2. Karena Mereka Bukan Aku

Ini sudah hari kedua, aku masih bingung juga. Padahal, sudah berjanji kepada penulis work ini untuk bercerita setiap sempat.

Kali ini, aku mau cerita tentang apa? Entahlah, mari kulihat dulu.

... Bagaimana kalau hari itu, ketika aku sedang banyak bertanya-tanya tentang berbagai hal? Rasanya, hari itu, pertanyaan yang tertimbun dalam benakku bisa saja meledak keluar.

Takutnya, ledakan pertanyaan itu tidak dilunasi seperti apa yang kuinginkan. Aku ini haus akan keingintahuan, maka, jawaban pasti adalah apa yang kucari.

Beberapa kali aku memiliki pertanyaan, selalu tidak ada jawaban yang memuaskan. Mencarinya di internet juga tak membantu sama sekali, malah memunculkan blog lain yang bahkan tidak berkaitan dengan pertanyaanku.

Ah, tidak kok. Pertanyaanku tidak terlalu serius.

Semut bersin itu suaranya kayak gimana, ya?

Mungkin, seperti itu salah satunya. Kemudian, secara tidak terduga, aku memiliki pertanyaan tentang perasaanku sendiri.

Aku menyukai Gio, sepertinya semua orang tahu itu. Katanya, Gio juga menyukaiku. Masalahnya hari itu, kepercayaan diriku sedang menurun.

Pertanyaan ini adalah satu-satunya pertanyaan yang mungkin bisa disebut serius.

"Aku nggak spesial, Gio," ucapku hari itu. Kami sedang terduduk di halaman rumah Gio sambil menyantap es krim yang dibeli dari warung tak jauh dari rumah.

Hari itu, Gio tidak langsung menjawab. Dia hanya menatapku, dengan sorot matanya yang tidak bisa kuartikan. Kemudian, dia terkekeh.

"Kenapa ngomongnya gitu?"

Aku mengedik. "Soalnya, aku ini standar. Kamu bisa nemuin orang kayak aku di mana aja. Yang suka makanan, buku, baik hati--kata kamu--dan penyabar itu banyak. Aku cuma salah satu dari mereka."

Hari itu, Gio hanya mendengarkan. Dia tidak mengatakan apa pun, hanya menatapku sambil menunggu aku selesai berbicara--atau setidaknya begitu asumsiku.

"Yang suka film horor, sulit beradaptasi dengan film romantis, dan menyukai animasi itu banyak. Bukan aku saja. Aku ini sejatinya cuma template. Soalnya, basic banget."

Setelah beberapa lama hanya mengangguk dan menatap, akhirnya Gio angkat suara. "Hm, iya. Kamu basic."

Tidak, itu tidak membuatku merasa Gio kejam. Karena aku memang merasa demikian. Kalau Gio sampai setuju, artinya apa yang kurasakan juga benar.

"Kan? Terus, kenapa ... kamu menyukaiku?" Saat pertanyaan itu lolos dari mulutku, entah kenapa aku jadi ragu.

Bukan, bukan ragu. Aku malu. Ngapain nanya kayak gitu?

"Gimana, ya? Iya, banyak orang lain yang sama kayak kamu. Sikapnya, sifatnya, bahkan mungkin kesukaannya sampai ke yang terkecil sekali pun."

Hari itu, aku hanya mendengarkan. Tidak berani membantah apa pun yang keluar dari mulut Gio sebagai jawaban.

Es krim miliknya habis duluan. Dia beranjak dari duduk hanya untuk mendekati tempat sampah kemudian membuang tangkai es krimnya. Dia kembali duduk, menatapku dengan senyuman yang tersungging manis.

Ih, jangan senyum kayak gitu, dong.

"Iya, orang kayak kamu di luar sana banyak. Tapi, mereka bukan kamu, 'kan?"

"Eh?" Aku mengerjap. Gio masih tersenyum, menepuk puncak kepalaku dua kali.

"Karena mereka bukan kamu dan kamu itu cuma satu, buat aku, kamu itu spesial."

Hari itu aku linglung.

Hari itu, aku bingung.

Hari itu, aku hanya bisa mengangguk dan menghabiskan es krim yang mulai mencair.

Jangan mengatakannya dengan senyuman seperti itu, dong. 'Kan jadi susah buat mengelak. Gio meresahkan, ah.

***

500 kata.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top