Chapter V | Faithful hearts
Rapunzel bangun saat Rainier mengelus rambutnya. "Bangun, Rapunzel," suara sang pangeran yang tenang membelainya. "Sarapan sudah siap."
"Oh, aromanya menggoda." Rapunzel mengerang. Ia meregangkan tubuh, kemudian bersandar pada dada Rainier. Dia menyukai aroma para lelaki setelah bangun tidur. Rainier adalah yang terbaik. Pria itu beraroma kehangatan, kelembutan, dan harapan tanpa batas. Namun Rainier tidak membalas pelukannya seperti biasa. Kendati Rapunzel tahu bahwa sang pangeran menelan ludah dan tangannya mengepal erat seolah menahan diri untuk memeluknya.
Rapunzel akhirnya sadar jika mereka tidak sendirian di puncak menara. Lila diam di sisi pintu dengan nampan. Teringat bahwa dirinya terlalu lama memerhatikan Rapunzel merangkul Rainier, Lila mengalihkan pandangan dan berdeham. "Sarapan untuk kalian," katanya. "Kelinci panggang dan kentang tumbuk."
"Terima kasih, Manisku!" kata Rapunzel. "Tetapi, mengapa menu berat untuk sarapan?"
"Permintaanku." Rainier menurunkan tangan Rapunzel dari pundaknya. "Mari kita makan, ya? Aku harus bergegas setelah ini."
Rapunzel mengendus gelagat Rainier yang kaku, tetapi memutuskan untuk tidak membicarakannya karena Lila bertahan di pintu. Kenapa ia di sana? Rapunzel melarangnya kemari, tetapi Rainier juga tidak tahu peraturan itu, maka sang putri diam saja.
"Kau tidak sarapan, Lila?"
"Dia akan sarapan di sini," jawaban Rainier mengejutkan Rapunzel. Saat matanya membulat, sang pangeran melanjutkan dengan heran. "Dia selalu makan di bawah, Rapunzel, sesekali kita bisa makan bersama."
Rapunzel tersenyum lebar. "Oh, tentu saja," katanya. "Kemarilah, adikku, dan duduklah bersamaku."
Lila mengangguk. Sedari tadi gadis itu tak bersuara, tetapi Rapunzel tak ingin ambil pusing. Ia bergegas minum, lantas bersantap bersama meski lebih banyak keheningan meliputi. Masakan Lila juga anehnya sangat asin sampai-sampai Rapunzel dan Rainier berulang kali minum.
"Ini ... sedikit asin, bukankah begitu?" tanya Rapunzel heran.
Rainier ragu-ragu saat mengangguk. Ia melirik Lila dengan enggan. "Maaf, apakah kau bisa mengambilkan minum lagi, Lila? Air yang banyak."
Lila menyetujui, dan sekali lagi tanpa suara. Ia kembali tak lama kemudian dengan gelas-gelas yang lebih besar, sesuai permintaan Rainier. Rapunzel, yang merasakan tenggorokannya begitu serik dan kering, buru-buru meraih gelas dan meneguk—
Rapunzel menyemburkan air. "Apa ini?" pekiknya, saat tenggorokannya mendadak seperti terbakar. Namun sebagian air sudah terlanjur mengalir di dalam tubuh; Rapunzel merasakan cairan mendidih itu meluncur deras ke dalam perut.
Rapunzel, curiga akan yang baru saja diminumnya, menatap Lila dengan amarah menguar. "Apa yang kau berikan padaku?" dan tanpa menunggu jawaban, ia merenggut sang adik. Lila gelagapan saat Rapunzel mencekiknya.
Lila terhenyak, sekaligus gemetaran. Ada garis hitam yang membekas di sepanjang kulit leher Rapunzel hingga tenggelam di balik gaunnya, sesuai arah air yang mengalir di dalam tubuh. Saat Lila menatap Rapunzel kembali, mata sang kakak memerah darah.
"Apa kau baik-baik saja?" Rainier menarik dagu gadis itu. Wajahnya pucat saat berusaha menelusuri leher Lila yang tadi dicekik Rapunzel, memastikan tak ada torehan luka. Bayangan akan kepala Ged yang tergantung tanpa rambut di bawah tanah membuatnya trauma.
Belum sempat Lila menjawab, Rapunzel mendesis. "Kalian merencanakan ini!" suaranya melengking bagai rubah merah menyalak.
