Finale | The Ever After
Belasan hari berlalu semenjak hari terkutuk itu. Meski dua minggu sudah lewat, kegetiran masih nyata di lidah acap kali Lila disuguhi menu kerajaan yang luar biasa mewah. Entahlah. Padahal bukan ia yang memasak, tetapi mengapa semua ini terasa begitu melelahkan?
Barangkali, karena hidupnya yang dipakai untuk mencari Rapunzel mendadak tersia-siakan? Bayangan akan kekecewaan Ayah dan Ibu membuat tenggorokan Lila kering dan jantungnya berdentam-dentam.
Kalau ia gagal membawa pulang Rapunzel, apakah Lila masih diterima di rumah?
Ia juga tidak bisa mendapatkan calon suami di pesta kerajaan, lantas ke mana dirinya mesti pulang? Kembali meringkuk di pondok-pondok terbengkalai hutan?
Lila mengalami kecemasan luar biasa pada hari-harinya di kerajaan. Semua masalah itu, ditambah dengan Rainier yang tidak kunjung siuman di paviliun tabib. Mimpinya tiap malam mengulang hal yang sama: kemurkaan Ayah dan Ibu, atau Rainier yang merangkulnya dengan mata bersimbah darah. Rasanya sepekat direngkuh ancaman kematian pada malam-malam gulita yang Lila habiskan di hutan.
Lamunan Lila pecah ketika terdengar kegaduhan dari luar aula makan kerajaan. Ini adalah hari kelima belas, dan Lila belum mengerti bahwa kegaduhan itu akan menjadi titik mula dari akhir perjuangannya. Bersambut perhatian Putra Mahkota Ferdinand yang meletakkan peralatan makannya dengan dahi mengernyit, para anggota kerajaan lain ikut menghentikan sarapan.
Kemudian seorang pelayan datang untuk membisikkan kabar kepada Ferdinand. Ia beranjak seraya memberi isyarat kepada Lila agar mengikutinya. Lila lantas sadar apa sumber kegaduhan itu. Ketika mereka memasuki lobi terbuka dan mendapati Rapunzel dicengkeram oleh sejumlah prajurit, Lila merasakan darahnya berdesir.
"Apakah ia Rapunzel?" Ferdinand yang pertama kali menegaskan rasa jijik. Ia memandang Rapunzel dari ujung rambut ke bawah. Wanita itu sama sekali jauh dari lukisan-lukisan dambaan yang dijual di kota-kota. Rambut emasnya yang sepanjang pinggang mengusut seperti semak belukar. Kantong matanya tebal dan kulit wajahnya tertarik mengikuti kusutan rambut. Pakaiannya terkoyak dengan tidak senonoh, seolah belasan tangan berusaha menjamahnya untuk melampiaskan amarah. Aromanya busuk luar biasa dan nanah memenuhi garis-garis hitam di kulit.
Lila menutup mulutnya tak percaya. Apakah ia benar-benar kakaknya? Rapunzel lebih mirip penyihir yang kehilangan kekuatan dan jatuh tersungkur di perangkap terburuk hutan!
"Itu dia!" suara Rapunzel begitu serak saat berusaha menodong Lila. "Dia yang mencuri pangeranku! Dia menghasut adikmu, Yang Mulia, sehingga membuatku seperti ini!"
Kendati begitu sang putra mahkota masih menatap Rapunzel, dan tidak segan-segan mengerahkan segenap perasaan jijiknya di wajah. "Apa pembelaanmu, Nona Lila?" ia mendesah. "Jika ada yang ingin kau katakan, ucapkan itu, dan yakinkan aku."
Darah Lila berdesir. "Aku ...."
"Jangan khawatir. Meski ia kakakmu, tetapi karena kalian tak pernah berkumpul, apapun yang ia perbuat takkan berdampak padamu."
