LIMA
Berangkat dari mimpi itulah aku berpikir bahwa mungkin tidak akan pernah ada pernikahan antara aku dan Ziyan. Setelah aku menyadari keyakinanku tentang mimpiku itu. Aku menangis sejadi – jadinya. Semua perasaan gelap menghampiriku.
Aku gelisah, aku kecewa, aku marah, aku kesal dan aku takut. Aku takut aku akan menyakiti hati Ziyan. Betapa aku sangat tahu bagaimana perasaan dia terhadapku. Dia selalu setia padaku. Dia selalu mencintaiku. Selalu menyayangiku. Selalu menerima semua kekuranganku dan kelebihanku dengan seimbang.
Aku tidak tahu aku akan dapat menemukan lelaki yang mencintaiku seperti cara Ziyan mencintaiku dengan semua tradisi surat – menyuratnya, dengan semua kelebihan dan kekurangannya, dia mencintaiku dengan sempurna tanpa dia sadari.
Oh, Tuhan... Aku tak mampu. Tak akan pernah mampu. Bagaimana mungkin aku mampu menolak lamaran yang Ziyan tunjukkan untukku? Padahal dia sangat tahu betapa aku pun sangat mencintai dirinya, sebaik dia mencintai diriku.
Oh, Tuhan... Mengapa Kau tega melakukan ini padaku?
Dengan bijak Kau pertemukan aku dan Ziyan disaat yang sangat tidak kami duga.
Sehingga kami bahkan tak akan pernah bisa untuk melupakan saat – saat seperti itu.
Kau tanamkan perasaan cinta di hati kami untuk satu sama lain.
Kau beri kami waktu untuk saling menyadari bahwa kami sama – sama jatuh cinta.
Kau beri kami harapan dan kesempatan untuk saling mengenal secara mendalam.
Dan syukurlah Kau masih menyayangi kami dengan selalu menjaga kami untuk tidak melewati batas semua aturan dalam agama-Mu.
Kau perdalam cinta kami satu sama lain.
Kau beri kami keleluasaan untuk menentukan arah berikutnya.
Kau membiarkan kami untuk bertunangan.
Namun, Kau memberhentikan kami di saat yang tidak tepat.
Saat dimana kami saling tidak dapat menjauh satu sama lain.
Saat dimana kami saling merasakan rindu yang menyayat hati karena tak dapat segera melampiaskan kerinduan kami satu sama lain.
Saat dimana kami sudah memantapkan hati kami. Sungguh ironis, aku yakin kedua kata itulah ingin kau katakan padaku. Bukankah begitu? Kali ini aku mengharapkan simpatimu, sobat.
Dengan tempo yang biasa saja –tidak terlalu lambat, juga tidak terlalu cepat– ku letakkan surat yang dikirim Ziyan untukku di sebuah kotak tempat aku biasa menyimpan surat dari Ziyan untukku. Lalu, aku beranjak mencari tasku dan mengeluarkan secarik kertas, sebuah balpoin dan sebuah amplop. Dan aku kembali menuju meja riasku.
Satu – satunya tempat yang bisa aku pakai sebagai meja. Karena sekarang aku hendak membalas surat untuk Ziyan. Dan mungkin ini surat terakhir yang sengaja aku tulis untuknya.
Surat perpisahan.
Dengan tangan yang gemetar aku paksakan diriku untuk tetap pada niat awalku, yaitu membalas surat Ziyan. Dengan perlahan, aku ajak menari balpoinku di atas kertas yang hendak aku jadikan surat.
Huruf demi huruf, kata demi kata, dan kalimat demi kalimat akhirnya aku selesaikan. Aku lipat suratku, dimasukannya surat itu ke dalam amplop yang tentu saja sudah aku sediakan. Aku tuliskan di atas amplop tersebut alamat tempat tinggal Ziyan dan aku bubuhkan perangko di sudut kanan atas dari amplop tersebut.
Tanpa aku sadari perangko tersebut bergambar Bunga Kamboja dan Bunga Terompet.
Ya, baiklah. Baiklah. Aku tahu kau penasaran dengan surat yang aku tulis untuk Ziyan. Benar kan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top