Chapter IV | Truth lies beneath the dancing feet
Karena Rapunzel masih lemas, Rainier turun untuk mengambil sarapan keesokan pagi. Lalu, kegelisahan yang menggerogoti wajah Lila membuatnya seketika cemas. "Ada apa?" tanyanya, lantas mendekat untuk benar-benar memastikan ketakutan Lila. Saat Lila menatapnya dengan napas memburu, Rainier menelan ludah.
Lila menceritakan segalanya dengan cepat: keajaiban sayur-mayur, serta kebengisan yang terpendam di bawah tanah. Spekulasinya—yang ia dapatkan setelah berjam-jam berpikir tanpa mampu terlelap—menyugesti bahwa ini ada hubungannya dengan demam yang merundung Rapunzel.
Rainier menahan napas. "Apa kau menuduh Rapunzel juga seorang penyihir? Karena demam menahan sihirnya untuk memberkati sayur-mayur itu?"
"Aku tidak menuduh." Lila ingin menangis. Itu adalah sangkaan paling hina untuknya yang mengorbankan sebagian usia mencari sang kakak! "Aku hanya menduga, dan sebaiknya engkau tahu, sebab kaulah yang menghabiskan malam-malam bersamanya!"
Mengatakan hal itu sudah cukup merobek lebar-lebar luka yang masih basah di hatinya. Lila tahu apa yang dirinya ucapkan, dan mengabaikan perasaannya. Itu tidak penting. Ada identitas-identitas yang perlu disingkap.
Ketika Rainier gamang, Lila menyelipkan segala kesempatan yang tersisa. "Mungkin saja ini perbuatan Dame Gothel yang memengaruhi Rapunzel," burunya. "Pemuda-pemuda yang sebagian tak pernah kembali? Kita semua tahu itu, tetapi tidak menanggapinya karena menara ini juga milik Dame Gothel."
Rainier menggeleng kuat. "Itu hanya rumor yang disebar para pemuda gagal karena sakit hati, Lila. Andai Dame Gothel memang menimbun puluhan mayat tanpa kepala, maka seharusnya kejahatannya sudah terendus kerajaan!" Ia menatap gadis itu jengkel. Matanya menelusuri tiap jengkal kegugupan di wajah Lila. Ia begitu menyayangkan kepanikannya. "Aku mengerti bagaimana Rapunzel membayangimu, tetapi tolong jangan tumpahkan semua kejahatan itu padanya hanya dengan sekali pikir! Kau bahkan tak pernah mengunjungi Rapunzel di kamarnya."
Lila terkesiap. "Rainier, aku—"
Rainier mengangkat tangan, menghalangi kedua mata Lila untuk menatapnya. "Aku mesti kembali ke kerajaan," selanya, "untuk menghadapi banyak pekerjaan. Menara ini adalah satu-satunya surgaku, Lila, dan saat Rapunzel sakit, kuharap kau juga tidak mengecewakanku." Kala Rainier menurunkan tangan, Lila terperangah mendapati tatapan pemuda itu sarat akan sisa-sisa harapan.
Seolah-olah sikap Rainier barusan adalah upaya pribadi pemuda itu untuk mencurahkan sesuatu yang tersembunyi.
Bisikan Rainier adalah salam perpisahan pagi itu, sekaligus penabur garam di luka Lila.
"Kau ingat janjimu membalas budi di hutan waktu itu? Aku ingin memintanya sekarang, dan aku ingin kau beristirahat."
"Tapi, Rainier—"
"Lila." Sang pangeran merapat, terlampau dekat di daun telinganya. Lila tak sanggup berkata-kata lagi. "Kau adalah orang paling terakhir yang ingin kumusuhi. Apa kau mengerti?" Lila menahan napas. Rainier mencondongkan tubuh terlalu dekat, sampai-sampai napas hangatnya menerpa helai-helai rambut emas Lila. "Karena itu ... tidurlah. Kau memerlukan istirahat, aku tahu itu. Kau tak perlu mengkhawatirkan masakan apapun hari ini. Akan kubawakan makan malam dari kerajaan."
Lila berhalusinasi sang pangeran ingin mencium pipinya. Itu tidak mungkin. Lagi pula yang ia saksikan sekarang adalah sosok Rainier yang melangkah mundur, lantas menghilang ke puncak menara. Embusan hangat napas sang pangeran yang membisikinya terasa bagai kenangan palsu.