Kecuali gosip masyarakat. Itu tak terhindarkan. Ferdinand tampaknya ingin berkata demikian, tetapi memilih untuk mengunci mulutnya dengan bijak. Selama ia belum menjadi raja, dan selama ayahnya yang tua masih berkeliling negeri dengan sehat, Ferdinand tak berhak berucap lebih banyak. Posisinya di kerajaan masih seorang pengganti untuk sementara waktu.
Walau Ferdinand mempersilakan Lila, kenyataannya Rapunzel terus menjerit-jeritkan pembelaan. Ini membuat Lila mengepalkan tangan, merasakan berbagai gejolak menyakitkan di hatinya. Sayangnya ia tidak bisa menahan desakan di pelupuk mata.
"Aku menghabiskan separuh hidupku di hutan seluruh negeri untuk mencarimu, semata-mata agar Ayah dan Ibu tidak lagi menatapku dengan penuh kekecewaan." Lila menelan ludah. "Kaulah alasan mereka mencuri masa mudaku, dan kau memperburuknya dengan mengikuti jejak Dame Gothel."
Air mata menetes seiring dengan perih yang berdenyut-denyut. Kepalanya pusing. Ke mana ia harus pulang?
"Mengapa kau melakukan itu?" Lila terisak. "Apa kau ... apa kau tak pernah bermimpi untuk pulang?"
"Apa kau bercanda?" sentak Rapunzel. "Penyihir itu adalah satu-satunya yang kutemui seumur hidupku—siapa lagi yang bisa mengajarkanku cara bertahan hidup?"
"Yah, anak memang tiruan dari sosok paling berpengaruh di hidupnya." Ferdinand bergumam di samping Lila. Padahal sang putra mahkota membicarakan Rapunzel, tetapi Lila tersengat usai mendengar itu.
Sepertimu, yang mendamba rumah sepanjang hidup.
Ferdinand mengambil langkah menengahi. "Para prajuritku menemukan tidak hanya belasan kepala, melainkan puluhan lain yang sudah menjadi tengkorak tak berdaging. Semuanya tertimbun di bawah ladang sayur. Ada pula badan-badan tak tersentuh yang disimpan di sisi lain bawah tanah. Konon Gothel memang ... mengolah bagian dari mayat-mayat itu sebagai pupuk ajaib yang bisa menumbuhkan sayur-mayur setiap pagi. Itulah yang ia ajarkan pada Rapunzel." Ferdinand menggeleng saat wajah Lila memucat. "Bagaimanapun Gothel adalah penyihir gelap. Dia biasa melakukan hal-hal seperti itu."
Lila tak sanggup mengungkapkan isi pikiran. Jadi ... selama ini ia menyantap sari-sari mayat dari sayur-mayur itu? Lengkap sudah alasannya untuk tidak menyantap makanan selama sehari ke depan!
"Asingkan dia di penjara kandang sapi," kata Ferdinand kepada para prajurit. "Biarkan hakim pengadilan yang memutuskan hukumannya esok." Rapunzel melolong memohon ampunan, tetapi semua membiarkan suaranya menggema di aula tanpa balasan.
Ferdinand berbalik menatap Lila. "Kukira hukumannya adalah penggal kepala di depan massa. Apa kau setuju?"
Lila menegang. "Itu ...." Bagaimana bisa Ferdinand menanyakan hal seperti itu tanpa ekspresi? "Aku tidak tahu, Yang Mulia. Dia masih keluargaku, dan dialah tujuan hidupku selama ini sebelum ... sebelum aku mengenalnya."
Ferdinand menyunggingkan senyum. Sebuah seringai bengis yang mengisyaratkan kepemimpinannya kelak mungkin akan sedikit menyulitkan, dan sebaiknya Rainier bergegas menjauh dari sang abang. "Tentu saja engkau yang paling berhak memberi keputusan."
"Asingkan dia di hutan," kata Lila spontan. "Tanpa sihir, dan tanpa pengetahuan, kukira dia takkan bertahan lama di hutan."
