3. Dia Kenal Orang yang Disukainya

Halo, lagi.

Bercerita lagi, ya? Aku mulai kebingungan, padahal yang pernah kami lewati banyak. Bagaimana dengan saat aku, Gio, dan kakaknya berkumpul di rumahnya?

Iya, aku sering mampir. Entah kenapa rasanya menyenangkan, padahal yang kami lakukan jika bertemu hanya berdebat mengenai hal-hal acak yang konyol. Atau biasanya bermain gim ponsel.

Hari itu, kalau kuingat-ingat, kakak Gio baru saja pulang entah dari perjalanannya yang mana. Aku tidak terlalu ingat. Banyak bertanya soal kepentingan orang juga bukan gayaku, jadi, hari itu aku cukup tahu dia sudah pulang.

Kami berbincang, di halaman belakang rumah Gio, di depan kolam ikan koi. Sebetulnya, yang duduk di depan kolam ikan koi hanya Gio dan kakaknya, Kak Bian.

Eh, ini sudah keberapa kali aku bercerita tapi belum memperkenalkan mereka kepada kalian?

Gio, sepertinya tidak perlu banyak perkenalan. Kalian sudah tahu dia orang yang baik. Dia juga pintar, berbakat, dan supel. Laki-laki yang baik.

Kak Bian, orangnya jahil. Pintar juga, terlalu jujur, masakannya enak. Mereka berdua mirip-mirip, hanya gaya rambut saja yang beda. Kalau Kak Bian memiliki rambut yang sedikit panjang, Gio rambutnya lebih rapi.

Aku? Aku dekat dengan keduanya. Gadis remaja ceroboh yang punya tetangga sebagai teman dekatnya. Eh, apalagi yang harus kau tahu tentang mereka? Kurasa cukup.

Oh, selain perkenalan yang kucantumkan di atas tadi--astaga, penulis, bagaimana ini? Aku ... aku kurang berbakat dalam bernarasi.

[Lanjutkan, anakku.]

Seperti yang kubilang tadi, selain perkenalan yang kucantumkan di atas, mereka juga punya perbedaan yang signifikan. Dimulai dari cara mereka memandang perempuan--sepertinya hanya itu yang terlihat jelas.

Gio berpegang teguh dengan pola pikirnya, kalau semua perempuan itu cantik bagaimanapun fisik mereka. Asal kepribadiannya cantik, mereka cantik di matanya.

Sedangkan Kak Bian, dia lebih melihat perempuan sebagai ... seseorang yang harus dilindungi. Seseorang yang harus diarahkan, seseorang yang harus dipimpin, seseorang yang harus dibanggakan.

Maka dari itu, Kak Bian lebih menyukai perempuan yang sudah dewasa sikapnya.

Apa hubungannya dengan cerita yang akan kusampaikan? Hm ... itu, seperti yang telah kuturkan, kami sedang berkumpul di halaman belakang rumah Gio.

Hari itu, aku yang setengah aneh dan setengah nolep ini sedang bernyanyi--lebih tepatnya berteriak--lagu Twinkle, Twinkle Little Star.

Itu lagu favoritku.

Kekanakan? Katakan apa saja sesukamu tentangku yang menyukai lagu itu sampai jadi favorit. Aku menyukainya karena melodi yang mudah ditangkap, lirik yang ceria, dan rima yang lembut.

Masalahnya, hari itu nyanyianku lebih terdengar seperti genre rock ketimbang lagu anak-anak.

"TWINKLE, TWINKLE LITTLE STAR!"

Kamu bisa membayangkan sesumbang apa nadaku hari itu. Aku bahkan terkejut mengapa Gio dan Kak Bian tidak kelihatan terganggu.

Hari itu, aku bernyanyi tak jauh dari tempat Kak Bian dan Gio terduduk. Kalau tidak salah, aku berdiri di samping sebuah tanaman hias yang tingginya sedada.

Pendengaranku cukup bagus, maka, aku tidak sengaja menguping pembicaraan mereka.

"Oi, Gio. Kamu sadar 'kan dia nyanyi lagu anak-anak dengan vibe rock 'n roll?" tanya Kak Bian. Aku tidak melihat wajahnya kala itu, sibuk pura-pura tidak mendengar.

(Tolong jangan ditiru).

"Dia aneh, lho."

Jangan marah, jangan kesal. Aku memang aneh, kuakui itu. Kak Bian tidak salah sama sekali. Jadi, aku terus bernyanyi.

Setidaknya sampai Gio menjawab pertanyaan Kak Bian.

"Kalau Kakak menyatakan apa yang kupikirkan, nggak usah khawatir. Aku kenal siapa orang yang kusukai. Dia unik, dan itu cukup."

Aku yang tidak sengaja mengupimg langsung mengatupkan mulut. Nyanyian yang sudah berputar beberapa detik lalu tiba-tiba menghilang.

Jawabannya hari itu tiba-tiba berputar dalam benak, terus menerus. Untuk kali kesekiam, aku bingung harus apa. Aku bingung harus bagaimana. Aku linglung.

Jawaban Gio hari itu ... bahaya.

Bahaya, pokoknya.

***

582 kata.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top