3. Aku Mendengar Banyak Hal Tentangmu
Tahun 2003
Shakila menyesal meninggalkan syalnya di bus, karena suasana tepi pantai menjelang petang yang semilir, terasa cukup dingin baginya. Mungkin karena ia memang agak sakit, jadi sedikit saja perubahan cuaca amat memengaruhi tubuhnya. Kemarin ia sudah bilang ke mama untuk tetap tinggal di rumah, atau dititipkan saja di rumah nenek yang hanya berjarak sepuluh kilometer dari rumah orang tuanya. Namun, mamanya bersikeras agar Shakila ikut, karena ada Om Guntoro, jadi dia bisa sekalian periksa gratis sama Om Gun.
Mereka hanya berhenti untuk makan sebentar di daerah Probolinggo, sebelum melanjutkan perjalanan ke Bali. Iya, Shakila tidak salah dengar. Orang-orang dewasa ini mengadakan reuni di luar Jawa, setelah dua puluh dua tahun melakukannya di sekitar Jawa saja. Lalu sepuluh tahun kemudian, mau ke mana? Eropa? Atau Arab Saudi? Eh, tapi tidak mungkin karena Tante Diana dan Vale beragama nonmuslim.
Shakila memilih kursi di sebelah Divyani yang sedang main ular-ularan di Nokia 3310 Mama. Entah sejak kapan adiknya itu jadi kecanduan permainan ponsel, Shakila tidak begitu ingat. Tahu-tahu saja, Divyani tidak bisa terlihat diam tanpa memegang ponsel Mama, karena mereka belum boleh memegang ponsel sendiri.
Ngomong-ngomong soal ponsel, Shakila dengar dari gosip antar orang tua saat mereka sedang menunggu di tempat janjian ketemuan—karena seperti yang sudah-sudah, Om Gun pasti telat, namun kali ini dengan alasan malam sebelumnya beliau masih jaga malam di rumah sakit—kalau ia akan dibelikan ponsel jika berhasil masuk ke SMP negeri favorit dengan nilai memuaskan. Tante Vira, mamanya Nala langsung menyanggah rencana Mama Shakila dengan sinis.
"Kalau Kila sih jelas nggak perlu nunggu nilai UN atau masuk SMP favorit segala, wong anaknya udah pinter gitu. Dibelikan sekarang atau nanti nggak bakal ngaruh apa-apa, malah bikin temen-temen lainnya iri."
"Temen yang mana yang dimaksud?" sanggah Tante Diana. "Val nggak pernah minta ke saya kalau Kila punya mainan baru atau buku novel baru.”
“Ya teman sekelasnya di sekolah yang lain, lah,” balas Tante Vira. “Vale kan nggak sekelas dengan Kila, jadi nggak bisa dibuat patokan. Anak-anak, terutama anak perempuan banyak yang suka iri dan nggak mau kalah sama temannya, Nala juga gitu kok.”
“Wah, masa? Kok baru tahu,” Tante Di menutupi bibirnya dengan telapak tangan untuk menghalau gelak tawa yang menunggu dilontarkan. “Emangnya Kila sama Ivy pernah iri sama teman sekelasnya, Mbak?”
Sejak yang bisa Shakila ingat, teman-teman Mama selalu memanggil satu sama lain dengan sebutan yang cukup sopan, seperti Mbak atau Mas, meski mereka sebaya. Shakila tak tahu mengapa. Mungkin agak canggung bagi mereka jika tetap memanggil dengan nama tanpa embel-embel, karena mereka sudah setua ini.
Mama Shakila menggeleng, “Dulu teman sebaya Kila yang rumahnya beberapa nomor dari rumah saya punya rumah-rumahan Barbie, Shakila cuma main ke rumahnya sebentar untuk lihat, terus pulang lagi. Kayaknya memang tergantung karakter anak, sih, menurut saya.”
“Atau pola asuh orang tua,” Tambah Tante Diana. “Dari yang pernah saya pelajari dulu waktu sekolah S2, banyak orang tua yang tidak sadar jika pola asuh mereka kurang baik, dan hal tersebut bisa menimbulkan trauma untuk anak ke depannya kalau pemikiran tersebut tidak segera diubah.”
Tante Vira menatap Tante Di dengan wajah memerah seperti kepiting rebus, tapi tidak berkata apa-apa. Beliau lantas mengalihkan topik dengan mengobrol soal kedekatan Giandra dan Nala pada mamanya Giandra sambil bercanda soal mau dijadikan menantu. Pernyataan tersebut, tentu saja disanggah oleh Tante Amel. Mungkin beliau merasa jika ini terlalu dini untuk membicarakan tentang pernikahan, atau Tante Amel tidak berkenan jika Giandra berjodoh dengan Nala.
Di seberang Shakila, duduk Nala dan Giandra. Dari balik kausnya yang bergambar kupu-kupu, Shakila bisa melihat dada Nala mulai menyembul. Nala sudah menstruasi, kata Tante Vira. Nala sudah pakai miniset. Nala sudah jadi anak perawan, hanya itu saja yang beliau katakan tentang Nala, seolah menjadi dewasa di usia sebelas tahun adalah prestasi yang membanggakan.
