Hah? Apa?” Diandra mendelik. Stok kesabarannya makin menipis. “ Ng...”

“ Boleh kok. Why not?” dengan santainya Daniel memotong ucapan Diandra. Kali ini cewek itu menoleh ke arah kekasihnya tersebut. What the hell?

Yeah! Thanks, Dan!” Nadya bersorak girang. Daniel tersenyum. Diandra mendengus kesal. 

Inilah salah satu kelemahan Daniel. Ia terlalu supel terhadap orang yang bahkan baru ditemuinya. Mungkin untuk saat yang tepat kelemahannya ini bisa dimanfaatkan. Tapi saat ini? Bayangkan saja kekasihmu mengobrol dengan cewek lain dan mencuekimu padahal kau ada di depannya.

Dan itulah yang terjadi sekarang. 

Karena merasa bahwa ia akan meledak jika tak segera pergi, Diandra pun berpindah ke meja sebelah yang kosong. Ia sedikit membanting piring dan gelasnya. Ia berhasil menarik perhatian beberapa pengunjung, namun rupanya ia tidak berhasil menyita perhatian Daniel dan Nadya. Bahkan Kiara, yang sedang melayani pengunjung di sudut kafè yang terletak agak jauh darinya menoleh dan memberikan tatapan ada-apa-Di?. Diandra tidak menjawab, hanya mengedikkan bahu dan cemberut. 

Cewek itu baru saja akan menyesap cappuccino-nya ketika Gabriel duduk di depannya sambil menggendong Fabio yang kini meminum susu dari botolnya. Sahabatnya itu menatap Daniel heran.

“ Kok dia malah ngobrol sama Nadya, sih?” tanyanya dengan alis terangkat sebelah. 

Diandra melengos. “ Ya itulah yang nggak gue suka dari Daniel. Terlalu supel!” ia berkoar-koar. Gabriel berupaya menenangkan sahabatnya itu dengan cara menepuk-nepuk punggung tangannya. 

“ Seharusnya lo bisa memanfaatkan kelemahan Daniel, Di. Kalo lo ngajak dia ketemu sama temen lo, kan dia bisa berkomunikasi dengan baik,” sarannya. Namun hal itu malah membuat Diandra semakin berkoar-koar. 

“ Ya, dan dia bakalan lebih merhatiin temen gue daripada gue. Tuh, lo udah liat sendiri kan buktinya? Sama musuh gue aja dia baik banget, apalagi sama temen gue,” omel Diandra. Gabriel terdiam. Ia tahu persis bagaimana Diandra saat marah. Setiap perkataan yang keluar dari bibirnya hanya akan menambah kemarahan cewek itu, ibarat api yang disiram bensin. 

Diandra melanjutkan makannya dalam diam. Gabriel juga sepertinya tidak berniat untuk mengajaknya mengobrol. Ia hanya mengedarkan pandangan ke seantero kafè sambil sesekali tersenyum kepada Fabio. Itu berlangsung selama dua puluh lima menit, sampai akhirnya Diandra menandaskan cappuccino-nya.

“ Gab, gue pulang dulu, ya?” ia menyuguhkan seulas senyum tipis kepada Gabriel walau terpaksa. “ Oh ya, berapa bill-nya?” 

Gabriel mengangguk sambil tersenyum, “ udah, nggak usah, nggak apa-apa.”

“ Duh, makasih ya, Gab. Tapi beneran nggak apa-apa, nih?” Diandra meyakinkan.

“ Duh, Di. Tega banget sih lo meragukan gue. Udah, nggak apa-apa,” kata Gabriel santai.

“ Ya udah, kalo gitu tiap hari gue bakalan datang ke sini, deh.”

“ Buat apa?” Gabriel mengerutkan dahinya. 

“ Biar dapet makanan gratis, hehehe...” cengir Diandra. Gabriel melengos. 

“ Pergi jauh-jauh, sana! Bisa bangkrut kafè gue nih,” usirnya, tentu saja dengan maksud bercanda. Diandra pura-pura marah.

“ Ah, payah, nih! Sama sahabat sendiri jahat gitu,” sungutnya. Gabriel tergelak. 