Setidaknya Rapunzel akan mati secara natural, bukan dipenggal. Ada satu bagian hidup Lila yang tidak akan pernah sembuh jika menyaksikan tujuan hidupnya ramai-ramai dipotong di depan khalayak umum.
Seringai Ferdinand berubah mencemooh. "Kudengar kau adalah salah satu pemburu perempuan hebat di negeri ini," katanya. "Kupikir kau pasti sudah mempertimbangkan betapa hutan kadang kala tak mengenal hukum." Saat Lila tersentak akan ucapan itu, Ferdinand meninggalkannya dengan kata-kata yang lebih menghantui. "Rapunzel tidak akan dilindungi hukum, Nona Lila, dan mari kita lihat betapa hina akhir hidupnya kelak."
Lila ingin sekali menghentikan Ferdinand, tetapi pengalaman mengajarkan gadis itu untuk tak pernah menentang keputusan Putra Mahkota.
Omong-omong, esok sudah hari pengadilan. Kalau begitu, tak ada alasan lagi bagi dirinya untuk tinggal di kerajaan lagi.
Lila menyusuri kastel dengan cemas, memikirkan nasibnya kelak saat bertemu Ayah dan Ibu. Untuk pertama kalinya, ia tak benar-benar ingin pulang. Barangkali menempati sebuah pondok di hutan juga tak masalah, toh Lila pernah melakukannya beberapa kali. Ia juga mampu berburu, memasak, dan melakukan segala keahlian bertahan hidup ....
Lila berhenti melangkah saat bertemu Rainier di ujung tangga.
Kehangatan menyembur di dada Lila yang dingin. "Rainier," bisiknya, lantas teringat bahwa tak ada yang mengetahui keakraban mereka selain Rapunzel, gadis itu berdeham malu dan memberi penghormatan ringan. "Yang Mulia."
"Tidak apa-apa, Lila. Panggil aku seperti biasa." Rainier menghampiri. Perban melilit di kepalanya sebelah kiri, melintang menutupi matanya yang tidak akan pernah pulih. Ia juga tampak menyedihkan seperti Lila. Entah berapa kali piring makanan tak tersentuh selama belasan hari di paviliun.
Saat Rainier tiba tepat di depannya, sang pangeran terperangah. "Apa kau baru saja menangis?" ia mengangkat tangan, seolah berniat menarik dagu Lila dan memastikan bahwa mata satu-satunya tidak salah lihat. Tetapi ia menahan diri dan mengerling ke arah belakang punggung Lila. "Apakah sesuatu terjadi? Aku mendengar kegaduhan."
"Ya ... ada Rapunzel." Kemudian ia terdiam sejenak, menimbang-nimbang dengan sedikit sakit tak terelakkan. "Apa kau ingin menemui Rapunzel?"
Kekesalan yang meliputi suara Rainier membuat Lila bingung. "Mengapa aku ingin menemuinya?" sang pangeran menghela napas. "Aku mencarimu."
"Kau mencariku?"
Alih-alih menjawab, Rainier menyunggingkan senyum yang begitu kaku, seolah-olah bibirnya tak lagi pernah tersenyum semenjak matanya dinyatakan buta sebelah. Ia mengisyaratkan Lila untuk mengikutinya. Lorong-lorong familiar yang Lila lalui membuatnya tersadar bahwa Rainier sedang mengajak ke kamar sang gadis.
"Mengapa kita kemari?" tanya Lila gugup.
Rainier tak bergegas menjawab. Pemuda itu hanya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia menghampiri barang-barang Lila yang sudah terkemas di sebuah tas kulit. "Aku dengar besok pengadilan diadakan," kata Rainier. "Apakah itu berarti kau juga akan pulang?"
Lila mengatupkan bibir. "Ya," katanya dengan tercekat. "Alasan Putra Mahkota mengizinkanku tinggal di sini sementara waktu karena menunggu hari pengadilan."
"Tidak," sanggah Rainier. "Aku yang memintanya."
"Apa?"