Shakila menunduk menatap dadanya sendiri yang masih datar. Di antara anak-anak ini, dia anak paling tinggi nomor dua, posisi pertama dipegang oleh Valerie yang memang tumbuh seperti kacang panjang. Tinggi Giandra bahkan hanya sekupingnya padahal dia sudah khitan, dan Nala ... ah, dia bahkan cuma sedikit lebih tinggi dari anak delapan tahun (dibaca: Ivy dan Tadakara). Kak Pasha sudah umur lima belas tahun, dan dia tidak ikut acara ini karena lebih memilih untuk ikut memancing dengan saudaranya yang lain di kolam pancing Delta Fishing besok. Kak Pasha sudah kelas 3 SMP dan sebentar lagi masuk SMA, jadi mungkin dia merasa tidak cocok lagi bergaul dengan anak-anak SD seperti Giandra atau Tadakara. Seandainya saudara Mama mengajak Shakila pergi memancing juga, atau bahkan ke kebun binatang sekalipun, Shakila bakal langsung ikut, alih-alih mengikuti acara reuni tahunan Mama dan teman-temannya.
Shakila keluarkan buku dari dalam ranselnya, ia sedang mengikuti serial Chronicles of Narnia dan sudah sampai pada buku keempat berjudul Keponakan Penyihir. Shakila memindai tepi luar buku mencari bagian yang ditandai pembatas buku. Ia membuka pada halaman 115, menampakkan sebuah kartu pos dari London pemberian Om Yudhis, adik papanya, ketika pulang berlibur dari sana.
"Sudah nggak baca Harry Potter lagi?"
Shakila mendongak, cukup terkejut mendapati Giandra mengajaknya bicara duluan. Saat acara reuni, Giandra memang jarang ngomong dengannya kecuali saat ia ada masalah dengan Nala—dimana biasanya Nala selalu menang di mata Giandra—atau minta tolong hal sederhana seperti mendekatkan tisu atau sambal saat mereka di meja makan, itupun tisu dan sambalnya untuk Nala karena dia mungkin terlalu gengsi untuk minta sendiri pada Shakila.
"Nggak, udah habis Harry Potter-nya." Memang benar Shakila sudah menamatkan Harry Potter dan Tawanan Azkaban pada saat bulan puasa sambil menunggu waktu berbuka dan dia sedang menunggu seri keempat terbit.
"Kamu nonton filmnya juga, dong?" Giandra kembali berbicara. Ini pertama kali mereka membicarakan topik di luar urusan Nala, dan kali ini Giandra mengabaikan keberadaan Nala untuk menatap Shakila lekat dengan sorot keingintahuan yang besar. Mereka sedang membicarakan hal yang Shakila sukai, dan entah dari mana asalnya, hati Shakila menjadi hangat.
"Nonton, lah! Draco Malfoy ganteng banget. Tapi, aku nggak suka yang jadi Harry karena dia pendek."
Sesaat setelah Shakila mengatupkan mulutnya, ia sadar omongannya barusan bisa memiliki dua makna. Shakila berdeham, pura-pura lanjut membaca seolah tidak merasa bersalah. Giandra membuka dan mengatupkan mulut tanpa bersuara apa-apa. Makanan mereka datang, soto ayam untuk Shakila dan Vale, rawon untuk Giandra dan Nala. Menyusul sate ayam punya Divyani—yang Shakila curi satu tusuk karena Divyani belum mau meletakkan permainannya sampai mama menegur—juga nasi goreng untuk Tadakara.
Sepanjang makan, Nala terus menerus mengajak Giandra mengobrol, mulai dari membicarakan rambutnya yang tumbuh panjang melebihi bokong dan butuh dipotong tapi dia tidak mau memotong rambutnya pendek karena nanti dia akan terlihat tomboi seperti Shakila, katanya. Lalu membicarakan tentang pakaiannya yang baru dibeli khusus untuk dipakai ke acara reuni. Valerie mengalihkan perhatian Shakila dari si berisik Nala dengan membahas tentang Westlife. Valerie mengeluarkan Walkman-nya dan mereka memakai perangkat jemala bersisian, Valerie di telinga kiri, Shakila di telinga kanan. Mereka sedang asyik mendengarkan Queen of My Heart, dari album World of Our Own.
"Nanti aku duduk sebelah kamu ya, Val," kata Shakila selesai mereka makan. "Aku suka lagu-lagunya. Kita bisa dengerin lagu ini seharian tanpa bosan."
"Ya, kan? Aku yakin kamu juga bakal suka sama Westlife. Nanti sama aja."
Rombongan mereka memang menyewa satu mobil minibus untuk menghemat waktu dan mempermudah perjalanan, dibanding jika harus terpisah dalam kendaraan berbeda. Lagi pula pada waktu itu yang memiliki mobil pribadi hanya Om Gun dan Papa Shakila saja di antara sekelompok teman akrab ini, jadi kendaraan mereka mungkin akan berdesakan jika diisi banyak orang.
"Lho, aku nanti duduk sama siapa, dong?" protes Divyani dengan wajah cemberut. Sejak perjalanan berangkat, Divyani memang duduk di sebelah Shakila.
“Sama Kara!” Shakila mencibir.
“Ih, nggak mau. Kara ngeselin gitu,” Ivy mendengkus geram. Shakila hendak menjawab lagi ketika ia dengar Giandra bicara.
“Kalau gitu, Ivy duduk sama Vale di baris depan, biar aku Shakila sama baris di belakangnya. Kalian berdua posisinya lurus satu deretan biar bisa bagi perangkat jemala lewat samping kursi, aku pengin pinjam buku cerita Shakila. Boleh, kan?”
Shakila membelalak. Giandra mau duduk dengannya? Dia nggak salah dengar, kan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top