Namun Lila tak mau menyerah. Ia perlu membuktikan bahwa Rainier salah menduga. Lila akui sering cemburu dengan Rapunzel, tetapi ia takkan berbuat sejauh menuduhnya. Ia ingin membuktikan andai segalanya adalah perbuatan Dame Gothel, maka Rapunzel bisa dibersihkan dari sisa-sisa kejahatannya.
Itulah balas budi yang ia putuskan.
Lila menggeledah seisi lantai dasar dengan harapan menemukan sesuatu, tetapi nihil. Ia lantas teringat bahwa Rapunzel melarangnya membuka pintu di ujung. Dari gelayut kesuraman yang melapisi pintu, tampaknya ruangan itu dahulu milik Dame Gothel. Lila memberanikan diri membukanya, dan terkejut mendapati tangga yang mengular jauh ke bawah.
Lila menguatkan tekad. Ia tahu, jika dirinya melangkah lebih jauh, ia akan merusak kepercayaan Rapunzel dan menguatkan amarah Rainier. Namun, jika itu mampu menyempurnakan kebaikan Rapunzel dan menyelamatkan Rainier dari menikahi residu sihir gelap, maka itulah yang akan Lila lakukan. Sang gadis membawa satu lempengan lilin untuk menemaninya.
Semakin jauh Lila melangkah, semakin kuat tercium aroma busuk dan kematian. Di ujung tangga ia menemukan ruangan berisi kuali yang mengepul, api hitam yang senantiasa membara, dan kepala-kepala yang digantung di seluruh penjuru dinding. Lila nyaris muntah. Tubuhnya menggigil melihat wajah-wajah dengan mata pucat melotot dan belatung-belatung yang menngerubungi tepi potongan leher. Lila juga tak memercayai matanya saat menelusuri tiap kepala tanpa rambut itu—seolah-olah rambut mereka dicabut paksa hingga tuntas dan menyisakan ribuan jejak titik merah yang kini mengerut.
"Lila?"
Gadis itu melonjak kaget. Ia mendengar suara Rapunzel menggema di atas. "Lila, Sayangku, di mana engkau? Aku sangat haus ...."
Jantung Lila berdentam-dentam. Kakinya gemetaran dan lututnya begitu lemas saat ia mencoba menaiki tangga. Suara Rapunzel terdengar lebih jauh, disusul suara keriut pintu menuju kebun. "Lila?" ulang Rapunzel, suaranya terdengar sangat serak. "Kau membuat sup, Sayang? Aku sangat membutuhkan minum."
Memanfaatkan Rapunzel yang menengok kebun, Lila berderap ke lantai dapur. Ia menutup pintu dan memasuki kamar, mencoba menenangkan dirinya yang teramat gugup, lalu keluar saat Rapunzel memasuki dapur lagi.
"Oh, apakah kau baru bangun tidur?" senyum Rapunzel lemah di wajahnya yang pucat. "Maafkan aku, tetapi apakah kau tidak lapar, Manisku? Pangeran akan sarapan di kerajaan, jadi jangan khawatirkan ia."
Lila menyadari bahwa Rainier tidak bercerita kepada Rapunzel mengenai obrolan tadi. Dadanya bergemuruh, sebagian karena kelegaan yang terasa begitu keliru. "Aku akan memanggang kelinci," katanya.
Rapunzel mengernyit. "Tidak ada sup, Lila? Aku sangat menginginkan sup."
"Tak ada sayur pagi ini," kata Lila sangat pelan. Ia semakin panik saat Rapunzel merespons dengan mata membulat, seolah-olah ada yang terlupakan. Lila mencoba mengabaikan itu dan bergegas menimba air sumur.
Sayangnya, pagi itu dijejali kegelisahan. Lila tak sanggup memasak dengan baik. Matanya selalu tertuju pada kepangan rambut Rapunzel yang mengular di lantai. Di bawah pancaran cahaya lilin-lilin yang lemah, keajaiban kepangan itu juga tidak seberapa. Rambut Rapunzel memang emas, tetapi kilaunya redup. Lila menyadari jalinan warna-warna lain yang selama ini membuat kepangannya tampak seperti pelangi; helai-helai hitam, helai-helai cokelat kelabu, helai-helai pirang pucat ... dan helai-helai yang ikal padat, atau helai-helai lurus sempurna yang jauh dari karakter rambut emas Rapunzel yang bergelombang lembut.
Helai-helai rambut siapa itu? Lila pun teringat akan kepala-kepala tanpa rambut yang digantung di bawah.
Apakah itu sungguhan perbuatan Dame Gothel?
Rainier tersiksa dengan kegelisahan tanpa tuan yang menghantuinya.
