12. Gio Mau Raditya Ngerti
Lah, si Gio malah ketawa.
Agak nyesal gue udah merinding duluan. Dianya kelihatan nggak apa-apa. Pengen ngomong kasar, jantung gue udah deg-degan duluan. Dasar manusia anak bapak.
"Lo kenapa ketawa?"
Gio berhenti. "Serius amat mukanya, Dit. Santai aja kali. Kek, lo pikir ini cerita fiksi di mana gue cowok protektif yang bakal marah sama temennya karena dia udah meremehkan si cewek? Kagak."
Lah?
"Lo manusia, lo punya pendapat. Berhak dong berpendapat, walau gue rada nggak suka cara lo menyampaikannya. Kek, kesannya Shelby rendahan banget buat gue."
Senyuman yang biasa Gio pasang sekarang terlukis lagi. "Shelby manusia, Dit. Manusia yang hebat. Lo nggak pernah gaul sama dia sih, jadi nggak ngerti.
"Emangnya gue siapa sampai harus dapat yang lebih spesial dibanding Shelby? I'm a nobody too, dude."
["Aku juga bukan siapa-siapa, kawan.]
Gue nggak tau harus ngomong apa. Sebagian dari otak gue kayaknya lupa kalau Gio tuh orangnya open minded banget. Nggak banget sih, cuma dia memang menghargai pendapat orang walau bisa bikin tersinggung.
Mata gue ngelirik ke sisi lain meja, tapi orang yang menyebut dirinya "Penulis" itu udah nggak ada di sana. Ruangan ini cuma diisi sama kita berdua, dengan kamera di sudut kiri atas yang menyorot ke arah gue.
Kayaknya si Penulis tadi memang merekam semua cerita yang orang-orang ceritain. Gue nggak tahu apa tujuannya, tapi gue yakin banget itu creepy.
"Lo pernah cerita sama si Penulis juga 'Yo?"
Gio ngangguk. "Sekali, kalau nggak salah. Penulis bilang, Shelby juga pernah cerita-cerita di sini. Sembilan kali. Berarti, cerita gue tuh yang kesepuluh."
"Ngapain dia minta cerita-cerita gitu?"
"... Gue nggak paham juga, Dit. Tapi katanya dapat poin gitu di FLC. Gue nggak tahu FLC apaan."
Gue berdiri. "Perkumpulan?"
"Keknya," balas Gio. Dia mengangguk. "Perkumpulan menulis kali? Habis dia kek bilang target-target nulis gitu."
"Mana gue tahu, 'Yo. Bangun-bangun udah di sini aja."
Gio bilang dia tahu caranya keluar dari rumah itu. Gue nggak nyangka kalau tempat kami sekarang tuh bentukannya rumah, kirain semacam bunker terpencil di antah berantah gitu.
Siapa tahu 'kan si Penulis memang orang nyeremin yang culik-culik cuma buat koleksi cerita hidup orang.
Rumah si Penulis nggak terlalu rame. Isinya cuma lorong-lorong, pintu-pintu, kemudian pintu keluar. Nggak ada perabotan, seolah rumah ini memang cuma dibuat untuk bercerita.
Gue masih bingung, tapi gue bersyukur tetap hidup. Dari apa yang gue tahu, Penulis keknya tertarik banget sama kisah "uwu-uwu" Shelby dan Gio.
Kesampingkan itu, gue lagi jalan berdampingan sama Gio sekarang. Man, canggung banget. Tahu sih, dia bilang nggak apa-apa. Tapi gue tetap merasa canggung.
"Mau tahu?" Dia tanya. "Mau tahu kenapa gue suka sama Shelby?"
Iya, boy. Gue penasaran.
Gio noleh, dia senyum kayak biasa. Bilang kalau dia bakal nunjukin kenapa bisa suka sama Shelby. Gue sih hayu-hayu aja, nggak ada kegiatan lain juga.
Dia jalan agak jauh dari rumah Penulis, terus berhenti di lapangan. Tangan kirinya ngeluarin kunci motor dari saku, lalu kami pergi dari sana. Gue dibonceng sama Gio. Sumpah, di perjalanan nggak ada ngobrol-ngobrolnya.
"Lo, ntar coba deh cerita ke Shelby. Cerita apa aja, yang berkaitan sama rendahnya kepercayaan diri," ucap Gio. Gue ngangguk aja.