Rainier berbalik menatap Lila. "Aku yang meminta Ferdy untuk menahanmu tetap tinggal. Bukankah kau pernah bilang orang tuamu melarangmu pulang tanpa Rapunzel? Lantas di mana kau bakal tinggal?"
Lila menundukkan pandangan malu. Ternyata Rainier ingat, padahal Lila menganggapnya hanya salah satu topik obrolan biasa yang dengan mudah dilupakan. Orang-orang mudah melupakan bagian tentang Lila, dan membingkai informasi sekecil apapun tentang Rapunzel di benak mereka.
Rainier mengambil langkah mendekat. Suaranya sepelan bisikan. "Dan sejujurnya, Lila, aku ingin sekali menemuimu. Tetapi aku benar-benar hancur selama beberapa hari. Aku kehilangan sebelah mataku." Saat Lila mengangkat pandangan, Rainier nyaris saja memalingkan muka, tetapi ia bertahan, dan merah berkeriap di wajahnya yang kelabu. "Aku tidak sanggup menemui siapapun dengan wajahku yang cacat. Terlebih-lebih dirimu. Aku tidak ingin mengecewakanmu lebih banyak lagi."
Lila terperangah. "Mengapa aku mesti kecewa dengan keadaanmu?"
Rainier mengusap wajah. "Lila, aku ingin sekali berterima kasih kepadamu. Andai kau tidak berulang kali mengusik—tidak, menyadarkan aku—barangkali kepalaku sudah tergantung di bawah tanah berdampingan dengan Ged, atau entahlah, mungkin saja kerajaan sudah berubah menjadi rumah baru seorang penyihir gelap." Lila bergidik mendengar penuturan Rainier. "Aku merenungkannya di hari-hari terpurukku, mengutuk diriku yang begitu mudahnya jatuh di bawah pengaruh sihir Rapunzel dan nyanyiannya yang mengubah hari-hari normalku seberat neraka."
"Itu bukan sepenuhnya salahmu," bisik Lila. "Dia memang menginginkanmu."
"Dan tetap saja aku terperangkap, bahkan berusaha membelanya di hadapanmu. Mata ini adalah bayaran akan kebodohanku." Rainier menggeleng. "Aku kecewa dengan diriku sendiri, Lila, dan aku malu mengakui betapa besarnya keinginanku ... agar kau tidak sama kecewanya padaku. Aku melewati hari-hari terakhirku di paviliun merangkai kata-kata untuk kukatakan kepadamu." Ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, dan tertawa sumbang. "Tapi menemuimu membuatku melupakan segalanya! Aku justru membahas hal-hal yang sebenarnya tak ingin kuungkit."
Padahal Rainier mengakui bahwa dirinya menyesal akan Rapunzel, tetapi mengapa nyeri yang melukai hati Lila semakin menguat? Gadis itu menghela napas. Matanya jelalatan ke sekeliling ruangan, berusaha mencari cara untuk mengusap kesedihan Rainier yang nyaris tak tertolong. Kemudian, sebuah gagasan terlintas di benaknya.
Ia mengangkat kedua telapak tangan, mengarahkan jari-jarinya yang penuh bekas luka gores di hadapan Rainier. "Seorang perempuan pun sewajarnya memiliki jari-jari yang lembut; yang mengerti caranya menyulam, membuai anak dengan kasih sayang, dan mencintai kekasihnya di malam hari. Tetapi aku memenuhi sebagian hidupku menjerat kelinci, memerangkap rusa, dan menerobos hutan-hutan untuk mencari Rapunzel." Lila menyunggingkan senyum. "Jika kau kecewa dengan kehilangan sebelah matamu, yang semata-mata terjadi karena kau berusaha menegakkan keadilan atas prajuritmu Ged, maka semestinya kau juga kecewa padaku karena aku bukanlah gadis seperti selayaknya."
