5. Captain America
Cerita lagi ya hari ini?
[Iya.]
Penulis, kenapa aku harus cerita sama mereka? Kenapa ... aku? Kenapa nggak Gio aja?
['Kan kamu sendiri yang bilang Gio meresahkan, gimana eta.]
Tapi aku nggak bisa bernarasi dengan baik dan benar.
[Baik dan benarnya urusan nanti, yang penting kontrakmu lunas--]
Aku juga nggak bisa cerita-cerita kayak gini. Aku nggak biasa.
[Lho, aku juga nggak biasa. Kamu tinggal ngomong, aku yang nulis. Lanjutkan.]
Hari ini, sebaiknya aku cerita apa?
[Ap--eh, itu ada orang.]
Oh! Maaf. P-penulis, gimana ini?
[Santai jangan kek gitu. Orangnya nggak gigit. Ceritain aja memorimu yang paling diingat.]
Ah, iya--
[Kayaknya kamu belum perkenalan diri dengan benar. Nanti deh, itu bahasan kapan-kapan.]
Oke.
Ehm. Penulis, jangan pergi!
[Eh, ai kamu 'kan mau cerita.]
Oh, iya.
Apa ya? Mungkin hari itu, saat kami sedang libur? Aku lupa kapan tanggalnya, atau harinya, tetapi aku ingat apa yang terjadi hari itu.
Tetanggaku, namanya Gio, mengundang menonton film yang baru dibelinya sore hari itu. Aku tidak punya alasan untuk menolak, lagipula menjelang malam, kegiatanku tidak terlalu padat. Jadi aku mengiyakan.
Gio bilang, dia bisa menonton film itu bersamaku setelah ibadah maghrib nanti. Aku lupa apa judulnya, tetapi film ini menceritakan bagaimana terlahirnya Captain America; anggota Avenger paling pertama.
Aku tidak terlalu tertarik sebetulnya, karakter Captain America hanya seorang pria berotot dengan kostum dan perisai. Dia pandai berkelahi, dermawan, dan berotot. Tidak ada kekuatan spesial.
Akan tetapi, aku tetap datang. Kami menonton film tersebut di ruang keluarganya. Ada sofa di sana, sebuah televisi, meja, karpet, dan rak buku.
Saat film-nya dimulai, sudah kuduga aku tidak begitu tertarik. Namun, Gio kelihatannya menyukai film tersebut, jadi aku tidak mengatakan apa pun sepanjang film itu berlangsung.
"Steven!" Tokoh Doktor baik hati dalam film memanggil 'Captain America' dengan nama aslinya seraya memukul-mukul kapsul.
Aku mengerjap. "Oh, nama aslinya Steven!"
"Iya." Gio yang di sampingku tersenyum. "Perasaan di awal udah disebut, kamu nggak merhatiin?"
"Lupa."
Di luar ekspektasiku, Gio meraih remote DVD kemudian mengeluarkan piringan film-nya. Aku mengerjap, menatapnya tidak paham. Maniknya bersirobok dengan milikku.
Dengan senyum simpulnya dia berkata, "Kamu nggak suka Captain America, bukannya bilang. Aku setel film lain, ya. Mau yang mana?"
Hari itu, aku tidak tahu harus bagaimana. Gio yang tahu aku tidak menyukai pahlawan satu itu tanpa bilang apa-apa, membuatku linglung untuk kali kesekian.
Kenapa Gio bisa langsung mengenaliku, tetapi aku kesulitan untuk melakukan itu?
"Eh, nggak apa-apa, kok! Kamu 'kan mau nonton."
Dia menoleh, masih dengan senyuman tipisnya. "Hm, iya. Tapi aku pengen kamu enjoy juga. Akhir-akhir ini, kayaknya kamu jenuh dengan tugas sekolah. Aku ajak nonton biar kamu bisa refreshing. Kalau kamunya nggak suka sama film yang kusetel, niat awalku nggak terlaksana dong?"
Hari itu, aku tidak bisa mengatakan apa pun selain mengangguk untuk respon.
Jantungku, untuk kali kesekiannya, bertalu-talu. Wajahku memanas, pikiranku tidak lagi fokus. Padahal, perhatian Gio hanya seperti itu.
Hanya seperti itu, tapi aku yang tidak terbiasa malah tidak kuat menyikapinya.
Jadi Gio, stop. It's simple, but it actually popped my bubblegum heart.
[Hai, biar penulis terjemahkan. Shelby bergaya sekali pakai Inggris.]
J-jangan gitu!
[Hm. Artinya tadi; Gio, berhenti. Sederhana sih, tapi bikin deg-degan. Kasarnya gitu. Cie, Shelby, cie.]
Penulis!
[Hehe.]
***
532 kata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top