“ Iya, iya. Bercanda.” Ucapnya di sela-sela gelaknya. Tetapi sesaat kemudian tawanya terhenti karena ia menyadari sesuatu. 

“ Lho, lo nggak nungguin Daniel?”

Diandra menggeleng, “ nggak. Gue pulang naik taksi aja. Daaah, Gab.” Kemudian ia berjalan melintasi Daniel dan Nadya yang masih saja asyik sendiri. Daniel baru menyadarinya saat Diandra sudah berada di ambang pintu kafè.

“ Lho, Di? Kamu mau kemana?” tanyanya bingung. Diandra menoleh dan memberi cowok itu sebuah tatapan sinis.

“ Bukan urusan kamu,” jawabnya ketus. Pada saat yang bersamaan sebuah taksi kosong melintas di depannya. Dengan cepat cewek itu menyetop taksi dan pergi.

Daniel melemparkan pandangan penuh tanda tanya pada Gabriel yang berdiri tak jauh di sampingnya. Gabriel hanya mengedikkan bahu. 

***

Pagi hari begini kantor BEPIA masih sepi. Masih banyak detektif swasta yang belum datang. Daniel duduk diam di kursinya sambil bertopang dagu. Ada sesuatu yang memberatkan pikirannya sejak kemarin. Karena melamun, ia jadi tidak memperhatikan keadaan di sekitarnya. Sampai akhirnya...

“ DOR!!!” seseorang menepuk bahunya dengan keras sehingga ia terkejut. Daniel menoleh dan tampaklah Rey dengan cengiran jahilnya yang khas. 

“ Kampret lo, Rey!” maki Daniel sebal. “ Untung gue kagak jantungan!”

“ Duh, Dan, lo itu masih muda banget. Resiko lo jantungan itu kecil banget,” Rey menyimbolkan kata ‘kecil’ dengan jari kelingkingnya. Daniel mendengus.

“ Itu mah kagak kecil sama sekali, Rey. Jari kelingking lo itu nggak ada bedanya sama jempol kaki gue.” Sungutnya.

Rey tersenyum kecil melihat reaksi sahabatnya ini. Ia meletakkan tas yang dibawanya di kursinya yang berada tepat di sebelah kursi Daniel. Kemudian ia duduk menghadap sahabatnya itu. 

“ Ada apa sih, Dan?” tanyanya lembut. “ Nggak biasanya lo uring-uringan kayak cewek PMS gini. Ada masalah? Cerita, dong, biar plong. Jangan cuma disimpen di hati.” 

Daniel menghela napas panjang. Ia mengubah posisi duduknya sehingga berhadap-hadapan dengan Rey. “ Diandra, Rey...”

Rey memperhatikan dengan seksama. “ Kenapa sama Diandra?”

“ Dia marah sama gue sejak kemarin,” Daniel mengambil jeda dengan menarik napas. “ Kemarin kan gue ngajak dia jalan. Di kafè, kita berdua ketemu sama salah satu temennya, namanya Nadya. Terus gue ngobrol sama dia dan gue sadar gue agak ngacangin Diandra. Nah, waktu gue mau ajak dia pulang, dianya kabur duluan pake taksi.” Ia mengakhiri ceritanya. 

“ Itu dia salah lo, Dan,” Rey berkomentar, “ lo bukan lagi pria yang jomblo, yang bebas ngobrol sama siapa aja. Lo udah punya pacar yang kudu lo perhatiin.” 

Daniel mengangguk lemas. “ Gue tau, Rey, gue tau. Tapi yang bikin gue galau, gue udah nelponin Diandra sejak kemarin sore dan dia nggak jawab sekalipun. Malah di reject.” 

Rey menepuk-nepuk bahu sahabatnya. “ Udah, nggak usah galau. Gue yakin cepat atau lambat Diandra pasti maafin lo.”

Daniel mengangguk. Ia baru saja akan mengatakan sesuatu ketika smartphone-nya berdering. Layarnya menunjukkan sebuah nomor tidak dikenal. Spontan Daniel berdiri, melangkah menjauhi Rey. 

“ Halo?” sapanya sesaat setelah mengangkat telepon. 