Ia tak pernah seperti ini. Jika malam sebelumnya ia dibayangi oleh kekesalan karena Rapunzel tidak kunjung sembuh, sekarang ia digerayangi ketakutan. Ini gara-gara tadi pagi. Apakah kata-katanya menyakiti Lila? Mendapati kekecewaan meliputi Lila saat saran Rainier meluncur membuatnya merasa sangat bersalah. Jujur saja, ia berulang kali melamun selama bekerja di kastel.
Semoga Lila tidak marah padanya. Ia akan meminta maaf dan mencoba mendudukkan masalah itu. Barangkali itu memang perbuatan Dame Gothel. Rainier tadi pagi jengkel karena rasanya Lila menuduh seorang penyihir yang merawat Rapunzel dengan begitu hebat. Hei, apa jadinya Rapunzel tanpa Dame Gothel? Dan harusnya Rainier juga bersikap lebih baik—hanya karena kemarin telah memastikan betapa familiar kehidupan mereka ... bukan berarti Rainier mampu menyimpulkan sikap Lila seolah-olah itu juga hidupnya.
Rainier tiba di menara dengan makanan berlimpah. Meski begitu, ia tidak menemui Lila terlebih dahulu. Entahlah. Tahu-tahu saja ia merasa belum siap menemui gadis itu, khawatir tidak mampu mengatakan hal yang pantas selain ucapan-ucapan penyulut pertengkaran.
Dan Rainier tak mau ada perdebatan lagi di antara mereka.
Ia menemani Rapunzel makan malam kali ini di puncak. Rapunzel sudah membaik, dan itu membuat suasana hati Rainier membaik. Rapunzel juga minum sangat banyak hari itu karena Lila menimba satu gentong air sumur.
Rainier tersenyum. "Aku tak sabar mendengar nyanyian pengantar tidurmu lagi."
"Aku pun." Rapunzel mengecup pipi Rainier, seketika mengembuskan harapan dan rayuan yang sangat ingin Rainier selami. Oh, ia merindukan sensasi ini. Tubuhnya pun merindukan hal yang sama. Ia ingat betapa magis sentuhan Rapunzel di sekujur badan, rengkuhannya yang lembut, dan bagaimana cara sang wanita menghalau pergi segala kegelisahan Rainier. Tiap ucapan Rapunzel bagai tegukan botol-botol ramuan cinta terbaik.
Rainier tidak turun untuk menaruh nampan. Itu bisa dilakukan besok. Ia memanjat ranjang, menyusul Rapunzel, dan membiarkan sang wanita memanjakannya. Tidak butuh waktu lama hingga Rainier dibuai hingga terlelap dengan nyanyiannya yang merdu, seperti sedia kala, dan malam-malam kembali indah bagi Rainier.
Namun, pria itu bermimpi buruk.
Ia memimpikan Lila, gadis yang meringkuk ketakutan di bawah kakinya. Gadis yang tahu-tahu terlempar ke hutan tanpa cahaya, berjalan tanpa petunjuk dan kembali tersuruk di lubang-lubang jebakan rusa. Gadis yang dengan gaun gemerlapnya justru memancing mayat-mayat tanpa kepala untuk mendekatinya.
Rainier tersentak. Ia disambut dinginnya ruangan dan kegelapan muram yang menggelayut pekat. Rapunzel terlelap memunggunginya. Tanpa cahaya, rambut emasnya terlihat pudar dan kusam, membuat Rainier sempat berpikir ini adalah mimpi buruk kedua. Namun, ini kenyataan. Rainier bergegas bangun dengan perlahan dan memastikan masih ada sejengkal waktu sebelum fajar. Biasanya Lila sudah bangun untuk memetik sayuran sekarang.
Sembari menuruni tangga, Rainier termenung.
Ada yang berbeda, bukankah begitu? Rasanya seperti ... ada kehampaan besar, dan kecemasan saat mengarah ke lantai bawah. Rainier berhenti melangkah tepat di tengah-tengah tangga. Ia mendongak. Ia ingat, pada malam-malam pertamanya di sini, Rainier merasa seperti seorang pemuda kesayangan Tuhan yang tidak lagi dibebani masalah dan ditenggelamkan pada lautan kenikmatan. Namun, itu hanya berlangsung pada malam hari saja. Keika Rainier kembali ke kerajaan, hari-harinya berlangsung seperti biasa dan sama menjengkelkannya selama ada Ferdinand dalam pandangan. Oh, bahkan kesehariannya terasa lebih buruk karena ia selalu buru-buru ingin dimanjakan Rapunzel lagi.
Dan ....
