🍂| two wife :: XXI

Play multimedia

Happy reading 💜

Sudah nyaris seminggu, Tzuyu tidak pulang. Panggilan dan pesannya tidak ada satupun yang dijawab, Tzuyu hanya membacanya tanpa membalas apapun, bahkan butiknya juga ditutup, membuat jungkook semakin frustasi. Tzuyu sama sekali tidak memiliki sanak keluarga di sini, kenalannya kalau bukan pegawai butik ya si aktor sialan itu. Entah harus bagaimana lagi, ia mencari keberadaan Tzuyu.

Jungkook juga jadi jarang sekali pergi ke kantor. Lelaki itu semakin tertekan saat melihat Wonwoo telah dinaikkan jabatannya menjadi manajer oleh sang ayah, membuatnya kembali menjadi bulan-bulanan pegawai lain karena selama ini, kinerja Jungkook belum menunjukkan peningkatan. Apalagi isu miring soal dirinya yang tidur dengan Dahyun semakin menyebar.

Aisshh sudah tidak ada makanan lagi.” Jungkook berdecak dan kembali menutup pintu kulkasnya dengan kesal setelah mengambil sebotol minuman dan meminumnya hingga habis. Lelaki itu menghapus sisa air di bibirnya dengan tangannya, pandangannya terpaku pada Dahyun yang tengah berjemur di balkonnya. Terbesit keinginan untuk menghampirinya, tapi kejadian tempo lalu pasti masih berbekas. Dahyun pasti membencinya dan ia menyesali perbuatannya.

Jungkook menghela napas kasar. “Ck, kau benar-benar payah,” rutuknya pada diri sendiri. Lelaki itu memilih untuk pergi ke kamar mandi dan membersihkan dirinya. Kepalanya terasa berat karena sulit tidur semalaman, ia butuh penyegaran.

“Oh, kau masih di sini?”

Tzuyu menoleh saat mendengar suara Taehyung bergema dalam rungunya. Lelaki itu terlihat baru saja kembali dari jadwalnya untuk hari ini. Pemandangan yang sudah biasa ia lihat ketika Taehyung menyampirkan coatnya dan menggulung lengan kemejanya hingga siku. Memperlihatkan lengannya yang kokoh dengan otot bisep yang menonjol. Pemandangan itu juga tanpa sadar kembali mengingatkannya pada Jungkook.

“Tzuyu-ssi?”

“Ah ya?” Tzuyu agak terkesiap karena baru tersadar dari lamunannya. Taehyung tersenyum tipis, “Tadi aku bertanya, kenapa kau masih ada di sini? Masih belum bisa kembali?”

Raut wajah Tzuyu langsung berubah muram. Ia menggeleng. “Belum. Aku ingin menenangkan diriku dulu sebelum pulang ke rumah. Aku sudah lelah untuk bertengkar dengannya.”

“Kalau begitu, kenapa masih dipertahankan?” celetuk Taehyung tanpa sadar membuat Tzuyu menunduk dengan raut wajah tak nyaman. “Ah mian, bukan maksudku begit—“

“Kau benar, untuk apa aku bertahan jika Jungkook tidak pernah berubah?” Tzuyu menatap ke jendela, memandangi awan yang mulai berkumpul membentuk sekawanan awan besar berwarna hitam. Sebentar lagi sepertinya akan turun hujan.

“Sebenarnya … aku sudah lama memikirkan hal ini. Tapi setiap aku memikirkan akan berpisah dengan Jungkook, aku selalu mengingat kakek dan janjinya untuk memberikanku kebahagiaan bersama keluarga utuh yang selama ini belum pernah kurasakan. Saat aku masih kecil, kedua orangtuaku meninggal karena kecelakaan. Aku tinggal bersama kakek dan masa remajaku dihabiskan untuk belajar dan mencari uang. Rasanya, kehangatan keluarga sangat mustahil dapat kurasakan namun Jungkook berhasil membuatku merasakannya lewat kasih sayang—ah, mianhe, aku malah jadi menceritakannya padamu. Kau pasti sangat lelah, sebaiknya kau bersih-bersih dulu, aku akan—“

Taehyung menahan tangan Tzuyu saat wanita itu hendak pergi. Lelaki itu menatapnya dalam. Untuk beberapa saat, keduanya hanya saling berpandangan tanpa kata.

“Hei, bisakah kau tidak kembali padanya dan mulai membuka sedikit hatimu untukku?”

Dahyun menghela napas panjang seraya memijit keningnya yang pening. Kepalanya berdenyut nyeri karena terus memeras otaknya seharian ini untuk bekerja, nyaris tanpa istirahat. Semenjak hamil, kondisi tubuhnya tidak sekuat dulu. Dahyun jadi cepat lelah dan merasa pusing, jadwal makannya pun berantakan. Wanita itu semakin kurus.

Beranjak dari meja kerjanya untuk mengisi air minum di gelasnya yang sudah kosong. Dahyun berdecak saat melihat Jungkook tengah berjalan mondar-mandir di depan rumahnya. Terlihat seperti tengah banyak pikiran namun Dahyun langsung melengos tak peduli. Ia masih kesal dan kecewa karena ucapan Jungkook tempo lalu, benar-benar menyebalkan. Ia turut senang saat menyadari kalau Tzuyu juga masih belum kembali, lelaki itu memang perlu diberi pelajaran.

“Tsk, menyebalkan. Sebenarnya, apa sih yang ada di pikirannya? Bisa-bisanya ia menyesali perbuatannya padahal saat itu dia yang menginginkannya.” Dahyun menggerutu dengan manik yang terus mengamati Jungkook lewat dinding kaca yang melapisi bagian depan penthousenya. Lelaki itu terus berjalan bolak-balik, sesekali akan mencengkram rambutnya kuat atau menggigiti kukunya dengan pandangan kosong.