Rada ngeri, tapi nggak apa.
Gue dan Gio sampai di rumahnya. Di halaman rumah, si Shelby udah duduk-duduk sambil mainin hape. Kami turun, jalan ke halaman. Gue ngerasa canggung banget, asli. Seolah perkataan gue tadi membuntuti dan siap menghantui.
Shelby ngelihatin kami, terus beranjak dari duduk. Dia senyum, nyambut Gio dan gue.
Lama bincang-bincang---yang sebetulnya nggak terlalu gue simak karena malah overthinking soal perkataan gue---gue akhirnya mendesah berat.
Pura-pura, sih.
"Kenapa?" tanya Shelby.
"Nggak tau kenapa ya, gue ngerasa lemah banget. Temen-temen di sekolah nggak ada yang terlalu mikir kek gue gitu, cowoknya. Gue salah gitu ya?"
Shelby mengernyit. "Salah gimana?"
"Ya, salah. Cara gue bersikap."
"Nggak, dong. Kenapa memangnya?"
"Mereka jadi punya ketegasan gitu. Kek, apa ya? Lebih manly. Ngerti nggak sih? Kek, gue nggak ada apa-apanya dibanding mereka. Mana nggak bisa ngapa-ngapain."
Gue nggak pintar ngarang, astatang.
Shelby mengangguk-angguk, gue bisa lihat wajahnya serius dibuat-buat. Terus, dia nyeletuk, "Jadi intinya kamu merasa insecure di antara teman-teman?"
Gue mengangguk.
"Apa karena kamu merasa, kamu lebih mleyot? Nggak bisa kayak mereka?"
Sekali lagi, gue mengangguk.
Sekarang, Shelby ngakak. Gue mengernyit, padahal gue lagi curhat. Gue tahu sih curhatan gue dibuat-buat, soalnya kek kepaksa gitu ngomongnya. Ditambah nggak kedengaran terlalu memprihatinkan juga. Lagian gue nggak mungkin mikirin gituan.
Tapi, Shelby ketawa? Gue sih udah pasti kasih bendera merah.
"Gini deh, Radit. Hal kecil kayak gini tuh, mirip sama gim RPG."
"Eh?"
"Iya, lho! Di gim RPG, banyak levelnya, 'kan? Di setiap level ada satu bos yang harus dikalahin. Semuanya pasti susah-susah, tuh. Tapi, setiap naik level, bosnya terus aja tambah susah.
"Sama kayak kemampuan dan bakat, Radit. You have your own level. Memang sih, masih ada banyak orang yang levelnya di atas kamu. Tapi pada akhirnya, bukannya sama aja? Pada akhirnya, semua bos di gim RPG sama-sama bos terakhir yang harus dikalahkan. Cuma beda level.
"Pada akhirnya, semua orang punya kemampuan dan bakat. Cuma beda jenis. Bukannya itu yang bikin hidup ini menyenangkan? Kalau semua orang sama, jadi nggak unik dong?"
Shelby kembali tertawa. Dia senyum, senyum tipis yang sebetulnya nggak berarti apa-apa.
Tapi entah kenapa, hati gue rasanya hangat banget lihatnya.
"Kamu hebat karena kamu adalah dirimu. Nggak usah disamain sama orang lain, ah. Lagian cuma masalah ke-mleyot-an aja."
Tahu dari mana? Lo nggak kenal gue.
Gue berkedip.
Lo jarang gaul sama gue. Kenapa bisa-bisanya bicara kayak gitu?
Selama ini gue mikirnya Shelby cuma orang yang sableng. Manik gue tanpa diperintahin langsung melirik Gio, yang udah ngelihatin gue ditambah senyuman bangga.
Seolah berkata, "Lo ngerti 'kan sekarang?"
Kepala gue ngangguk kecil.
Iya, gue ngerti sekarang.
Lo bukannya suka Shelby karena bakat atau fisiknya.
Lo suka sama dia karena dia simply tipe manusia yang mau mengerti dan menerima. Yang nggak peduli seberapa banyak pun kekurangan lo, dia bakal tetap suka.
Karena baginya, setiap manusia itu menyenangkan.
Gitu 'kan maksud lo, Gio?
***
1026 kata.
[Pray for Penulis nggak bisa nulis tinpik plapi tapi pengen lanjutin cerita ini supaya nggak terbengkalai.]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top