Rainier memandang ke arah dapur di bawahnya. Ia tidak mengerti mengapa, tetapi Lila memberikan kesan yang berbeda. Tidak ada sesuatu yang menggebu-gebu. Heh. Rainier bahkan semula tidak memikirkan Lila, karena wajah Rapunzel senantiasa membayang-bayanginya.
Tapi—oh Tuhan—akhir-akhir ini Rainier selalu kepikiran Lila. Ia merasa jantungnya berdegup tak karuan ketika justru wajah Lila yang muncul di benaknya saat Rapunzel merangkulnya semalam.
Rainier menarik napas dalam-dalam. "Tidak mungkin," gumamnya gugup. Itu hanya karena Lila bersikap begitu mengganggu. Ia harus memastikan kondisinya sekarang.
Benar. Itu pasti karena Lila yang bertingkah tak wajar dan mengusik ketenangan.
Dugaan Rainier tepat. Lila sudah berada di kebun sewaktu Rainier menyusulnya. Tetapi alih-alih mendapati Lila sedang memetik, gadis itu melamun.
"Lila." Rainier menghela napas lega melihatnya baik-baik saja. "Mengapa kau diam?"
Lila menatapnya dengan kosong, seolah-olah seluruh emosinya telah direnggut ketakutan, dan kini tak menyisakan apapun selain kepasrahan. "Sayurnya tumbuh."
"Apa?"
Lila menunjuk ladang mungil yang begitu gembur dan dipenuhi kubis-kubis, wortel-wortel, dan kentang-kentang yang gemuk merekah. Itu seharusnya adalah hal yang bagus, tetapi bahkan Rainier merasakan apa yang mencengkeram Lila. Ia menarik sang gadis agar menatapnya dan menyadari betapa hebat tubuh Lila gemetaran.
"Lila." Rainier membeliak. "Tenanglah. Ada apa denganmu?"
Lila tak bisa menahan diri. Seiring dengan bulir-bulir air mata yang meluncur, ia menceritakan apa yang disaksikannya kemarin. Semakin jauh Lila bercerita, semakin lemas cengkeraman Rainier di pundaknya. Sang pangeran memucat saat Lila usai bertutur.
"Maafkan aku," suara Lila tersendat. "Tapi percayalah padaku. Aku ... aku hanya tak ingin kau menikahi seseorang yang menyembunyikan sesuatu darimu. Bahkan jika itu adalah kakakku."
Rainier merasakan hatinya sakit, sekaligus berang, dan mendadak muncul keinginan menyadarkan Lila bahwa itu sekadar sisa-sisa peninggalan Dame Gothel. Namun, satu sisi dalam dirinya menolak. Ia ingat betapa tak masuk akal satu malam tanpa nyanyian merdu Rapunzel yang membuatnya bertanya-tanya. Maka, Rainier dengan berat hati mengikuti Lila ke ruang bawah tanah.
Reaksi Rainier jelas. Ia tak pernah melihat kejahatan sekeji di depan matanya. Ia seketika menutup mulut, berusaha menahan muntah yang naik ke tenggorokan. Namun, ia tak bisa menahan air mata yang memenuhi pelupuk saat mendapati wajah yang paling dikenalinya tergantung di hadapan.
"Ged?" Rainier terguncang. Ia menghampiri potongan kepala itu dan merasakan hatinya teriris. Pengawalnya ... PENGAWALNYA ADA DI SINI!
"Siapa Ged?" suara Lila bagai tangan penolong yang membantu Rainier memijak kenyataan lagi. Sang pangeran berputar menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Pengawalku," katanya tak percaya. "Pengawalku yang hilang setelah kukirim mencari Rapunzel."
Lila menggeleng. "Tidak mungkin," katanya, dan tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Andai kepala-kepala itu berasal dari bertahun-tahun lalu, waktu di mana Dame Gothel belum tewas, Lila dengan senang hati akan menaruh tuduhan pada sang penyihir.
Namun, Ged baru hilang minggu lalu, dan ....
"Rainier?" Lila memanggil Rainier dengan agak cemas. Mengapa Rainier diam saja? Wajahnya yang tampan sekarang merah padam, air matanya mengering oleh rasa malu yang panas, dan tangannya mengepal erat. Lila mendekat dengan ragu-ragu. "Yang Mulia, mengapa kau—"
"Siapkan sarapan seperti biasa, Lila." Rainier menatapnya dengan bibir terkatup rapat. "Akan kutimba air sumur untukmu."
"Rainier—"
Rainier memaksakan senyum. "Mari kita bersihkan sisa-sisa kotoran."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top