1. Nggak Mood Nulis
Ah, bagaimana mulainya?
Begini.
Ah. Bingung.
... Masih bingung.
Anyhow, mari mulai dari awal. Namaku Shelby. Sudah, itu saja. Apalagi ya? Aku ... remaja? Sudah, itu saja. Apalagi, ya?
Aku ... punya tetangga. Tentu saja aku punya tetangga, sebagian besar warga di Indonesia juga punya. Oh, iya. Soal tetangga itu.
Dia orang yang baik.
Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa aku ini seorang penulis. Menjadi seorang penulis itu tidak semudah kelihatannya. Banyak pasang-surut; mood menulis turun, tidak ada ide, imajinasi tidak berkembang, sulit menyusun diksi, dan lainnya.
Perlu diketahui terlebih dahulu, aku ini orang yang suka kuliner. Semua makanan bisa kumakan, semuanya bisa kucerna, semua bisa kutelan. Mungkin beberapa beresiko pada lambungku. Contohnya makanan pedas.
Itu bahasan lain waktu.
Tetanggaku, yang baik hati dan tidak sombong itu, tahu kalau aku adalah seorang penulis. Dia mendukung semua mimpi dan cita-citaku. Baik, ya?
Tempo hari, suasana hatiku entah kenapa sedang buruk. Waktu itu aku bosan, semua kegiatan yang biasa menyenangkan untukku saja kelihatan menjenuhkan.
Berhari-hari lamanya. Tiba-tiba kejadiannya.
Teman-temanku bilang, itu hal yang wajar. Apalagi aku jarang menghirup udara segar; selalu mendekam di kamar merupakan sesuatu yang tidak patut untuk dicontoh.
Keluargaku bilang itu wajar. Aku orang yang bersedia melakukan apa pun--menurut penuturan mereka. Aku siap untuk disuruh-suruh, aku siap untuk dipinta-pinta--menurut penuturan mereka.
Tetanggaku bilang, kebosanan yang kurasakan tempo hari juga pernah dirasakannya. Katanya, jauh dalam lubuk hatiku, aku ingin mencoba hal baru.
Sayangnya, hal baru yang kulakukan sekali pun tidak menghibur.
Aku sudah mencoba memanjat pohon, berlari keliling kompleks, bermain basket dengan anak-anak yang tidak kukenali, sampai membantu tetangga yang membutuhkan.
Hm ... apa aku ada di sini untukmu hanya untuk bercerita hal seperti itu? Tentu saja tidak.
Hm, biar kulihat, bisa dimulai dari mana.
Ah, iya. Hari itu, hari di mana aku bosan dengan segalanya, tetanggaku sedang tidak ada di rumah. Dia menginap di rumah nenek yang ada di Ujung Berung.
Hari itu, kami berbincang lewat sebuah aplikasi pengirim pesan. Kami membicarakan banyak hal, sampai dia bertanya bagaimana keadaanku hari itu.
Ah ... cuplikan percakapannya?
Ini, silakan.
***
[07:01 pm]
Nggak apa-apa 'kan?
Apanya?
Kamunya
Nggak kok,
Kok tiba-tiba :v
Padahal barusan lagi ngomongin permadani
Cuma nanya
Kamu masih nggak mood nulis?
Hm :')
Iya
Hiks hiks
Oh
[07:23 pm]
By,
Kalau ada gojek antar
martabak, itu aku yang beli
Dimakan ya, siapa tau bisa
naikin mood
Eh ....
***
Tempo hari, aku tidak tahu harus melakukan apa. Gio, tetanggaku yang baik hati dan tidak sombong, itu tidak memberitahuku duluan bahwa dia akan membeli sesuatu dari sebuah aplikasi.
Untukku.
Kalau dipikir-pikir, dia memang selalu membelikanku sesuatu kalau aku sedang bercerita. Katanya, Gio senang melihat senyumku yang mudah terbit ketika mendapatkan makanan.
Katanya, dia senang melihatku panik karena dibelikan makanan. Gio menganggap ekspresi panikku cukup lucu.
Katanya, Gio hanya ingin memberikanku hadiah selama dia bisa. Karena uang yang dimilikinya tidak banyak, dia hanya bisa memberikanku makanan-makanan warung.
Katanya, dia senang dengan aku yang mudah dibuat senang.
Katanya ....
"Kamu yang kayak gitu justru yang paling aku suka."
Ah, bingung lagi.
Gio itu berbahaya.
Hatiku tidak sanggup dengan perlakuannya yang seperti itu. Aku tidak biasa.
***
519 kata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top