Rainier berbalik dan terkesiap. Rapunzel begitu mirip Dame Gothel, dan Rainier khawatir wanita itu telah berubah sekeji ibu asuhnya. Pelototan Rapunzel membuat Rainier refleks meraih tangan Lila, menahannya di belakang punggung sang pangeran.
Rapunzel semakin murka. "Pengkhianat!" ia menuding Lila. "Bukankah kau adikku? Mengapa kau merebut pangeranku?"
"Aku tidak—"
"Kaulah yang menipu kami!" Rainier membalas. "Apa yang kau lakukan pada pengawalku Ged? Apa yang kau lakukan kepada para pemuda yang kemari?"
"Kau seorang penyihir," Lila menimpali dengan suara gemetaran. "Mengapa kau seperti ini, Rapunzel?"
"Lantas apa yang kauharapkan dariku yang terkurung seumur hidup?" Rapunzel menjerit. "Hanya melihat orang yang sama setiap harinya, maka dari mana aku memelajari dunia kalau bukan darinya?"
"Kau boleh saja memancing orang datang dengan sihirmu," kata Rainier, "tetapi kau sudah kelewatan."
"Kalau tidak begitu, sihirku akan hilang." Mengabaikan kulitnya yang dipenuhi garis-garis hitam mengerikan dan berasap, Rapunzel meregangkan tangan. Ia menyeringai. "Kalian tak memberiku pilihan," lanjutnya. Rainier dan Lila tahu apa yang akan terjadi; itu adalah sikap para penyihir sebelum merapal mantra. Ketika Rapunzel membuka mulut dan mencoba menyanyi, ia menyadari suaranya bertambah serak.
Rapunzel menyentuh lehernya. "Apa yang kalian campur di airku?"
"Penangkal sihir gelap." Rainier mendengus, dan sebelum Rapunzel mengamuk, ia menambahkan. "Berhenti mencoba menghipnotisku, penyihir!"
Kemudian Rainier melompat. Ia melayangkan tinju, tetapi Rapunzel adalah penyihir; saat ia mengayunkan tangan, kepangan rambutnya tahu-tahu menjulur bagai tali dan merenggut tubuh Rainier. Sang pangeran berkutat melepaskan diri. Ia berusaha mengambil pisau dari sabuknya, tetapi kepangan itu telah memutar tubuhnya hingga pisau terjatuh. Sadar bahwa tak ada yang bisa sang pangeran lakukan, kepangan Rapunzel melemparnya keluar jendela.
Lila terkesiap. Satu detak lolos dari jantungnya. "RAINIER!"
Rapunzel menatapnya heran. "Kau bahkan memanggilnya dengan nama?" tanyanya. "Apa kau benar-benar adikku? Apa kau kemari untuk merebut para pemuda yang mencariku?"
"Bagaimana bisa kau mengatakan hal itu?" Lila menatapnya tak percaya. Napasnya tersengal-sengal oleh kepanikan. "Sementara ada timbunan tulang belulang dan kepala-kepala terpotong yang kau sembunyikan di bawah sana?"
"Sudah kuduga." Rapunzel menggertakkan gigi. "Kau memang bukan gadis penurut. Sepantasnya kau dihukum."
Lila berancang-ancang. Kepangan Rapunzel adalah senjata yang selama ini tak diduganya, lebih dari sekadar sihir dan rayuan untuk mempermudah para korbannya memanjat naik. Saat kepangan Rapunzel mulai menggelepar mengancam, Lila menyeberangi ruangan dan meraih pisau Rainier yang tergeletak. Ia tak memedulikan apapun. Air mata memenuhi pelupuk matanya yang memburam, dan mengabaikan rasa sakit yang membakar dadanya, seluruh fokusnya tertuju pada sihir Rapunzel. Sekarang kepangan itu menerjang ke arahnya bagai beruang yang pernah mencoba menerkamnya dahulu.
Lila melompat. Secepat tangannya mampu bergerak, ia merusak kepangan di ujung yang berhasil dicapainya. Pekikan marah Rapunzel mengiring. Saat tubuh Lila direnggut oleh kepangan itu, ia tahu ia akan bernasib setragis Rainier. Namun, gagasan itu pulalah yang membuat Lila tak menyerah. Ia mengiris helai-helai yang bergesekan dengan pisau di cengkeraman—helai-helai rambut hitam yang menjalin langsung dengan rambut emas asli Rapunzel.
Lila jatuh berdebum bersamaan dengan lebih banyak helai rambut yang berguguran.