Kami punya Diandra sama Kiara di sini. Kamu harus datang dan menyelamatkan mereka atau mereka mati.” Sebuah suara yang disamarkan menyahut dengan cepat. Mendengar itu, jantung Daniel langsung mencelos. Diandra dan Kiara. Kekasihnya dan adiknya berada dalam bahaya.

“ Kalian ini siapa?” tanya Daniel dengan suara rendah agar Rey tidak mendengarnya. Ia berusaha tetap tenang. 

Kamu nggak perlu tau siapa kami. Pokoknya kamu harus cepat pergi ke gedung di dekat bekas Pabrik Sepatu N.

Klik. Sambungan diputus. Daniel memasukkan smartphone ke dalam saku celananya dengan tangan gemetar. Kemarahannya telah sampai di ubun-ubun. Dia bersumpah akan mencincang siapapun yang berani membuat dua cewek yang sangat berarti dalam hidupnya itu berada dalam bahaya. Dengan cepat disambarnya jaket yang ia sampirkan di kursi.

“ Mau kemana, Dan?” tanya Rey. Daniel yang sedang mengancingkan jaketnya pun menoleh.

“ Gue ada urusan sebentar,” jawabnya berbohong. Ia tidak mau melibatkan sahabatnya dalam urusan ini.

“ Ooh, oke. Hati-hati ya,” ujar Rey tanpa curiga sama sekali. Daniel mengangguk, lalu berjalan keluar kantor menuju tempat parkir.

***

Daniel mengedarkan pandangannya ke sekitar gedung dekat bekas Pabrik Sepatu N yang sepi. Pagar kawat yang penuh karat di sana-sini menjulang tinggi di depannya. Pagar tersebut digembok. Daniel memutuskan untuk melompatinya. 

Kegelapan melingkupinya begitu ia memasuki gedung tua tersebut. Kalau tidak salah, gedung ini dulunya digunakan sebagai tempat pertemuan. Tetapi, akibat adanya insiden seorang kuli bangunan yang tewas tersetrum—plus sederet insiden yang menimpa kuli bangunan lainnya, gedung ini ditutup. 

Daniel terus berjalan menyusuri koridor dengan bantuan cahaya ponsel. Sampai akhirnya ia mendengar sebuah suara.

“ Halo, Daniel Dirgantara. Masih ingat aku?”

Cowok itu menoleh. Tampaklah Rossa, wanita yang pernah ditemuinya di bar sepuluh bulan lalu. Wanita itu menyeringai jahat.

“ Kamu...” Daniel seolah kehilangan kata-katanya. 

“ Ya, ini aku. Wanita yang dulu pernah kamu temui di bar. Wanita yang berstatus sebagai kekasih dari Raditya Dewantara sebelum kamu nangkep dia!” nada suara Rossa meninggi. 

Daniel menatap Rossa dengan sinis, “ maaf, tapi itu tugas aku,” ujarnya. “ Terus, apa maksud kamu nangkep Diandra sama Kiara?”

Mendengar itu, Rossa tertawa. Tawanya melengking, membuat Daniel harus menutup kupingnya. “ Ternyata kamu nggak sepintar yang aku duga, ya?” 

“ Maksud kamu?”

Rossa kembali tertawa. “ Bener kata orang, cinta itu membutakan.” Kemudian ia tersenyum miring. “ Kamu bahkan bela-belain datang ke sini untuk sesuatu yang nggak ada.”

Daniel semakin bingung. Rossa melengos.

“ Ternyata kamu emang nggak pintar sama sekali,” ejeknya. “ Sebenernya Diandra sama Kiara nggak ada di sini. Kami sengaja nelpon kamu buat ngejebak kamu.”

Daniel semakin bingung. Ia menunggu Rossa melanjutkan kalimatnya.

Sorry, Dan. But we have to do this...” 

Sebelum Daniel sempat bertanya, seseorang menembakkan taser dari belakang, menyebabkan dua buah peluru listrik menancap di jaketnya, membuat tubuh besarnya ambruk ke lantai. Dan perlahan-lahan, ia mulai kehilangan kesadarannya. 

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top