“Kebiasaannya masih sama seperti dulu tapi sikapnya benar-benar berubah. Aku suka Jungkook yang dulu.” Lama melamun, wanita itu baru tersadar saat Jungkook melihat ke arahnya. Wanita itu buru-buru berbalik dan kembali ke ruang kerjanya. Kembali mengabaikan lelaki itu seperti yang ia lakukan sebelumnya. Namun kakinya mendadak berhenti melangkah saat mendengar bell rumahnya berbunyi.

Perlahan, Dahyun mendekat untuk melihat layar interkom dan benar saja, Jungkook lah yang ada di luar sana. “Dahyun-ah, kumohon buka pintunya. Ada sesuatu yang ingin kukatakan. Jebal, beri aku kesempatan untuk meluruskannya.”

“Pergilah. Aku sedang tidak ingin menerima tamu,” ujarnya dingin tanpa membuka pintu. Ia berbicara lewat perantara interkom sehingga Jungkook pun bisa mendengarnya.

“Dahyun-ah, aku benar-benar menyesal.”

“Ck, basi.”

Jebal. Hanya sepuluh menit. Biarkan aku bicara.”

“Bicara saja dari sana, aku akan mendengarkan.”

“Tapi—“

Dahyun bedecak, “Baiklah, tapi hanya lima menit.”

Eoh, lima menit saja.”

Dahyun langsung membuka kunci pintu dan membiarkan Jungkook masuk ke dalam penthousenya. Wanita itu mendudukan dirinya di sofa seberang Jungkook yang dibatasi meja memanjang di tengah-tengah mereka.

“Ayo, bicaralah. Waktunya sudah berjalan.” Dahyun menyilangkan kaki kananya, bertumpu pada lutut dengan raut wajah dingin. Begitu mengintimidasi Jungkook di seberang sana.

Lelaki itu menunduk seraya menarik napas panjang. Terlihat sangat berat ketika bibirnya mengatakan, “Maafkan aku.”

“Maaf soal apa?”

“Ya … semuanya.”

“Semuanya? Ck, bukankah itu terlalu umum? Anak umur tiga tahun juga bisa mengatakannya.”

Terlihat sekali kalau Jungkook tengah sekuat tenaga menahan kesabarannya. Dahyun benar-benar muak. “Soal perkataanku tempo lalu. Saat itu pikiranku benar-benar kalut hingga tidak bisa berpikir jernih. Aku tahu, sejak awal, ini semua salahku. Saat aku tanpa sengaja merusakmu saat mabuk, kejadian di malam itu dan soal bayi di kandunganmu. Aku benar-benar minta maaf.”

Dahyun terdiam. Tangan kanannya refleks memeluk perutnya yang masih rata. “Sudah? Hanya itu?”

“Belum.” Jungkook mengangkat wajahnya yang semula menunduk, menatap Dahyun dan beralih melihat ke arah perutnya dengan manik berkaca-kaca. “Apakah dia … baik-baik saja?”

Dahyun berdeham. “Apa hakmu menanyakan keadaannya? Seperti yang kau bilang, bayi ini belum tentu anakmu.”

“Aku tahu, tapi aku akan mempercayai perkataanmu. Soal Jimin yang selalu memakai pengaman dan tidak meninggalkan jejak di tubuhmu.”

Rahang Dahyun mengeras. “Ya, kau pikir perkataanmu itu akan meluluhkanku?”

“Aku tahu, perkataan saja tidak cukup untuk menebus semua kesalahanku.”

“Kalau tahu begitu, kenapa masih bersikeras untuk mengatakannya? aku tidak seperti istrimu, yang luluh hanya karena ucapan manismu.”

Jungkook mendengkus geli, menertawakan dirinya sendiri yang seperti orang bodoh saat ini. “Tzuyu juga sekarang sudah tidak mau mendengarkanku,” gumamnya yang masih dapat didengar oleh Dahyun.

Wanita itu mengalihkan pandangannya. Hatinya agak nyeri saat mendengarnya. “Sudah lebih dari lima menit. Pergilah.”

“Baiklah, aku akan pergi tapi—aku masih bisa datang kemari, kan?”

“Untuk apa? Aku sibuk. Kau cari saja istrimu itu sampai dapat.”

“Entahlah, Tzuyu sama sekali tidak merespon. Apalagi ia pergi bersama lelaki lai—“

“Ya ya ya, aku tidak mau mendengarnya! Sudah sana pergi!”

“Baiklah, aku benar-benar akan pergi sekarang. Jaga kesehatanmu, jangan bekerja terlalu keras, kasihan bayi dalam perutmu. Aku pergi ya.”

Dahyun sama sekali tak mau melihat ke arahnya. Wanita itu baru mengalihkan pandangannya ke arah pintu ketika Jungkook benar-benar telah keluar dari rumahnya. Dahyun beranjak namun maniknya menangkap sebuah cokelat yang tergeletak di pinggiran sofa yang Jungkook duduki. Sepertinya lelaki itu sengaja meninggalkannya di sana. Wanita itu mengambilnya, ini cokelat kesukaannya.

Dahyun melayangkan pandangannya ke luar, mendapati Jungkook yang melayangkan senyum tipis ke arahnya sebelum masuk ke dalam rumahnya. Wanita itu berdecak lantas membaca notes yang ada dibalik cokelat itu, “Saat ke mini market, aku tak sengaja melihat cokelat itu dan teringat padamu jadi aku membelinya. Semoga kau suka, maafkan sikap kasarku waktu itu.”

“Lagi-lagi kau membuatku ragu untuk menghentikan semua ini.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top