"Hentikan itu!" Rapunzel menjerit. Melupakan sihirnya, ia mencoba mengumpulkan kembali berbagai helai rambut yang berceceran. Lila, yang tengah mengatur napas, menyaksikan kepangan Rapunzel jatuh terkulai seolah tak pernah hidup, sementara rambut emas Rapunzel mengusut dengan sendirinya. Sang putri panik, berusaha mengurai rambutnya agar kembali tertata, tetapi angin seolah mempermainkan dan mengacaukan rambutnya hingga menjadi sekusut semak belukar di luar menara.
Ini kesempatannya!
Lila buru-buru keluar ruangan, mengabaikan jeritan Rapunzel yang menyuruhnya kembali. Ia mengunci pintu menara, kemudian menuruni tangga secepat kilat sampai-sampai nyaris menggelundung jatuh. Ia meninggalkan dapur, melesat melintasi kebun, dan menerobos pagar mawar dan rhododendron. Duri-duri mawar menggoresnya lebih dalam.
Ketika ia mencapai sisi bawah jendela menara, tampak Rainier tersangkut di antara juntaian mawar.
"Rainier!"
Lila memotong dahan-dahan berduri dan menarik pria itu turun. Tangisannya pecah sewaktu melihat duri melukai sekujur tubuh Rainier, merobek ujung pakaiannya, dan menusuk mata kirinya hingga berdarah.
"Lila?" sang pangeran mengerang kesakitan. Bulir darah mengalir tipis di pelipis. Gelap oleh rasa sakit di kedua matanya, tangan Rainier yang terangkat berusaha mencari sosok sang gadis. Lila menangkup tangannya, merasakan dingin yang merambati jari-jari seburuk sesapan kematian. "Kau baik-baik saja, Lila ... ?"
Gadis itu menggeleng, semata-mata takut akan kemungkinan paling mengerikan yang bisa menimpa Rainier. "Tolong bertahanlah." Dadanya sesak. "Aku baik-baik saja, tetapi tolong bertahanlah."
"Aku tidak bisa melihatmu." Rainier gugup. "Segalanya buram."
"Kau akan baik-baik saja, Rainier, sungguh." Lila tidak tahu apakah dirinya berdusta. Sejujurnya, ia sedang mengafirmasi dirinya sendiri. Tangannya meremas tangan Rainier yang lemah.
"Jangan pergi, Lila." Rainier menarik gadis itu mendekat, mendekapnya erat-erat hingga wajah Lila terbenam di bahunya. "Jangan pergi dari sisiku ...."
"Tidak, tidak." Lila kalang kabut. Gadis itu baru saja akan menggoyang bahu sang pangeran, ketika terdengar suara ringkihan kuda Rainier di luar pagar. Lila tersentak. Bukankah sekarang adalah waktu Rainier biasanya pergi ke kerajaan? Maka, seraya mengerahkan sisa tenaga, Lila membantu Rainier berdiri.
"Berpeganganlah," kata Lila. "Aku akan membawamu ke tabib kerajaan."
Rainier tak mengucapkan apapun selain mencoba mempertahankan kesadaran. Saat Lila membopongnya, pria itu bersandar seutuhnya pada dirinya, dan Lila setengah menyeret sang pangeran menerobos pertahanan rhododendron.
Sederas air mata yang terus meluncur dari pipinya, secepat itu pula Lila menghalau kuda Rainier meninggalkan hutan. Ia tak pernah menoleh ke belakang lagi untuk menyaksikan apa yang Rapunzel lakukan.
Dame Gothel telah merusak Rapunzel lebih daripada yang diketahui siapapun selain mayat-mayat tanpa kepala itu.
Dan begitulah; sekeras hentakan kuda pangeran yang membelah keramaian pagi di desa luar hutan, selantang itu juga rumor yang membanjiri negeri. Kendati tak ada kabar resmi yang turun dari kerajaan bahkan setelah belasan hari berlalu, para penduduk sepakat meyakini rumor yang sama.
Pangeran Rainier menderita buta sebelah.
Namun, itu adalah berita yang paling melegakan dibanding kabar-kabar menyeramkan lain. Penduduk di tepi hutan berkata telah mendengar lolongan demi lolongan yang lebih menghantui daripada milik serigala dari dalam hutan. Para pemburu rusa bersaksi bahwa menara Rapunzel dipenuhi dengan aroma busuk dan kematian. Dalam sekejap, Rapunzel sang permata incaran berubah menjadi penyihir berharga mahal. Para pemburu rusa berbalik menjadi pemburu penyihir.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top