Mata Rainier membulat. Alisnya berkedut. "Apa yang kau bicarakan?" tanyanya. "Aku tak pernah, sekali pun, terlintas gagasan untuk kecewa padamu lagi, Lila. Dan ini"—ia menggenggam tangan Lila—"adalah saksi pengorbananmu untuk orang lain. Rekam jejak akan betapa beraninya seorang gadis pemburu yang dikenal seluruh negeri. Kalau bukan karena seluruh pengalaman ini, kau tidak akan berani membuka rahasia seorang penyihir gelap dan menyelamatkan kita semua dari masa depan yang mengerikan ...."
Rainier memotong ucapannya saat Lila tersenyum lebar. Gadis itu meraih perban sang pemuda dan meletakkan jari-jarinya di sana. "Dan ini, Yang Mulia, adalah bukti keberanianmu menegakkan keadilan, mengesampingkan perasaan pribadi demi para pemuda malang yang menantikan kematian mereka terkuak pada dunia."
Rainier kehilangan kata-kata selama sesaat. Elusan jari Lila terasa begitu lembut di permukaan perbannya sampai-sampai pemuda itu refleks menghela napas pelan. Letupan emosi yang sudah di ambang batas pun menenang.
"Jadi ... kau tidak kecewa padaku?"
"Tidak. Itu hanya ketakutanmu."
"Benar. Aku takut." Rainier mendesah. Ia menurunkan tangan Lila, dan sama sekali tak melepaskan genggamannya. "Karena jika kau berbalik dariku, maka aku tidak punya siapa-siapa lagi."
Lila menelan ludah. "Bukankah kau mencintai Rapunzel?"
"Apa itu cinta?" Rainier tertawa sumbang. "Dia membuatmu berpikir bahwa kau mencintainya. Nyanyian pengantar tidurnya telah menyedot seluruh kebahagiaanku dan menyisakan perasaan hampa untuk melalui hari-hari yang normal. Dia membuat dirinya begitu diinginkan, dan bahwa tak ada yang pantas selain dirinya sendiri, dan aku akan nelangsa jika aku tidak bersamanya. Itulah yang ia lakukan selama ini, dan pada pemuda-pemuda yang dipotong kepalanya." Rainier terdiam sejenak dan mengangkat bahu. "Tabib kerajaan yang mengatakannya. Dia mengeluarkan sisa-sisa sihir Rapunzel dari dalam tubuhku. Itulah mengapa aku sempat kehilangan nafsu makan. Tapi, jangan khawatir, aku mulai pulih."
Lila mengangguk. Ia menarik tangan, semata-mata malu karena terlalu lama digenggam oleh Rainier, tetapi sang pangeran menolak. Ia mencengkeramnya. "Aku belum selesai bicara."
Lila terperangah. Apakah Rainier tidak sadar betapa vulgar sikapnya yang menyentuh gadis berlama-lama?
"Mungkin ini terlalu cepat untuk dikatakan," kata Rainier, dan sekarang pipinya merona tipis. "Dan aku juga tidak akan menggebu-gebu memaksakan diri berkata bahwa aku mencintaimu"—saat mata Lila membulat, Rainier mempercepat ucapannya—"tetapi aku ingin sekali kau berada di sisiku, Lila, dan sembari kita bersama-sama pulih dari situasi ini, aku perlahan mencintaimu—bahkan mungkin lebih dari itu, sebab aku sangat menyayangimu, dan kuharap kau tidak keberatan untuk dicintai seorang pemuda bermata satu."
Bibir Lila membuka kendati tak ada suara yang terucap. Paham bahwa gadis itu membutuhkan alasan untuk berkata-kata, Rainier menambahkan dengan senyum tipis. "Aku tidak ingin kau kembali dengan tangan kosong ke rumahmu yang mengerikan itu. Tidak. Andai aku bisa membantu mengubah nasibmu, Lila, maka aku melakukannya sekarang juga, sebab aku tidak mau kau selamanya hidup bersama dengan orang-orang yang menekanmu dan membayang-bayangimu akan sosok lain. Tidak. Aku ingin kau tinggal di rumahku, dan aku berjanji kau akan selamanya menjadi wanita nomor satu di hidupku."
Mata Lila membulat sempurna dalam keterkejutan. Ini ... pertama kalinya seseorang mengatakan hal itu kepada dirinya, dan sama sekali tak ada nama Rapunzel di sana.
"Bagaimana?" Rainier mendekat. Tangannya terulur memeluk pinggang Lila, hingga senyum refleks muncul di bibir gadis itu karena rasa geli, tetapi Lila tak sanggup menjawab. Ini benar-benar pertama kalinya seseorang menginginkannya, dan memikirkan hal itu membuat air mata meluncur di pipi sang gadis.
Rainier terperangah. "Mengapa kau menangis?"
"Tidak." Lila menyeka air mata dengan gugup. Kenapa ia malah menangis? Ia terlalu bahagia sampai-sampai dadanya nyeri luar biasa dan perutnya mual. Ia tidak percaya ini. "Aku hanya ... ini ... ini pertama kalinya seseorang mengatakan itu padaku."
Rainier menatap Lila lekat-lekat dengan terenyuh. Jujur saja, hatinya juga sakit mendengar itu, tetapi ia merasa sangat lega karena ia adalah yang pertama. Rainier menangkup wajah Lila dan mengusap kedua pipinya. "Apakah itu artinya iya?"
Lila lagi-lagi kehilangan suara. Air mata bergulir lebih banyak, tetapi setidaknya itu disertai dengan anggukan pelan yang sangat malu-malu. Tak mengapa. Itu lebih dari cukup bagi Rainier.
Ia boleh saja hanya pangeran kedua, tetapi ia juga tidak merasa siap andai Ferdinand tewas dan ia dipinta menggantikan peran sebagai putra mahkota. Ia sudah puas diserahi bagian kecil negeri di sisi timur dan menjadi gubernur di sana. Ia juga tidak keberatan kehilangan Rapunzel, karena—Demi Tuhan—dia mendapatkan yang lebih baik.
Apakah Rapunzel bisa berburu? Berburu pemuda untuk dicabut rambutnya, ya. Rusa? Tidak.
Apakah Rapunzel bisa memasak? Oh, Rainier meragukan itu.
Dan, apakah Lila mampu menyaingi cara Rapunzel membuainya? Hei, jika ada satu hal yang perlu kau tahu, maka Lila tidak butuh sihir untuk menarik perhatian seorang pangeran. Tidak ada kekosongan mengerikan yang menghantui Rainier setelah malam-malam menakjubkan.
Dan, ia puas dengan itu.
"Omong-omong, sebelum menemui orang tuamu, aku ingin kita berburu di hutan dekat desamu. Kudengar rusa-rusanya sangat besar di sana," kata Rainier, dengan senyum yang tidak pernah tanggal, membuatnya tampak seperti pemuda yang dungu. Tidak masalah. Ia mendadak suka menjadi dungu dan bodoh dan apapun itu selama gagasannya membuat Lila tersenyum geli.
"Ya, tapi rusa-rusanya sebesar beruang," suara Lila memelan, karena Rainier kini menempelkan dahinya pada dahi Lila dengan gumaman semangat. Gelenyar yang menyengat sang gadis sekuat sensasi saat jemari mereka bersentuhan pertama kali dulu, ketika Rainier menawarkan diri sebagai pasangan dansa pertama.
"Itu justru sangat menantang. Kau tidak trauma dengan bahu kirimu kan?"
"Sejujurnya, aku punya tekad untuk mencari beruang itu lagi dan mematahkan bahu kirinya. Aku masih ingat ciri-cirinya—dia punya codet di bawah telinga kanan."
Rainier tertawa, dan saat berhasil membuat Lila ikut tertawa dan melupakan tangisnya, rengkuhannya mengerat. Hanya perkara waktu yang memisahkan Rainier untuk mencium Lila. Dan saat ia benar-benar mendaratkan kecupan di bibir gadis itu, segalanya terasa sempurna.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top